COVID-19 melahirkan era baru Indonesia. Era di mana setiap orang harus beradaptasi dengan sesuatu yang baru. Era di mana tidak setiap saat bisa berkumpul dengan rekan kerja, atasan, dan juga sesama teman organisasi. Maka komunikasi dalam jaringan (daring) menjadi pilihan sebagian masyarakat sekarang ini.
Belajar, bekerja, rapat-rapat bahkan aktivitas keagamaan ada di antaranya yang dilakukan secara daring. Aktivitas daring mungkin yang paling sering menjadi perbincangan adalah dalam proses belajar mengajar.
Daring juga memiliki dampak terhadap tumbuh kembang anak. Anak mengalami kelelahan secara fisik, karena terdampak radiasi dari laptop, dan telepon genggam.
Dampak lainnya adalah anak-anak merasa kecanduan bermain gawai (gadget), karena aktivitas secara fisik serba terbatas. Orang tua pun tidak sanggup melakukan kontrol secara terus menerus terhadap anak yang kecanduan gawai.
Ada kecenderungan, anak yang kecanduan main gawai lupa makan, sedangkan yang tidak gandrung bermain gawai malah kebanyakan makan. Itu semua, karena mereka lama tinggal di rumah atau jarang keluar rumah, karena khawatir terpapar Covid-19.
Anak yang seharusnya bermain secara fisik, seperti petak umpet dan lain-lain digantikan dengan permainan yang hanya menggunakan jari. Kondisi itu jelas akan mengganggu pertumbuhan motorik kasar anak
Tanpa menafikan aspek positif, jika anak-anak yang menggunakan gawai disurvei, dengan pertanyaan pilihan “saat menggunakan gawai, anak lebih memilih belajar atau keperluan lain” maka jawaban mayoritas akan memilih menggunakan gawai untuk keperluan lain.
Kondisi itu, karena belum dibangun literasi digital secara maksimal. Sebagian besar anak masih menggunakan gawai untuk kepentingan lain. Padahal dengan digital orang bisa berusaha, dan bisa membuat desain tertentu, mengakses pengetahuan lebih luas.
Saya sebagai orang tua merasakan betul bagaimana beragamnya karakteristik anak ketika menghadapi gawai. Anak kedua, Sopia, lebih banyak memanfaatkan gawai untuk mencari bacaan, seperti novel. Ketika memegang telepon genggam yang pertama dicari adalah novel. Betul memang, dibandingkan membeli, anak lebih baik mencari anak merasa cukup mendapatkan bacaan kesukaannya di smartphone.
Selain itu, anak kedua saya memiliki hobi atau kemampuan bermain slime. Dia bisa membuat video dan dibagikan kepada teman-temannya melalui media sosial. Aksinya itu, rupanya mendapatkan respons dari teman-temannya dan akhirnya membeli.
Sementara, anak pertama lebih suka menonton film Korea, yang kecil lebih banyak main game. Mudah ditebak, ketika hobi nonton dan bermain game maka unsur belajarnya menjadi jauh lebih sedikit.
Dari tiga anak yang berbeda hobi dan kebiasannya, seperti anak yang sering mendengar musik dan non film akan memiliki kecenderungan ada peminatan terhadap bahasa. Yang ketiga ada kecerdasan kinestetik atau lebih spesifik memiliki kreativitas pada menu ternetu. Dia punya bakat entrepreneurship, dan telepon genggam yang dia gunakan berpotensi menghasilkan uang.
Dari ketiga anak saya tersebut dan mungkin juga dialami orang tua lain. Tentu tidak sama dalam memberikan treatment. Semuanya bergantung pada karakteristik dan kebiasaan anak. Misalnya, anak yang kecenderungan banyak menggunakan telepon genggam untuk kepentingan bersenang-senang maka bisa dialihkan ke kegiatan fisik, seperti bermain sepeda.
Oleh karena itu, kita semua sebagai orang tua perlu tetap mengontrol dan mengarahkan anak-anak kita, agar dalam menggunakan smartphone lebih terarah dan digunakan untuk hal-hal positif. Kita sebagai orang tua, jangan berhenti memotivasi anak untuk hal-hal yang positif.
Tinggalkan Balasan