Masyarakat suku Baduy, dikenal karena keteguhannya menjaga kelestarian adatnya. Ketika merasa terancam, masyarakat Baduy merasa perlu untuk membela diri. Tujuannya adalah agar eksistensi mereka sebagai sebuah komunitas adat tetap lestari, sekaligus keberadaan mereka sebagai bagian dari umat manusia juga dihargai.
Selasa, 7 Juli 2020 lalu, masyarakat Indonesia dibuat kaget oleh sebuah surat terbuka yang dilayangkan kepada Presiden RI, Joko Widodo. Surat itu berasal dari sebuah komunitas adat yang bernama Suku Baduy.
“Agar bapak presiden melalui perangkat birokrasinya, berkenan membuat dan menetapkan sebuah kebijakan, supaya wilayah adat Baduy tidak lagi dicantumkan sebagai lokasi objek wisata. Dengan kata lain, kami memohon agar pemerintah bisa menghapus wilayah Adat Baduy dari peta wisata Indonesia,” demikian petikan surat tersebut.
Surat itu dicap jempol oleh tiga jaro atau kepala desa, yakni Jaro Saidi sebagai Tanggungan Jaro 12, Jaro Aja sebagai Jaro Dangka Cipari, dan Jaro Madali sebagai Pusat Jaro 7.
Empat orang mengaku menerima mandat dari sesepuh adat Baduy untuk mempublikasikan surat itu. Mereka adalah pegiat internet Heru Nugroho, pegiat seni dan budaya Henri Nurcahyo, pegiat sosial dan lingkungan Anton Nugroho, dan pegiat seni Fajar Yugaswara.
Salah satu dari empat orang yang mengaku mendapatkan mandat dari Lembaga Adat Baduy, Heru Nugroho, mengatakan bahwa dirinya membawa mandat dari Lembaga Adat Baduy, meskipun melalui tahapan yang salah. Surat itu muncul karena adanya kekhawatiran mendasar dari para tokoh masyarakat.
Kekhawatiran pertama adalah tercemarnya lingkungan mereka. Sebab, banyaknya pengunjung yang datang ke wilayah Baduy beberapa telah mencemari keasrian alam mereka. Lalu, tercemarnya tatanan adat masyarakat Baduy juga terjadi akibat banyaknya pengunjung yang mengambil foto, yang seharusnya dilarang.
“Ketiga, generasi muda mereka itu sudah mulai terjadi pergeseran budaya. Banyak dari generasi mudanya itu mulai memiliki akun medsos. Handphone sudah bolak balik dirazia, karena pengaruh orang yang datang. Bukan menjaga budaya, malah mempengaruhi. Pergeseran budaya yang ekstrim memang terjadi pada masyarakat Baduy dalam,” jelasnya.
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa masyarakat Baduy tidak ingin mereka hanya dijadikan sebagai bahan tontonan bagi mereka yang berkunjung saja. Sebab, mereka bukanlah objek wisata yang dikunjungi hanya untuk ditonton. “Jadi mereka itu bukan untuk ditonton, tapi silaturahmi,” katanya.
Terkait adanya pergeseran budaya yang ekstrem tersebut, Heru menegaskan bahwa keinginan masyarakat Baduy untuk jauh dari teknologi merupakan jalan hidup mereka. Jadi, jangan menganggap bahwa penolakan mereka terhadap teknologi karena mereka bodoh.
“Orang memilih jalan hidup untuk tinggal di gunung, jauh dari teknologi, itu kan karena keinginan mereka. Bukan karena mereka bodoh, itu adalah pilihan. Mereka kan menghargai pilihan kita, maka kita harus hargai pilihan mereka. Yah realistis aja, yang hidupnya tenteram kan justru mereka,” ungkapnya tertawa.
Ketika dikonfirmasi, Jaro Pamarentah atau Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija mengatakan, pihaknya juga telah menggelar Musyawarah Besar dengan para tetua adat lainnya di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, pada Jum’at (10/7) lalu. Dalam musyawarah tersebut para tetua adat membuat pernyataan bahwa mereka tidak memberikan mandat kepada Heru Nugroho cs perihal surat yang meminta Jokowi menghapuskan Baduy dari peta destinasi wisata, dan tetap akan membuka Baduy untuk para wisatawan.
“Kami dari lembaga suku adat Baduy tidak pernah memberikan mandat kepada Heru terkait hal tersebut,” terangnya.
Saija menegaskan, Baduy sendiri tidak memiliki lembaga adat ataupun perwakilan di luar kawasan suku adat baduy.
“Dan untuk surat yang dibubuhi cap jempol tersebut oleh Jaro Tangungan 12 Saidi Putra, Jaro Warega Jaro Madali, Jaro Dangka Cipantik Jaro aja tidak benar isinya dan para Jaro juga tidak mengetahui isi dari surat tersebut,” tegasnya.
Meski demikian, Saija tetap meminta kepada wisatawan yang hendak mengunjungi Baduy agar taat pada aturan adat Baduy dan menjaga kelestarian alam dengan tidak membuang sampah sembarangan.
“Tetap akan dibuka, namun harus taat aturan adat. Terus, tengah pandemi Covid-19 ini, wisatawan juga harus bawa surat kesehatan,” katanya.
Terpisah, pendamping saba budaya Baduy, Uday Suhada, mengatakan bahwa polemik yang muncul terkait masyarakat Baduy tersebut sebenarnya hanya keinginan masyarakat Baduy agar merubah istilah destinasi wisata, menjadi saba budaya.
“Mereka inginnya merubah istilah. Sekarang itu kan disebutnya wisata, mereka tidak mau dianggap sebagai objek ketika menggunakan istilah pariwisata. Maka mereka inginnya merubah selutuh istilah wisata Baduy dirubah menjadi saba budaya,” ujarnya.
Uday menegaskan bahwa penggunaan istilah destinasi wisata membuat mereka seolah-olah bukanlah manusia. Namun perubahan istilah tersebut bukan berarti mereka tidak ingin dikunjungi oleh orang luar, karena bagi mereka menolak tamu merupakan hal yang pantang dilakukan.
“Orang baduy itu dalam sejarahnya tidak mungkin menolak tamu. Itu pantangan bagi mereka ketika ada tamu tapi ditolak. Sehingga tidak mungkin ada penutupan kunjungan. Namanya juga saba, silaturahmi, maka itu berarti mereka membuka silaturahmi. Mereka tidak mau menutup silaturahmi,” terangnya.
Selain itu, ia menuturkan bahwa memang ada kekhawatiran terkait rusaknya alam dan budaya. Namun untuk mengantisipasi hal tersebut, beberapa pihak termasuk dirinya sudah mengusulkan langkah yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut.
“Bagaimana untuk mengurai kunjungan, kami mengusulkan salah satunya dengan membuat institusi diluar Lembaga Adat untuk jadi pusat informasi budaya Baduy. Bayangkan dalam sehari 1.000 lebih pengunjung ke Baduy,” jelasnya.
Selain itu, ia menjelaskan bahwa terdapat Perdes No. 1 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Kanekes (Baduy). Dalam Perdes itu, terdapat beberapa ketentuan apabila masyarakat ingin melakukan Saba Budaya ke masyarakat Baduy.
“Namun sayangnya, Perdes tersebut ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pemerintahan daerah kurang membantu dalam menyosialisasikan perdes itu. Bahkan Dinas Pariwisata baru tahu bahwa ada perdes itu,” jelasnya.
Ia pun mengatakan bahwa terkait tuntutan agar merubah segala istilah dan nomenklatur wisata Baduy dan menggantinya menjadi Saba Budaya, dirasa dapat direalisasikan oleh pemerintah. Sebab menurutnya, tuntutan tersebut adalah keinginan masyarakat Baduy agar dapat dimanusiakan, tidak dianggap sebagai objek wisata.
“Saya optimis bahwa pemerintah akan menerima konsepan itu. Kalau tidak menerima, berarti pemerintah tidak mau menanusiakan manusia. Tapi saya yakin pusat atau daerah pasti akan menerima itu,” tegasnya.
Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Tabrani, mengaku hingga saat ini masih belum mengetahui perkembangan polemik tersebut. Karena, dari Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak belum melaporkan perkembangannya.
“Kami dari Dinas Pariwisata Banten menunggu hasil musyawarah para tokoh adat Baduy yang katanya kemarin sudah dilakukan. Namun memang informasinya masih belum kami terima,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon.
Untuk keinginan dari masyarakat Baduy, Tabrani mengatakan bahwa pihaknya akan mendiskusikan hal tersebut kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak. Karena, yang lebih mengetahui terkait masyarakat Baduy adalah Pemkab Lebak dan masyarakat Baduy sendiri.
“Jadi apapun hasil keputusan dari musyawarah tokoh masyarakat Baduy, kami akan melakukan diskusi bersama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak,” katanya.
Terkait pendapatan dari Saba Budaya Baduy selama ini untuk Pemprov Banten, dirinya mengatakan tidak ada. Sebab, untuk retribusi wisata hanya pemerintah kota dan kabupaten saja yang mengelola. Sedangkan yang digelontorkan oleh Pemprov Banten untuk pengembangan masyarakat Baduy, Tabrani mengaku tidak tahu karena dirinya baru sebagai pelaksana tugas (Plt).
“Saya masuk di Dinas Pariwisata sebagai Plt itu di pertengahan Maret. Jadi saya harus mengecek dulu apakah ada anggaran untuk masyarakat Baduy. Yang saya tahu sih kalau untuk Saba Baduy itu ada kerjasama antara DIndik dengan Dinas Pariwisata. Nanti saya tanyakan kepada bidang terkait,” tandasnya.
Pada bagian lain, Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Lebak, Imam Rismahayadin bahwa masyarakat adat Baduy tidak pernah memberikan mandat kepada siapapun.
“Masyarakat adat Baduy saat melakukan musyawarah besar lembaga adat yang dihadiri oleh para olot yang menghasilkan beberapa poin penting,” kata kepada BANPOS melalui selulernya, Minggu (12/7).
Terkait dengan anggaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak untuk membangun daerah wisata Baduy, Imam mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah memberikan bantuan untuk pembangunan.
“Tidak ada, Baduy mah tidak bisa dibangun. Jangankan untuk dibangun, untuk diberikan bantuan saja ditolak,” ujarnya.
Untuk sumbangan pendapatan daerah dari destinasi wisata Baduy, Imam menjelaskan bahwa sejak tahun 2019, pemerintah daerah sudah menghilangkan retribusi.
“Kalau Baduy dari tahun 2019 sudah dihilangkan, tidak ada retribusi dari destinasi Baduy,” terangnya.
Untuk permohonan yang dikirim kepada Presiden, lanjut Imam, pihaknya tidak bisa memberikan solusi karena masyarakat adat Baduy mempunyai aturan dan norma sendiri, sehingga pihaknya hanya bisa mengikuti sesuai dengan aturan adat Baduy.
“Bukan kita memberikan solusi, justru karena masyarakat mempunyai aturan dan norma sendiri dan kita akan mengikuti aturan mereka dan ternyata mereka punya Perdes nomor 1 tahun 2007 yang menyebutkan bukan wisata Baduy bukan destinasi wisata. Akan tetapi saba budaya Baduy, namun secara media, wisatawan menyebutnya wisata Baduy. Makanya poin yang diminta Lembaga adat Baduy, tolong istilah destinasi wisata Baduy dijadikan saba budaya Baduy,” ungkapnya.(DHE/DZH/ENK)
Tinggalkan Balasan