Penulis: Gina Maslahat

  • Anggaran RTLH Cilegon Naik 100 Persen

    Anggaran RTLH Cilegon Naik 100 Persen

    CILEGON, BANPOS – Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon dibawah kepemimpinan Walikota Helldy Agustian menaikkan anggaran program bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) hingga 100 persen, dari Rp7,5 juta kini menjadi Rp15 juta.

    Hal itu disampaikan Walikota Cilegon Helldy Agustian pada acara Penyaluran Bantuan Sosial, Jaminan Sosial Cilegon Bermartabat (JSCB), dan RTLH Tahun Anggaran (TA) 2023 di Kantor Kecamatan Jombang, Sabtu (24/6).

    “Pemerintah Kota Cilegon telah menaikkan anggaran untuk RTLH 100 persen, dari sebelumnya Rp7.500.000, kini menjadi Rp15.000.000,” kata Helldy, Sabtu (24/6).
    Menurut Helldy, program RTLH dan JSCB merupakan program sosial yang bertujuan untuk memanusiakan manusia.

    “Pemerintah Kota Cilegon membuat program ini dengan tujuan memanusiakan manusia,” tuturnya.

    Dalam hal ini, Helldy meminta kepada seluruh camat dan lurah untuk bekerja ikhlas.
    “Saya meminta kepada camat dan lurah di Kota Cilegon untuk bekerja ikhlas. Semoga menjadi pahala untuk semua,” ungkapnya.

    Helldy berharap, kegiatan tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
    “Semoga dengan adanya bantuan ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota Cilegon,” harapnya.

    Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kota Cilegon Damanhuri mengatakan, program penyaluran bantuan sosial, JSCB dan RTLH itu merupakan salah satu tujuan dari percepatan penanggulangan kemiskinan di Kota Cilegon.

    “Jumlah penerima bantuan untuk RTLH sebanyak 76 KPM (Kelompok Penerima Manfaat) yang akan menerima Rp15 juta. Dengan rincian Kelurahan Masigit 1 KPM, Sukmajaya 5 KPM, Cikerai 34 KPM, Kalitimbang 7 KPM, Banjarnegara 12 KPM, Kubangsari 9 KPM, dan Grogol 2 KPM. Sementara penerima Jaminan Sosial Cilegon Bermartabat berjumlah 780 orang yang akan menerima Rp 1 juta per tahun, dengan rincian Kecamatan Jombang 124 orang, Cibeber 98 orang, Cilegon 82 orang, Citangkil 103 orang, Ciwandan 114 orang, Purwakarta 70 orang, Grogol 87 orang,” tandasnya.(LUK/PBN)

  • SKh Alghisafa Labuan Tampilkan Kreativitas Murid Berkebutuhan Khusus

    SKh Alghisafa Labuan Tampilkan Kreativitas Murid Berkebutuhan Khusus

    LABUAN, BANPOS – Sekolah Khusus (SKh) Alghisafa, Labuan, Kabupaten Pandeglang, melepas puluhan anak yang telah selesai menempuh pendidikan. Kegiatan pelepasan siswa itu dirangkaikan dengan sejumlah penampilan kreativitas siswa yang merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK).

    Kepala SKh Alghisafa, Moch Aldy Ghifary, mengungkapkan bahwa pelepasan dan kenaikan kelas SKh Alghisafa ini sebagai upaya peningkatan potensi diri siswa dan membangun jiwa kreatif dan mandiri. Menurutnya, Skh Alghisafa sebagai sekolah penggerak berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik, yang mencakup kompetensi yaitu literasi, numerasi dan karakter, yang diawali dengan SDM yang unggul, seperti kepala sekolah dan guru-gurunya.

    “Diselenggarakan acara ini untuk menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus juga mampu memiliki kreativitas potensi sama seperti anak pada umumnya,” ujarnya, kemarin.

    Kegiatan ini juga dilakukan sebagai upaya menghindari stigma negatif, terutama di lingkungan luar sekolah yang selama ini masyarakat daerah setempat selalu memiliki stigma negatif. Bahwa anak berkebutuhan khusus tidak bisa apa-apa dan minim kreativitas.

    “Kami mengemas acara dengan dibarengi pentas seni dan hasil karya anak berkebutuhan khusus. Diharapkan hal ini membantu mengubah persepsi masyarakat tentang anak-anak berkebutuhan khusus,” tuturnya.

    Aldy menyampaikan, mungkin ada stereotip dan stigma yang berkembang di sekitar ABK, yang dapat mengurangi penghargaan terhadap potensi kreatif mereka. Meskipun demikian, ia memastikan dengan memperlihatkan hasil karya ABK melalui pentas seni dan gelar karya, siswa dapat menunjukkan betapa istimewanya kontribusi mereka.

    “Selain itu, pentas seni dan gelar karya juga memungkinkan anak-anak berkebutuhan khusus untuk mengungkapkan diri secara kreatif, dan mengekspresikan ide-ide mereka melalui berbagai bentuk seni. Ini dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri mereka dan memberikan wadah bagi bakat dan minat mereka untuk berkembang,” jelasnya.

    Kegiatan pentas seni rangkaian pelepasan dan kenaikan ini juga melibatkan seluruh pihak. Sehingga baik keluarga, teman, dan anggota masyarakat lainnya secara terbuka bisa datang dan menyaksikan secara langsung karya-karya yang luar biasa dari anak-anak berkebutuhan khusus.

    “Kami berharap, kegiatan ini dapat menyadarkan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus memiliki kreativitas yang sama dengan anak-anak lainnya. Dengan menyebarkan kesadaran ini, diharapkan masyarakat akan lebih menerima, mendukung, dan menghargai potensi anak-anak berkebutuhan khusus dalam bidang seni dan kreativitas,” tuturnya.

    Dalam ajang pentas ini, para ABK juga diharapkan terus dapat meningkatkan potensi diri dengan melatih mental supaya berani tampil di depan umum. Memiliki jiwa kreatif dan mandiri, yang dalam hal secara spesifik sejalan dengan profil pelajar Pancasila.

    “Ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang inklusif, dimana setiap individu memiliki kesempatan untuk berkembang dan mengekspresikan bakat mereka tanpa hambatan atau diskriminasi,” terangnya.

    SKh Alghisafa Labuan berkomitmen untuk terus memberikan layanan pendidikan seoptimal mungkin untuk ABK. Dengan mengusung semangat profil pelajar Pancasila, SKh Alghisafa akan menjadi wadah yang kokoh dalam membentuk ABK yang mencintai tanah air, menghargai keberagaman, dan berperilaku adil.

    “Semoga usaha kita dalam mewujudkan semangat Pancasila, terus berlanjut dan memberikan dampak positif yang luas bagi peserta didik dan masyarakat sekitar,” ucapnya.

    Diakhir, Aldy menegaskan bahwa dengan semangat profil pelajar Pancasila sebagai landasan, SKh Alghisafa juga memiliki cita-cita menjadi pusat pendidikan yang inklusif. Di mana setiap anak memiliki kesempatan yang setara untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

    “Tentunya, terus mendorong dan memperjuangkan hak-hak pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus,” tandasnya.(MUF/PBN)

  • Sulit Ditertibkan, Ngemis Sudah Jadi Profesi

    Sulit Ditertibkan, Ngemis Sudah Jadi Profesi

    LEBAK, BANPOS – Maraknya Pengemis disekitar pusat kota di Kabupaten Lebak mendapat sorotan dari Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) Cabang Lebak. Pasalnya, para pengemis di Kabupaten Lebak dinilai sudah menjamur, bahkan kerap ditemui di dekan pusat pemerintahan.

    Ketua Umum HMI-MPO Cabang Lebak, Habibullah, mengatakan bahwa pengemis di Kabupaten Lebak sangat mudah ditemukan. Menurutnya, dengan jarak kurang dari satu kilometer di sekitar gedung Kantor Bupati, sudah dapat ditemukan berbagai jenis pengemis yang berkeliaran.

    “Misal saja di Balong Rancalentah yang jadi tempat masyarakat berkumpul atau bahkan di lampu merah dekat Taman Hati. Di sana banyak pengemis mulai dari manusia silver, badut hingga yang lebih memprihatinkan ialah anak-anak,” kata Habibullah saat melakukan audiensi dengan Bupati Lebak, Jum’at (23/6) di gedung Negara Kabupaten Lebak.

    Habib menjelaskan, fenomena tersebut mulai mengganggu ketertiban masyarakat umum. Ia meminta, Pemerintah harus bertindak tegas dengan memberikan sanksi serta pemberdayaan agar para pengemis dapat lebih mandiri serta tidak kembali mengulangi hal serupa.

    “Kami (HMI-MPO) menyadari bahwa fenomena ini sudah mengakar, namun kami meminta agar Pemkab Lebak lebih serius menyelesaikan permasalahan sosial yang memilukan ini di Lebak,” tegasnya.

    Sementara itu, Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya, mengatakan bahwa Pemkab Lebak telah berupaya dalam mengentaskan masalah pengemis yang marak di Lebak. Mulai dari melakukan razia hingga pembinaan, namun para pengemis tersebut tidak jera.

    “Ini sudah dijadikan profesi bagi mereka, kita sudah sering mengupayakan melalui Satpol-PP dan juga Dinas Sosial, namun mereka kembali lagi seperti semula,” ucap Iti.

    Kepala Dinas Sosial Kabupaten Lebak, Eka Darmana Putra, mengatakan bahwa pengemis-pengemis yang sering ditemukan di sekitar Kota Rangkasbitung seolah membuat kegiatan mereka sebagai profesi sehari-hari.

    Menurutnya, pihaknya telah sering melakukan pembinaan bahkan memberikan bantuan sosial hingga bantuan modal.

    “Seperti yang ibu (Bupati) bilang, ini sudah seperti dijadikan profesi oleh mereka. Namun ke depan insyaallah kami akan berikan pembinaan lebih agar hal seperti ini bisa teratasi,” tandasnya. (MYU/DZH)

  • KPU Cilegon Temukan 482 Bacaleg Belum Memenuhi Syarat

    KPU Cilegon Temukan 482 Bacaleg Belum Memenuhi Syarat

    CILEGON, BANPOS – Verifikasi administrasi (vermin) berkas bakal calon anggota legislatif (bacaleg) yang diajukan 18 partai politik telah selesai. Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Cilegon sebanyak 482 Bacaleg belum memenuhi syarat (BMS).

    Anggota KPU Kota Cilegon Divisi Teknis, Urip Haryantoni mengatakan, dari berkas 556 Bacaleg, sebanyak 74 berkas Bacaleg dinyatakan memenuhi syarat (MS).

    “Dari 556 bacaleg, itu yang MS 74 yang lainnya BMS,” kata Urip usai Kegiatan Penyampaian Model BA Hasil Vermin Dokumen Persyaratan Bacaleg pada Pemilu 2024 di Kantor KPU Cilegon, Sabtu (24/6).

    Lebih lanjut, Urip menjelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan berkas bacaleg BMS. Diantaranya dokumen persyaratan bacaleg pada silon tidak diberi tanda centang. Kemudian terdapat ketidaksesuaian KTP dan belum disampaikannya berkas atau surat kesehatan dan persyaratan lainnya.

    “Karena seperti kalau dalam pengajuan, di formulir, di silon mereka itu umpamakan daftar riwayat hidup itu ada 7 item, mulai KTP, alamat, ternyata ada 1 yang tidak ter-check list. Maka posisinya BMS,” ungkapnya.

    “Seperti KTP (tidak sesuai), check list title nama gelar, terus ada yang belum surat kesehatan, ada yang belum mengajukan dokumen yang lainnya. Sehingga jika salah satu tidak terisi, maka posisinya BMS,” tambahnya.

    Kemudian Urip menerangkan, meski terdapat bacaleg yang BMS namun KPU memberi kesempatan kepada partai politik untuk melakukan perbaikan. Periode perbaikan dilaksanakan dari tanggal 26 Juni hingga 9 Juli 2023.

    Ia meminta, partai politik saat melakukan perbaikan agar benar-benar mencermati data bacaleg yang diperbaiki. Untuk membantu peserta pemilu, pihaknya juga membuka ruang konsultasi selama masa perbaikan.

    “Kita sama-sama mengarahkan ke LO (penghubung) partai politik, agar untuk melakukan ini dengan teliti. Dan kita KPU membuka ruang helpdesk untuk berkonsultasi karena posisi proses perbaikan ini kan terbatas waktunya. Kalau kita melihat yang sudah-sudah kemarin, Rata rata mengajukan injuri time. Maka kita arahkan dari tanggal 26 Juni besok, LO mulai mengecek lah. Sudah bisa mengunduh, dan memastikan mana yang benar,” tandasnya.(LUK/PBN)

  • Penindakan Kasus Tindak Pidana Penjualan Orang Makin Produktif

    Penindakan Kasus Tindak Pidana Penjualan Orang Makin Produktif

    JAKARTA, BANPOS – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyatakan, penindakan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) kini lebih gencar dan lebih produktif.

    Sebab, dulu, penindakan kasus TPPO seperti macet dan berjalan di tempat. Saat ini, sudah lebih dari 450 orang terjerat sebagai tersangka TPPO.

    “Bisa dilihat bersama, saat ini sangat produktif. Dulu seperti macet karena ada sindikat, backing, dan macam-macam. Sekarang sudah lebih dari 450 jadi tersangka,” kata Mahfud di sela-sela Fun Walk HUT ke-77 Bhayangkara di Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Minggu (25/6).

    Diungkapkan Mahfud, lebih dari 1.500 orang dalam tiga minggu terakhir diselamatkan dari kejahatan TPPO.

    Kata Mahfud, TPPO selalu melibatkan jaringan yang berkolaborasi antara Pemerintahan dan swasta. Teranyar, Polri tengah mengusut kasus jaringan penjualan organ ginjal.

    Dikatakan, keberhasilan Polri dalam mengungkap kasus dugaan perdagangan ginjal ini, merupakan tindak lanjut dari kerja Satuan Tugas TPPO.

    Sebelumnya, polisi telah mengungkap kasus TPPO jaringan internasional yang diduga melakukan bisnis penjualan organ tubuh, salah satunya ginjal. Kasus tersebut terungkap di Bekasi.

    “Terkait dengan penanganan kasus penjualan organ tubuh jaringan internasional di Bekasi, kami mendapatkan informasi,” kata Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan kepada wartawan, Kamis (22/6).(PBN/RMID)

  • Pemerintah Siap Sokong, Warga Minta Pengakuan

    Pemerintah Siap Sokong, Warga Minta Pengakuan

     

    PEMERINTAH Kabupaten Serang maupun Pemprov Banten mengaku siap untuk menyokong masyarakat apabila ingin mengelola secara mandiri Pulau Sangiang, jika nantinya PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) tidak mendapatkan restu perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) mereka. Sokongan tersebut bisa dengan dibentuknya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Sangiang.

    Berdasarkan dokumen Ringkasan Eksekutif Taman Wisata Alam Pulau Sangiang yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Banten tahun 2018, Pulau Sangiang memiliki segudang potensi wisata, baik itu darat maupun laut, ataupun alam dan budaya.

    Untuk wisata darat, Pulau Sangiang memiliki sejumlah objek wisata seperti lintas alam, pendakian gunung, berkemah hingga melihat panorama alam saat matahari terbit dan terbenam. Selain wisata alam, di darat pun Pulau Sangiang dapat menyediakan wisata budaya lantaran terdapat peninggalan-peninggalan zaman penjajahan Jepang seperti benteng, meriam dan goa-goa.

    Sementara wisata bahari atau laut, setidaknya terdapat 23 spot strategis yang dapat dikelola dengan maksimal meliputi wisata menyelam atau scuba diving, snorkling, Jetski, berenang, memancing hingga berjemur di pasir pantai putih.

    Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Serang, Anas Dwi Satya P, mengatakan bahwa sangat mungkin apabila nanti HGB PT PKP tidak diperpanjang oleh pusat, maka pemerintah daerah mengambil alih dalam pengelolaannya. Meskipun menurutnya, hal itu tidak secara langsung dilakukan oleh pemerintah daerah, melainkan dengan membentuk Pokdarwis.

    “Kita ada Pokdarwis, kelompok sadar wisata, masyarakat yang sadar wisata. Artinya nanti kelompok tersebut bisa saja yang mengelola bagaimana pulau itu dijadikan sebagai desa wisata,” ujarnya kepada BANPOS, Senin (19/6).

    Ia menuturkan, apabila Pulau Sangiang nantinya dapat dikelola langsung oleh masyarakat melalui Pokdarwis dan pembentukan desa wisata, kebermanfaatan atas berbagai potensi yang ada di Pulau Sangiang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

    “Bisa saja dengan dijadikan desa wisata sehingga memang kebermanfaatannya lebih untuk masyarakat. Setuju saya juga tuh, sangat setuju kalau misalnya seperti itu,” ungkap Anas.

    Senada disampaikan oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Al Hamidi. Menurutnya, pengelolaan Pulau Sangiang secara langsung oleh masyarakat melalui pembentukan Pokdarwis, akan memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan adanya Pokdarwis pun, potensi-potensi wisata yang ada di Pulau Sangiang dapat lebih maksimal.

    “Selain itu dengan dikelolanya langsung Pulau Sangiang oleh masyarakat, berarti kan ada pengangguran yang berkurang, bekerja di sana, di tempat itu. Saat ini kita sudah ada lebih dari 2.000 Pokdarwis yang terbentuk di Provinsi Banten di tahun 2023. Berarti yang menganggur dari sektor wisata sudah berkurang banyak,” terangnya.

    Sementara Sofyan Sahuri, mengatakan bahwa pihaknya tidak mau dukungan yang disampaikan oleh pemerintah cuma sebatas gimik belaka. Sebab, mayoritas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung berpihak kepada investor.

    “Jangan sampai ini hanya omongan di depan saja. Karena pemerintah saat ini cenderung lebih memilih investor gitu kan. Kadang mereka mengesampingkan apabila pengelolaan wisata dilakukan langsung oleh masyarakat,” ujarnya.

    Meski demikian, Ustad Pian mengaku bahwa sebetulnya masyarakat tidak menolak keberadaan investor di Pulau Sangiang. Namun yang perlu ditegaskan bahwa investor tersebut, tidak boleh memiliki keinginan untuk menguasai secara keseluruhan Pulau Sangiang.

    “Karena jika memang mau ada investor, kan bisa berdampingan. Masyarakat diberdayakan, tidak diusir-usir begitu. Kami tidak menolak investor, cuma tidak boleh seperti saat ini,” ungkapnya.

    Selain itu ia menegaskan, apabila pemerintah daerah memang mendukung pengelolaan Pulau Sangiang secara langsung oleh masyarakat, maka eksistensi masyarakat di Pulau Sangiang harus benar-benar diakui terlebih dahulu.

    “Karena yang terjadi saat ini adalah ketika kami melakukan penolakan, selalu ditanya ‘siapa yang menolak? Masyarakat mana?’ Artinya keberadaan kami ini kan tidak diakui. Selain itu, sudah banyak masyarakat kami yang akhirnya menyerah dan pergi ke Cikoneng, maka pengakuan dari pemerintah sangat penting bagi kami,” tandasnya.(MUF/DZH)

  • Pertarungan Tak Berujung, Dugaan Kriminalisasi Hingga Babi Hutan

    Pertarungan Tak Berujung, Dugaan Kriminalisasi Hingga Babi Hutan

    TIDAK henti-hentinya selama hampir 30 tahun, Pulau Sangiang dilanda berbagai persoalan. Pertarungan antara penduduk asli pulau dengan PT PKP selaku penerima Hak Guna Bangunan (HGB) dalam pengelolaan Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Sangiang, melibatkan banyak pihak. Mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, bahkan hingga babi-babi hutan.

    Riwayat konflik tersebut bermula saat PT PKP mendapatkan mandat dari pemerintah pusat pada tahun 1993, untuk melakukan pengusahaan wisata alam Pulau Sangiang. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 66/Kpts-II/1993 tertanggal 26 Desember 1993, pemerintah memberikan PT PKP untuk mengelola lahan seluas 591,65 hektare.

    SK Menteri Kehutanan pada saat itu, ditindaklanjuti dengan permohonan PT PKP untuk mendapatkan hak atas tanah berupa HGB, kepada Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Jawa Barat, pada saat itu Provinsi Banten belum berdiri. Permohonan penerbitan HGB disetujui dengan keluarnya Surat Keputusan Kepala Kanwil BPN Provinsi Banten nomor 745/HGB/KWBPN/1994 seluas 122.000 meter persegi (HGB 21), 746/HGB/KWBPN/1994 seluas 435.900 meter persegi (HGB 23), 747/HGB/KWBPN/1994 seluas 24.500 meter persegi (HGB 22) dan 748/HGB/KWBPN/1994 seluas 1.896.000 meter persegi (HGB 24). Secara akumulatif, luas tanah keempat HGB tersebut yakni 2.478.400 meter persegi.

    Berdasarkan pengakuan dari PT PKP dalam risalah putusan Nomor: 13/G/2012/PTUN-SRG, perusahaan yang berbasis di Jakarta tersebut mengklaim telah melakukan pembebasan tanah-tanah hak milik dan hukum adat, dari masyarakat Pulau Sangiang. Tanah-tanah yang diklaim dibebaskan ialah tanah milik masyarakat, yang masuk ke dalam batas HGB PT PKP, tepatnya HGB 24.

    “…dalam upaya merealisasikan usahanya tersebut terhitung sejak tahun 1993 (PT PKP) telah mulai melakukan pembebasan atas tanah-tanah Hak Milik dan Hak Milik Adat dari Penduduk/Pemilik Asal Tanah yang berlokasi di Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang,” demikian kutipan pernyataan PT PKP dalam amar putusan PTUN Serang.

    Klaim pembebasan lahan itu dibantah oleh Ustad Pian. Menurutnya, yang terjadi adalah pengusiran yang dilakukan pada awal pemberian hak pengusahaan Pulau Sangiang kepada PT PKP. Pun dengan klaim pembebasan tanah tersebut, justru dilakukan di bawah tangan dan tidak melibatkan masyarakat Pulau Sangiang.

    “Kalau kami melihatnya ada rekayasa untuk melakukan apa yang mereka lakukan pembebasan. Pada tahun 1993, masyarakat Cikoneng (daratan) secara tidak sadar sudah dipersiapkan untuk dijadikan alat untuk pembebasan tanah itu. Karena saat itu tiba-tiba sudah ada SPPT dan pembagian-pembagian lainnya, dan sudah dipersiapkan formulir untuk diisi pernyataan seolah-olah punya tanah di Pulau Sangiang. Lalu formulir itu dijual ke investor, sehingga jadilah yang tanah HGB itu,” tuturnya.

    Pertarungan antara masyarakat Pulau Sangiang dengan PT PKP tak surut dimakan zaman. Bak makanan sehari-hari, konflik itu terus berkelanjutan tanpa henti setiap tahunnya. Tercatat pada kisaran tahun 2018, terungkap bahwa masyarakat Pulau Sangiang dihadapkan pada persoalan babi hutan dan hewan hama lainnya, yang meneror aktivitas mereka. Masyarakat yang mayoritas bekerja dengan bercocok tanam, terganggu akibat hama babi hutan yang diduga sengaja disebar oleh PT PKP.

    “Padahal di sini bukan habitat babi hutan. Mulai munculnya babi hutan itu sejak tahun 2005 memang. Selain babi hutan, ada juga tupai, rusa dan bekicot darat. Semuanya mengganggu penghidupan masyarakat Pulau Sangiang seperti tupai yang sering mengambil kelapa, rusa yang sering memakan tanaman kami, juga bekicot darat,” ungkapnya.

    Menurut Ustad Pian, PT PKP mengakui jika mereka membawa sejumlah rusa untuk dipelihara di lahan yang mereka kelola. Rusa tersebut awalnya berada dalam kandang, namun suatu waktu, kandang tersebut rusak dan menjadi liar di Pulau Sangiang. Ia menduga, hewan-hewan itu sengaja dilepaskan oleh PT PKP untuk melakukan intimidasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak betah dan segera hengkang dari pulau.

    “Rusa itu sudah beranak pinak sehingga banyak sekarang. Sering juga masuk ke wilayah pemukiman masyarakat. Rusa itu kan makannya malam, dan sering memakan tanaman kami. Secara aturan juga ada rusa yang dilindungi, jadi kami menduga ini sengaja dilepasliarkan, sehingga jika ada warga yang membunuh rusa tersebut, bisa terkena kriminalisasi,” tuturnya.

    Pertarungan antara PT PKP dengan masyarakat Pulau Sangiang juga terjadi pada tahun 2019. Saat itu, masyarakat Pulau Sangiang dihadapkan pada dugaan kriminalisasi warga. Tiga orang warga Pulau Sangiang yakni Masrijan, Lukman dan Mardaka yang dituding telah menggunakan lahan HGB PT PKP, untuk mendulang keuntungan sendiri. Ketiganya dituduh demikian karena menyewakan rumah milik mereka kepada wisatawan, dengan tarif sebesar Rp500 ribu per hari. Ketiganya divonis bersalah dengan hukuman empat bulan penjara tanpa penahanan.

    Salah satu pihak yang getol menyuarakan pembebasan Pulau Sangiang ialah Pena Masyarakat. Di bawah kepemimpinan Mad Haer Effendi, Pena Masyarakat konsisten melakukan advokasi hingga saat ini. Perlahan tapi pasti, Mad Haer dan kawan-kawan menunggu momentum habisnya masa HGB PT PKP, untuk melakukan tekanan kepada pemerintah, agar tidak memperpanjang kondisi yang mereka sebut sebagai penjajahan terhadap Pulau Sangiang.

    Pria yang akrab disapa Aeng ini saat ditemui di Basecamp Pena Masyarakat, menegaskan bahwa persoalan Pulau Sangiang bukan hanya persoalan tanah semata, melainkan juga eksistensi terhadap keberadaan masyarakat Pulau Sangiang, yang telah turun temurun menempati pulau yang sejarahnya merupakan pemberian Kesultanan Lampung.

    Persoalan eksistensi itu muncul lantaran pada saat persidangan tiga warga Pulau Sangiang, pihak Perhutani yang dihadirkan sebagai saksi, menegasikan keberadaan masyarakat di Pulau Sangiang. Mereka hanya mengakui keberadaan Perhutani, TNI AL dan PT PKP saja.

    “Jadi harus ada pengakuan bahwa di Pulau Sangiang itu ada masyarakat. Juga harus ada pengakuan bahwa di sana ada kehidupan, kehidupan warga Negara Republik Indonesia yang kebetulan tinggal di Pulau Sangiang,” ujarnya kepada BANPOS.

    Ia menuturkan, klaim keberadaan PT PKP di Pulau Sangiang, adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal itu juga disebutkan oleh PT PKP dalam risalah persidangan PTUN sebelumnya. Namun ternyata, Aeng menegaskan bahwa tidak ada dampak apapun yang dirasakan oleh masyarakat, apalagi masyarakat Pulau Sangiang. “Malah yang ada justru mereka menunggak bayar Pajak Bumi dan Bangunan sejak 1997 kan,” tuturnya.

    Aeng mengungkapkan, alih-alih memberikan kesejahteraan, PT PKP justru malah melakukan tindakan pengusiran terhadap masyarakat. Terbukti dari yang awalnya terdapat 122 keluarga yang tinggal di Pulau Sangiang, terus menyusut hingga hanya tersisa 14 keluarga saja. Hal itu akibat gangguan hama yang diduga sengaja dilepaskan oleh PT PKP, dilanjutkan dengan bujuk rayu uang agar masyarakat hengkang dari sana.

    “PT PKP sedari awal memang mau menguasai penuh Pulau Sangiang. Mereka tidak mau berbagi dengan masyarakat asli pulau. Padahal masyarakat sudah ada sejak sebelum adanya PT PKP, bahkan sebelum negara menetapkan Pulau Sangiang sebagai kepemilikan negara,” tegasnya.

    Selain berbuat ‘onar’ dengan masyarakat Pulau Sangiang, PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) juga beberapa kali berhadapan dengan hukum, baik itu pidana, perdata maupun pajak, selama menguasai pulau. Pada tahun 2005, Direktur PT PKP, Dewanto Kurniawan, diseret ke meja hijau lantaran diduga telah melakukan perusakan terhadap Pulau Sangiang.

    Kasus yang bermula dari laporan masyarakat itu, ditindaklanjuti oleh Polda Banten. Dewanto pun ditetapkan sebagai tersangka, dan berkas perkara dilimpahkan ke Kejati Banten untuk didakwa. Seiring perjalanan persidangan, dilansir dari Hukum Online, Dewanto divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang, Husni Rizal.

    Vonis bebas tersebut lantaran JPU saat itu, Asnawi, enggan membacakan tuntutan, sebelum Majelis Hakim diganti. Keinginan JPU untuk mengganti Majelis Hakim, karena diduga Majelis Hakim telah menerima fasilitas dari terdakwa di Pulau Sangiang, sebelum persidangan dilakukan. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakindependenan hakim dalam memutus perkara.

    Namun Majelis Hakim tidak menghiraukan permintaan pergantian tersebut, dan tetap menjalankan persidangan. Hingga tiga kali persidangan, JPU keukeh tidak mau membacakan tuntutan, hingga akhirnya dakwaan awal dari JPU dimentahkan oleh Majelis Hakim. Dewanto dibebaskan dari dakwaan. Dari hasil penelusuran online BANPOS, tidak ada tindaklanjut atas perkara itu, meskipun JPU mengklaim telah mengajukan verzet atau perlawanan terhadap putusan hakim.

    Perkara selanjutnya yakni dicabutnya tiga HGB PT PKP oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dicabutnya HGB tersebut lantaran diduga tanah yang disertifikati HGB itu telah ditelantarkan oleh PT PKP. Pihak perusahaan menggugat putusan tersebut ke PTUN Serang, dan memenangkan persidangan. Kemenangan tersebut terjadi lantaran BPN diduga melakukan cacat administrasi dalam pelaksanaan penetapan tanah terlantar itu. Upaya banding dari pihak BPN pun tetap kalah, meskipun tidak ada bantahan terkait dengan status penelantaran tanah yang dimaksud oleh BPN.

    Terakhir yakni menunggaknya pajak bumi dan bangunan (PBB) PT PKP kepada Pemkab Serang. Perusahaan itu telah menunggak pajak sejak 1997, dan baru dilunasi pada tahun 2022 dengan besaran Rp6,8 miliar tanpa denda. Berdasarkan perhitungan, apabila PT PKP tetap membayar pajak dengan dibebankan denda, maka seharusnya pemasukan yang diterima oleh Pemkab Serang sebesar Rp9.875.692.287, dengan nilai denda sebesar Rp3.075.692.301 dengan asumsi denda 2 persen per bulan maksimal selama 24 bulan.(DZH/ENK)

  • Berebut Warisan Sultan di Pulau Sangiang

    Berebut Warisan Sultan di Pulau Sangiang

    DALAM hitungan bulan, Hak Guna Bangunan (HGB) yang merupakan landasan PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) dalam menguasai Pulau Sangiang akan habis. Sebanyak empat sertifikat HGB yang dipegang oleh perusahaan itu akan habis tepat pada 9 Maret 2024. Namun, PT PKP masih memiliki kesempatan untuk memperpanjang penguasaannya terhadap pulau yang berada di antara Pulau Jawa dan Sumatera itu, maksimal selama 20 tahun ke depan. Lalu, apakah Pulau Sangiang akan kembali di bawah kekuasaan PT PKP, atau akan bebas dan kembali kepada negara dan masyarakat?

    Pada Rabu (21/6) malam di Jakarta, tokoh masyarakat adat Cikoneng, termasuk mereka yang tinggal di Pulau Sangiang, melakukan pertemuan. Pertemuan tersebut membahas terkait dengan nasib Pulau Sangiang, dan momentum habisnya HGB PT PKP pada 9 Maret 2024 mendatang, yang dapat menjadi titik pembebasan pulau hibah Kesultanan Lampung kepada masyarakat Cikoneng pada abad ke-19.

    Sofyan Sahuri, salah satu tokoh masyarakat dan pemimpin perlawanan masyarakat Pulau Sangiang, turut andil dalam pertemuan itu. Ustad Pian, panggilan akrabnya, mengatakan bahwa pertemuan yang dilakukan oleh para tokoh adat Cikoneng itu mengharapkan agar Pulau Sangiang dapat kembali lagi ke pangkuan masyarakat.

    “Karena Pulau Sangiang itu berdasarkan sejarahnya, adalah pulau pemberian dari Kesultanan Banten kepada Kesultanan Lampung, yang dihibahkan kepada masyarakat Lampung yang tinggal di Banten atau di Cikoneng. Jadi Pulau Sangiang ini adalah tanah ulayat, tanah adat kami,” ujarnya kepada BANPOS.

    Sejarah masyarakat yang tinggal di Pulau Sangiang pun tidaklah singkat. Ia menuturkan, masyarakat Pulau Sangiang telah mengalami banyak pahit getirnya kehidupan selama menempati pulau tersebut. Pertama kali menempati pulau itu sejak tahun 1930-an, masyarakat Pulau Sangiang pernah mengalami kerja paksa oleh tentara penjajahan Jepang.

    “Kami sejarahnya pernah merasakan Romusa (kerja paksa) oleh Jepang, karena Pulau Sangiang pernah diduduki oleh tentara Jepang untuk menjadi markas pertahanan laut mereka. Di sini juga masih ada benteng Jepang. Hingga akhirnya pulau ini kembali ke masyarakat pada tahun 1950-an. Tapi ternyata pada tahun 1993, pulau kami ‘dibebaskan’ untuk dikuasai oleh PT PKP dan Perhutani,” ucapnya.

    Selama masa ‘pendudukan’ PT PKP, masyarakat yang tinggal di sana perlahan-lahan mengalami pengusiran paksa. Mulai dari yang kasar, hingga menggunakan cara-cara halus. Banyak dari masyarakat Pulau Sangiang pun yang terpaksa hengkang dari pulau, dan pergi ke daratan, sebutan untuk wilayah di Pulau Jawa.

    “Kalau zaman orde baru, pengusirannya dilakukan dengan cara yang keras. Makin ke sini makin halus, diiming-imingi uang yang sebenarnya tidak seberapa, sambil ditakut-takuti terkait dengan masalah hukum dan legalitas,” terangnya.

    Menurut Ustad Pian, pemerintah saat ini tidak boleh menutup mata atas permasalahan Pulau Sangiang, dan memberikan restu perpanjangan HGB kepada PT PKP. Pasalnya, hampir 30 tahun PT PKP menguasai Pulau Sangiang, tidak memberikan dampak apapun kepada masyarakat. Yang ada menurut dia, malah merugikan masyarakat.

    “Kami sudah 30 tahun itu menunggu-nunggu masa habisnya HGB PT PKP di Pulau Sangiang. Karena selama 30 tahun ini, mereka tidak membangun apa-apa di Pulau Sangiang. Adapun yang dibangun di persil HGB 23 menurut kami hanyalah kedok saja untuk menutupi kekurangan mereka yang tidak melakukan apa-apa. Paling berapa unit yang dibangun, itu juga karena ada teguran dari pemerintah,” tuturnya.

    Oleh karena itu, Ustad Pian menegaskan bahwa seharusnya perpanjangan HGB milik PT PKP tidak perlu diperpanjang. Apalagi selain menelantarkan pulau, PT PKP juga tidak memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat, seperti yang sebelumnya dijanjikan, maupun memberikan pemasukan tambahan bagi pemerintah daerah.

    “Cuma ya itulah hebatnya si perusahaan melakukan lobi di pusat, sampai sekarang meskipun tidak memberikan manfaat apa-apa dan sering membuat kegaduhan aja, tidak ada sanksi yang diberikan kepada mereka,” ungkapnya.

    Ustad Pian pun memastikan bahwa tidak ada pembangunan apapun yang dilakukan oleh PT PKP pada lahan HGB 21 dan 24, yang luasnya mencapai hampir dua juta meter persegi. PT PKP hanya membangun pada lahan HGB 22 dan 23, itu pun menurutnya hanya sebagian kecil lahan saja yang dibangun. “Jadi kami sangat yakin kalau pembangunan di lahan HGB 22 dan 23 itu sebenarnya hanya kedok saja supaya tidak ditetapkan sebagai tanah terlantar,” tegasnya.

    Berdasarkan informasi yang didapat BANPOS, PT PKP tengah berupaya melakukan perpanjangan sertifikat HGB yang mereka miliki, atas empat bidang tanah di Pulau Sangiang. Keempatnya yakni HGB 21, HGB 22, HGB 23 dan HGB 24. Sumber BANPOS lainnya mengutarakan jika pemerintah tengah bingung apakah akan memperpanjang HGB PT PKP atau tidak, karena terjadi konflik dengan masyarakat.

    PT PKP saat hendak dikonfirmasi BANPOS melalui sambungan telepon kantor dengan nomor 0215805777 dan nomor kantor 0215809855 yang tersebar di internet, tidak mendapatkan respon. Beberapa kali BANPOS melakukan panggilan telepon ke dua nomor tersebut, namun tidak ada yang mengangkat panggilan BANPOS.

    Sementara Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Banten saat dikonfirmasi terkait dengan proses perpanjangan sertifikat HGB PT PKP di Pulau Sangiang, menuturkan bahwa pihaknya tidak bisa memberikan keterangan lantaran bukan kewenangannya. Kewenangan yang dimaksud yakni luas tanah yang tercatat dalam sertifikat HGB, hanya masuk ke dalam kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Serang, dan BPN pusat.

    Namun berdasarkan Permen ATR/KBPN RI Nomor 16 tahun 2022, kewenangan HGB untuk Badan Hukum yang dimiliki oleh Kanwil BPN ialah di atas 30 ribu meter persegi, hingga 250 ribu meter persegi. Salah satu HGB yang dimiliki oleh PT PKP yakni HGB 21 dengan luas 122 ribu meter persegi, seharusnya masih masuk ke dalam kewenangan mereka.

    Sementara saat BANPOS hendak mengonfirmasi pihak Kantah Kabupaten Serang pada Kamis (22/6), BANPOS dipertemukan dengan manajer loket yang bertugas saat itu yakni Rika. Dia menolak memberikan kesempatan kepada BANPOS untuk mengonfirmasi pejabat yang berwenang terkait dengan HGB, dengan alasan harus memberikan surat resmi terlebih dahulu.

    Saat dijelaskan bahwa kehadiran BANPOS untuk mengonfirmasi pemberitaan dan bukan untuk permohonan informasi, Rika tetap bersikeras bahwa kebijakan yang ada pada Kantah Kabupaten Serang ialah harus melampirkan surat resmi terlebih dahulu. Namun saat ditanya terkait dengan kebijakan yang dimaksud mengacu pada ketentuan apa, ia enggan menjawab.

    Akan tetapi pada hari sebelumnya yakni Rabu (22/6), manajer loket yang bertugas pada saat itu menyatakan bahwa sampai saat ini, belum ada surat yang masuk dari PT PKP, terkait dengan perpanjangan sertifikat HGB. Akan tetapi, ia tidak bisa memberikan informasi lebih, karena terbatas kewenangan.

    Untuk diketahui, PT PKP dalam melakukan pengusahaan wisata Pulau Sangiang, juga mengantongi beberapa berkas perizinan. Diantaranya yakni Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang No: 648/1795/TIB tanggal 1 Juli 1994 perihal Persetujuan prinsip pembangunan hotel, cottages dan jasa rekreasi (lapangan Golf, taman wisata alam) serta pembangunan perumahan seluas 780 hektare dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Serang Nomor: 460 ––SK – 1994 Tanggal 19 Juli 1994 tentang Perubahan Ijin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan Jasa Akomodasi (Hotel) Jasa Rekreasi dan Hiburan, Lapangan Golf dan Taman Wisata Alam serta Pembangunan Rumah Peristirahatan (Villa) seluas 7.800.000 meter persegi.

    Berdasarkan pantauan citra satelit, video internal PT PKP dan penuturan masyarakat, dari perencanaan pembangunan yang hendak dilakukan oleh PT PKP melalui persetujuan prinsip dan izin lokasi tersebut, yang terealisasi hanyalah pembangunan rumah peristirahatan saja. Itu pun hanya terdapat empat cottages di tepi laut, dan bangunan lainnya di lahan HGB 22. Sementara seperti lapangan golf dan lain-lainnya, tidak terbangun hingga saat ini. Bahkan, HGB 24 yang memiliki luas terbesar, tidak tersentuh pembangunan bangunan apapun.

    Praktisi hukum sekaligus akademisi Universitas Bina Bangsa (Uniba), Wahyudi, kepada BANPOS mengatakan bahwa akar dari Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan hak-hak lainnya dalam penguasaan dan pengelolaan tanah, mengacu pada Undang-undang Pokok Agraria. Salah satu aturan turunan dari Undang-undang tersebut ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.

    “Pada PP tersebut sudah ditegaskan pada Pasal 7 ayat (3), ketika si pemegang HGB tidak melakukan pembangunan sesuai dengan apa yang direncanakan selama dua tahun, sudah layak dicabut itu seharusnya, karena terlantar. Artinya ketika pengajuan itu mau buat resort, lapangan golf, taman dan lain sebagainya, ketika tidak dilakukan maka berdasarkan PP tersebut maka sudah layak dicabut,” ujarnya.

    Ia menuturkan, apabila perizinan untuk melakukan pembangunan sudah keluar sejak tahun 1990-an namun hingga saat ini tidak ada progres pembangunan sama sekali, maka sudah berlalu lebih dari 20 tahun. Sehingga menurutnya, jika mengacu pada peraturan perundang-undangan, HGB yang dimiliki oleh PT PKP sangat layak untuk dicabut.

    “Jadi kalau menurut saya, atas nama Undang-undang, itu harus dicabut. Atau minimal diperingatkan lah. Kalau kita lihat dalam PP Nomor 18 tahun 2021, di situ dijelaskan bagaimana cara mendapatkan, cara memperpanjang dan bagaimana hilangnya hak atas tanah. Dia bisa memperpanjang sampai 20 tahun lagi, tetapi jika merunut pada 30 tahun sebelumnya, rasanya wajar lah kalau disebut terlantar,” ucapnya.

    Menurutnya, apabila masyarakat Pulau Sangiang melakukan penuntutan saat ini atas ditelantarkannya jutaan meter persegi tanah HGB di sana, maka seharusnya pemerintah dapat mengabulkannya.

    “Saya pastikan kalau ada warga yang menggugat, sangat bisa menang. Karena jelas kan, lebih dari 2 tahun tidak digunakan sesuai dengan apa yang menjadi haknya selaku pemegang HGB, maka itu bisa dicabut,” tegasnya.

    Sebagaimana dugaan dari Ustad Pian, Wahyudi pun menduga pembangunan yang difokuskan oleh PT PKP hanya pada dua lahan HGB, hanyalah untuk membangun eksistensi saja supaya terlihat lahan tersebut telah diusahakan.

    “Namun kan ada beberapa titik yang tidak digunakan sama sekali. HGB itu kan hak untuk mendirikan bangunan, maka harus ada eksistensi bangunannya dulu. Kalau HGB dimanfaatkan untuk misalkan pariwisata saja tanpa ada pembangunan, ya diubah lah jangan HGB, karena kan HGB itu harus ada bangunannya,” tutur dia.
    Maka dari itu, Wahyudi menuturkan bahwa tidak berlebihan apabila masyarakat menuntut agar HGB untuk PT PKP tidak diperpanjang, karena tidak memberikan dampak positif apapun selama hampir 30 tahun penguasaannya.(DZH/ENK)

  • Suplai Baja dari Cilegon untuk Pembangunan Istana Kepresidenan IKN

    Suplai Baja dari Cilegon untuk Pembangunan Istana Kepresidenan IKN

    JAKARTA, BANPOS,-  Perusahaan baja terbesar di Asia yakni PT Krakatau Steel (Persero) Tbk melakukan pengiriman plat baja Krakatau Steel Group untuk pembangunan Istana Kepresidenan di Ibu Kota Negara (IKN) pada Rabu (22/6).

    Prosesi pengiriman ini dihadiri oleh Direktur Pengembangan Bisnis dan Portofolio Krakatau Steel Agus Nizar Vidiansyah, Direktur Utama PT Siluet Nyoman Nuarta (Nuart) I Nyoman Nuarta, Perwakilan PT PP (Persero) Tbk, serta perwakilan dari PT. Cigading Habeam Centre yang menangani proses fabrikasi dan pengiriman dari pelat baja tersebut.

    Pelat baja yang disuplai oleh Krakatau Steel ini akan digunakan untuk memproduksi instalasi desain Garuda di lokasi Istana Kepresidenan IKN yang dibuat desainnya oleh I Nyoman Nuarta. I Nyoman Nuarta adalah pematung Indonesia dan salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru. Mahakaryanya yang terkenal seperti diantaranya patung Garuda Wisnu Kencana di Bali, patung Fatmawati Soekarno, Monumen Jalesveva Jayamahe, serta Monumen Proklamasi Indonesia.

    “Melalui pengiriman plat baja ini, Krakatau Steel siap mendukung secara optimal untuk kebutuhan suplai material baja untuk kebutuhan artistik Istana Kepresidenan maupun kebutuhan konstruksi dan infrastruktur penunjang lainnya di IKN,” jelas Direktur Utama Krakatau Steel Purwono Widodo.

    Proyek pembangunan Istana Kepresidenan ini merupakan Kerja Sama Operasi (KSO) antara PT PP (Persero) Tbk dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, dan mempercayakan kepada Nuart untuk mendesain dan membangun Istana Kepresidenan dengan berbahan dasar baja tahan korosi.

    “Dalam proyek ini, suplai 1.550 MT pelat baja Krakatau Steel diproduksi melalui Krakatau Posco sesuai dengan spesifikasi SPAH berdasarkan requirement yang dibutuhkan. Kontribusi Krakatau Steel untuk memenuhi kebutuhan pembangunan Istana Kepresidenan di IKN ini mencapai lebih kurang 3.000 MT,” lanjut Purwono.

    Krakatau Steel mendukung program pemerintah untuk memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) dalam setiap proyek pemerintah dimana pelat baja yang diproduksi sudah mencapai nilai ketetapan TKDN. Dari sisi kualitas, Krakatau Steel terus berinovasi dan memberikan produk-produk terbaik serta bermutu tinggi untuk kebutuhan IKN.

    Krakatau Steel juga senantiasa memberikan layanan terbaik seperti misalnya dengan komitmen pengiriman tepat waktu.

    “Kerja sama dengan Nuart ini merupakan bagian dari kesiapan dan komitmen untuk suplai kebutuhan infrastruktur IKN. Semoga ke depan Krakatau Steel dan Group dapat terus bersinergi dalam rangka pembangunan IKN maupun pembangunan infrastruktur lainnya di Indonesia,” ucap Purwono.(BAR/PBN)

  • JB Dilaporkan ke Mabes Polri Karena Dugaan Penyerobotan Lahan

    JB Dilaporkan ke Mabes Polri Karena Dugaan Penyerobotan Lahan

    WARGA masyarakat Desa Jayasari, Kecamatan Cimarga beramai-ramai melaporkan PT Mulya Kuarsa Anugerah dan eks Bupati Lebak, Mulyadi Jayabaya yang akrab disapa JB, ke Markas Besar (Mabes) Polri atas dugaan penyerobotan dan pengrusakan lahan tanah, pada 14 Juni 2023 lalu.

    “Kami semua ini ingin melaporkan tindakan mengenai penyerobotan lahan yang dilakukan oleh PT Mulya Kuarsa Anugerah dan tim yang ada di sana yaitu termasuk eks Bupati Jayabaya, beliau, mereka semua telah merampas hak warga yang bersertifikat,” tutur seseorang pria yang mengaku sebagai kuasa hukum warga, dalam sebuah video TikTok.

    Kuasa hukum tersebut dalam video itu melanjutkan, pihaknya meminta kepada satgas mafia tanah Mabes Polri untuk menindak tegas para pelaku mafia tanah, lantaran dinilai sudah menindas masyarakat baik moril maupun materil.

    “Di sini kami minta kepada Satgas Mafia Tanah khususnya Mabes Polri, umumnya seluruh instansi pemerintah ya, bahwasanya untuk membela masyarakat dan membumi hanguskan semua mafia tanah yang ada di wilayah Indonesia kita ini, karena sudah menjajah secara moral maupun materil kepada masyarakat seluruh Indonesia khususnya wilayah Lebak,” ungkapnya.

    Dia mengatakan, pihaknya mengapresiasi para warga Jayasari yang berani memperjuangkan hak mereka atas kepemilikan lahan yang diduga dirampas, dengan melaporkan dugaan tindak pidana tersebut kepada Aparat Penegak Hukum (APH).

    “Kami memberikan suatu penghargaan juga kehormatan kepada warga desa yang berani melaporkan secara langsung dugaan tindakan pidana yang dilakukan para oknum mafia tanah di wilayah Lebak, detailnya di Desa Jayasari, Kecamatan Cimarga, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten,” katanya.

    Dalam video tersebut, sang kuasa hukum itu menyebut bahwa laporan masyarakat Desa Jayasari sudah diterima oleh Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. “Laporan warga diterima oleh SPKT Bareskrim Mabes Polri,” tuturnya. 

    Untuk diketahui, warga Desa Jayasari sebelumnya sudah melaporkan eks Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya ke Kepolisian Daerah (Polda) Banten pada pertengahan Maret 2023 lalu, atas dugaan penyerobotan dan perusakan lahan milik mereka. (WDO/DZH)