Berdasarkan penelitian Kemenkes RI melalui publikasi Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) tahun 2018, Provinsi Banten menempati urutan keenam secara nasional tingkat depresi tertinggi dengan persentase 8,67 persen. Sementara berdasarkan riset Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), 15 juta remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental dalam satu tahun terakhir.
SEJAK tahun 1992, setiap tanggal 10 Oktober seluruh negara memperingati Hari Kesehatan Mental Se-Dunia. Hari tersebut menjadi penanda bahwa kesehatan mental merupakan hak asasi dari setiap manusia, yang untuk mendapatkannya diperlukan fasilitasi dari berbagai pihak.
Berdasarkan riset Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), didapati bahwa satu dari tiga remaja Indonesia (34,9 persen) mengalami gangguan kesehatan mental dalam setahun terakhir. Jumlah itu setara dengan 15,5 juta jiwa remaja. Selain itu dari hasil riset yang sama, didapati bahwa satu dari 20 remaja Indonesia (5,5 persen), mengalami gangguan kesehatan mental dalam satu tahun terakhir.
Usia remaja menjadi usia yang produktif dan merupakan masa keemasan atas fisik manusia. Namun dari data yang dimiliki Kemenkes, justru terjadi paradoks atas hal tersebut. Pasalnya, meskipun dalam kondisi yang paling prima, angka kesakitan dan kematian kelompok remaja meningkat hingga 200 persen. Tidak sehatnya mental para remaja, menjadi penyumbang terbesar peningkatan kesakitan dan kematian kelompok remaja itu.
Di Banten, tidak ada data terbaru yang dapat menggambarkan kondisi kesehatan mental warganya. Namun berdasarkan data Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) tahun 2018, sebanyak 8,67 persen warga Provinsi Banten mengalami depresi. Nilai tersebut menempatkan Provinsi Banten dengan persentase warga mengalami depresi tertinggi ke 6 se-Indonesia. Sementara data untuk Gangguan Mental Emosional (GME), persentasenya sebesar 13,96 persen.
Kepala Dinkes Kabupaten Serang, Agus Sukmayadi, mengatakan bahwa kesehatan mental ini tidak hanya berhubungan dengan orang gila, tapi kesehatan mental ini juga berhubungan dengan kesehatan pada umumnya.
“Kita juga sedang mengupayakan bebas pasung dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk keluarga, atau masyarakat yang ada anggota keluarga menderita sakit jiwa berat untuk bisa langsung menghubungi puskesmas,” ujarnya.
Selain itu, dirinya juga menyampaikan bahwa pihaknya tengah melakukan sosialisasi kepada para tenaga pendidik untuk mengedukasi terkait dengan kesehatan mental.
“Kemudian yang berhubungan sosial, kita sudah mensosialisasikan kepada tenaga pendidik yang disosialisasikan oleh dokter spesialis jiwa. Kemudian, sosialisasi kepada para kader kesehatan jiwa melalui kader kesehatan, salah satunya untuk memberikan edukasi kesehatan jiwa dan mental kepada masyarakat,” terangnya.
Dirinya juga mengatakan bahwa saat ini di Provinsi Banten masih terkendala dengan tidak adanya Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Oleh karenanya, saat ini pihaknya dalam menangani masyarakat yang mengalami gangguan mental masih di rujuk ke Rumah Sakit yang ada di luar kota.
“Karena Provinsi Banten belum mempunyai RSJ, kita bekerjasama dengan Rumah Sakit di Jakarta. Jadi, bila ada pasien yang pasca pelepasan pasung memerlukan perawatan kita kirim ke RSJ di jakarta,” katanya.
“Kemudian, terhadap tenaga dokter dan perawat yang ada di puskesmas, kita lakukan peningkatan kapasitas dan kompetensi dalam peningkatan pelayanan,” tambahnya.
Dirinya menuturkan, bahwa salah satu penyebab yang sering mempengaruhi kesehatan jiwa ini berasal dari interaksi sosial yang kurang baik.
“Kesehatan jiwa ini penyebab pertama tentunya karena adanya gangguan interaksi sosial. Ini perlu melibatkan peran orang tua dan masyarakat sekitar. Kalau usia sekolah atau usia produktif tentunya dengan sebaya, dengan teman-teman sebaya dan melibatkan guru. Dinas pendidikan juga dilibatkan dalam sosialisasi tentang kesehatan mental dan jiwa di lingkungan sekolah,”katanya.
“Jadi ini cenderung mengalami tekanan sosial, atau stres. Sehingga menimbulkan penyakit yang berkelanjutan, ini perlu adanya pengobatan yang lebih lanjut,” lanjutnya.
Dirinya mengaku bahwa penanganan awal di Kabupaten Serang dilakukan oleh dokter dan perawat puskesmas dibawah bimbingan dari dokter yang berasal dari RS Dr.Drajat.
“Penanganan awal kita sudah melakukan pelatihan kepada 31 dokter di puskesmas dan kurang-lebih sekitar 60 perawat yang sudah memperoleh pelatihan penanganan awal kesehatan jiwa. Untuk konsultan di RS Dr.Drajat itu ada dua. Kalau dihitung dengan banyaknya kasus jiwa, dokter yang menangani kesehatan jiwa di Kabupaten Serang masih minim,” jelasnya.
Kepala Bidang Upaya Kesehatan Perorangan dan Upaya Kesehatan Masyarakat pada Dinkes Kota Cilegon Febri Naldo mengungkapkan bahwa berdasarkan data yang pihaknya miliki, jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kota Cilegon pada tahun ini mencapai 548 orang, terdiri dari laki-laki 375 dan perempuan 173. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari depresi, masalah keluarga, ekonomi, masalah penggunaan narkoba hingga putus cinta.
Diketahui pada tahun 2021 Dinkes mencatat ada 580 dan 2022 ada 588 kasus. “Kalau usia yang paling banyak mengalami gangguan jiwa di usia produktif dan mayoritas penderitanya adalah pria,” katanya.
Febri menambahkan, salah satu langkah yang dilakukan Dinkes Cilegon dalam menyelesaikan persoalan gangguan jiwa di Kota Cilegon, yakni terus melakukan skrining ke setiap puskesmas serta pengobatan gratis dengan menghadirkan dokter spesialis jiwa.
“Untuk pelayanan jiwa di puskesmas itu sudah berjalan, ada program jiwa di setiap puskesmas. Kan setiap bulan itu ada pelayanan dari dokter spesialis jiwa, kita kerjasama dengan persatuan spesialis jiwa Banten. Jadi keliling seperti bulan ini di Puskesmas Jombang bulan besoknya di Puskesmas Purwakarta ada jadwalnya,” kata Febri kepada BANPOS, Kamis (19/10).
Sejauh ini kata dia, program tersebut tidak ada kendala karena pihaknya menggandeng dokter spesialis jiwa. “Pelayanan kesehatan jiwanya seperti ODGJ yang ringan, yang sedang yang berat. Itu semua dilayani dan ngambil obatnya juga di puskesmas gratis. Program ini Ini merupakan SPM juga, alhamdulillah nggak ada kendala. Karena kita kerjasama dengan dokter persatuan jiwa Banten,” paparnya.
Selain itu, kata dia di RSUD Cilegon juga sudah ada dokter spesialis jiwa dan juga ada poli jiwa. “Untuk di RSUD dokter spesialis jiwa sudah ada, poli jiwa juga ada jadwalnya. Tinggal rawat inap yang belum ada,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Dinas Kesehatan Kota Serang Tata mengungkapkan bahwa kasus gangguan mental yang terjadi di Kota Serang, jika dilihat dari kasus yang ada pada tahun 2023 mengalami peningkatan. “Kalau lihat dari kasus, ada peningkatan,” ungkapnya.
Dalam upaya penanganan kasus kesehatan mental, Tata mengatakan bahwa pihaknya telah membuat program yang untuk menanganinya. Selain itu, pihaknya juga bekerjasama dengan rumah sakit di luar Kota Serang sebagai rujukan jika terdapat pasien yang perlu dilakukan perawatan yang lebih lanjut.
“Kita ada 16 puskesmas, itu ada program jiwa di setiap puskesmas. Termasuk juga kita ada kerjasama dengan Rumah Sakit rujukan. Jika ada kasus gangguan jiwa, kalau sampai ada yang harus dirujuk maka kita rujuk ke rumah sakit,” katanya.
Dalam menangani kesehatan mental, dirinya mengungkapkan bahwa peran pihak keluarga sangat penting. “Memang harus sama-sama untuk bagaimana mensupport, seperti rutin memberikan obat untuk yang gangguan mental berat,” ucapnya.
“Kita berkoordinasi dengan OPD terkait termasuk juga kecamatan dan kelurahan. Secara program tertangani, alurnya ini dari puskesmas atau klinik nanti ke RSUD Kota Serang, kalau harus ditangani lebih lanjut kita rujuk ke rumah sakit di Bogor, dan Grogol Jakarta,” tandasnya.
Tingginya angka gangguan kesehatan mental di kalangan remaja disebabkan oleh berbagai hal. Di antaranya terjadinya kekerasan terhadap mereka, maupun perundungan yang kerap terjadi di kalangan remaja. Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF), dua dari tiga anak berusia 13 hingga 17 tahun pernah merasakan kekerasan setidaknya satu kali. Selain itu, dua dari lima anak berusia 15 tahun, mengalami tindak perundungan beberapa kali dalam sebulan.
Kepala DP3AKB Kota Serang, Anthon Gunawan, mengatakan bahwa hingga saat ini pihaknya terus membantu para anak dan remaja yang mengalami kekerasan baik secara fisik maupun mental. Bagi korban yang mengalami tekanan maupun depresi, pihaknya membantu dengan memberikan pelayanan langsung dari psikolog, agar bisa menangani korban yang mengalami kekerasan mental supaya segera pulih.
“Semua jenis kekerasan verbal, bagi yang mengalami tekanan maupun depresi, kita menyediakan psikolog untuk menanganinya. Sampai dia kembali lagi sembuh,” katanya.
Selain itu, pihaknya juga bekerjasama dengan beberapa rumah sakit jika diharuskan melakukan pengobatan secara medis.
“Prinsipnya kita menyediakan, kalaupun harus melalui pengobatan medis, kita bekerjasama dengan beberapa rumah sakit untuk menanganinya,” ucapnya.
Dalam upaya mengembalikan mental para korban, pihaknya juga menyediakan tempat-tempat untuk mereka mengadu dan menceritakan permasalahan yang mereka dalam hal ini para korban alami.
“Kita menyediakan pertama di kantor, di UPT dan juga rumah aman. Jadi bagi yang mau curhat itu kita sediakan tempatnya, dan jika mau privasi, kalau perlu kita samperin ke rumahnya. Itu langkah yang selalu kita lakukan,” ucapnya.
Anthon menuturkan, pada tahun 2023 ini, kasus yang pihaknya bantu sudah sebanyak 60 kasus, hampir mencapai banyaknya kasus pada tahun 2022 sebanyak 65 kasus. Padahal, saat ini baru sampai bulan Oktober dan masih ada rentang waktu dua setengah bulanan lagi untuk sampai akhir tahun.
“Dari 2022 hingga 2023, ada peningkatan kasus. Dari semester pertama saja sudah terlihat. Kalau dari jumlah angka, ini sudah meningkat. Dari semester satu kemarin sudah lebih dari 2022. Tahun 2023 ini, untuk satu semester sudah lebih tinggi dari sebelumnya sebesar 10 sampai 15 persen,” tuturnya.
Dirinya berharap, di tahun 2023 ini tidak lagi ada kasus-kasus yang membuat mental masyarakat Kota Serang terganggu. Selain itu, Anthon menuturkan bahwa peran dari semua pihak sangat dibutuhkan.
“Kita berusaha mengembalikan psikis korban karena banyak yang depresi karena adanya kekerasan seksual juga. Kalau kita pilah dari jenis kelamin paling banyak dari perempuan, malah kalau laki-laki kita belum menemukan anak laki-laki yang depresi karena dia jadi korban. Tingkat depresinya tidak sampai seperti perempuan yang sampai mengkhawatirkan. Tidak mau ketemu dengan orang luar, tidak mau sekolah dan melamun,” terangnya.
“Saya harap dengan upaya yang kita lakukan baik dari pemkot dan lembaga lainnya, kasus ini tidak bertambah dan pegiat lapangan juga bisa meminimalisir kasus-kasus kekerasan ini. Peran orang tua juga sangat dibutuhkan untuk mengontrol kegiatan anaknya,” lanjutnya.
JFT Bidang PA DP3AP2KB Lebak, Nina Septiana, mengatakan bahwa pihaknya melalui UPTD PPA memberikan layanan pengaduan dan curhat melalui hotline yang telah disediakan. Hal tersebut merujuk kepada tugas dan fungsinya masing-masing, dimana Dinas sebagai pencegahan dan UPTD PPA sebagai penanganan kasus.
Menurut Nina, banyak kasus bully yang harus berakhir dengan bunuh diri. Hal tersebut dikarenakan kurang matangnya mental mereka menghadapi tekanan. Apalagi, usia-usia remaja yang secara psikologis mereka masih sangat labil.
“Berkaitan dengan gangguan mental inilah yang mengakibatkan banyaknya kekerasan hingga perilaku hidup menyimpang. Mengapa? Karena biasanya korban kekerasan akan merekam apa yang mereka dapatkan. Ketika dewasa atau suatu hari ada pemicu, mereka akan mengingat kembali dan inilah yang disebut dengan trauma,” jelasnya.
Ia mengatakan, Pemerintah Kabupaten Lebak senantiasa melakukan sosialisasi baik kepada sekolah maupun masyarakat terkait berbagai hal seperti pencegahan bullying, berbagai jenis kekerasan hingga penyalahgunaan Napza.
“Kalau dari kami memang senantiasa memberikan sosialisasi ke tiap-tiap sekolah. Kalau dari Kesbangpol ada yang namanya Badan Narkotika Kabupaten (BNK) dan di Dinkes Satpol PP ada sosialisasi Kesehatan Jiwa,” kata Nina.
Plt Kepala DP3AP2KB Kota Cilegon, Agus Zulkarnain mengatakan untuk korban gangguan kesehatan mental terjadi karena adanya tindak kekerasan maupun perundungan yang dialami saat masih anak-anak dan remaja, pihaknya mengaku sudah menyiapkan program tersebut.
“Kita punya program psikoedukasi dan terapi kelompok yang dilakukan di sekolah apabila ada siswa yang menjadi korban kekerasan baik bullying maupun kekerasan lainnya. Atau di lingkungan masyarakat apabila ada masyarakat yang menjadi korban kekerasan,” ujarnya Agus kepada BANPOS, Kamis (19/10).
Kemudian saat ditanya terkait program atau saluran yang disediakan oleh DP3AP2KB, bagi mereka yang mengalami gangguan mental untuk ‘curhat’ mengungkapkan permasalahannya, Agus mengaku program tersebut ada.
“Sebetulnya kita ada Puspaga (pusat pembelajaran keluarga), nah itu adalah tempat untuk konseling atau konsultasi berkaitan dengan permasalahan keluarga yang lebih fokus kepada permasalahan anak sebetulnya tapi keluarga juga bisa,” ungkapnya.
Diketahui berdasarkan data dari DP3AP2KB Kota Cilegon dari Januari sampai September 2023, untuk kasus kekerasan anak dan perempuan mencapai 180 kasus. Meliputi psikis 90, fisik 34, seksual 35, penelantaran 15, TPPO 6.
“Yang masuk kategori psikis itu sebetulnya gangguan kejiwaan, gangguan mental yah. Kalau yang fisik gangguan secara badan, yang seksual kekerasan seksual, yang TPPO adalah tindak pidana perdagangan orang sama penelantaran,” tandasnya. (CR-01/MYU/LUK/DHE/DZH)
Tinggalkan Balasan