Mungkin karena sedang pergantian musim, akhirnya sekeluarga saya sakit demam dan pusing kepala sejak minggu kemarin. Bisa jadi karena tidak kuat dengan rasa sakitnya, anak-anak saya jadi sering menangis akhir-akhir ini.
Tapi tulisan ini bukan soal anak yang menangis tersebut. Ini soal mahasiswa semester 5 yang sedang melakukan praktik kerja industri, dan tiba-tiba menangis bersamaan dengan anak saya. Sebut saja namanya Aya.
Aya menjelaskan, bagaimana praktik kerja industri menurut mayoritas teman-temannya yang sudah/sedang melakukannya. Ia mengatakan bahwa dalam praktik tersebut, harus melihat bagaimana kerja-kerja industri, yang menurut versinya, harus bukan di dalam kantor, tapi terjun ke lapangan. Sedangkan dia saat ini praktiknya di dalam kantor.
Saya mencoba menjelaskan bahwa dalam panduan yang dikeluarkan oleh kampusnya, disebutkan bahwa tidak harus seragam seperti itu praktiknya, namun Aya yang merupakan kelahiran 2004 atau bisa disebut Gen Z ini tetap kekeuh dan sedikit meneteskan air mata.
Nanti dulu, jangan langsung melekatkan air mata dengan stereotype manja dan malas yang kerap dilabelkan kepada anak Gen Z. Aya yang saya tahu ini, memang cukup (terlalu) ‘serius’ jika berurusan dengan akademik. Hal ini yang menyebabkan, terlihat ada sedikit kekhawatiran bagi dia jika cara yang saya anjurkan, berdasarkan pengalaman saya, akan membuat nilai dia jelek atau versi dia adalah SALAH.
Hasil survei dari Varkey Foundation untuk Gen Z menyatakan, kecemasan yang dihadapi oleh Gen Z mayoritas dipengaruhi oleh Uang, kemudian akademis, kesehatan dan keluarga. Lebih dari setengah responden atau sebanyak 51 persen mengatakan “uang” adalah satu dari tiga faktor utama yang berpengaruh pada rasa cemas mereka.
Lalu sebanyak 46 persen merasa tertekan oleh kegiatan akademiknya di sekolah.
Penyebab lain ketidakbahagiaan para anak muda ini adalah masalah kesehatan yang mengambil porsi 32 persen, keluarga 27 persen. Hanya sebanyak 30 persen dari responden Gen-Z ini yang merasa tak memiliki masalah dengan kesehatan emosi.
Artinya, tak banyak masalah yang dipikirkan, tidak merasa cemas, diganggu, tidak dicintai, ataupun kesepian. Wajar saja, sebab hanya sebesar 17 persen Gen-Z yang mengaku mendapatkan tidur cukup, istirahat, dan refleksi.
Faktor akademis yang menjadi peringkat kedua penyebab kecemasan dan ketidakbahagiaan Gen Z ini juga memberikan dampak tidak percayanya Gen Z terhadap pendidikan tinggi, setidaknya hal tersebut dapat ditunjukkan dari hasil survei Morning Consult, sebuah perusahaan teknologi riset, yang menyatakan, Sekitar 35 persen anggota dewasa Generasi Z yang disurvei mengatakan mereka cenderung tidak mempercayai pendidikan tinggi, mereka yang berusia 18-25 tahun yang termasuk dalam kelompok Generasi Z adalah yang paling tidak mempercayai pendidikan tinggi.
David Stillman dan Jonah Stillman (2017) memberikan gambaran cukup komprehensif tentang karakter Gen Z. Dalam bukunya Gen Z @ Work: How The Next Generation is Transforming the Workplace, ayah dan anak ini mengidentifikasi tujuh karakter utama Gen Z, yaitu: figital, fear of missing out (FOMO), hiperkustomisasi, terpacu, realistis, Weconomist, dan do it yourself (DIY).
FOMO yang merupakan satu dari 7 sifat unik Gen Z, yang saya rasa terdapat di Aya, sangat takut melewatkan sesuatu. Hal ini menyebabkan, Aya cenderung memiliki kekhawatiran kurang bergerak cepat/Tidak menuju arah yang benar. Selalu ingin melompat dan memastikan bahwa mereka tidak ketinggalan.
Sebenarnya, jika dikelola dengan baik, FOMO ini menjadi satu hal yang baik dengan penguatan sifat unik realistisnya. Namun, terkadang ketakutan untuk tertinggal tersebut memang cenderung untuk mengabaikan keruntutan, kehati-hatian dan keseksamaan dalam melihat sesuatu, yang pada akhirnya justru menjebak Gen Z pada hal-hal yang tidak substansi.
Walaupun cukup menyulitkan bagi saya untuk berhadapan dengan Aya versi Gen Z ini, namun sebagai milenial, saya tetap harus mempelajari bagaimana menghadapinya.
Akhirnya untuk menenangkan Aya, setelah coba menjelaskan dengan ringkas sesuai panduan Praktik Kampusnya, saya langsung saja memberikan judul untuk artikel ilmiah luaran dari praktik ini.
Aya jangan menangis lagi kalau dosen nanti nolak judul tersebut, soalnya saya milenial yang masih harus belajar menghadapi Gen Z.(*)