Pemerintah mengisyaratkan akan menaikkan tarif listrik, BBM, dan gas LPG 3 kilogram dalam waktu dekat ini. Alasannya, karena harga minyak mentah dunia yang terus melonjak karena perang Rusia-Ukraina. Pemerintah mengaku tak punya pilihan lain, karena kalau tidak dinaikkan, Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) bisa jebol. Jadi, mau nggak mau harganya harus naik.
Rencana kenaikan tarif listrik, BBM, dan LPG 3 kg itu, disampaikan Menteri ESDM, Arifin Tasrif dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, di Jakarta, kemarin.
Dalam rapat itu, Arifin menceritakan, kenaikan harga Pertamax membuat konsumsi BBM jenis Pertalite naik tajam.
Kenaikan tersebut diperkirakan karena mulai bergeliatnya ekonomi. Saking tingginya penggunaan Pertalite, konsumsi Pertalite Januari-Maret 2022 sudah over kuota. Untuk solar bersubsidi melampaui kuota sebesar 9,49 persen dan Pertalite telah over kuota sebesar 14 persen.
Kata dia, kondisi ini tak bisa dibiarkan. Harus dilakukan antisipasi. Apalagi di tengah harga minyak dunia yang terus melonjak. Ia lalu menyampaikan 3 strategi menghadapi persoalan ini. Untuk jangka pendek, ia minta penambahan kuota BBM subsidi seperti solar, minyak tanah, dan BBM khusus penugasan seperti Pertalite.
Strategi lain adalah menyesuaikan harga BBM nonsubsidi dengan tingkat keekonomian. Dengan demikian, jika harga minyak mentah dunia naik, maka otomatis harga BBM nonsubsidi dan Pertalite juga ikut meningkat.
“Strategi jangka pendek kami mengusulkan perubahan kuota BBM dan penyesuaian harga BBM nonsubsidi,” kata Arifin.
Selain itu, dalam jangka pendek pemerintah juga akan menjaga ketersediaan pasokan dan distribusi BBM, khususnya pada periode Ramadan dan Idul Fitri, serta meningkatkan pengawasan dan penindakan penyalahgunaan BBM, serta memaksimalkan fungsi digitalisasi SPBU.
Kenapa BBM naik? Kata Arifin, perang Rusia-Ukraina menyebabkan melonjaknya harga minyak mentah dunia. Hal ini mempengaruhi harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia Crude Price (ICP).
Tercatat, rata-rata ICP sebesar 98,4 per dolar AS barel pada Maret 2022. Angka itu jauh di atas target yang ditetapkan dalam APBN yang hanya 63 dolar AS per barel.
Bukan hanya harga minyak saja yang meroket. Harga gas untuk LPG yang ditetapkan memakai CP Aramco mengalami kenaikan menjadi 839,6 dolar AS per metrik ton. Nilai itu jauh di atas asumsi awal yang hanya mencapai 569 dolar AS per metrik ton.
Untuk menjaga ketersediaan LPG dan mengurangi impor, dalam jangka pendek, pemerintah akan meningkatkan pengawasan pendistribusian LPG 3 kg tepat sasaran, dan melakukan uji coba penjualan dengan aplikasi.
Untuk jangka menengah, pemerintah akan melakukan substitusi kompor LPG dengan kompor induksi (listrik), jaringan gas kota (jargas) yang diharapkan mencapai 1 juta rumah tangga per tahun. Kemudian, mengubah skema subsidi yang kini berbasis pada komoditas menjadi subsidi langsung ke penerima.
“Selain itu, penyesuaian harga jual eceran untuk mengurangi tekanan APBN dan menjaga inflasi, serta percepatan program biogas,” ucapnya.
Terakhir, soal tarif listrik. Arifin mengatakan, akan menerapkan kembali tarif adjustment pada tahun ini. Tarif adjustment listrik adalah istilah manaikkan tarif listrik mengikuti perubahan empat parameter. Yaitu ekonomi makro rata-rata per 3 bulan, realisasi kurs rupiah. Indonesian Crude Price (ICP) atau harga batu bara acuan, dan tingkat inflasi.
Dengan tarif yang sudah disesuaikan itu, pemerintah akan menghemat kompensasi listrik sebesar Rp 7-Rp 16 triliun. Dengan kata lain, jika tarif listrik tak naik, subsidi atau kompensasi yang ditanggung pemerintah bertambah angka Rp 7-Rp 16 triliun.
Rencana pemerintah menaikkan BBM nonsubsidi ini ditentang oleh Organisasi Angkutan Darat (Organda). Sekjen Organda, Ateng Aryono mengatakan, kenaikan harga Solar dan Pertalite akan menyebabkan ongkos transportasi ikutan naik.
“Kalau ongkos naik, semua ikutan naik,” kata Ateng, kemarin.
Ia berharap, pemerintah memikirkan ulang rencana tersebut. Kata dia, kondisi ekonomi rakyat saat ini sedang tertekan dengan berbagai kenaikan harga. Kalau BBM naik, ujung-ujungnya harga sembako tambah meroket.
Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan harga BBM dan LPG 3 kg berisiko menekan kelompok masyarakat kelas bawah. Kata dia, kalau Pertalite dan LPG naik inflasi akan naik hingga 5 persen. Kalau sudah begini, daya beli masyarakat akan langsung anjlok.
“Pada akhirnya masyarakat akan mengurangi konsumsi barang lain seperti menunda pembelian barang elektronik, otomotif, pakaian jadi dan kebutuhan lain,” kata Bhima, kemarin.
Ketua Pusat Studi Ekonomi Politik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menilai, pemerintah sebenarnya masih punya pilihan lain selain menaikkan harga BBM, listrik, dan LPG 3 Kg.
Kata dia, konflik Rusia-Ukraina menyebabkan harga batu bara dan minyak sawit ikut melonjak sepanjang 2022. Hal itu membuat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari ekspor kedua komoditas meningkat tajam, sehingga terjadi windfall.
Dia memperkirakan, windfall PNBP dari kedua komoditas tersebut mencapai Rp 144-Rp 200 triliun pada tahun ini. Menurut dia, pendapatan tersebut cukup untuk mempertahankan harga Pertalite dan Solar di level saat ini, yaitu Rp 7.650 dan Rp 5.150. Bahkan, dana sebesar itu cukup untuk menjaga harga LPG 3 Kg dan tarif listrik.
Dengan ruang fiskal di APBN yang cukup dapat menahan kenaikan tarif listrik, BBM, dan LPG 3 Kg. Kondisinya akan berbeda jika PNBP diprioritaskan untuk pembayaran utang.
“Bila hal tersebut ditempuh, artinya pemerintah salah prioritas, bukannya rakyat menikmati windfall profit dari kekayaan negerinya, malah yang menikmati negara debitur,” kata Achmad, kemarin. [BCG]