Tradisi Lebaran Yatim Dimasa Pandemi

SETIAP bulan Muharram terdapat tradisi yang dilaksanakan masyarakat muslim Banten secara turun temurun, yakni lebaran anak Yatim. Apa itu lebaran? Apa yang melatarbelakangi lebaran Yatim? Ritual apa yang dilakukan? Tulisan ringkas ini mencoba menguraikannya dalam latar Pandemi Covid-19.

Hakikat lebaran
Lebaran dalam bahasa Jawa artinya sudah-an. Lebar berarti selesai. Kata lebaran biasa digunakan untuk menggambarkan kebahagiaan umat Islam di Indonesia sesudah menyelesaikan tugas atau kewajiban. Misalnya lebaran fitrah yang dilaksanakan setiap tanggal tujuh Syawwal setelah menyelesaikan puasa Sunnah Syawwal enam hari dari tanggal dua hingga tanggal tujuh.

Lebaran juga identik dengan makna hari raya. Dalam perayaan itu terkandung keyakinan-keyakinan tertentu, dan merupakan suatu momentum untuk pengagungan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada hari raya itu segala rasa suka cita diekspresikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pada hari itu semua berpesta dengan makanan dan minuman yang halal, mengenakan pakaian terbaik dan harum mewangi, serta pada hari itu diharamkan berpuasa. Pada hari itu semua harus bergembira dan tidak boleh ada yang bersedih hati. Tidak boleh ada yang kelaparan karena tidak makan. Islam menghadirkan dua hari raya: Iedul Fitri dan Iedul Adha.

Iedul Fitri dirayakan pada tanggal 1 Syawwal setelah selesainya kewajiban berpuasa pada bulan Ramadan. Di akhir bulan Ramadan terdapat sepuluh hari yang istimewa untuk i’tikaf dan di sepuluh hari terakhir tersebut terdapat satu malam ganjil penuh berkah bernama “lailatul qadar” yang nilainya lebih baik dari 1000 bulan. Sedangkan iedul Adha terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dilanjutkan pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah dengan amalan berkurban. Menyembelih hewan ternak berupa kambing, domba, sapi, kerbau atau onta. Pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah merupakan waktu istimewa dan dianjurkan banyak berdzikir dan melaksanakan amal sholeh. Pada tanggal 9 Dzulhijjah dianjurkan puasa ‘Arafah. Rasulullah menyebutkan bahwa “Tiada hari yang amal shalihnya lebih Allah cintai dari sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.” Beliau ditanya: “Tidak juga jihad di jalan Allah?” Beliau bersabda: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang pergi dengan diri dan hartanya kemudian tidak kembali sama sekali”. [HR. Bukhari].

Lebaran dipandang sebagai hari kemenangan. Maka, semua orang harus bergembira. Kegembiraan itu diekspresikan dengan makan dan minum diiringi musik dan lagu. Para ahli hukum Islam sepakat tentang bolehnya nyanyian dalam peristiwa-peristiwa gembira, seperti lebaran, perkawinan, dan sebagainya. Adapun selain itu, hukum bernyanyi diiringi musik ada dalam perselisihan. Sebagai melarang dengan alasan cenderung melalaikan orang dari dzikir kepada Allah, sholat, dan baca Al Qur’an. Sebagian lagi seperti para ahli sufi membolehkan sebagai media kontemplasi, membangkitkan semangat juang, menumbuhkan kerinduan beribadah dan menasehati dalam kebajikan.

Keistimewaan Muharam
Tradisi lebaran yatim dilaksanakan pada hari Asyura tanggal 10 bulan Muharram. Kita maklumi, bahwa bulan Muharram merupakan salah satu bulan haram yang dilarang berperang. Pada bulan Muharram sebagai titik nol kalender peradaban Islam, umat Islam disunahkan membaca doa akhir tahun dan awal tahun. Selanjutnya memasuki hari ke-9 dan ke-10 bulan Muharram, umat Islam disunahkan menjalankan puasa Tasua dan Asyura.

Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya hari ini adalah hari Asyura, tidak diwajibkan kamu melakukan puasanya, tetapi saya berpuasa. Barang siapa yang ingin berpuasa, berpuasalah, dan barang siapa yang tidak ingin berpuasa, hendaklah ia berbuka (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya hari Asyura adalah termasuk hari-hari (yang dimuliakan) Allah. Barang siapa yang suka berpuasa, berpuasalah. (Muttafaq ‘alaihi)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu ia berkata, saya tidak pernah melihat Nabi memperhatikan puasa satu hari yang diutamakannya atas yang lainnya selain hari ini, hari asyura dan bulan Ramadhan. (HR. Bukhari)

Rasulullah ditanya tentang Puasa Asyura, beliau menjawab, “dapat menghapus dosa setahun sebelumnya.” (HR. Muslim).

Ritual puasa pada tanggal 10 Muharam ini ternyata juga dilakukan oleh orang-orang Yahudi sebagai rasa syukur kepada Allah atas kemenangan dan kemerdekaan yang mereka peroleh dari penjajahan Firaun dan tentaranya yang tenggelam di Laut Merah. Bahkan dalam satu riwayat sudah dilakukan oleh umat Nabi Nuh dan menjadi kebiasaan orang Quraisy di masa jahiliyah. Untuk membedakan puasa Asyura dalam tradisi Islam dengan kebiasaan umat terdahulu, umat Islam disunahkan juga untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharam.

Dari Abu Musa al-Asy’ari RA, dia berkata, Hari Asyura itu diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka menjadikan sebagai hari raya. Maka, Rasulullah SAW bersabda, Berpuasalah pada hari itu.” (Muttafaq alaihi).

Dari Aisyah RA, dia berkata, Hari Asyura adalah hari yang dipuasakan oleh orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah, Rasulullah juga biasa mempuasakannya. Dan tatkala datang di Madinah, beliau berpuasa pada hari itu dan menyuruh orang-orang untuk turut berpuasa. Maka, tatkala diwajibkan puasa Ramadhan, beliau bersabda, ‘Siapa yang ingin berpuasa, hendaklah ia berpuasa dan siapa yang ingin meninggalkannya, hendaklah ia berbuka.” (Muttafaq alaihi).

Dari Abu Hurairah RA dia berkata, Rasulullah SAW ditanya, ‘Shalat apa yang lebih utama setelah shalat fardhu? Nabi menjawab, ‘Shalat di tengah malam’. Mereka bertanya lagi, ‘Puasa apa yang lebih utama setelah puasa Ramadhan?’ Nabi menjawab, ‘Puasa pada bulan Allah yang kamu namakan Muharram.” (HR Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud).

Memuliakan Yatim
Lebaran yatim dilaksanakan berdasarkan riwayat, bahwa “Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (tanggal 10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yg diusap satu derajat“. Mengusap kepala yang dimaksudkan adalah memuliakan anak Yatim dengan pengasuhan dan pendidikan sesuai tahapan perkembangan anak. Kegiatan pemuliaan anak Yatim ini bernilai ibadah yang tinggi.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
“Orang yang berusaha menghidupi para janda dan orang-orang miskin laksana orang yang berjuang di jalan Allah. Dia juga laksana orang yang berpuasa di siang hari dan menegakkan shalat di malam hari.” (HR. Bukhari Muslim)

Dari Sahl ibnu Sa’ad, dari Nabi, beliau bersabda: “Kedudukanku dan orang yang menanggung anak yatim di surga bagaikan ini.” [Beliau merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya]. (HR. Bukhari)

Ritual lebaran yatim sebagaimana lebaran yang lainnya mengandung unsur kegembiraan. Makan bersama fakir miskin dan anak-anak yang terlantar serta memberikan harapan terkait masa depan mereka sebagai tunas bangsa. Pada momentum ini bertemu kepedulian keluarga yang kaya dengan doa anak-anak dari keluarga yang secara ekonomi berada di bawah garis kemiskinan.

Lebaran Yatim menjadi momentum pengamalan Al Qur’an surat Al Ma’un dan pelaksanaan konstitusi UUD 1945 pasal 34 “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.” Lebaran yatim menjadi pemantik gerakan orang tua asuh, termasuk bidang pendidikan. Dengan demikian, tradisi ini sangat membantu pemerintah dalam menanggulangi dampak sosial ekonomi Covid-19.

Wallahu a’lam.

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *