LEBAK, BANPOS – Hampir seluruh pondok pesantren yang ada di Kabupaten Lebak belum ramah anak.
Dari berbagai pondok tradisional maupun modern yang ada di Lebak, hanya ada satu saja yang berstatus
ramah anak.
Hal tersebut disampaikan oleh JFT Bidang Perlindungan Anak DP3AP2KB Kabupaten Lebak, Nina
Septiana. Ia mengatakan, sejak 2020 lalu hingga saat ini, baru ada satu ponpes yang mendeklarasikan
dan dikukuhkan menjadi Pondok Pesantren Ramah Anak, yakni Ponpes Latansa 2.
“Dulu bidang PA pernah melakukan sosialisasi dan mengundang lebih dari 30 ponpes. Namun yang hadir
hanya Latansa 2 ini,” kata Nina saat ditemui BANPOS diruang kerjanya, Kamis (26/10).
Ia menjelaskan, pihaknya senantiasa berupaya mengajak Ponpes untuk memenuhi kriteria ramah anak
yang berarti lingkungan tersebut haruslah membuat anak aman, nyaman, adil hingga fasilitas yang
memenuhi hak anak.
“Bukan hanya di Ponpes ya, tapi juga di sekolah, perkantoran, hingga ruang publik sebisa mungkin kami
mengupayakan agar mengutamakan kepentingan anak juga,” jelasnya.
Saat dimintai tanggapan terkait kasus santri asal Lampung yang menjadi korban kekerasan di salah satu
Ponpes Modern di Lebak. Ia mengaku prihatin atas kejadian itu.
Ia menerangkan, pihaknya telah berupaya berkomunikasi dengan pihak ponpes tersebut dengan
bermaksud mendatanginya. Namun, pertemuan tersebut belum bisa dilaksanakan karena beberapa
alasan.
“Iya kemarin sudah komunikasi, tapi pihak pondok meminta waktu untuk mempersiapkan karena mau
musyawarah dulu,”tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Korps HMI-Wati (Kohati) yang juga pegiat anak Lebak, Siti Nuraeni, mengaku prihatin
dengan peristiwa kekerasan di lingkungan Ponpes. Menurutnya, hal tersebut tidak layak terjadi di
lingkungan yang notabene menjadi wadah untuk mendidik keagamaan terhadap anak.
“Miris melihat perbuatan negatif yang dilakukan oleh sekawanan santri terhadap temannya, hal ini
tentunya menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi dinas terkait untuk segera bertindak mensosialisasikan
bahwa setiap anak itu punya hak perlindungan,” kata Nuraeni.
Ia menjelaskan, perundungan hingga penganiayaan dilingkungan Ponpes memang sudah sering terjadi.
Namun, mirisnya, hal tersebut dinormalisasikan lantaran kebanyakan kasus dilakukan oleh senior
terhadap juniornya dengan dalih hukuman.
Namun, sayangnya hal ini jarang sekali diperhatikan baik oleh orang tua ataupun pimpinan Pondok
Pesantren. Sehingga, lanjut Nuraeni, budaya tersebut akan terus muncul dan semakin mengakar akibat
adanya rasa dendam dari korban yang nantinya merubah dirinya menjadi seorang pelaku. (MYU/DZH)
Tinggalkan Balasan