Kandidat dari kelompok oposisi, Yoon Suk-yeol, menang dalam pemilihan Presiden Korea Selatan (Korsel).
Hasil resmi menunjukkan, Yoon menggeser Lee Jae-myung, kandidat dari Partai Demokrat yang beraliran kiri-tengah.
Kemenangannya menimbulkan optimisme baru di tengah ketidakpuasan atas kebijakan ekonomi, skandal, hingga gender.
Kemenangannya juga menandai perubahan haluan ke partai konservatif utama, Partai Kekuatan Rakyat, yang berhasil menghimpun lagi dukungan mereka sejak 2017, setelah pemakzulan dan penggulingan Presiden Park Geun-hye.
Yoon merupakan mantan Jaksa Agung yang terlibat dalam kasus Park. Dia lalu berselisih dengan Presiden Korsel saat ini, Moon Jae-in.
Yoon makin tenar setelah dia ditunjuk Moon untuk menyelidiki orang-orang yang terlibat dalam kasus Park.
“Orang-orang menempatkan saya di sini dengan harapan, saya tidak menyerah pada kekuatan apapun untuk keadilan selama 26 tahun,” kata Yoon, dalam pidatonya, dilansir Reuters, kemarin.
Dalam kampanyenya, Yoon berjanji membasmi korupsi, menegakkan hukum tanpa pandang bulu, dan menciptakan lapangan kerja serta mencipkatan ekonomi yang lebih setara. Tak lupa, dia juga menyinggung hubungan dengan China, sembari bersikap lebih tegas ke tetangga serumpun mereka Korea Utara (Korut).
Setelah resmi dilantik nantinya, Yoon akan langsung dihadapkan pada beberapa tantangan besar. Pertama, menyatukan lagi 52 juta warga Korsel yang terbelah. Baik akibat masalah gender, meningkatnya kesenjangan, dan melonjaknya harga rumah.
“Harga rumah, kebijakan perumahan, pekerjaan, dan kebijakan pajak akan menjadi agenda domestiknya,” kata pengamat politik dari Center for a New American Security Duyeon Kim.
Dia menganalisa, Yoon perlu memulihkan kepercayaan publik pada lembaga-lembaga di Korsel. Yoon kemungkinan akan melakukan pembersihan besar-besaran di Pemerintahannya.
“Untuk menindaklanjuti janji kampanye menyelidiki korupsi di Pemerintahan Moon,” ujar Kim.
Kurangnya pengalaman politik Yoon, dipandang sebagai suatu aset. Selama masa kampanyenya, ditandai dengan sejumlah kesalahan dan kontroversi.
Yoon menyatakan, dia akan bekerja dengan partai-partai oposisi untuk mendinginkan suhu politik yang telanjur terpolarisasi. Dia juga mendorong persatuan.
Dalam pidato kemenangannya, Yoon mengatakan, persaingan sudah berakhir. Tak lupa, dia juga berterima kasih pada pesaingnya.
“Kita harus bergandengan tangan dan bersatu, menjadi satu untuk rakyat dan negara,” ujar Yoon.
Sementara kekalahan Lee menimbulkan keraguan pada warisan Moon. Termasuk upayanya untuk terlibat lebih jauh dengan Korut.
Seperti diketahui, upaya pendekatan yang dilakukan Korsel terhenti sejak pembicaraan gagal pada 2019.
Sementara Presiden yang baru, kemungkinan akan menghadapi krisis, karena Pyongyang sedang bersiap meluncurkan satelit mata-mata. Korut juga telah mengeluarkan kebijakan untuk melanjutkan pengujian rudal balistik antarbenua dan senjata nuklir untuk pertama kalinya sejak 2017.
Yoon juga berjanji, menjalin hubungan lebih erat dengan Amerika Serikat (AS), satu-satunya sekutu Korsel dalam menghadapi peningkatan aktivitas rudal Korut dan persaingan dengan China. Padahal di saat yang sama, China merupakan mitra dagang terbesar Negeri Ginseng.
Kemenangan Yoon langsung disambut baik AS. Gedung Putih pun mengirimkan ucapan selamat, sembari menyampaikan pesan Presiden AS Joe Biden, untuk dapat bekerja sama meningkatkan aliansi.
“Kita dapat mengharapkan aliansi berjalan lebih lancar dan selaras untuk sebagian besar masalah Korut, China, dan regional dan global,” tegas kim.
Respons senada disampaikan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida. Dalam pesannya, Kishida berharap bisa bekerja sama dengannya, membangun kembali hubungan yang lebih sehat.
Apalagi, kedua negara kerap terlibat ketegangan atas apa yang terjadi di masa lalu. Mulai masalah ekonomi, hingga pendudukan Jepang pada 1910-1945 di Korea.
Sebagai informasi, lebih dari 77 persen dari 44 juta pemilih yang memenuhi syarat di Korsel memberikan suaranya mereka, meski penularan Covid-19 terus mengalami lonjakan, dengan kasus harian yang terus meningkat. [PYB]