SERANG, BANPOS – Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH) dituding telah bertindak arogan sehingga mengakibatkan buruh melakukan aksi berjilid-jilid yang berujung jebolnya Kantor Gubernur Banten. Buntut dari kejadian itu, salah seorang pejabat menjadi ‘tumbal’ dengan dicopot dari jabatannya. Pencopotan ini juga menuai reaksi, dikarenakan sebagaimana diketahui, masa jabatan WH-Andhika kurang dari 6 bulan lagi.
Wakil Ketua Umum PP Himpunan Mahasiswa Serang (Hamas), Dzikri Wahyudin, mengatakan bahwa terjadinya insiden ribuan buruh yang kembali berunjuk rasa, bahkan membajak kantor Gubernur Banten merupakan imbas dari arogansi Wahidin Halim itu sendiri.
Sebab, Wahidin sempat melontarkan kalimat lebih baik mengganti buruh yang tidak menerima besaran kenaikan upah, yang akhirnya menyakiti hati para buruh se-Banten, bahkan se-Indonesia.
“Bagi saya ini adalah pemicu kemarahan besar dari pihak buruh karena memang respon dari Gubernur yang sangat arogan dan tidak dapat diterima dengan baik oleh pihak buruh, harusnya Gubernur dan Wakil Gubernur terbuka terhadap buruh, menggunakan pendekatan persuasif,” tegasnya.
Apalagi dengan insiden dibajaknya ruang kerja Gubernur Banten, yang membuktikan bahwa buruh sudah sangat marah dengan Wahidin Halim.
“Ini merupakan bentuk kemarahan besar dari massa buruh yang saat ini tuntutannya belum terjawab oleh pihak pemprov,” terangnya.
Ia pun mengatakan bahwa keputusan WH untuk mencopot Kepala Satpol PP sebagai tindakan yang arogan. Dzikri menegaskan bahwa seharusnya setelah terjadi insiden pembajakan ruang kerja Gubernur, yang pertama kali dilakukan ialah membuka dialog dengan elemen buruh.
“Namun ini yang terjadi adalah pencopotan Kepala Satpol PP. Pemimpin yang baik seharusnya tidak tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan, itu tidak baik. Tapi dengan dicopotnya Kepala Satpol PP pasca-insiden, ini menggambarkan bagaimana kalang kabutnya WH sehingga bertindak arogan. Harusnya kebijakan pertama itu temui buruh,” tegasnya.
Aksi buruh yang berhasil masuk ke ruang kerja gubernur di KP3B Curug Kota Serang pada Rabu Sore lalu berdampak dengan pemecatan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasatpol PP) Banten, Agus Supriyadi dari jabatanya terhitung dari hari Kamis, 23 Desember 2021 (kemarin) berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 821.2/Kep.221/BKD yang beredar.
Sanksi yang diterima Agus ini dituding karena ada indikasi, Satpol PP tidak berfungsi dalam menjaga ketentraman dan ketertiban di lingkungan KP3B, khususnya pada saat ada aksi buruh yang merangsek hingga ke ruang kerja gubernur.
Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Banten, Komarudin saat dikonfirmasi wartawan membenarkan bahwa ada sanksi yang diberikan terhadap Kasatpol PP Banten.
“Betul, dibebastugaskan sampai terbit SK tetapnya,” ujarnya saat dikonfirmasi wartawan, pada Kamis 23 Desember 2021.
Menurutnya, keputusan pembebastugasan sementara itu dilakukan hingga tim yang ditugaskan oleh Gubernur Banten, selesai melakukan pemeriksaan terhadap Agus.
Tim tersebut menurut Komarudin, akan mengulik apakah terdapat unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Kepala Satpol PP Provinsi Banten, dalam peristiwa penerobosan massa aksi hingga ke ruang Gubernur Banten itu.
“Kalau memang nanti terbukti, nanti akan keluar keputusan tetap. Nah keputusan tetapnya itu menunggu dari hasil pemeriksaan dari tim lah,” ungkapnya.
Selama masa pemeriksaan itu, jabatan Kepala Satpol PP Provinsi Banten akan dijabat sementara oleh Pelaksana Harian (Plh), yang dijabat oleh Sekretaris Satpol PP Provinsi Banten.
“Ditunjuk Plh, nanti dijabat oleh Plh sampai keluar keputusan tetap. Saat ini jabatan Plh Kepala Satpol PP Provinsi Banten dijabat oleh Sekretaris,” jelasnya.
Ketika ditanyakan, apakah kebijakan tersebut melanggar ketentuan pasal 71 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang menegaskan, Kepala Daerah dilarang untuk mengganti pejabat, enam bulan sebelum akhir masa jabatan. Menurutnya, memang benar seharusnya tidak terjadi pergantian pejabat di Provinsi Banten saat ini, mengingat sudah memasuki masa tenang.
Namun ia berkilah, pembebastugasan Agus merupakan hal yang berbeda. Sebab, Agus dicopot karena sanksi disiplin, bukan dalam rangka promosi dan mutasi. “Ini kan penjatuhan hukuman disiplin. Jadi tidak terkait dengan aturan itu,” jelasnya.
Terpisah, Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) menyampaikan, tidak terima dengan tingkah buruh dan bakal menyerahkan kepada polisi untuk mengusut kasus ini. Dia juga telah mengadu kepada Presiden Jokowi.
“Saya sudah membuat konsep, perlu saya laporkan perkembangan ini kepada presiden, menteri tenaga kerja, menteri dalam negeri, departemen dan lembaga terkait, kapolri,” ujar WH saat jumpa pers di rumahnya, Jalan H Jiran, Kecamatan Pinang, Kota Tangerang, Kamis, (23/12).
Tak sampai disana, Satpol PP Provinsi Banten pun juga menjadi sasaran amarah WH. Mantan Walikota Tangerang ini mencopot jabatan kepala Satpol PP Provinsi Banten, Agus Supriyadi.
“Kita berhentikan sementara (kepala Satpol PP Provinsi Banten, Agus Supriyadi) sambil kita periksa,” katanya.
Menurut WH, jajaran Satpol PP gagal dalam mengamankan kantornya. Pasalnya, dalam video yang dia dapat, WH tak melihat satupun petugas Satpol PP berada di kantor saat buruh masuk. Hal ini dinilainya berbeda saat menjabat sebagai Walikota Tangerang dahulu.
“Tapi kan trantib (Satpol PP) nggak ada kalau lihat foto di situ. iya kan. ini jadi pertanyaan kita. kita periksa sekarang mereka kalau internal kita. kenapa nggak ada yang menghalangi. semua masyarakat mengecam itu. tidak boleh masuk seperti itu,” tegas WH.
Unjuk rasa buruh, kata WH, wajar sebagai bentuk kebebasan berpendapat. Namun, menjadi tidak wajar ketika para buruh melakukan tindakan-tindakan anarkis. Menurut WH, selain mendobrak masuk dan mengacak-acak kantor, puruh juga sempat mencekik stafnya.
“Demo buruh itu menurut saya wajar demokrasi. Tapi ketika masuk ke ruang saya lalu dia mencekik staf saya. ada saksinya sekarang di sini. mencekik sebelum bukain pintu. pintunya dibongkar masuk lalu,” kata WH.
Menurut WH aksi yang dilakukan buruh tersebut sudah kelewat batas. Tumbangnya pertahanan aparat gabungan dalam pengamanan demo buruh ini pun WH tak dapat mengambil kesimpulan.
Akademisi Untirta, Gandung Ismanto, mengatakan bahwa memang secara aturan, pencopotan pejabat negara boleh dilakukan meskipun memasuki ‘masa tenang’ menjelang habis masa jabatan Kepala Daerah. Namun dengan catatan, pencopotan harus memenuhi syarat perundang-undangan.
“Pencopotan memang tidak menjadi soal sepanjang memenuhi syarat perundang-undangan. Misalnya pejabat yang bersangkutan melakukan pelanggaran disiplin, tidak lagi memenuhi syarat jabatan, mengundurkan diri, pensiun dan lain-lain,” ujarnya melalui pesan WhatsApp.
Akan tetapi, Gandung juga menegaskan bahwa seharusnya Pemprov Banten, khususnya Gubernur, memaknai bahwa pencopotan pejabat merupakan satu paket dengan pengangkatan pejabat. Hal itu menurutnya merupakan konsekuensi yang nyata.
“Bila pengangkatan seorang pejabat membutuhkan waktu yang lebih lama, biaya yang lebih mahal dan proses yang lebih lama dan sebagainya, yang kemudian mengganggu kinerja kelembagaan perangkat daerah terkait, maka mempertahankan seorang pejabat tentu menjadi opsi paling rasional daripada mencopotnya,” tegas Gandung.
Ketergesa-gesaan dalam pengambilan keputusan dinilai mampu membuat kebijakan yang dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Maka dari itu, jika memang pencopotan tersebut dinilai menabrak aturan, pengajuan gugatan melalui PTUN menurutnya sangat terbuka lebar.
“Karenanya bila ada proses yang dianggap tidak patut dan tidak layak dilakukan terkait pencopotan jabatan ini, maka disediakan ruang untuk melakukan pengujian terhadap keabsahannya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara,” tandasnya.
Wakil Ketua DPRD Banten Budi Prajogo memahami rasa kekecewaan buruh yang akhirnya melakukan tindakan tidak layak dengan duduk dan bercanda di meja kerja gubernur.
“Seharusnya memang diterima (audiensi) ketika ada keinginan dari temen-temen buruh yang ingin bertemu dengan gubernur membicarakan mengenai UMP dan UMK 2022, sebaiknya ditemui,” katanya.
Dengan pertemuan tersebut lanjut Budi yang merupakan politisi PKS ini, dapat meredam kemarahan buruh. “Walau bagaimanapun, ibaratnya teman-teman buruh ini kan seperti anak-anak, sedangkan gubernur adalah bapaknya. Kalau ada yang ingin audiensi, terima saja, supaya tidak menggumpal (rasa kecewa dan marah, red),” kata Budi.
Sementara Agus saat ditemui di kantor Satpol PP Banten tidak ada di tempat, begitupun saat dihubungi melalui telepon genggamnya tidak aktif.
Menurut salah seorang pegawai setempat yang enggan disebutkan namanya, Agus datang ke.kantor pagi. Namun setelah itu tidak datang lagi.
“Pak Agus saya lihat tadi pagi ada, setelah satu jam keluar lagi dengan membawa tas,” katanya.
Menurutnya, pasca aksi buruh menuntut revisi UMK dan berhasil masuk ruang kerjanya, suasana kantor Satpol PP menjadi panas.
“Sejak semalam (Rabu malam), semua pada tegang. Saya sendiri nggak paham kenapa sampai pengamanan di pendopo bisa lepas. Tapi yang pasti. Kita disini jadi korban,” ujarnya.(DZH/RUS/PBN)