MENYABET gelar sarjana atau gelar akademis lainnya, tentu menjadi hal yang sangat dinantikan bagi para mahasiswa yang tengah menempuh perkuliahan. Bukan hanya soal prestisiusnya nama seseorang apabila bisa disematkan gelar akademiknya, namun juga soal terlepas dari sejumlah ‘beban’ yang harus mereka hadapi selama perkuliahan. Beban tersebut diantaranya beban tugas, ‘beban’ harapan orang tua, dan yang paling terasa ialah beban biaya.
Ocay, alumni Untirta dan bukan nama sebenarnya, buru-buru mengabarkan kepada orang tuanya dua kabar sekaligus. Kabar pertama yakni bahwa dia akan melaksanakan wisuda di fakultasnya. Wisuda itu menjadi penegasan bahwa dirinya telah resmi menyandang gelar alumni di fakultasnya, yaitu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP).
Sementara kabar kedua, Ocay harus patungan memberikan kenang-kenangan, sekarang dia sebut sebagai ‘sesajen’, kepada fakultas. Pada saat itu, Ocay diminta untuk patungan sebesar lebih dari Rp50 ribu, untuk membelikan barang yang diminta oleh FISIP Untirta. Seingat dia, barang itu adalah TV, namun ia lupa berapa incinya.
Peristiwa itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Ocay yang saat ini merasa sudah lebih dewasa secara pikiran dan mengenal beratnya dunia kerja, tertawa geli namun juga merasa miris jika mengingat hal tersebut. Pasalnya, ia terima-terima saja ‘dipalak’ oleh fakultas, untuk sesuatu yang dia anggap melenceng dari substansi pendidikan yang ia pelajari selama di perkuliahan.
“Sebenarnya kalau sekarang diceritain terkait dengan hal itu, akan berbeda ya sudut pandang pada saat ini sama dulu waktu diminta untuk patungan membelikan sajen yang diminta oleh pihak fakultas,” ujarnya membuka pembicaraan dengan BANPOS pada pekan lalu.
Ia mengatakan, jika dia menceritakan terkait dengan sesajen fakultas pada saat dirinya diminta patungan, maka hal itu tidak menjadi masalah. Bukan karena apa-apa, Ocay mengaku bahwa hal itu tidak masalah lantaran dirinya tidak mau ambil pusing, dan ingin segera lulus. Sehingga, berapapun yang diminta, ia tidak akan terlalu pikir panjang.
“Tapi kalau sekarang, ya pastinya ini menjadi masalah. Karena kita ini kuliah enggak gratis loh, kita ini bayar setiap semesternya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Jadi agak lucu aja ketika kita disuruh patungan untuk memberikan apa yang mereka sebut sebagai kenang-kenangan. Seolah-olah belum cukup kita membayar UKT yang tidak sedikit itu,” katanya.
Ocay mengaku bahwa dirinya tergerak untuk speak up lantaran baru tahu bahwa FISIP Untirta masih melakukan tradisi tersebut sampai saat ini. Itu dia ketahui setelah kenalannya yang mengikuti wisuda fakultas di tahun ini, mengaku juga diminta untuk memberikan sesajen kepada fakultas, berbentuk kulkas satu pintu.
“Diminta untuk patungannya sih sebesar Rp50 ribu. Untuk beli kulkas satu pintu, dan ternyata juga diminta untuk memberikan sajen ke staf di jurusannya. Jadi stafnya juga dikasih kipas masing-masing satu. Kalau memang orang itu berkecukupan, pasti ngerasa biasa aja sih. Tapi kan ada orang yang memandang Rp50 ribu itu besar,” tegasnya.
Sementara itu, salah satu peserta wisuda fakultas gelombang pertama di tahun 2022 yang enggan disebutkan namanya, mengatakan bahwa dirinya memang diminta untuk patungan, lantaran diminta oleh fakultas untuk menyediakan kenang-kenangan untuk masing-masing jurusan. Selain kenang-kenangan untuk lembaga, mereka juga diminta untuk memberikan kenang-kenangan untuk staf di masing-masing jurusan.
“Kalau untuk jurusan itu diminta oleh Ketua Jurusan langsung, bentuknya kulkas. Jadi itu by request memang. Lalu ada permintaan juga untuk menyediakan kepada masing-masing staf jurusan. Kalau gelombang wisuda fakultas saya, stafnya dibelikan kipas angin,” ujarnya kepada BANPOS.
Ia menuturkan, untuk patungan dari masing-masing wisudawan fakultas di gelombang yang dia ikuti, sebesar Rp50 ribu. Uang tersebut dikolektif oleh perwakilan mahasiswa yang wisuda di gelombang tersebut. Perwakilan mahasiswa itu yang nantinya berkomunikasi dengan Ketua Jurusan, untuk menanyakan mau dibelikan apa.
“Memang ini berangkatnya dari salah satu staf yang menyampaikan bahwa wisudawan harus menyiapkan kenang-kenangan untuk jurusan dan staf. Tidak ada kata wajib memang, tapi kami yang menjadi pesertanya, langsung overthinking jika ini wajib diberikan. Apalagi dari isu yang sudah turun temurun kami dengar, kalau enggak ngasih kenang-kenangan maka pin ijazah kita bakal dikasih yang lokal, bukan yang nasional,” ungkapnya.
Persoalan ijazah yang dimaksud oleh sumber BANPOS itu adalah Penomoran Ijazah Nasional (PIN) yang sudah mulai diterapkan sejak beberapa tahun yang lalu, berdasarkan Permenristekdikti Nomor 59 tahun 2018. PIN tersebut nantinya digunakan untuk verifikasi ijazah secara elektronik, melalui laman ijazah.kemdikbud.go.id.
Verifikasi nomor ijazah tersebut, dilakukan oleh para penerima kerja untuk memastikan ijazah yang dibawa oleh para pelamar, benar-benar ijazah asli. Hal itulah yang membuat sumber BANPOS pada akhirnya mengikuti keinginan dari pihak fakultas, dan mereka berbondong-bondong untuk patungan membeli apa yang diminta oleh fakultas.
Padahal berdasarkan Surat Edaran Nomor 7 tahun 2020 tentang Penerapan Nomor Ijazah Nasional dan Sistem Verifikasi Ijazah Secara Elektronik, disebutkan bahwa seluruh ijazah lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi sejak tanggal 28 Desember 2020, wajib menggunakan nomor ijazah nasional. Sehingga seharusnya, tidak ada lagi ijazah yang tidak menerapkan nomor nasional.
“Memang sangat sedikit yang protes terkait praktik tersebut. Karena jujur, kami ini udah tinggal menerima ijazahnya saja, jadi enggak lagi mikirin harus menolak atau memprotes kebijakan itu. Yang penting lulus dulu aja dari kampus. Meskipun jujur sebenarnya kepikiran, ini gratifikasi bukan? Ini pungli bukan? Pada akhirnya kan idealisme kita luntur juga ketika sudah di ujung tanduk begini,” tuturnya.
Berdasarkan informasi yang didapat BANPOS, pemberian kenang-kenangan oleh para wisudawan itu dilakukan secara formal usai prosesi wisuda fakultas selesai dilakukan. Pembawa acara akan menyampaikan wisudawan dari jurusan mana saja yang memberikan kenang-kenangan.
Pada wisuda fakultas kemarin, hanya ada dua jurusan saja yang wisudawannya memberikan kenang-kenangan. Keduanya yakni jurusan Ilmu Komunikasi dan jurusan Administrasi Publik. Sementara wisudawan dari jurusan Ilmu Pemerintahan, tidak memberikan kenang-kenangan kepada fakultasnya.
Wisuda fakultas yang kemarin digelar merupakan gelombang dua dan tiga, yang digabung menjadi satu. Salah satu kenang-kenangan yang diberikan pada saat wisuda fakultas kemarin adalah sofa dan dispenser.
Sementara sumber BANPOS lainnya yang berasal dari Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Untirta, bukan hanya mempermasalahkan kenang-kenangan yang harus diberikan tatkala melaksanakan wisuda fakultas, namun juga proses menuju kelulusan yang harus merogoh kocek yang tidak sedikit.
“Kalau perkara print draf skripsi dan segala macem, itu mah bagian dari perjuangan kita untuk bisa lulus, jadi tidak masalah lah menurut saya. Cuma yang jadi permasalahan adalah ketika kita yang mau sidang, baik itu Seminar Proposal maupun sidang akhir, diwajibkan oleh jurusan untuk menyiapkan makan dan minum bagi para penguji serta staf-stafnya,” ujar dia.
Sejujurnya menurut dia, menyiapkan makan dan minum bagi para penguji bukanlah masalah yang besar. Karena mereka pun pasti menyiapkan sebagai bentuk penghormatan dan rasa terima kasih mereka kepada para penguji. Namun yang mereka sesalkan adalah ketika makanan dan minuman yang harus disediakan, sudah ditentukan oleh jurusan, dan memiliki nilai yang cukup berat di kantong mahasiswa.
“Memang bahasa yang digunakan oleh pihak jurusan itu ‘makanan yang layak’. Loh bagi saya pribadi, nasi uduk itu sangat layak, nasi padang Rp10 ribu itu juga sangat layak. Tapi ketika layaknya itu dipatok misalkan Hoka-hoka Bento dan makanan-makanan yang harganya lumayan bikin gigit jari mahasiswa, kenapa enggak sebut makanan yang mewah aja sekalian,” tegasnya.
Menurutnya, sejak awal dirinya berkuliah di Untirta, tentu sangat memahami jika biaya yang harus dikeluarkan tidaklah sedikit. Selain UKT, dirinya yang juga merupakan perantauan tentu saja harus memikirkan hidup sehari-hari. Namun yang ia tidak habis pikir, dirinya juga harus menyiapkan pos anggaran tak terduga, yang menurutnya sih tidak terlalu penting-penting amat.
“Sebagai alumni, tentunya kami ingin agar FISIP Untirta menghentikan tradisi seperti itu. Apapun alasannya, mahasiswa itu bukan kelas masyarakat yang sudah memiliki penghasilan. Kalaupun ada, itu juga tidak banyak. Lebih banyaknya mahasiswa itu tetap menggantungkan diri pada pemberian orang tua. Kalau orang tua yang berkecukupan, pasti mudah memberikan uang Rp50 ribu bahkan Rp100 ribu sekalipun. Tapi untuk mereka yang sehari-harinya harus mengencangkan ikat pinggang demi bisa print draf skripsi, bahkan Rp10 ribu pun bisa menyelamatkan hari-harinya,” tandas dia.(DZH/ENK)