Oleh : Dr. Ali Muhtarom
Dosen UIN SMH Banten
Tidak ada seorang pun membantah bahwa keanekaragaman agama dan keragaman umat beragama di Indonesia merupakan fakta sosial, artinya setiap orang menyadari dan mengakui bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beranekaragam agama beserta umat beragamanya.
Meskipun demikian, bukan berarti bangsa dan negara Indonesia yang merupakan gabungan dari ribuan kepulauan di Nusantara ini tidak memiliki permasalahan atau persoalan sosial masyarakat di bidang keragaman agama.
Persoalan pertama muncul dari ajaran keagamaan yang bersifat jastifikasi kebenaran tunggal atau hanya ajaran agama tertentu yang paling benar. Persoalan kedua adalah bahwa setiap agama memiliki visi-misi untuk memperbanyak umat dan mempertahankan umatnya. Setiap agama hampir mengajarkan kepada umatnya atau pemeluknya tentang doktrin keagamaannya.
Dari perspektif atau kacamata ideologi keagamaan tersebut tentu sangat bisa dipahami, karena salah satu cara efektif setiap agama untuk mempertahankan umatnya adalah dengan cara menanamkan keyakinan dan ideologinya kepada pemeluknya melalui jastifikasi kebenaran ajrannya.
Jastifikasi dan doktrin kebenaran tunggal inilah yang kemudian menjadi amunisi ampuh setiap pemeluk agama melabuhi sifat baik manusia untuk mengajak manusia lain ke jalan yang baik dan benar.
Secara fitrah dan naluriahnya, setiap manusia menghendaki untuk selalu berbuat baik kepada sesama manusia dan alam semesta lainnya. Sehingga, wajar apabila setiap orang dengan sekuat tenaga akan mengajak orang lain untuk berbuat baik dan berprilaku seperti apa yang diyakininya.
Meskipun ada sebagian orang yang dikuasai oleh kepentingan pribadinya, seperti mengajak orang lain berbuat baik agar diri pribadinya dapat imbalan atau keuntungan, baik imbalan yang bersifat duniawi maupun iming-iming kebaikan di akhirat.
Namun demikian, kedua ajaran keagamaan sebagai mana disinggung di atas tersebut berpotensi membahayakan dalam konteks keragaman beragama. Hal tersebut karena setiap agama akan melakukan kontestasi dan menghalalkan segala cara untuk menyebarkan ajaran keagamaan yang dianggap paling benar di satu sisi. Kemudian di sisi lain juga akan mengajak umat agama lain untuk memeluk kebenaran agama yang diyakininya.
Pada dasarnya, kontestasi setiap agama dalam memperbanyak umat beragamanya tidak akan menjadi persoalan atau masalah sepanjang masih dalam koredor kesepakatan atau konsensus bersama semua agama yang ada. Hanya saja, masalah akan timbul jika semua agama mempertahankan egoisme ideologi kebenaran tunggal yang mereka yakini, lebih berbahaya lagi jika setiap agama mempertahankan egoisme ideologinya itu dengan refresif atau menghalalkan segala cara, termasuk cara-cara kekerasan, mengeluarkan darah orang, hingga menghilangkan nyawa orang lain (pembunuhan).
Semua umat beragama sangat menyadari bahwa setiap agama yang dipeluk dan ajaran keagamaan yang diimani mengajarkan tentang nilai-nilai humanitas atau kemanusiaan. Ajaran humanitas keagamaan ini hakekatnya tidak pernah memandang suku, golongan, kelompok, ras, warna kulit, dan lain sebagainya. Artinya, setiap agama mengajarkan semua umatnya untuk berbuat baik atas dasar nilai-nilai universal kemanusiaan, berbuat baik tidak mengenal suku, golongan, kelompok, ras, warna kulit, kebangsaan, dan lain sebagainya.
Selain nilai kemanusiaan yang diajarkan atau ditanamkan oleh agama terhadap semua pemeluknya, agama juga mengajarkan tentang persatuan atau persaudaraan. Misalnya Islam mengajarkan pemeluknya untuk selalu menjaga hubungan persatuan dan persaudaraan, baik persaudaraan antar Muslim (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan sebagai sesama manusia (ukhuwa basyariyah), maupun persaudaraan sebagai warga bangsa (ukhuwah wathaniyah). Ajaran-ajaran fundamental agama menekankan pada upaya menjaga solidaritas dan soliditas antar sesama iman dan antar sesama manusia, meskipun berbeda agama dan keyakinan.
Pada saat yang sama, agama-agama selain Islam juga mengajarkan umatnya tentang persaudaraan dan persatuan. Menariknya, ajaran mulia tentang pentingnya menjaga persatuan dan persaudaraan ini sudah terukir rapi dalam sila ketiga Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keberadaan Sila Ketiga dalam Pancasila ini secara langsung mengajarkan segenap masyarakat Indonesia bahwa, jika dalam agama dikenal istilah persatuan dan persaudaraan antar sesama iman dan antar sesama manusia yang bersifat lintas iman, maka kesepakatan bersama para pendiri bangsa Indonesia mengajarkan anak-anak bangsanya tentang persaudaraan dan persatuan antar anak sesama bangsa).
Persatuan antar sesama anak bangsa ini lebih kuat daripada solidaritas dan soliditas antar agama dan antar lintas agama yang bersifat transnasional di era negara bangsa (nation state) hari ini.
Keberadaan persaudaraan dan persatuan antar anak bangsa diharapkan mampu menjadi penghubung yang erat antar umat beragama di Indonesia. Apabila dalam suatu keadaan anak-anak bangsa Indonesia tercerai berai oleh perbedaan ideologi dan ajaran keagamaan, maka persatuan bangsa Indonesia akan terganggu yang dikhawatirkan terjadi beragam konflik.
Putra-Putri bangsa tidak boleh bercerai-berai karena perbedaan yang pada hakekatnya dapat diselesaikan dengan duduk bersama melalui musyawarah untuk mufakat. Putra dan putri bangsa harus terus menjaga rumah besar yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Realitas keberagaman kehidupan masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara tersebut jika tidak secepat mungkin disadari akan memicu disharmonitas antar anak bangsa. Bisa jadi Agama yang dahulunya sebagai amunisi paling ampuh membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia akan berubah satus menjadi Agama sebagai alat peruntuh utama dalam membubarkan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sehubungan dengan itu, untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara perlu hadir merangkul semua golongan umat beragama agar meresapi kembali nilai-nilai yang sudah disepakati bersama oleh para pendiri bangsa yang terdiri dari beragam aliran kepercayaan. Pancasila merupakan titik temu atau jambatan penghubung antar semua elemen bangsa Indonesia yang beraneka ragam.
Oleh karena itu, sebagai hasil konsensus kebangsaan dan kenegaraan, Pancasila merupakan hasil akomodasi dari berbagai ideologi keagamaan yang diyakini dan diserap kebenarannya oleh segenap rakyat, bangsa, dan negara Indonesia. Sehingga, Pancasila yang merupakan refleksi dari keragaman ideologi di Indonesia berubah menjadi suatu ideologi pemersatu bagi seluruh masyarakat, umat beragama, dan rakyat Indonesia dalam menjalani kehidupan bersama, lebih khusus dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dalam bingkai NKRI. (*)