IBARAT buah simalakama, keberadaan pegawai honorer di lingkungan pemerintahan di Provinsi Banten menjadi polemik. Aturan sudah tidak memungkinkan untuk mempertahankan pegawai yang tak ada dalam hierarki kepegawaian di Indonesia. Namun, menghilangkan peran mereka tanpa solusi, bisa menimbulkan gejolak sosial.
Diketahui, status pegawai honorer mulai akhir November 2023 akan dihapuskan di setiap perangkat pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Ini sesuai surat edaran Kemenpan/RB tertanggal 31 Mei 2022 sebagai lanjutan konsideran peraturan pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manejemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), bahwa mulai Tanggal 28 November 2023 nanti Aparatur Sipil Negara (ASN) itu hanya terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK).
Penghapusan status pegawai honorer memberikan dampak yang signifikan bagi pemerintah daerah. Di Provinsi Banten saja, terdapat sebanyak 17 ribu pegawai honorer, yang terdiri atas 10 ribu tenaga guru dan kesehatan dan tujuh ribu pegawai honorer teknis.
Penghapusan status tersebut selain disebut dapat menambah jumlah pengangguran, juga dapat membuat sejumlah OPD dan lembaga pemerintahan lainnya seperti sekolah, terseok-seok dalam menjalankan tugasnya.
Penjabat Sekretaris Daerah (Pj Sekda) Provinsi Banten, Tranggono, mengatakan bahwa kebijakan penghapusan status pegawai honorer merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Dalam Peraturan MenpanRB, disebutkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK).
Kendati demikian, Tranggono mengaku bahwa pihaknya akan tetap mencari solusi yang terbaik bagi para pegawai honorer. Sebab, hal itu sudah menjadi atensi dari Pj Gubernur Banten, Al Muktabar.
“Teman-teman ini (honorer) kan anak-anak kita. Kita memiliki tanggungjawab agar anak-anak kami ini Wongke kalau dalam bahasa jawanya. Arahan pak Gub sudah jelas, bagaimana caranya itu tidak merugikan,” ujarnya, Kamis (9/6).
Ia mengatakan, berdasarkan PermenpanRB, salah satu solusi yang ditawarkan dalam menyelesaikan permasalahan pegawai honorer ialah dilakukan dengan menerapkan mekanisme outsourcing. Dengan demikian, pihaknya juga dapat mengendalikan para pegawai yang kurang produktif dalam bekerja.
“Satpam misalkan, dengan gajinya kecil (saat honorer), maka jika melalui outsourcing jadi besar. Memang dalam dinamikanya itu, Satpam yang biasanya malas pada akhirnya jadi terpacu karena menggunakan sistem outsourcing,” terangnya.
Ia membandingkan kondisi yang pernah dirinya alami ketika tengah bekerja di luar negeri. Pada saat itu, Tranggono bekerja di Korea Selatan, di sana terdapat sebanyak 150 orang pegawai, namun hanya ada lima orang saja yang yang PNS.
“Nah yang lainnya outsourcing. Ini bagus, bisa dievaluasi dengan adanya sistem outsourcing,” ungkapnya.
Dengan adanya mekanisme outsourcing dalam penempatan pekerja honorer, maka pihaknya dapat meminta kepada pihak outsourcing, untuk menyediakan tenaga yang profesional dan andal, dengan membina para pegawai honorer yang sudah masuk ke dalam sistem outsourcing.
“Kita minta kepada yang outsourcing, dibina. Jadi ada juga tiga klaster ini, misal yang pertama klaster yang bermasalah, kedua belum pas, nah yang ketiga itu klaster yang ideal. Maka yang ideal bisa kita dorong menjadi PPPK,” ucapnya.
Sementara untuk mereka yang ada pada klaster kedua, pihaknya akan memberikan inkubasi dan pembinaan melalui pihak outsourcing. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk kepedulian Pemprov Banten terhadap para pegawai honorer.
“Kita inkubasi supaya mereka lebih mandiri sesuai dengan keahliannya, lebih profesional. Sesungguhnya kita mengangkat mereka kepada hal yang lebih baik lagi,” katanya.
Menurutnya, penyelesaian masalah dengan menggunakan mekanisme oursourcing merupakan penyelesaian masalah terbaik. Sebab jika tenaga honorer masih tetap dipertahankan oleh Pemprov Banten, maka dipastikan akan menjadi temuan.
“Gini, kalau kita angkat enggak mungkin. Kalau November 2023 itu kita masih angkat honorer, itu akan menjadi temuan BPK. Maka solusinya tadi, kita bisa salurkan ke outsourcing. Bahkan saya bilang, kalau dia terampil, bisa kita berangkatkan ke luar negeri,” ucapnya.
Selain outsourcing, Tranggono menuturkan bahwa pihaknya juga akan mengambil opsi agar para pegawai honorer dapat berwirausaha. Menurutnya, saat ini Pemprov Banten pun tengah berfokus pada penambahan pelaku UMKM. Dirinya berjanji Pemprov Banten akan membimbing dan membina para pegawai honorer yang menjadi pelaku UMKM.
“Ada strategi-strategi lain, kita ini kan industri. Banten ini (daerah) industri, kita bisa kerjasamakan dengan mereka. Nah tanggungjawab kami, 17 ribu orang itu jangan nambah lagi. Konsekuensinya jika bertambah, maka OPD akan kami berikan sanksi,” tegasnya.
Menurut Tranggono, Pemprov Banten telah menyiapkan rencana aksi dalam penyelesaian masalah tenaga honorer, hingga November 2023. Menurutnya, tidak ada opsi yang buruk, hanya saja jika tidak bisa lanjut sebagai abdi negara, maka para honorer bisa mengabdi sebagai UMKM atau pekerja industri.
“Kalau bicara itu, kita bicara rencana aksi. Bagaimana timelinenya. Tidak ada yang terburuk, kalau memang terburuk, wayahna kami dorong mereka menjadi wiraswasta. Kan Banten ini pariwisata, kenapa kita enggak dorong ke sana. Jadi tidak ada opsi terburuk,” jelasnya.
Wacana outsourcing juga disampaikan Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kota Cilegon Ahmad Jubaedi. Dia mengatakan saat ini tengah menggodok sejumlah strategi untuk dapat menyelamatkan para honorer yang tidak masuk dalam PPPK. Dari sekitar 5.057 tenaga honorer di Cilegon yang meliputi TKK, THL atau TKS, pihaknya tengah memetakan mana rekrutmen yang bisa dilakukan dengan PPPK dan outsourching.
Saat ini, khusus tenaga honorer yang dialihkan ke outsourching, pemkot masih mengkajinya. Karena akan berkaitan dengan kemampuan anggaran masing-masing daerah.
“Kita sedang mempelajari surat edaran Menpan-RB dan juga PP tentang manajemen PPPK. Pemerintah pusat mengamanatkan Pemda harus mengambil langkah, sehubungan pada November 2023 sudah tidak ada lagi nomenklatur selain PPPK,” tambahnya.
“Tadi kita mencoba merumuskan langkah-langkah sampai dengan November seperti apa. Pada 2022 formasi untuk honorer kan di prioritaskan namun yang memenuhi persyaratan dan mengikuti seleksi, diangkat sebagai PPPK,” pungkasnya.
Dikatakan Jubaedi, saat ini pihaknya akan melakukan identifikasi terhadap honorer di Kota Cilegon. Nantinya, ada yang masuk ke Outsourcing dan ada yang menjadi PPPK melalui proses seleksi.
“Yang kompeten, begitu kita ikut sertakan tentunya prioritas untuk PPPK, bagi yang tidak kita akan identifikasi juga, karena diluar itu ada kebijakan tentang alih daya (Outsourcing) yang masuk itu hanya 3, keamanan, kebersihan dan driver,” katanya.
Tentunya yang menjadi permasalahan, yakni honorer yang sudah masuk kualifikasi dan bisa mengikuti seleksi PPPK, akan tetapi tidak lulus. Jubaedi menjelaskan, pihaknya akan melakukan upaya untuk dapat diusulkan kepada pemerintah pusat sebagai tanggung jawab daerah.
Jubaedi mengungkapkan, opsi terakhir yang nanti akan dilakukan oleh Pemkot Cilegon bagi honorer yang tidak lolos seleksi PPPK, akan diakomodir dan diajukan kepada pemerintah pusat, untuk mendapatkan keringanan.
“Ada mekanisme yang bisa dilakukan melalui seleksi PPPK, tapi opsi terkahir bisa tidak pemerintah pusat memberikan mencontoh. Kita sudah jelas ada pendataan, karena mereka kan sudah bekerja bertahun-tahun,” jelasnya.
“Pak wali juga kan mau memperjuangkan melalui Apeksi, bagaimana nasib honorer kedepan yang kalau di daerah bagaimana, tentunya ada edaran terlebih dahulu, sehingga tidak boleh lagi ada penerimaan honorer,” tandasnya.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten, Nawa Said Dimyati, mengatakan bahwa penghapusan tenaga honorer merupakan permasalahan yang mendasar. Sebab, penghapusan tenaga honorer dapat berimplikasi pada terganggunya pelayanan kepada masyarakat. Sementara mengangkat semuanya menjadi PPPK, tidak mungkin.
“Penghapusan honorer itu memang akan menjadi problem mendasar, terkait dengan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Berbicara Banten, itu ada 17 ribu orang pegawai honorer. Kalau semuanya diangkat menjadi PPPK, maka tentu APBD tidak akan cukup,” ujarnya.
Agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat, maka pihaknya mendorong kepada Pemprov Banten serta para tenaga honorer yang hendak memperjuangkan nasibnya, untuk dapat mendesak dilakukannya executive review kepada MenpanRB.
“Kami juga mendorong agar teman-teman mendorong melalui fraksi-fraksi di DPR RI agar melakukan legislative review. Jika keduanya tidak bisa dilakukan, maka mau tidak mau menggunakan mekanisme Judicial Review,” ucapnya.
Selain itu, pria yang akrab disapa Cak Nawa tersebut juga mendesak kepada Pemprov Banten agar dapat menyediakan skema terbaik, apabila kebijakan penghapusan tenaga honorer itu benar-benar harus dilakukan.
“Jadi Gubernur harus menyiapkan skema apabila pada 2023 itu harus dieksekusi, bagaimana kita melayani masyarakat khususnya pendidikan dan kesehatan. Kalau yang lain penting juga, tapi bisa dilakukan assesment, dari 17 ribu itu sebenarnya kita butuh berapa,” ucapnya.
Secara tegas, Cak Nawa meminta agar Pemprov Banten dapat menjadikan persoalan tenaga honorer sebagai persoalan yang harus segera diselesaikan. Jangan sampai menganggap persoalan itu sebagai persoalan yang biasa.
“Jangan sampai ini dianggap biasa-biasa saja. Ketika dianggap biasa-biasa saja, nanti justru malah menimbulkan problema sosial karena 17 ribu orang harus di-PHK dan problema pelayanan masyarakat,” tegasnya.
Ketua DPRD Banten Andra Soni minta pemprov memprioritaskan tenaga honorer kategori satu (K1) menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Diketahui ada sebanyak 367 honorer K1 yang belum diangkat menjadi CPNS dan memperhatikan 17 ribu honorer non karegori.
“Itu juga harus jelas, mereka kan sudah lolos verifikasi (2012),” kata Andra.
Dibagian lain, Wakil Ketua DPRD Kota Cilegon, Hasbi Sidik mengingatkan Pemkot Cilegon untuk berhati-hati terhadap langkah yang akan diambil dalam menghapus tenaga honorer di Cilegon.
Menurut Hasbi, kehadiran tenaga honorer di semua OPD justru sangat membantu pekerjaan para ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam menyelesaikan pekerjaan. “Wong ASN aja masih mengandalkan tenaga honorer. Kalau gak ada honorer gimana?,” kata Hasbi beberapa waktu lalu.
Menurut Hasbi, dengan penghapusan tenaga honorer ini tentu sangat berdampak terhadap meningkatkan angka pengangguran di Kota Cilegon. Sebab, angka pengangguran di Cilegon akan kembali bertambah dengan adanya penghapusan tersebut. “Pemkot jangan diam, harus segera merespons keputusan penghapusan honorer ini. Sebab bagaimana pun juga, para honorer selama ini sangat berkontribusi di seluruh OPD,” ujarnya.
Oleh karena itu, Politisi Partai Gerinda ini pun meminta agar Pemkot Cilegon dalam hal ini Bagian Organisasi, BKPP segera berkonsultasi akan nasib para tenaga honorer ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB).
“BKPP (Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan) Kota Cilegon segera datangi KemenPAN RB. Cari tahu seperti apa mekanisme penghapusannya. Lalu buat rencana, apakah ada cara untuk menyelamatkan para honorer dibalik aturan yang sudah disahkan itu,” ujarnya.
Hasbi berharap jika Pemkot Cilegon tidak diam atau telat menyikapi keputusan pemerintah pusat itu. Sebab saat ini, ribuan honorer di lingkungan Pemkot Cilegon resah menyikapi hal tersebut.
“Jangan sampai lengah, apalagi telat merespons. Intinya, harus punya rencana bagaimana para honorer tidak menjadi korban akibat munculnya keputusan itu,” harapnya.
Hasbi mengaku akan memanggil OPD terkait. Ini untuk membahas juga mendorong adalah solusi terkait penghapusan honorer. “Nanti BKPP, Sekda, serta pihak-pihak terkait akan kami panggil. Biar persoalan ini bisa diselesaikan bersama-sama,” tandasnya.(DZH/LUK/WDO/DHE/ENK)