JAKARTA, BANPOS – Pemerintah sudah menunjukkan tanda-tanda untuk menggerakkan kembali ekonomi dengan merelaksasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pada awal Juni mendatang.
Protokol The New Normal pun sudah diterbitkan oleh pemerintah untuk meminimalisasi dampak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), akibat lumpuhnya ekonomi.
Terkait hal ini, Pengurus Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia Dono Widiatmoko mengingatkan, pelonggaran PSBB harus dilakukan secara hati-hati. “Semua kebijakan harus bersumber pada fakta, evidence yang kuat, dan bisa dipertanggung jawabkan,” ujar Dono dilansir dari RMCo.id, Minggu (31/5).
Berkumpulnya para pekerja dalam satu waktu dan satu tempat, dinilainya sangat memungkinkan terjadinya klaster-klaster baru Covid-19, jika tidak diantisipasi sedini mungkin.
Serangkaian prosedur untuk menjaga keamanan dan kesehatan pekerja selama masa The New Normal penting dilakukan. Salah satunya, dapat dilakukan dengan mewajibkan prosedur tes massal secara berkala.
Saat ini, untuk mendeteksi virus SARS-Cov-2 penyebab Covid-19, tes PCR adalah standar utama dalam mengkonfirmasi positif tidaknya seseorang. Tapi, ada kendalanya.
“Data kasus terkonfirmasi dari PCR tidak cukup, mengingat keterbatasan kemampuan kita melakukan tes tersebut,” jelas Dono.
Keterbatasan itu antara lain mencakup minimnya jumlah laboratorium dan alat PCR, reagen, serta tenaga terlatih yang mampu melakukan tes secara akurat. Selain itu, tes PCR juga memerlukan biaya yang cukup besar, dan waktu yang relatif lama.
Untuk itu, metode tes yang lain seperti tes serologi cenderung lebih efisien, lebih mudah digunakan dan harganya relatif tidak mahal. Sehingga, sangat memungkinkan tes massal.
“Sebagai alternatif, tes serologi bisa dilakukan. Jika dilakukan pada populasi secara random, tes ini bisa melihat sejauh mana infeksi Covid terjadi pada populasi tersebut,” tutur Dosen Senior di University of Derby, Inggris itu.
Tes serologi digunakan untuk mengecek antibodi pasien yang dilakukan, untuk mencari bukti respon kekebalan tubuh (berupa antibodi IgM dan IgG) terhadap virus SARS-Cov-2.
“Dengan diketahuinya informasi ini, pemerintah bisa merancang program-program kesehatan masyarakat. Termasuk, pelonggaran PSBB,” imbuh Dono.
Saat melakukan tes serologi, tingkat spesifik dan sensitivitas produk yang digunakan perlu diperhatikan, agar tingkat akurasi hasil yang diharapkan semakin tinggi.
Jika pasien mendapatkan hasil uji positif terhadap virus, maka pasien akan dirujuk tes PCR, untuk mendapatkan hasil paling akurat.
“Tes ini harus dilakukan secara massal, dan berkala atau berulang. Misalnya, pada pekan ini dilakukan survey serologi pada 1.000 orang warga Jakarta secara acak. Maka, pekan depan dapat diulang, dan seterusnya,” ucapnya.
Tes ini, kata Dono, harus dilakukan untuk pabrik-pabrik dan tambang dengan jumlah pekerja yang mencapai ratusan dan ribuan. “Bisa juga pada komunitas-komunitas tertentu. Seperti tenaga kesehatan, Polri, driver ojol, dan petugas transportasi seperti Transjakarta, MRT, Commuter Line,” beber Dono.
Hanya saja, untuk menggelar tes ini, dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dono menyatakan, pemerintah mesti menanggung biaya tes ini. “Tentu saja, ini harus dibiayai pemerintah. Bukan bersumber dari biaya masing-masing,” tandas Dono. [OKT/RMCO/PBN]
Tinggalkan Balasan