Terdakwa Izin Usaha Pertambangan Produksi Operasi Terancam 10 Tahun

SERANG,BANPOS- Ardani Sugiharto terancam pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp10 miliar. Terduga mafia tambang galian C di Lingkungan Sumur Bayur, Kelurahan Kepuh, Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon tersebut diduga melakukan penjualan hasil pertambangan tanpa izin usaha pertambangan produksi operasi (IUP OP).

Ia didakwa melanggar Pasal 158 Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Selasa (23/6) Direktur PT Harmoni Sulung Perkasa (HSP) tersebut menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Serang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi. Kendati terancam hukuman diatas lima tahun penjara, warga Kelurahan Curug, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang tersebut tidak dilakukan penahanan badan dan diadili tanpa kuasa hukum. Ia menghadapi persidangan seorang diri.

Sementara, dua orang saksi dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Serang Budi Atmoko anggota Subdit IV Tipiter Ditreskrimsus Polda Banten Brigadir Kepala (Bripka) Wawan Setiawan dan Direktur PT Sani Persada Mandiri (SPM) Ahmad Fauzi selaku pemilik lahan pertambangan. Keduanya memberikan kesaksian secara bergantian.
Dijelaskan Bripka Wawan, pengusutan perkara tambang tersebut berawal dari Surat Perintah Kapolda Banten Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Tomsi Tohir untuk melakukan operasi penertiban tambang tanpa izin atau PETI. “Pada saat itu kita mendapatkan surat Kapolda terkait operasi PETI pada 17 September 2019,” kata Wawan.

Operasi tersebut kemudian menyasar tempat pertambangan di Lingkungan Sumur Bayur, Kelurahan Kepuh, Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon. Setibanya tim gabungan Polda Banten tidak menemukan kegiatan
pertambangan. Namun, petugas menemukan sejumlah alat berat di lokasi. “ada alat disana sama ada dua unit dump truk,” ujar Wawan.

Saat berada di lokasi, petugas memeriksa sebuah kantor. Dari papan kantor tersebut petugas mendapati bahwa informasi bahwa pertambangan dalam penguasaan PT HSP. “Kita lanjutkan dengan penyelidikan lebih lanjut. Kita panggil pegawai dan dia datang,” kata Wawan dihadapan majelis hakim yang diketuai Arief Hakim Nugraha.

Dari keterangan pegawai PT HSP tersebut penyidik mendapati informasi bahwa terdapat aktivitas penjualan hasil tambang. “Yang dimiliki hanya izin usaha pertambangan (IUP), padahal menurut keterangan saksi
melakukan penjualan. Tidak boleh melakukan penjualan, harus ada izin (menjual hasil tambang-red),” kata Wawan.

Saksi lain, Direktur PT SPM Ahmad Fauzi mengatakan pihaknya melakukan kerjasama dengan PT HSP untuk melakukan pertambangan. Kerjasama tersebut dimulai pada 2015. Namun pada 2017 sempat terhenti karena PT HSP tidak membayar royalti. “Kita pemilik lahan, dia
(terdakwa-red) pemilik alat berat,” kata Ahmad.

Kerjasama antara PT HSP dan PT SPM tersebut kata Ahmad kemudian dilanjutkan pada 2019. Saat melakukan pertambangan tersebut, izin pertambangan yang digunakan milik PT SPM. “Izin awalnya PT Sani bukan Harmoni Sulung Perkasa,” kata Ahmad.

Meski telah putus kontrak, Ardani diduga masih melakukan penjualan batu split pada konsumen. Hal tersebut dibuktikan dengan tagihan atas nama PT SPM. “Kita putus kontrak (dengan PT HSP-red) karena tagihan tidak dibayarkan,” ucap Ahmad.

Menanggapi keterangan kedua saksi tersebut, terlapor kasus dugaan penggelapan dalam jabatan atas pemanfaatan aset PT HSP dengan Laporan Polisi Nomor: 334/IX/Res.1.11/SPKT/Banten tersebut tidak menyatakan keberatan. “Keterangannya benar,” tutur Ardani. (AZM)

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *