PANDEGLANG, BANPOS-Setelah sebelumnya kepolisian berhasil menangkap pelaku dan buronan dugaan kasus pencabulan di dua lokasi yang berbeda, yaitu Pandeglang dan Kabupaten Serang. Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Pandeglang kembali berhasil menangkap pelaku pencabulan terhadap anak dibawah umur. Kembali terjadinya pencabulan dan kekerasan seksual ini dikecam oleh banyak pihak dan diminta agar aparat penegak hukum (APH) dapat menutup jalur mediasi.
Terduga pelaku pencabulan, BA (20) warga Kecamatan Banjar, Kabupaten Pandeglang, ditangkap oleh Satreskrim Polres Pandeglang pada Senin (11/7) lalu. Kasatreskrim Polres Pandeglang, AKP Fajar Maulidi membenarkan bahwa pihaknya telah mengamankan pelaku dan menyerahkannya kepada unit Perlindungan Anak dan Perempuan (PPA) Satreskrim Polres Pandeglang.
“Benar telah diamankan pelaku pencabulan berinisial BA yang telah mencabuli anak berusia 15 tahun, pelaku diamankan dan diserahkan ke unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) Satreskrim Polres Pandeglang oleh keluarga korban pada Senin (11/07) lalu,” kata Fajar di Mapolres Pandeglang, Rabu (13/7).
Dijelaskannya, penangkapan terhadap pelaku dilakukan setelah pihak keluarga korban melaporkan pelaku setelah korban mengeluh mengalami sakit pada bagian kelaminnya.
“Pencabulan dilakukan sebanyak dua kali, dengan adanya kejadian tersebut korban mengeluh mengalami sakit dibagian kelamin,” jelasnya.
Menurutnya, modus yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban adalah berjanji akan menikahi korban setelah melakukan aksi bejatnya terhadap korban.
“Modus dari pelaku adalah menjanjikan kepada korban akan menikahi korban setelah melakukan aksi tersebut,” ujarnya.
Sementara itu, Kapolres Pandeglang, AKBP Belny Warlansyah mengatakan, dengan adanya kejadian kekerasan seksual yang terjadi wilayah hukumnya, pihaknya merasa geram dan mengimbau kepada masyarakat agar lebih ketat lagi menjaga anak-anaknya Ketika berada dirumah maupun diluar rumah.
“Imbauan untuk masyarakat agar lebih ketat menjaga keluarganya, ini kejahatan yang sangat serius karena sangat merusak generasi muda kita,” katanya.
Sementara itu, Ketua Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Provinsi Banten Neng Farida, mengecam keras para pelaku tindak kekerasan seksual maupun tindak kekerasan kepada perempuan dan anak. Termasuk kasus yang baru-baru ini terekspos, ia meminta agar seluruh pelaku ditindak tegas tanpa pandang bulu.
Perempuan yang akrab disapa Ida ini juga menyebut bahwa Banten saat ini darurat kekerasan seksual dengan kondisi yang sangat memprihatinkan. Tak hanya itu, ia mengungkap di Provinsi Banten khususnya di Kota Serang banyak kasus pencabulan pada anak dan remaja, dengan pelakunya kebanyakan orang-orang terdekat.
Mirisnya, kasus pelecehan seksual juga sudah merambah ke dunia Pendidikan. Sudah banyak terjadi kasus di lingkungan pendidikan seperti Pondok pesantren, lingkungan kampus, dan sekolah.
“Kami dari RPA Banten sangat sangat mengecam keras para pelaku tindak kekerasan seksual dan kekerasan kepada perempuan dan anak. Hari ini banyak kasus pencabulan yang bahkan para pelakunya adalah orang-orang terdekat, dan ini ada aduannya masuk ke kami,” ujarnya, Rabu (13/7).
Menurutnya, menjadi perhatian bagi semua pihak bahwa di Banten ini banyak sekali kasus asusila, pelecehan seksual dan tindak kekerasan seksual terutama kekerasan kepada anak. Menjadi perhatian bersama dari semua pihak mulai dari masyarakat sipil, aparat penegak hukum (APH) dalam hal ini Kepolisian, termasuk lembaga-lembaga yang konsen terhadap isu-isu perempuan dan anak.
Ida menyebut proses dalam penanganan kasus kekerasan seksual kurang maksimal dalam penanganan. Hal itu dilihat masih adanya jalur musyawarah dari pelaku kepada korban yang bahkan tidak memikirkan si korban ini mengalami trauma atas perbuatan pelaku.
Ia mengungkapkan, tidak adanya APH yang berpihak pada korban dapat dilihat dengan mudahnya dilakukan mediasi oleh penegak hukum yang memang seharusnya memproses secara hukum. Akan tetapi dibawa jalur kekeluargaan, bahkan ada yang sampai dinikahkan secara siri.
“Apalagi waktu itu yang terjadi di Kecamatan Kasemen yang kasus gadis difabel. Dari situ saja sudah terlihat bahwasanya para penegak hukum, para lembaga yang memang konsen terhadap isu-isu perempuan dan juga anak ini sangat-sangat kurang maksimal,” tegasnya.
Secara tegas Ida meminta kepada APH agar lebih mengetahui, lebih memahami apa saja hak-hak korban daripada pelecehan seksual maupun pencabulan. Jangan malah ketika misal adanya laporan, tapi seolah-olah seperti tidak ditanggapi secara serius.
“Begitu juga dengan lembaga-lembaga seperti PPA, itu juga harus lebih pro terhadap korban, harus lebih progres dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang ada di Banten ini,” katanya.
Terpisah, Pegiat PATTIRO Banten, Bella Rusmiyanti, menyikapi kasus pencabulan yang saat ini terus meningkat. Ia meminta agar hukum harus ditegakkan secara tegas dan adil.
Bella mengatakan, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur perihal hak warga negara untuk bebas dari kekerasan seksual. Pasal 28B UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“Perempuan dan anak anak dianggap sebagai manusia yang paling lemah sehingga banyak sekali terjadinya penindasan. Kondisi tersebut yang dapat menimbulkan risiko terjadinya gangguan-gangguan termasuk yang berhubungan dengan seksualitas, seperti pencabulan, pemerkosaan, pelecehan seksual, aborsi, pelacuran dan perdagangan perempuan,” jelasnya.
Menurutnya, kejahatan yang kerap terjadi kepada perempuan yaitu pencabulan yang merupakan salah satu penghambat kemajuan dan menghalangi hak asasi dan kebebasan untuk tercapainya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki.
“Pencabulan merupakan suatu perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan juga termasuk persetubuhan diluar perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki atau suatu kelompok orang tertentu terhadap perempuan dalam bidang seksual yang bersifat mengintimidasi secara non fisik dan secara fisik yang tidak disukai oleh korban karena dianggap sebagai penghinaan dan mencoreng nama baik,” jelas Bella.
Bella mengungkapkan, maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Banten khususnya di Kabupaten Pandeglang menjadi keprihatinan untuk semua pihak. Namun di Indonesia, hukum yang diduga dapat menjadi solusi dalam penanganan kasus kekerasan seksual, dinilai belum cukup mumpuni untuk menghentikan maraknya kasus tersebut.
“Dalam hal ini seharusnya aparat hukumlah yang dapat menyelesaikan permasalahan yang ada berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan melalui jalur hukum, yang dimana tahapannya adalah: Penyelidikan, Penyidikan, Pemeriksaan saksi korban, Pemeriksaan tersangka, Cek TKP, Pemeriksaan visum pada korban, Pemberkasan (P21), Lalu kemudian diserahkan kepada kejaksaan negeri,” jelasnya.
Ia menegaskan, hukum harus ditegakkan untuk memberikan keadilan bagi para korban kekerasan seksual. Dukungan dan kerjasama dari masyarakat serta sinergi dan kontribusi para APH juga menjadi salah satu upaya dalam mengatasi dan mengurangi kejahatan kekerasan seksual.
“Di sisi lain, kita juga wajib melaporkan segala apapun ketika kita mengalami atau melihat serta mendengar kasus kekerasan seksual atau pencabulan,” ucapnya.
Menurutnya, upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap anak bukan hanya tugas orang tua dan masyarakat, tetapi negara ikut andil dalam hal tersebut. Langkah pemerintah dalam upaya pencegahan kekerasan seksual terhadap anak yakni dengan menerapkan sanksi yang lebih keras kepada pelaku sebaiknya diikuti dengan beberapa langkah strategis lainnya. Di bidang pencegahan, pemerintah bisa secara aktif melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
“Pemerintah juga dapat menerapkan pendidikan pengenalan organ tubuh kepada anak di usia dini agar mereka tahu organ tubuhnya yang boleh atau tidak boleh dilihat atau disentuh orang lain dan cara terhindar dari kekerasan seksual,” terangnya.(MUF/DHE/PBN)