LEBAK, BANPOS – Pengelolaan sejumlah titik pariwisata yang masuk sebagai objek retribusi, dinilai bermasalah oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Banten. Hal itu berdasarkan dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Lebak tahun 2022.
Dalam laporan tersebut, BPK menemukan adanya sejumlah ketidaksesuaian dalam pengelolaan empat destinasi wisata yang merupakan objek retribusi. Keempatnya yakni Pemandian Air Panas Tirta Lebak Buana, Pantai Sawarna, Wisata Terpadu Kebun Teh dan Pantai Bagedur.
Adapun temuannya terdiri atas tidak adanya cantolan hukum dalam pelaksanaan kerjasama pengelolaan destinasi wisata dengan pihak ketiga berbentuk Perda atau Perbup, tidak memadainya kajian penentuan besaran nilai kontribusi dan tidak adanya mekanisme pemilihan dalam penunjukan pihak ketiga, penunjukan pihak ketiga yang bukan merupakan badan hukum dan belum dipenuhinya klausul perjanjian kerjasama oleh pihak ketiga.
Terkait dengan penentuan besaran kontribusi dan penunjukan pihak ketiga, BPK menilai bahwa Pemkab Lebak melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) tidak melakukan kajian yang memadai. Hal itu mengakibatkan adanya kejomplangan dalam hal kontribusi, dengan nilai realisasi yang didapatkan oleh pihak ketiga.
Menurut BPK, hal itu karena Disbudpar tidak menggunakan data laporan jumlah pengunjung tahun 2021 untuk setiap objek wisata, sebagai dasar kesepakatan nilai kontribusi dengan pihak ketiga. Padahal, data tersebut seharusnya digunakan sebagai acuan.
Adapun perbandingan data kontribusi yang disepakati dengan perhitungan BPK sebagai berikut: Pemandian Air Panas Tirta Buana realisasi Rp155.760.000 dengan nilai kontribusi Rp70 juta, Pantai Sawarna realisasi Rp533.785.000 dengan nilai kontribusi Rp100 juta, Wisata Terpadu Kebun Teh realisasi Rp73.680.000 dengan nilai kontribusi Rp10 juta dan Pantai Bagedur realisasi Rp163.460.000 dengan nilai kontribusi Rp50 juta.
“Nilai kontribusi di dalam perjanjian kerjasama dapat ditingkatkan dengan mempertimbangkan biaya pengelolaan obyek rekreasi, sehingga Pemerintah Kabupaten Lebak dapat mengoptimalkan penerimaan PAD,” tulis BPK dalam laporan tersebut.
Selain itu, BPK juga menemukan bahwa pengelola Wisata Terpadu Kebun Teh yakni BUMDES AM Desa Hegarmanah, tidak menyetorkan kontribusi yang sebelumnya telah disepakati setiap tahunnya, yakni sebesar Rp10 juta. BUMDES AM Desa Hegarmanah hanya menyetorkan sebesar Rp1 juta.
“Berdasarkan laporan data pengunjung tahun 2022, realisasi penerimaan BUMDES AM sebesar Rp61.500.000 sehingga terdapat perbedaan penerimaan yang cukup signifikan antara realisasi penerimaan dengan besaran kontribusi yang harus disetorkan,” tulis BPK lagi.
Di sisi lain, BPK menyebut bahwa terdapat tiga destinasi wisata yang ternyata dikerjasamakan dengan orang pribadi. Padahal menurut BPK, kerjasama antara pemerintah dengan pihak ketiga, haruslah dilakukan dengan pihak berbadan hukum.
“Ketiga objek retribusi yang dikelola oleh orang pribadi adalah objek Pemandian Air Panas Tirta Lebak Buana, Wisata Pantai Sawarna dan Wisata Pantai Bagedur,” tulis BPK.
Menanggapi hal tersebut, Kabid Destinasi Disbudpar Lebak, Usep Suparno, mengatakan bahwa pengelolaan pihak ketiga tersebut merupakan pihak desa dengan alasan bahwa pihak desa lah yang paham betul dengan kondisi wilayah disana.
Adapun terkait penyebutan pribadi dalam temuan tersebut, ia menegaskan bahwa itu merupakan Kepala Desa bukan perorangan.
“Jadi memang MoU nya itu antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Desa. Karena memang sudah dari dulu hal tersebut terus terjalin. Karena yang tanda tangan memang kepala desa sendiri sebagai aparatur desa, bukan pribadi,” kata Usep saat dihubungi BANPOS melalui panggilan telepon, Selasa (1/8).
Ia menjelaskan, pemberian hak atas pengelolaan terhadap pihak ketiga setelah melakukan mekanisme tertentu yang dinilai mampu dan kompeten dalam hal tersebut. Usep mengaku, Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak masih belum siap untuk mengelola destinasi wisata tersebut secara mandiri dikarenakan berbagai faktor.
“Kita butuh mentor yang cukup banyak, lalu nantinya akan ada honor, biaya operasional dan lain sebagainya. Belum tentu pendapatannya bisa menutupi kebutuhan itu,” jelasnya.
Selama ini, laporan yang pihaknya terima sesuai dengan data kunjungan yang dicatat oleh pengelola. Namun, pada kenyataannya terkadang terdapat perbedaan karena tidak semua pengunjung datang membeli tiket.
Pihak Disbudpar sendiri pun melakukan pendataan dengan memastikan jumlah pengunjung yang hadir. Menurut Usep, ke depannya diperlukan palang pintu otomatis hingga tiket online (E-ticket) agar dapat memberikan data real time.
Ia memaparkan, saat penekanan Perjanjian Kerjasama, pihaknya mempertanyakan terlebih dahulu kesanggupan dari pengelola dalam memberikan atau menentukan target.
“Jadi kita diskusikan dulu, berapa sanggupnya mereka menyetor ke kas daerah. Umumnya memang meningkat, tapi pas ada covid-19 kemarin memang tidak ada kunjungan. Karena memang harus ada pemasukan ke kas daerah, akhirnya mereka mengajukan permohonan penurunan, akhirnya beberapa waktu lalu mengalami penurunan,” jelasnya.
Saat ditanyakan terkait belum adanya dasar hukum pengelolaan destinasi wisata oleh pihak ketiga, ia menerangkan, hal tersebut dilakukan karena telah dilakukan kerjasama tersebut sejak lama. Namun, katanya, pihaknya akan segera mengubah mekanisme dengan senantiasa berkoordinasi bersama Bagian Hukum dan pihak-pihak terkait, dalam upaya memperbaiki pengelolaan yang berkaitan dengan pendapatan dan retribusi daerah.
“Kita akan terus upayakan agar tetap bisa meningkatkan pendapatan daerah namun juga tanpa menyalahi regulasi yang ditetapkan,” terangnya.
Ia menegaskan, pertanggungjawaban yang ditetapkan ialah ketika penargetan setoran tiap tahunnya telah disepakati bersama sejumlah sekian, maka pengelola harus menyetorkan langsung kepada Kas Daerah.
“Memang selalu dengan kesepakatan bersama, adapun kendalanya kemarin yakni pada masa pandemi dengan adanya permohonan penurunan setoran pun hasil pertimbangan dan kesepakatan bersama,” tandas Usep.(MYU/DZH/PBN)