JAKARTA,BANPOS – Keputusan Kejaksaan Agung mengajukan banding atas vonis mati terhadap otak pembunuhan berencana Yosua Hutabarat alias Brigadir J, Ferdy Sambo, dikritik banyak pihak. Untuk meluruskan hal ini, Jaksa Agung ST Burhanuddin memberikan penjelasan panjang lebar.
Dalam keterangan tertulisnya disebar kepada wartawan, kemarin, Burhanuddin mengimbau seluruh jajarannya untuk selalu berusaha mewujudkan keadilan substantif dan memenuhi rasa keadilan di masyarakat dalam melakukan tugas-tugas penegakan hukum. Menurutnya, hal itu dapat diwujudkan dengan kemampuan menggali nilai-nilai hukum di masyarakat. Mengingat jaksa bukanlah cerobong undang-undang yang bersifat kaku, baku, dan membeku.
“Jaksa harus menggunakan hati nurani di setiap pengambilan keputusan dalam proses penegakan hukum. Karena hati nurani tidak ada dalam buku, gunakan kepekaan sosial saudara-saudara,” ucapnya.
Burhanuddin menerangkan, pendekatan keadilan formalistik yang dibelenggu aturan bersifat kaku demi mengejar kepastian hukum tidak dapat dipertahankan lagi. “Jika dipaksa untuk tetap mempertahankan, yang ada malah terjadi perubahan paradigma,” tambahnya.
Kondisi ini, lanjutnya, bisa membuat kerja-kerja kejaksaan hanya sekadar melaksanakan kewenangan negara untuk melimpahkan suatu perkara ke pengadilan. Padahal, tugas Kejaksaan juga menyeimbangkan antara aturan yang berlaku (rechtmatigheid) serta interpretasi yang bertumpu pada tujuan. “Atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) dalam proses peradilan pidana,” ungkapnya.
Menurut Burhanuddin, adaptasi paradigma keadilan substantif telah dituangkan melalui Peraturan Kejaksaan Nomor 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Aturan itu kemudian diperkuat melalui Undang-Undang Nomor 11/2021 tentang Kejaksaan.
“Dalam Pasal 30 huruf b dan c mengatur kejaksaan turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi, dan kompensasinya,” papar dia.
Karena itu, tegas Burhanuddin, kewenangan jaksa dalam melaksanakan diskresi penuntutan harus berdasarkan pertimbangkan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, kearifan lokal, serta nilai-nilai moral, dan etika. Juga keadilan dalam masyarakat.
Dia menekankan, hal tersebut memiliki arti penting dalam rangka mengakomodasi perkembangan kebutuhan hukum dan rasa keadilan di masyarakat. Serta menuntut adanya perubahan mindset, perilaku, dan kepastian hukum yang diterima masyarakat. “Hal serupa juga berlaku ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) berada dalam posisi harus menyatakan sikap banding atau tidak terhadap sebuah vonis,” terangnya.
Menurutnya, jaksa dihadapkan pada kewajiban mempertimbangkan dinamika hukum dan keadilan yang berkembang di masyarakat selama ini. Serta menggunakan standar dan syarat-syarat ketat tertentu yang sangat ketat.
“Perhatian dan respons besar masyarakat terhadap perkara yang melibatkan Ferdy Sambo, misalnya, harus dikaji sejauh mana reaksi-reaksi kecewa maupun puas atas vonis persidangan mewakili keadilan substantif,” jelas dia.
Dia menambahkan, kecermatan yang sama juga perlu dijaga dalam pertimbangan-pertimbangan penerapan restorative justice. Mengingat respons serta reaksi masyarakat secara luas dan masif juga bisa dipengaruhi berbagai informasi di beragam platform media.
Oleh karena itu, sambungnya, berdasarkan asas dominus litis atau pengendali perkara sejak hulu hingga hilir, seorang jaksa harus dapat beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat, mengakomodasi kepentingan masyarakat, dan menjadi solusi berbagai persoalan hukum di masyarakat.
“Sehingga jaksa yang modern di masa yang akan datang bukan saja sebagai jaksa humanis dari segi penegakan hukum, tetapi dapat menjadi bagian dari jawaban atau solusi persoalan-persoalan hukum di masyarakat,” tutur mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Utara itu.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis berat bagi Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf. Sambo, dalang dari peristiwa berdarah ini dijatuhi hukuman mati. Sedangkan Putri divonis 20 tahun penjara, Ricky Rizal dijatuhi hukuman 13 tahun penjara, dan Kuat Ma’ruf 15 tahun penjara. Pihak Sambo Cs mengajukan banding atas vonis ini. Ternyata, Kejaksaan juga ikut mengajukan banding.(RMID)