SUMATRA UTARA, BANPOS – Politisi seharusnya bisa lebih rileks dalam menanggapi hasil survei.
Demikian Denny JA merespon somasi hukum yang ditujukan kepada LSI Denny JA karena pengugat tak puas Capres dukungannya mendapatkan prosentase kecil di Sumatera Utara.
Menurut Denny JA, somasi kepada lembaga survei itu memang kerap terjadi di setiap Pilpres ataupun Pilkada. Kendati begitu, somasi terhadap lembaga survei juga memiliki sisi positif.
“Untuk banyak kasus lain, juga kasus pilkada, kubu yang dikalahkan bahkan menduga ada permainan tingkat tinggi. Bahkan mereka mengatakan hasil survei ini diatur untuk nanti membenarkan kecurangan pemilu atau pilkada,” tutur Denny JA.
Lalu bagaimana caranya menilai lembaga survei yang kredibel. Menurut Denny JA, masyarakat bisa melihatnya melalui alat pencarian. Tiga tips sederhana bisa digunakan. Pertama, lihat track record lembaga survei itu. “Bukankah ini era Google searching? Segala hal bisa kita lihat jejak digitalnya di Google,” kata Denny JA.
“LSI Denny JA, misalnya, ini lembaga survei yang paling tua yang sekarang ini masih aktif di survei opini publik Indonesia,” sambungnya.
Dikatakan Denny JA, sejak 2004, sebulan sebelum hari pencoblosan, LSI Denny JA memberikan satu publikasi mengenai siapa yang menang di Pilpres saat itu. Di 2004, LSI mengumumkan SBY yang terpotret akan menang. Di 2009 lebih jauh lagi, SBY akan menang satu putaran.
Juga di 2014, ataupun 2019. LSI Denny JA juga mempublikasikan, Jokowi akan menang. Sebulan kemudian, hasil survei itu dan prediksinya, dalam empat kali Pilpres; 2004, 2009, 2014, 2019, terbukti. “Semua bisa dilihat di Google,” jelas Denny JA.
Tapi tentu ada pula lembaga survei yang namanya baru terdengar kemarin sore. Yang belum ada track record-nya yang akurat pada Pilpres sebelumnya. “Tentu sah diberikan tanda tanya,” kata Denny JA.
Tips kedua, lanjut Denny JA, melihat dari reputasi lembaga survei. Selain itu dapat dinilai kiprahnya atau achievmentnya. “Misalnya, seberapa Lembaga ini karena reputasinya, karena achivementnya, mendapat penghargaan baik dari lembaga internasional ataupun dari lembaga nasional,” kata Dennya JA.
LSI Denny JA, atau Denny JA karena kiprahnya di lembaga survei sudah mendapatkan penghargaan dari majalah TIME. Juga penghargaan dari Guiness Book of World Record karena memecahkan rekor dunia untuk pendidikan politik. Juga penghargaan dari Twitter dan dari organisasi wartawan: PWI Jaya dan penghargaan dari kampus.
“Ada pula lembaga survei, ataupun tokohnya, yang tak terlihat penghargaannya. Tapi tentu ini tak berarti lembaga itu otomatis tidak kredibel,” jelas Denny JA.
Namun penghargaan dari lembaga nasional, apalagi internasional yang besar, menjadi bukti publik menilai kiprahnya. Dan, lembaga yang sudah susah payah membangun reputasi, tentu akan aneh jika ia menjatuhkan dirinya sendiri.
Tips ketiga, survei juga harus dilihat dalam kerangka waktu. Survei itu hanyalah potret ketika saat survei itu dilakukan. Waktu yang berbeda dapat pula menghasil survei yang berbeda.
“Pertanyaan khas dan standar dalam survei: Jika Pilpres/Pilkada terjadi hari ini, siapakah Capres yang ibu/ bapak pilih?” katanya.
Menurutnya, jika muncul pertanyaan seperti itu, tandanya survei itu sedang memotret sikap responden pada saat survei itu dilakukan. “Itu artinya survei memotret sikap responden di hari ini, hari survei dilakukan,” kata Denny JA.
Dikatakan Denny JA, pesona Capres bisa naik dan turun. Capres yang sangat populer di survei bulan Juni, misalnya, bisa jatuh tiga bulan lagi di bulan September. “Itu karena ia membuat blunder,” kata Denny JA.
Sebaliknya, Capres yang buncit di Desember, bisa jauh lebih tinggi di Februari. Itu karena sosialisasi sang Capres yang fenomenal. Contohnya, Pilkada DKI 2017. Pada Januari 2017, LSI Denny memotret Anies nomor buncit saat itu. Tapi di April 2017, pihaknya mengumumkan Anies akan menang di Pilkada DKI, mengalahkan Ahok.
Mengapa LSI Denny JA di pilkada 2017, mengumumkan posisi Anies yang berbeda antara Januari ke April, kata Denny JA, itu karena elektabilitas Anies memang berubah di lapangan. Survei yang kredibel mampu memotret perubahan itu.
“Perhatikan saja beberapa publikasi LSI Denny JA di Pilpres kali ini. Walau Anies selalu buncit, juga di survei lembaga lain, selalu ada teks: pelajaran dari Pilkada DKI. Yang nomor buncit selalu potensial menyusul,” kata Denny JA.
Disampaikan Denny JA, hasil survei yang dilakukan berdasarkan satu wilayah akan berbeda ketika dibandingkan dengan skala nasional. “Tapi tentu saja, Indonesia, dari Aceh hingga Papua, jauh lebih luas dan kompleks dibandingkan DKI. Apa yang terjadi di DKI 2017 (Pilkada) belum tentu juga terjadi untuk skala Indonesia 2024 (Pilpres),” lanjutnya.
Tiga tips itu, lanjut Denny JA, bisa menjadi panduan bagi elite untuk menilai hasil survei itu kredibel atau tidak. Elit politik yang sudah kawakan, sudah terbiasa dengan kondisi itu. Memang akan beda jika polisi itu tergolong The New Kids on The Block.
“Penting bagi para elit politik, menghadapi pipres 2024, untuk lebih rileks dalam membaca hasil survei,” kata Denny JA.
“Hasil riset sebaiknya juga dibantah oleh hasil riset. Jika hasil riset dibantah oleh somasi hukum, itu akan dikenang oleh sejarah, dan negara demokrasi luar negeri,” tutup Denny JA. (RMID)
Berita Ini Telah Tayang Di https://rm.id/baca-berita/nasional/192253/denny-ja-politisi-harus-lebih-rileks-menilai-survei-pilpres
Tinggalkan Balasan