JAKARTA, BANPOS – Belakangan ini kita mungkin sering mendengar istilah Nawacita namun belum memahami secara keseluruhan tentang arti maupun makna dari istilah kata tersebut. Nawacita adalah agenda pokok Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Yusuf Kala.
Istilah Nawacita itu sendiri diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti sembilan cita/harapan/keinginan. Rumusan Nawacita memiliki tiga ciri utama, yakni Negara Hadir, Membangun dari Pinggiran, dan Revolusi Mental.
Konsep Nawacita yang digaungkan oleh Presiden Joko widodo ini bertujuan untuk memajukan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian, dengan mewujudkan sembilan cita/harapan/keinginan melalui kerja nyata yang diawali dari pembangunan fondasi dan dilanjutkan dengan upaya akselerasi di berbagai bidang.
Nawacita telah dijabarkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, yang merangkum arah kebijakan pembangunan infrastruktur dasar dan konektivitas. Arah kebijakan ini merupakan sasaran pembangunan sektor unggulan. Adapun arah kebijakan pembangunan sektor unggulan itu, antara lain, meliputi penyelenggaraan sinergi air minum dan sanitasi nasional, transportasi pendukung sistem logistik nasional, jaringan jalan kota, dan aksesibilitas energi.
Sementara itu, indikator infrastruktur dasar dan konektivitas mencakup rasio elektrifikasi, konsumsi listrik per kapita, tempat tinggal, akses air minum, sanitasi, pengembangan jalan nasional, serta pembangunan jalan baru, jalan tol, pelabuhan, dermaga penyeberangan, bandara, jalur kereta api, dan jangkauan pita lebar. Pendanaan proyek-proyek infrastruktur dasar dan konektivitas tersebut berasal dari pemerintah, kerja sama pemerintah dan swasta, BUMN, dan swasta. Sokongan dana dari pemerintah selama lima tahun RPJMN adalah Rp 1.300 triliun atau sepertiga dari total kebutuhan pendanaan.
Dalam implementasinya, Pemerintah telah menetapkan proyek-proyek yang masuk kategori proyek strategis nasional, yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka percepatan pelaksanaan proyek strategis tersebut, pada tanggal 8 Januari 2016 Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Yang menyebutkan bahwa Proyek Strategis Nasional adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah.
Adapun proyek-proyek yang masuk dalam proyek strategis nasional itu antara lain, proyek pembangunan infrastruktur jalan tol; proyek jalan nasional atau strategis nasional non-tol; proyek sarana dan prasarana kereta api antarkota; proyek kereta api dalam kota; proyek revitalisasi bandara; pembangunan bandara baru; proyek pembangunan bandara strategis lain; pembangunan pelabuhan baru dan pengembangan kapasitas; program satu juta rumah; pembangunan kilang minyak; proyek pipa gas atau terminal LPG; proyek energi asal sampah; proyek penyediaan infrastruktur air minum; proyek penyediaan sistem air limbah komunal; pembangunan tanggul penahan banjir; proyek pembangunan pos lintas batas negara (PLBN) dan sarana penunjang; proyek bendungan; program peningkatan jangkauan broadband; proyek infrastruktur IPTEK strategis lainnya; pembangunan kawasan industri prioritas atau kawasan ekonomi khusus; proyek pariwisata; proyek pembangunan smelter; dan proyek pertanian dan kelautan. ( Sumber : Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Jawa Tengan )
Dalam pelaksanaan pembangunannya, Pemerintah juga dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang timbul akibat sejumlah faktor yang tidak terprediksi namun sangat mempengaruhi proses pembangunan proyek strategis nasional tersebut. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaksana tugas yang ditunjuk dan diberikan tanggung jawab dalam pengawasan hingga memastikan proyek strategis nasional tersebut dapat berjalan dengan baik dan selesai sesuai dengan RPJMN.
Beberapa Faktor yang kerap ditemui dan menjadi kendala bagi para pelaksana tugas yaitu terjadinya Inflasi, Keaikan Kurs Mata Uang Asing, Pendanaan dan Pembiayaan, keterlambatan penerbitan perizinan analis mengenai dampak lingkungan (Amdal), permasalahan kontruksi akibat cuaca, tenaga kerja dan material.
Tidak jarang faktor-faktor tersebut menjadi kendala pada proses pembangunan Proyek Strategis Nasional bahkan hingga dilakukannya pemeberhentian sementara, agar dapat dilakukan kajian atas permasalahan yang terjadi serta mempertimbangkan sejumlah aspek, untuk menghindari resiko terburuk yang mungkin terjadi jika salah dalam mengambil suatu keputusan .
Salah satu contoh Proyek Pembangunan Pabrik Besi Baja Atau Blast Furnace Complex di PT Krakatau Steel Tbk (KRAS). Pembangunan Proyek Strategis Nasional yang dilaksanakan oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Merupakan langkah Pemerintah dalam melakukan penghematan pembelanjaan bahan baku sekaligus meningkatkan Ketahanan Baja Nasional.
Sebut saja Edi (Nama Samaran), Pria berusia 60 tahun Pensiunan PT Krakatau Steel Tbk ini tidak ingin identitasnya diketahui, namun dirinya ingin berbagi pengetahuan tentang dunia Industri baja yang sudah digelutinya selama 30 Tahun Lebih.
Menurutnya, rampungnya Pabrik Besi Baja atau Blast Furnace Complex milik PT KS pada 2019 lalu, seharusnya dapat menjadi cikal bakal bagi PT KS dalam menjaga ketahanan baja nasional dan dapat memenuhi kebutuhan baja perkapita.
“Industri baja yang baik itu adalah industri yang dapat menguasai ke tiga bidang yaitu Iron Making, Steel Making dan Rolling Mill. Karena Industri baja merupakan Industri Hulu sedangkan saat ini kita hanya jalan Hilir aja di Rolling Mill,” Kata Edi kepada awak media.
Rencana PT Krakatau Steel Tbk untuk pembangunan Blast Furnace Complex tercetus pada tahun 2008 silam dan baru mulai dieksekusi pada tahun 2012 lalu. Gagasan awal untuk membangun Blast Furnace tersebut adalah agar PT KS dapat menjadi Industri Baja yang yang memenuhi standar dengan menguasai tiga bidang, yaitu Iron Making (Pabrik Pembuatan Besi Murni), Steel Making (Pabrik Pembuatan Bahan Baku Baja) dan Rolling Mill (Pabrik Rolling Pembuat Produk Baja). Yang kemudian sering juga disebut Integrated Steel Company Atau Pabrik Baja Terpadu
“Saat ini kita kita ada di hilir, bahan baku kita punya, lalu pabrik pengolahan bahan baku (Iron Making) menggunakan Blast Furnace berjalan. Jika seperti ini dari hulu sampai hilir kita punya semua. Untuk pembuatan bahan baku bajanya kita tinggal formulasikan sesuai dengan kebutuhan dan permintaan pasar, misal Baja Reguler atau Baja Spesial. Dan untuk memproduksi itu semua, bahan baku yang diperlukan ada di negara kita,” jelas Edi.
Proses panjang dalam pembangunan Blast Furnace Complex yang memakan waktu kurang lebih 7 tahun bukan tanpa sebab. Sejumlah faktor yang kerap menjadi kendala dalam pembangunan Proyek Strategis Nasional juga dialami pada saat proses pembangunan Blast Furnace Complex milik PT Krakatau Steel Tbk. Sehingga pembangunan proyek tersebut mengalami keterlambatan dalam pelaksanaan proyeknya dikarenakan banyaknya kendala, baik kendala di lapangan, maupun kendala yang lain. Sehingga menyebabkan over cost run atau penambahan biaya yang muncul diluar biaya yang sudah diperhitungkan.
Tidak cukup sampai disitu, situasi keuangan PT KS yang kurang baik ditambah dengan harga baja yang merosot pada waktu itu, membuat konsorsium Bank Asing yang akan memberikan pinjaman untuk membangun proyek tersebut memilih mundur dan tidak meneruskan perjanjian pinjaman untuk membangun Blast Furnace Complex, khususnya untuk porsi luar negeri. Sehingga demi menyelesaikan pembangunan tersebut PT Krakatau Steel Tbk mencari pengganti sumber pendanaan di dalam negeri melalui HIMBARA (Himpunan Bank Milik Negara).
“Berpengaruh juga dari nilai dolar, karena harga material untuk proyek ini mengikuti nilai kurs mata uang. Lalu lambannya kita dalam mengambil suatu keputusan, sehingga seringkali proyek dihentikan menunggu kajian dan keputusan. Jadi terlihat seperti mangkrak atau terabaikan, walaupun begitu, gaji para pekerja proyek tersebut tetap harus dibayarkan. Itu salah satu contoh timbulnya over cost run pada proyek ini,” jelas Edi.
“Pada pelaksanaannya saya rasa hampir semua Proyek Strategis Nasional menggunakan metode asas manfaat. Contoh kita lelang pekerjaannya, dengan melampirkan syarat kontraktor membawa sumber pendananya berupa kredit export dari negaranya untuk pembangunan proyek tersebut,” tambah Edi
Dengan menggunakan system lelang atau tender yang mengedepankan asas manfaat diakui dapat membantu perusahaan dalam menekan biaya pengeluaran. Pertama dengan memberikan bunga pinjaman atas modal yang dipinjamkan lebih rendah dari suku bunga pinjaman yang diberikan oleh Bank di Negara ini.
“Kita tuh lama di proses ini, ambil keputusan untuk sumber pendanaan dari Bank Asing atau Bank di Negara Ini. Begitu setuju dengan modal dari Bank Asing, keuangan KS merosot sehingga pendana yang mundur. Jadi akhirnya memutuskan mencari sumber pendanaan dari dalam negeri HIMBARA (Himpunan Bank Milik Negara). Dan akhirnya costnya naik lagi, karena perbedaan suku bunga yang hampir mencapai 2 kali lipat,” ungkap Edi.
Rangkaian cerita panjang pembangunan Blast Furnace Complex di PT Krakatau Steel, merupakan keinginan kuat dari Perusahaan Baja milik negara ini, untuk menjaga ketahanan baja nasional dan berdiri sejajar dengan para pelaku industri baja besar di sejumlah negara. Hanya saja penyelesaian proyek pembangunan Blast Furnace Complex dan pengoprasiannya terjadi di momen yang kurang tepat. Sehingga hal tersebut hanya terlihat sebagai pemborosan atau inefesiensi.
“Bukannya boros, atau membuat rugi negara. Karena beberapa faktor yang tidak bisa terprediksi akhirnya terjadi over cost. Karena ada sebabnya bukan disengaja. Kalau dianggap merugikan negara juga sepertinya tidak. Baru juga beroperasional sudah di stop. Jadi kita belum bisa pastikan ini rugi, lagipula kan pabriknya memang ada dan terbangun,”sanggah Edi kepada wartawan.
Kedepannya, Edi meyakini Blast Furnace Complex yang diberhentikan saat ini melalui pertimbangan-pertimbangan dan kajian. Akan kembali beroperasi dikarenakan untuk menjadi industri baja yg kuat, suatu perusahaan harus mempunyai industri baja yang terintegrasi, atau integrated steel company, dengan kapasitas yang cukup besar, agar dapat memenuhi kebutuhan baja nasional, yang sampai dengan hari ini diperkirakan lebih dari 50 persen kebutuhan baja nasional masih di penuhi melalui jalur import. Sehingga dengan dibangunnya pabrik baja milik negara (BUMN) yang cukup besar di Kota Baja (Cilegon) dan telah terintegrasi. Akan Berdampak pada penghematan Devisa negara akibat berkurangnya aktivitas import baja.
“Sangat perlu, entah kapan akan dioperasikan kembali. Namun pastinya akan menambah cost perusahaan, namun Ketika sudah berjalan dengan formulasi yang tepat. KS akan untung besar,” Paparnya
Namun Resiko Bisnis yang terjadi dalam proses pembangunan Proyek Strategis Nasional seharusnya dapat dilihat secara cermat dengan menyesuaikan waktu kejadian dan melibatkan para ahli dibidangnya, serta mempertimbangan situasi dan kondisi negara pada waktu dilaksanakannya proyek tersebut.
Akibat sudut pandang yang berbeda sejumlah nama petinggi PT Krakatau Steel yang menjabat pada periode pembangunan proyek Blast Furnace Complax terseret masalah hingga harus menempuh jalur persidangan untuk melakukan pembuktian atas dakwaan yang disangkakan.
“Jadi menurut saya, masalah yang muncul saat ini bukan lah tindak kejahatan. Mungkin ada kesalahan yang mereka lakukan tapi bukan disegaja. Ini Hanya berbeda sudut pandangnya saja mungkin karena mereka melihat itu dan menyamakan dengan situasi dan kondisi saat ini. Jadi pasti berbeda gak akan sama situasi dan kondisinya,” tutup Edi.
Rangkaian panjang cerita proyek pembangunan Blast Furnace Complex milik PT Krakatau Steel merupakan gambaran bagi para pelaksana pembangunan Proyek Strategis Nasional lainnya. Bahwa keputusan ataupun kebijakan yang diambil untuk menyelamatkan perusahaan dari situasi tertentu dengan pertimbangan bisnis yang terjadi pada waktu tertentu. Bisa saja dianggap menjadi suatu kesalahan fatal jika dilihat dengan sudut pandang menggunakan pertimbangan bisnis yang terjadi di waktu yang berbeda.
Dari kasus hukum yang dialami para terdakwa atas pembangunan proyek Blast Furnace Complex di PT Krakatau Steel, sepertinya diperlukannya sudut pandang yang adil dalam melihat permasalahan tersebut menggunakan pertimbangan bisnis yang terjadi saat itu guna menghindari terjadinya multi tafsir yang keliru terhadap keputusan maupun kebijakan yang dibuat dengan perimbangan bisnis yang terjadi di masa itu.
“Nanti kita akan lihat putusan yang diberikan oleh hakim kepada para terdakwa. Saya yakin majelis hakim yang terhormat dapat menilai sendiri berdasarkan bukti, keterangan saksi, saksi ahli, dan fakta persidangan lainnya, sebagai bahan pertimbangan majelis terhormat dalam memberikan putusan,” ujar Edi.
Dari kasus yang terjadi pada proyek pembangunan Blast Furnace Complex di PT Krakatau Steel, tentunya dapat dijadikan contoh dan juga pembelajaran bagi para pengelola BUMN, pimpinan perusahaan, pengelola maupun kontraktor dalam upaya bersama sama membangun kemandirian industri di masa yang akan datang. (ZIK/AZM)