PERSETERUAN antara Wahidin Halim (WH) dengan buruh semakin hari semakin panas. Perseteruan yang bermula dari pernyataan Gubernur Banten terkait ganti buruh yang tidak terima besaran upah yang telah ditetapkan itu, dianggap tidak menjadi pelajaran agar WH bisa menjaga setiap ucapannya.
Hal itu dikarenakan pasca-insiden pembajakan ruang kerja Gubernur Banten, WH malah mengeluarkan pernyataan yang dinilai bernada mengancam kepada buruh, dengan mengaku akan melaporkan kejadian itu kepada Presiden dan pihak Kepolisian. Selain itu, WH juga dianggap reaksioner dengan melaporkan pembajakan ruang kerjanya, dengan dalih tindakan anarkis dan merusak fasilitas negara.
Sikap WH yang dianggap mengancam sekaligus melaporkan buruh pun disayangkan oleh berbagai pihak. Atas serangkaian peristiwa yang terjadi, seharusnya WH dapat mengintrospeksi diri mengapa di akhir masa jabatannya, terjadi berbagai permasalahan.
Seperti yang disampaikan oleh disampaikan oleh Wakil Koordinator TRUTH, Jupry Nugroho. Menurutnya, serangkaian peristiwa yang terjadi di akhir masa jabatan Wahidin merupakan bentuk gagalnya WH dalam melakukan komunikasi publik.
“Wahidin Halim tidak mencerminkan diri sebagai sosok pejabat publik yang patut dicontoh, kenapa? Karena gagal menyerap apa yang menjadi keresahan di masyarakatnya terutama, para buruh. Justru diperkeruh dengan pernyataan yang tidak humanis dan santun, justru seolah terlalu berpihak terhadap para pengusaha,” ujarnya, Minggu (26/12).
Ia mengatakan, apa yang dilakukan oleh para buruh di ruang kerja Wahidin, merupakan efek domino atas pernyataan Gubernur Banten kepada para buruh. Jupry mengatakan, alih-alih mengajak buruh berkomunikasi, WH malah melempar pernyataan yang melukai hati masyarakat.
“Puncak dari gagalnya Gubernur Banten dalam berkomunikasi dengan sejumlah serikat buruh, yaitu pada saat didudukinya ruang kerja Gubernur. Seharusnya komunikasi yang baik dapat dilakukan oleh Gubernur Banten, dengan menemui sejumlah serikat buruh yang melakukan unjuk rasa,” katanya.
Jikapun tidak dapat menemui, ia menuturkan bahwa seharusnya minimal terdapat pejabat yang diperintahkan untuk menyerap asprasi para buruh, bukan malah mengosongkan kantor sehingga para buruh hanya berhadapan dengan ruang kosong.
“Semua sepakat jika ada tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh para buruh terkait didudukinya ruang kerja Gubernur, harus diselesaikan secara hukum. Namun apakah ada upaya sebelumnya dari Pemprov Banten terkait aksi unjuk rasa tersebut,” terangnya.
Sehingga, Jupry menilai bahwa Wahidin terlalu bawa perasaan atau Baper terhadap para buruh, dengan melaporkan buruh yang menerobos dan menduduki ruang kerjanya kepada Kemendagri dan Presiden. Padahal seharusnya, Wahidin membuka jalur komunikasi dengan para buruh, bukan malah melaporkan.
“Banyak praktik baik yang dapat diduplikasi dari Gubernur lainnya. Jikapun tidak dapat merevisi besaran UMP, setidaknya perbaiki komunikasi dengan buruh agar lebih humanis. Bukan justru seolah congkak di menara gading, melontarkan pernyataan yang menyakiti, namun menutup jalur dialog. Seolah ada sekat dan tidak berpihak kepada masyarakat kecil terutama buruh,” tegasnya.
Senada disampaikan oleh perwakilan Komite Persatuan Pemuda Mahasiswa Banten, Wahid. Menurut Wahid, gelombang unjuk rasa yang dilakukan oleh buruh merupakan imbas dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Wahidin Halim yang menurut pihaknya brutal dan serampangan.
“Kemarahan kaum buruh tersebut justru direspon oleh Gubernur Banten dengan melaporkan kaum buruh ke Polda Banten dengan tuduhan berlapis yaitu dugaan perusakan, penghinaan lambang negara, dan UU ITE. Langkah tersebut justru semakin menunjukan watak asli dari Gubernur Banten Wahidin Halim yang anti demokrasi dan anti terhadap kepentingan rakyat,” ujarnya.
Ia menuturkan bahwa perjuangan buruh Banten dalam menuntut kenaikan upah secara layak, justru terus direspon dengan berbagai provokasi dan tindak-tanduk yang dinilai brutal oleh Gubernur Banten dan pihak yang berada di sekelilingnya.
Maka dari itu, secara tegas pihaknya pun mengecam sikap yang ditunjukkan oleh Wahidin Halim terhadap gerakan yang dilakukan oleh para buruh.
“Mengecam dan menuntut permohonan maaf dari Gubernur Banten, Wahidin Halim, kepada kaum buruh dan rakyat di Banten atas tindakan arogan, brutal, anti demokrasi dan anti kepentingan Rakyat yang dilakukannya,” tegas Wahid.
Sementara, sejumlah mahasiswa yang mengklaim diri sebagai Badan Eksekutif Mahasiswa Nusantara (BEMNus) Banten, membela Gubernur Banten atas tindakan pembajakan ruang kerja yang dilakukan oleh massa aksi buruh. BEMNus menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh para buruh telah merusak marwah Pemprov Banten dan Gubernur, dengan menduduki dan membajak ruang kerja orang nomor satu di Banten itu. Bahkan, BEMNus mendesak agar para buruh yang membajak ruang kerja Gubernur, agar segera ditangkap.
Sikap dari BEMNus pun menuai berbagai kecaman dari kalangan mahasiswa. Pernyataan sikap BEMNus dituding telah mencederai marwah gerakan mahasiswa, dengan sengaja bermain mata dengan pemerintah di tengah riuh perjuangan buruh.
Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jendral (Sekjend) Serikat Mahasiswa Sosialis Demokratik (SWOT) Cabang Serang, Juni Akbar Alfirman. Ia mengatakan bahwa BEMNus lebih memilih untuk membela Wahidin Halim, ketimbang membela buruh.
“Klaim perwakilan mahasiswa tapi kok melindungi marwah penguasa yang jelas-jelas sudah menghina kaum buruh, yang sampai saat ini (buruh) sudah menjadi motor pergerakan,” ujarnya dalam rilis yang diterima, Sabtu (25/12).
Firman mengaku aneh dengan sikap yang disampaikan oleh BEMNus, yang mengatakan bahwa aksi buruh pada Rabu lalu telah menghilangkan marwah Pemprov, khususnya Gubernur Banten. Padahal menurutnya, Gubernur Banten sendiri yang menghilangkan marwah Pemprov, dengan melecehkan buruh.
“Gak nampak batang hidungnya ketika Gubernur mengeluarkan statement yang jelas-jelas melukai hati buruh, eh malah pas nongol ada di ketek penguasa. Ini yang malah menghina marwah pergerakan, yang seharusnya mereka ikut berjibaku dengan buruh menuntut keadilan,” tegasnya.
Menurut Firman, apa yang dilakukan oleh para buruh dengan masuk ke dalam ruang kerja Gubernur, merupakan bentuk akumulasi kekecewaan rakyat pada pemimpinnya.
“Lah itu kan bentuk responitas buruh, mereka kecewa kepada pemimpinnya. Mereka sudah aksi berjilid-jilid untuk meminta menaikan upah, eh Gubernur malah keluarkan pernyataan yang melukai hati buruh,” tuturnya.
Firman juga mengakui bahwa tindakan beberapa oknum buruh tidak dapat dibenarkan, namun hal itu sudah menjadi konsekuensi pejabat daerah yang tak berani tampil di depan masyarakat saat ada masalah.
“Memang kurang tepat, tapi itu udah konsekuensi Gubernur toh. Wong dia gak berani unjuk gigi di depan para buruh. Jika dibilang sibuk toh mereka sudah melakukan aksi terus-terusan kok, kenapa gak ditemuin?” ucapnya.
Mantan Ketua Bidang Advokasi SWOT UIN SMH Banten ini pun menyerukan agar seluruh gerakan mahasiswa, melakukan pemboikotan terhadap BEMNus. “Boikot aja udah,” tegasnya.
Senada disampaikan oleh Ketua Umum Pusat Gerakan Mahasiswa Kabupaten Tangerang (GEMAKATA), Muhamad Halabi. Ia pun mengaku akan turut ikut serta dalam memboikot BEM Nusantara Perwakilan Banten.
Halabi juga mengatakan bahwa sikap acuh yang ditunjukkan oleh WH dan Andika Hazrumy merupakan tindakan pengecut. Sebab ia menilai, WH dan Andika tak berani muncul dihadapan para buruh dan mempertanggung jawabkan omongannya. “WH-Andika pengecut, kata yang cocok dinobatkan pada gubernur Banten dan wakilnya,” ujar Halabi.
Menurutnya, WH-Andika tidak mencerminkan sosok pemimpin yang bertanggung jawab, sebab tak mampu menjawab persoalan-persoalan buruh, namun malah menghilang dan terkesan memiliki kesalahan.
“Sangat tidak mencerminkan pemimpin yang bertanggung jawab, seharusnya apapun yang menjadi masalah di Banten harus dihadapi, ajak duduk bersama. Bukan malah ngumpet dan terkesan punya salah,” ungkapnya.
Formatur Ketua HMI MPO Komisariat Unbaja, Rifqi Fatahillah, menilai sikap dari BEMNus lebay dan menyakiti hari buruh yang sedang memperjuangkan hak mereka. Alih-alih memberikan kajian strategis untuk menyelesaikan problematika yang ada, BEMNus malah memperkeruh suasana dengan mendesak penangkapan buruh.
“Ribuan buruh hanya memperjuangkan haknya untuk kesejahteraan kaum buruh, bukan untuk memperkaya dirinya sendiri. Kaum buruh hanya meminta kenaikan UMP untuk tahun 2022 yang dirasa layak mereka dapatkan sebagai kaum buruh,” ujar Rifqi Fatahillah.
Menurutnya sikap BEMNus Banten dinilai tergesa-gesa, bahkan cenderung reaksioner karena ada pesanan. Sebab, berbagai kampus yang berada di bawah naungan BEMNus Banten sama sekali tidak tahu terkait dengan sikap tersebut. Sehingga, tidak aneh jika pihaknya menilai ada main mata antara Koordinator Daerah (Korda) BEMNus Banten dengan pemerintah.
“Artinya sikap yang dilakukan oleh Korda BEMNus Banten sangat tidak relevan. Lalu ada apakah sebenarnya hubungan Korda BEMNus Banten dengan pemerintah Provinsi Banten hari ini?,” kata Rifqi Fatahillah.
Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Lebak (IMALA), Nukman Faluty, mengaku prihatin dengan sikap yang ditunjukkan oleh BEMNus Banten. Bahkan, tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan bodoh yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa.
“Saya kira tindakan BEMNus Banten yang juga mahasiswa adalah tindakan yang sangat bodoh. Mahasiswa kok bersikap melindungi kekuasaan, tidak berpihak pada rakyat. Mahasiswa kok bodoh,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa seharusnya mahasiswa memposisikan diri berada di barisan rakyat, bukan di barisan penguasa. Namun yang ditunjukkan oleh BEMNus justru melindungi kekuasaan dengan mendesak penangkapan buruh.
“Gubernur pun harus dewasa, respon kritik buruh dengan kondisi yang disampaikan kepada publik jangan memperkeruh suasana. Apalagi dengan melaporkan buruh dan buat pernyataan yang buat sakit hati buruh,” tandasnya.(DZH/ENK)