Belanja di Warung Tetangga

SUDAH lebih dari tiga bulan kita diterpa wabah corona. Dampaknya luar biasa. Bukan semata merenggut jiwa. Ekonomi pun kena imbasnya.

Ekonomi menjadi lumpuh, karena ada aturan pembatasan aktifitas. Banyak orang tidak bisa bekerja. Karena tak kerja maka tidak mendapatkan penghasilan. Kebutuhan pokok, ditanggulangi oleh pemerintah dalam bentuk bantuan langsung.

Menjelang penerapan relaksasi, yang membuat kita masuk pada babak baru yang dikenal dengan istilah new normal, diharapkan seluruh aktifitas warga kembali normal seperti semula. Pemberlakuan ini dilaksanakan secara bertahap, dengan tetap memerhatikan protokol kesehatan.

Petani kembali turun ke sawah, nelayan kembali melaut, angkutan umum kembali beroperasi, para pegawai kembali masuk kantor, buruh kembali bekerja di pabrik, pegawai layanan jasa juga siap bekerja. Ekonomi mulai menggeliat lagi.

Ditengah geliat ekonomi warga, muncul anjuran agar kita melakukan gerakan saling membantu. Misalnya, lebih memilih untuk belanja di warung tetangga dibanding belanja di mall atau minimarket. New normal, no mall.

Anjuran dan ajakan ini tidak salah. Karena dengan belanja di warung tetangga, merupakan wujud nyata cara bantu kita pada mereka. Tapi, belanja di mall juga bukan langkah salah. Mengapa?

Sebagian besar dari kita beranganggapan bahwa mall, juga hotel, adalah corporate, perusahaan besar. Pangsanya juga bukan warga berpenghasilan minim. Mall dan hotel identik dengan kalangan orang kaya.

Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah. Tapi sebaliknya juga, tidak sepenuhnya benar. Mengapa? Karena mall dan hotel juga menjadi tempat bergantung para petani dan nelayan, kelompok masyarakat yang diidentikkan sebagai penyandang status ekonomi lemah.

Analisa ini bukan semata hasil bacaan, apalagi dugaan. Tapi merupakan hasil pengalaman langsung. Langsung saya alami dan saksikan, ketika berkunjung ke mall dan atau hotel.

Untuk sebuah keperluan kedinasan, saya kerap mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga tempat saya bekerja. Kadang diundang oleh lembaga lain, baik lembaga pemerintah maupun swasta, juga organisasi kemasyarakatan, dengan menggunakan hotel sebagai tempat kegiatan.

Lazimnya kegiatan yang dilaksanakan di hotel, pihak hotel memberikan fasilitas layanan makanan; makan, sarapan, dan snack berupa cemilan ringan. Pada session inilah saya menemukan peran petani dan nelayan.

Ketika sarapan di resto hotel, ada banyak makanan yang sejatinya akrab dengan keseharian kita diluar hotel. Misalnya kacang tanah, jagung, ubi, talas, pisang, dan yang lainnya. Minumannya seperti kopi, teh, wedang jahe, bandrek, dan bajigur.

Sajian makan berat, selain nasi, ada lauk pauk; tempe, tahu, ikan, daging, telur, perkedel, dan seafood. Sayurannya berupa timun, wortel, bayam, jagung, melinjo, labuh, kacang polong, dan lain-lain.

Semua jenis makanan, sayuran, dan minuman yang saya sebutkan diatas, bisa disantap di resto hotel, setelah melewati proses panjang. Bisa jadi pihak hotel mendapatkannya lewat belanja di pasar induk, atau langsung mendapat pasokan rutin dari desa.

Ada beberapa hotel di kota-kota besar yang secara rutin mendapatkan kiriman bahan makanan itu langsung dari para petani. Kontinuitas pesanan ini tentu menjadi jaminan bagi para petani dalam mengelola dan mengatur ritme distribusinya.

Hal yang sama iuga berlaku bagi mall. Biasanya, seperempat area mall diperuntukkan bagi penjualan bahan makanan yang didatangkan langsung dari desa. Dari para petani dan nelayan.

Maka, bila hotel sepi dari pengguna, dan mall sepi dari pembeli, secara tidak langsung juga berdampak terhadap nasib para petani dan nelayan. Karena sepi pembeli, hotel dan mall menghentikan pesanan kepada rekanan, dalam ini petani dan nelayan.

Jadi, mengajak warga belanja di warung tetangga, itu baik. Karena bisa membantu memudahkan perekonomian mereka. Namun, belanja di mall juga tidak salah. Karena secara tidak langsung, juga membantu nasib para petani dan nelayan.

Dengan demikian, anggapan bahwa hotel dan mall identik dengan konglomerasi dan taipan, tidak sepenuhnya benar. Ribuan pekerja di hotel dan mall pada umumnya juga berasal dari keluarga sederhana dan bersahaja.

Mari belanja di warung tetangga. Tak perlu dilarang bagi yang mau belanja di mall!

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *