KOTA Serang hari ini genap berusia 15 tahun. Sejak ‘dilahirkan’ dari hasil pemekaran Kabupaten Serang pada 10 Agustus 2007 lalu, banyak hal yang sudah berubah, baik dari segi fisik wilayah, maupun birokrasi pemerintahan. Namun, perubahan itu belum memuaskan masyarakat di Ibukota Provinsi Banten.
Memasuki usia yang ke 15 tahun, Kota Serang masih dirasa memiliki permasalahan dalam soal kebersihan dan sulitnya mencari pekerjaan. Selain itu, pada masa kepemimpinan Syafrudin-Subadri yang sudah berjalan selama empat tahun ini, terlihat bahwa masyarakat masih belum terlalu puas dengan kinerja dari duet yang mengusung tagline Aje Kendor ini.
Demikian yang digambarkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh bidang penelitian dan pembangunan (litbang) BANPOS dalam rangka menyambut hari ulang tahun Kota Serang yang ke 15.
“Dari hasil jajak pendapat ini didapatkan hasil bahwa sebanyak 33 persen masyarakat menyatakan sulitnya mencari pekerjaan adalah permasalahan yang paling penting di Kota Serang. Selain itu, masalah kebersihan atau sampah menempati posisi dua dengan nilai 14 persen. Hal ini menjadi catatan penting, karena permasalahan tersebut menjadi janji politik dari pasangan Syafrudin-Subadri,” ujar Kepala Litbang BANPOS, Panji Bahari.
Selain itu, tingkat kepuasan atas kinerja pasangan Syafrudin-Subadri ini juga masih belum baik. Hal tersebut berdasarkan data, hanya 37 persen masyarakat yang puas terhadap kinerja pasangan Aje Kendor ini, dan terdapat 27 persen masyarakat yang menyatakan tidak puas.
“Dalam hasil ini, ada 36 persen warga Kota Serang yang ragu-ragu menilai kinerja. Hal ini sebenarnya menandakan bahwa kerja-kerja dari Syafrudin-Subadri belum jelas bagi masyarakat. Dengan waktu satu tahun ini, pasangan tersebut harus bekerja keras untuk memberikan kepuasan pelayanan bagi masyarakat.
Adapun jika dipilah berdasarkan gender, terlihat bahwa perempuan lebih merasa tidak puas dengan kinerja pasangan Aje Kendor ini terkait penyelesaian masalah sampah. Sedangkan untuk laki-laki lebih pada permasalahan lapangan pekerjaan.
Panji menyampaikan survei ini dilakukan selama dua minggu dengan mengambil sampel sebanyak 200 orang yang menggunakan simple random sampling.
Rendahnya kepuasan masyarakat terhadap kondisi Kota Serang seperti yang ditunjukkan pada hasil survei yang dilakukan oleh BANPOS, dinilai lantaran Pemkot Serang gagal membawa jalannya pembangunan di Kota Serang ke arah Smart City. Bahkan disebutkan, pembangunan Kota Serang masih sangat jauh dari desain sebagai Kota yang Pintar.
Akademisi Unsera, Usep S. Ahyar, mengatakan bahwa dengan rendahnya kepuasan masyarakat yang digambarkan pada hasil survei BANPOS, menunjukkan bahwa masyarakat beropini secara gamblang jika Pemkot Serang memiliki kinerja yang jelek.
“Itu opini masyarakat, menggambarkan bahwa pemerintahan jelek. Banyak masyarakat yang tidak puas, kalau dilihat dari opini masyarakat. Meskipun memang harus diuji apakah opini itu reliable atau tidak, tergantung metodenya,” ujarnya kepada BANPOS.
Ia mengatakan, opini yang ditunjukkan dalam survei BANPOS bisa saja memiliki hasil yang lebih buruk, apabila basis kepuasannya didasarkan pada desain Smart City. Sebab, akan muncul banyak ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam pelaksanaan pemerintahannya.
“Nah itu untuk menjawab permasalahan sebuah kota yang populasinya banyak, yang karena populasi itu banyak persoalannya menjadi menumpuk. Misalkan kemana-mana macet, ini menggambarkan bahwa kota ini tidak efektif dan efisien. Mengurus pelayanan publik lama, itu juga menjadi tanda-tanda kotanya itu tidak smart. Tidak ada event-event internasional, kegiatan kecil yang biasa-biasa saja. Ini tanda-tanda belum smart,” tuturnya.
Usep menegaskan bahwa di usia yang sudah 15 tahun, seharusnya Kota Serang sudah menjadi atau setidaknya menuju ke arah Smart City. Apalagi, Kota Serang merupakan ibukota Provinsi Banten yang tentunya harus bisa bersaing dengan ibukota lainnya.
“Misalkan ada smart economy, itu ada pembangunan, penelitian, ada event internasional. Nah Smart Economy itu seperti itu. Jangan hanya kegiatan yang lokalan saja, harus lebih yang kosmopolitan lah ekonominya,” terang Usep.
Selanjutnya berkaitan dengan Smart Governance, menurutnya Kota Serang juga masih belum mengarah ke sana. Sebab, Smart Governance mengharuskan adanya keterbukaan, kemudahan akses data pemerintah oleh publik, serta ketersediaan sarana internet. Namun sampai saat ini, fasilitas penunjangnya pun masih belum ada.
“Lalu ada smart people, smart society. Jadi masyarakat harus pintar. Pendidikan di kota itu sudah harus bagus. Jadi level kualitas pendidikannya itu bukan cuma nasional, tapi internasional. Jangan lah yang lokal-lokal kualitasnya. Integrasi masyarakat juga tumbuh,” katanya.
Pemukiman masyarakat Kota Serang pun menurutnya harus pintar, berbasiskan pilar Smart Living. Jika Kota Serang telah menerapkan itu, maka dipastikan keamanan berjalan dengan baik, kebahagiaan terjamin, rasio ketimpangan pendapatan rendah. Namun sayangnya menurut Usep, hal itu pun masih belum ada di Kota Serang.
“Kemudian Smart Mobility, kemana-mana mudah. Penggunaan transportasi umum, ketepatan waktu. Nah sekarang trayek saja tidak jelas. Makanya semua kemana-mana menggunakan motor. Itu menandakan belum smart, masih jauh. Maka menurut saya, masyarakat masih terlalu baik dengan tingkat kepuasan itu,” ucapnya.
Usep menegaskan, hingga saat ini Kota Serang masih menjadi kota yang tidak efektif dan tidak efisien. Bahkan setiap harinya, Kota Serang justru terus menerus bertambah ketidakefisienannya. Hal itu menandakan Pemkot Serang belum konsen melakukan pembangunan ke arah Smart City.
“Jadi pilar-pilar itu tercapai enggak? Kalau enggak, maka masih jauh. Bahkan menurut saya, dari seluruh kriteria itu, di Kota Serang tidak ada yang beres. Jangankan mengarah ke sana, pilar-pilarnya belum terbentuk, sudah terlihat. Tapi yang terlihat justru tambah hari tambah tidak efisien,” tegasnya.
Di sisi lain, Usep menuturkan bahwa Pemkot Serang mungkin saja sudah merasa puas dengan pembangunan saat ini, lantaran melakukan perbandingan dengan kota/kabupaten yang tidak sepadan. Padahal seharusnya, Pemkot Serang melakukan perbandingan dengan sesama ibukota Provinsi.
“Menurut saya memang seharusnya perbandingannya harus Apple to Apple. Karena Kota Serang ini ibukota provinsi, maka bandingkan dengan ibukota lainnya seperti Surabaya, Manado, Bandung, Medan, Jakarta dan ibukota lainnya,” tandasnya.
Terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Serang, Nanang Saefudin, menyadari rendahnya kepuasan masyarakat terhadap pembangunan Kota Serang. Hal itu yang membuat Pemkot Serang akan melakukan ‘balas dendam’ pada tahun anggaran selanjutnya.
“Sejalan dengan indeks kepuasan masyarakat yang dilakukan oleh Bappeda. Kami sadar betul itu. Dan di penghujung tahun RPJMD, tahun 2023, kami akan lebih menitikberatkan anggaran kita ke pembangunan infrastruktur. Mulai dari jalan dan yang lainnya,” ujar Nanang saat diwawancara BANPOS di Puspemkot Serang, Selasa (9/8).
Menurutnya, Pemkot Serang akan fokus terhadap pembangunan infrastruktur pada APBD tahun 2023, sesuai dengan arahan dari Walikota Serang, Syafrudin dan Wakil Walikota Serang, Subadri Ushuludin. Selain infrastruktur, pelayanan terhadap masyarakat pun akan lebih ditingkatkan.
“Intinya kami sadar betul juga, yang paling penting bagi penyelenggara pemerintahan, para ASN, para aparatur, ubah mindset dan mental yang biasa dilayani, harus menjadi melayani. Senyum, sapa, bersikap ramah kepada masyarakat,” terangnya.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Serang, Farach Richi, mengatakan bahwa berdasarkan data, persentase penanganan sampah di Kota Serang mencapai 76,96 persen. Menurutnya, data itu di atas rata-rata nasional sebesar 72 persen.
“Penanganan sampah di Kota Serang dilaksanakan sesuai Kebijakan Strategis Daerah sesuai UU Nomor 18 tahun 2008 dan Permen LHK nomor 10 tahun 2018,” ujarnya kepada BANPOS.
Menurutnya, DLH Kota Serang telah melaksanakan sejumlah program untuk melakukan penanganan terhadap permasalahan sampah. Program itu antara lain pengoptimalan pembentukan Bank Sampah Induk dan Bank Sampah unit kecil, pengoptimalan TPS3R di lokasi yang telah terbangun, melibatkan peran sekolah di kegiatan adiwiyata.
“Melaksanakan program kampung iklim, pembentukan Satgas Kebersihan penanganan sampah liar, pengoptimaan pengolahan sampah melalui biopori, dekomposter, eco enzym. Dari kegiatan tersebut, terjadi penurunan TPS liar dari 119 TPS liar ke 103 TPS liar,” tuturnya.
Bahkan menurutnya, DLH Kota Serang dalam menyelesaikan masalah sampah, tidak hanya menggandeng para pimpinan wilayah seperti lurah dan camat, namun juga menggandeng tokoh agama melalui MUI.
“DLH tidak hanya berkoordinasi dengan RT/RW atau Lurah/Camat, tetapi dengan MUI. Untuk menyampaikan seruan tidak membuang sampah sembarangan dan dapat mengolah sampah,” ungkapnya.
Kepala Satpol PP Kota Serang, Kusna Ramdani, mengatakan bahwa pihaknya telah menyusun strategi dalam meningkatkan kepuasan masyarakat di bidang trantibum. Strategi tersebut akan dilakukan oleh pihaknya dalam waktu dekat.
“Pertama, kami akan menurunkan bidang Linmas untuk melakukan sosialisasi ke Linmas di Kelurahan. Ini agar mereka lebih menggiatkan lagi pos siskamling, untuk memberikan kenyamanan kepada masyarakat. Karena memang rawan ketertiban umum di malam hari ini mulai meningkat. Pos kamling ini ada, tapi tidak ada isinya,” ujarnya.
Berkaitan dengan penataan PKL, menurutnya hal itu dilakukan dengan persuasif. Sebab, yang dihadapi adalah masyarakat Kota Serang juga. Menurutnya, jika dilakukan penindakan sesuai dengan Perda, maka akan lebih menyulitkan masyarakat.
“Kalau PKL ini memang bersangkutan dengan masyarakat langsung ya. Masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Maka dari itu pendekatan kami ini harus persuasif. Kalau pendekatan kami dengan tipiring, dengan Perda, maka mereka bisa semakin sengsara. Kami tidak mau seperti itu,” ucapnya.
Oleh karena itu, pihaknya pun mencoba melakukan penataan PKL dengan melaksanakan patroli rutin. Patroli tersebut dilakukan sehari empat kali. Dua patroli pertama dilakukan di pagi hari, dan dua patroli selanjutnya di sore hari.
“Yang kami lakukan pada akhirnya adalah melakukan patroli rutin, dan memberikan waktu kepada mereka (PKL) jam-jam tertentu untuk bisa berdagang. Jadi PKL boleh berdagang di pagi hari sampai jam tujuh lah, karena untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di pagi hari. Boleh berdagang lagi di malam hari, asal tidak mengganggu ketertiban dan keindahan,” ungkapnya.
Kusna mengaku bahwa sejauh ini, pihaknya telah melakukan koordinasi dengan DinkopUKMPerindag Kota Serang, berkaitan dengan masalah PKL. Salah satunya terkait dengan penempatan PKL di satu titik. Namun, hal itu tidak bisa dilaksanakan lantaran tidak sesuai dengan prinsip dari PKL itu sendiri.
“Sebenarnya yang namanya PKL itu ya tidak menetap. Mereka ada yang didorong, ada yang gerobak dan lainnya. Jadi prinsipnya PKL itu dimana ada keramaian, di situ ada mereka. Sekarang banyak yang mau ke Kepandean, karena memang sekarang sudah ramai,” jelasnya. (DZH/ENK)