WH Surati Jokowi, Ada Poin yang Misterius

DENGAN dalih menyelamatkan penyelenggaraan pemerintahan, pada 23 April lalu, Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) memindahkan rekening kas umum daerah (RKUD) dari Bank Banten ke Bank Jabar Banten (BJB), serta berniat melakukan merger antara Bank Banten dan BJB. Dan dampak yang terjadi masyarakat berbondong-bondong mengambil uang secara besar-besaran dan terjadilah rush money dan kepercayaan masyarakat seketika itu sirna terhadap Bank Banten.

Belum lama ini, WH juga menyampaikan pemberitahuan kepada DPRD Banten terkait dengan rencana pinjaman daerah ke BJB sebesar Rp800 miliar tanpa bunga. Dan ini juga yang menyebabkan kegaduhan kedua, kebijakan WH selama bulan suci Ramadan. Yang pertama adalah, pemindahan RKUD, terjadi rush money disaat pandemik Covid-19.

Dan langkah WH yang dianggap sensasional dan terkesan terburu-buru atau panik ditengah tidak ada kejelasan keinginannya melakukan merger Bank Banten dan BJB, dengan berkirim surat langsung kepada Presiden Jokowi. Surat tertanggal 29 April itu ditembuskan kepada Menteri Keuangan yang juga selaku Ketua KSSK, Mendagri, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Gubernur Jawa Barat, Gubernur Bank Indonesia dan Ketua DPRD Banten.

Dalam surat yang dikirim WH terdapat 10 point, namun tidak tercantum point 5. Dari 4 langsung ke point 6. Dalam surat bernomor 580/933-BPKAD/2020, Perihal progress pasca Letter of Intent (LOI) antar Gubernur Banten dan Gubernur Jawa Barat.

Dalam surat tersebut, WH bercerita bahwa kondisi Bank Banten saat ini sudah dianggap memiliki beban dan tangunggan yang harus ditunaikan, termasuk WH menyebutkan Bank Banten pada posisi loan to deposito ratio (LDR) 105,17 persen. Disebutkan juga bahwa Bank Banten memiliki pinjaman PKUB yang berasal dari bank-bank pembangunan daerah lainya sebesar Rp340 miliar.

‘Memohon kepada Bapak Presiden melalui fasilitasi Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat merealisasikan kesepakatan LOI dałam menyelamatkan dana Pemprov dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari serta menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap Bank Banten dan membantu kelancaran pelaksanaan LoI melalui pendelegasian Peraturan OJK sebagaimana dimaksud dałam pasał 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang didalam diharapkan terdapat norma-norma yang memudahkan dałam proses merger atau kerjasama di bidang perbankan,” demikian point 10 isi surat WH yang dikirim ke Jokowi.

Sekretaris Komisi IV pada DPRD Provinsi Banten, Fitron Nur Ikhsan ‘menguliti’ surat tersebut. Pada poin pertama surat tersebut, dituliskan bahwa telah dilakukan pembahasan antara pihak Bank Banten dan pihak Bank BJB serta pihak Pemprov Banten yang difasilitasi oleh OJK dalam rencana penggabungan (merger) antara Bank Banten dengan Bank BJB. Menurut Fitron, hal ini aneh lantaran Pemprov Jabar tidak dilibatkan dalam pembahasan itu.

“Pembahasan tidak melibatkan Pemprov Jabar. Padahal LOI adalah antara Pemprov Jabar dan Pemprov Banten. Gubernur Banten ngebet banget merger ke BJB. Tapi Gubernur Jabar kayaknya gak peduli,” katanya.

Dalam poin kedua, Fitron mengatakan bahwa Bank BJB tidak bisa sekadar menjawab mau merger atau akuisisi sebelum mereka melakukan proses uji tuntas atau Due Diligent (DD), yang mencakup financial DD, operational DD dan legal DD. Hasil dari DD tersebut akan disampaikan kepada seluruh pemegang saham BJB dalam rangka mengambil keputusan apakah feasible dan menguntungkan jika merger dengan BB.

“Proses DD ini biasanya dilakukan dengan penunjukan auditor yang independen. Rasanya Gubernur Jabar tidak bisa mengambil keputusan sendiri, karena mereka hanya memiliki 38 persen saham di BJB. Sementara BJB adalah perusahaan TBK. Biasanya keputusan strategis seperti ini harus masuk di RUPS sehingga quorum mayoritas pemegang saham,” terangnya.

Pada poin ketiga, WH menuliskan bahwa Bank Banten telah melakukan komunikasi secara intens dengan OJK untuk membantu pemenuhan likuiditas dari bank BJB dapat segera terealisasi. Fitron mengatakan, secara jelas dalam poin itu WH mengemis kepada bank BJB untuk membantu likuiditas dari Bank Banten.

“Bank Banten bertepuk sebelah tangan dan membuktikan bahwa LOI bukan sesuatu yang direncanakan dan diminati kedua belah pihak, melainkan keterpaksaan di pihak bank BJB. Saya lagi mikir harga diri sebagai warga Banten,” terangnya.

Poin 4 huruf a dan point b disebut Fitron sangat jelas alasannya dan masuk akal. Tapi juga sekaligus membuktikan bank BJB tidak berminat mengambil risiko memasukan uangnya ke Bank Banten. Bahkan ia kembali menyebut bahwa WH bertepuk sebelah tangan dan harus mengemis walaupun ada LOI.

“Huruf c, bank BJB menyarankan Bank Banten untuk minta bantuan likuiditas ke LPS. Kenapa Gubernur gak pernah coba lakukan ini? Dari awal harusnya Gubernur lakukan ini. Faktanya tidak pernah ada kajian untuk minta bantuan LPS. Bahkan di surat ini pun tidak ada tembusan ke LPS,” ungkapnya.

Lucunya, Fitron mengatakan bahwa pada surat resmi yang disampaikan kepada Presiden Jokowi ternyata terdapat keteledoran. Sebab, terdapat satu poin yang longkap, yakni poin nomor 5.

“Nomor 5 kok gak ada yah? Dari 4 langsung ke 6. Teledor ini surat ke presiden seperti ini,” ucapnya.
Poin 6 dan 7 dikritisi secara singkat oleh Fitron. Dalam poin 6, disebutkan bahwa bank BJB menyatakan bahwa proses take over kredit ASN akan berlangsung agak lama. Sedangkan pada poin 7 disebutkan hanya melaporkan progres pemindahan data.

“(Seharusnya) proses take over kredit ASN bisa cepat dilakukan kalau bank BJB (memang) berminat bantu likuiditas Bank Banten. Poin 7 hanya melaporkan progres pemindahan data,” ujarnya.

Fitron mengatakan, pada poin 8 menjelaskan kondisi likuiditas Bank Banten sangatlah buruk. Hal ini menurutnya mencerminkan manajemen yang buruk serta ada permasalahan pada pengawasan Bank Banten.

“Potret global Bank Banten membutuhkan Rp1,5 triliun untuk menormalisasi jalannya perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajibannya. Dalam proses DD, perhitungan kebutuhan dana akan lebih detail termasuk juga perhitungan berapa besar kredit macet yang ada di Bank Banten. Info terkini kredit macet di Bank Banten ada sekitar Rp2 triliun. Jadi kasarnya, kebutuhan dana penyehatan Bank Banten sekitar Rp3,5 triliun,” jelasnya.

Poin 9, Fitron menegaskan bahwa apabila melalui pendekatan bisnis to bisnis, bank BJB tidak akan mau mengambil alih Bank Banten atau melakukan merger. Sehingga saat ini, WH sedang mengharapkan penyelamatan secara gratis dari Presiden Jokowi.

“Dengan pendekatan bisnis to bisnis, tidak mungkin BJB mau ngambil alih Bank Banten atau melakukan penggabungan karena sudah pernah dijajaki oleh BRI dan CT Corpora dan hasilnya batal masuk. Gubernur sedang berharap penyelamatan gratis dari presiden,” tegasnya.

Pada statement penutupan, Fitron mengatakan bahwa WH terlihat begitu frustasi dan khawatir kalau merger tidak terealisasi. Kalau bisa merger gratis, Gubernur berharap kecerobohannya akan bisa ditutupi.

“Kalau sampai gagal realisasi, Bank Banten akan terpuruk tanpa peminat dan kemungkinan dilikuidasi (tutup). Kalau Bank Banten tutup, pemprov harus menyiapkan dana besar untuk menutupi kewajiban kepada pihak ketiga,” katanya.
Secara tegas, Fitron menyebutkan bahwa surat gubernur kepada presiden menunjukkan bukti bahwa proses merger bukanlah sesuai yang direncanakan dan diinginkan. Pihak bank BJB pun menjadi korban karena dipaksa menerima penggabungan dengan dalih Covid-19.

“Padahal saya menduga ini adalah langkah panik OJK karena kecolongan atas kecerobohan pememindahan RKUD tanpa melakukan kajian yang proper. Saya juga dari awal sudah meminta dilakukan penyehatan, bukan pembiaran,” ucapnya.
“Kalaulah Bank Banten bukan bank milik pemerintah, langkah gubernur sudah tepat. Tapi karena Bank Banten milik kita (orang) Banten, langkah yang harusnya dilakukan bukan seperti sekarang,” tandasnya.

Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPRD Banten, Ade Hidayat menilai kebijakan yang telah diambil oleh WH selama Ramadan ini menyulitkan pemerintahan. Dengan memindahkan RKUD Bank Banten ke BJB dan rencana merger bank, membuat pemprov panik. Dan akhirnya berkirim surat ke Jokowi mengenai kondisi daerahnya.

“Saya pikir karena tidak ada komitmen dari gubernur yang pada bebarapa waktu lalu membiarkan kondisi Bank Banten tidak semakin sehat. Andai saja saat penyertaan modal yang pertama dianggarkan untuk Bank Banten, saya rasa ceritanya akan berbeda, tapi karena tidak ada keinginan gubernur, yang ada sekarang malah melakukan pinjaman daerah Rp800 miliar ke BJB tanpa ada bunga. Ini kan bertambah aneh. Pinjam uang ratusan miliar kepada BJB yang merupakan perusahaan TBK atau terbuka, tanpa ada bunga. Ini ada apa loh? Jangan-jangan ini memang sudah direncanakan jauh-jauh hari,” ungkapnya.

Oleh karena itu lanjut Ahi (sapaan Ade Hidayat), pihaknya dalam waktu beberapa hari akan memanggil Kepala BPKAD Banten, Rina Dewiyanti guna mempertanyakan mengenai pinjaman daerah tersebut.

“Pekan ini kita undang Kepala BPKAD, kalau tidak Rabu atau hari Kamis, suratnya akan kami kirim Senin besok (hari ini, red),” ungkap Ahi seraya mengingatkan Rina untuk datang, jika tidak pihaknya juga akan memanggil Sekda Banten, Al Muktabar.

Menyinggung surat WH yang disampaikan ke Jokowi pada akhir bulan April itu diakuinya terkesan terburu-buru. Hal ini dapat dilihat dari point per point yang hilang satu.

“Kalau surat itu saya pribadi menilainya hanya curhatan gubernur. Dan untuk proses merger itu tidak mudah. Saya rasa pemprov hanya bertepuk sebelah tangan saja yang berharap merger Bank Banten ke BJB,” imbuhnya.(DZH/RUS/ENK)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *