PANDEMI Covid 19 telah mengubah tatanan sosial dan ekonomi kehidupan warga masyarakat. Kehidupan sosial harus mematuhi protokol kesehatan, dari mulai memakai masker, sering cuci tangan, menggunakan hand sanitizer hingga harus menjaga jarak.
Pada banyak tempat, gelombang merumahkan tenaga kerja dan juga pemutusan hubungan kerja dari perusahan-perusahan yang bergerak di bidang pariwisata dan industri semakin besar.
Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah adanya pengangguran yang jika tidak segera diantisipasi oleh pemerintah akan menimbulkan ketidakstabilan kehidupan social dan politik.
Dalam konteks pertanian, penyediaan kesempatan kerja masih memungkinkan tertampung pada berbagai jenis dan bentuk usaha pertanian. Secara nasional, sektor pertanian memiliki peran dalam menyediakan pangan dan kesempatan kerja selain peran penting lainnya dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan (Cahya, 2014; Handayani, et al, 2018).
Oleh karena itu, sektor pertanian masih menjadi pilihan bagi tenaga kerja yang terkena dampak pandemic Covid-19 baik sebagai sumber mata pencaharian yang utama maupun sampingan.
Dari fakta yang ada, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki daya tahan dalam menghadapi krisis moneter 97-98 maupun krisis akibat pandemic Covid-19 2019-2020.
Meskipun sektor pertanian berpotensi besar dalam menampung jumlah tenaga kerja dibandingkan dengan sektor lainnya, namun karena kontribusinya terhadap PDB tidak sebesar sektor industri dan perdagangan, maka arah kebijakan pembangunan tidak menjadikan sektor pertanian sebagai prioritas utama. Akibatnya swasembada pangan sulit dicapai seperti yang pernah diraih pada tahun 1984.
Banyak faktor yang menyebabkan kesulitan berswasembada pangan, diantaranya karena kualitas SDM pertanian, dukungan sarana dan prasarana pertanian, teknologi, finansial hingga kebijakan importasi pangan yang tidak berpihak kepada ikhtiar-ikhtiar penting pada sektor pertanian di dalam negeri. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata tetapi juga masyarakat, dunia perguruan tinggi dan swasta.
Ikhtiar-ikhtiar penting pada sektor pertanian yang digeluti masyarakat baik di perkotaan maupun kawasan penyangganya selama masa pandemi ini yang cukup dominan adalah urban farming (Pertanian perkotaan). Urban farming merupakan praktek budidaya tanaman dan ternak/ikan di dalam lingkungan perkotaan dan sekitarnya.
Pertanian perkotaan merupakan pertanian yang terintegrasi ke dalam ekonomi dan ekosistem perkotaan. Salah satu pemicu hegemoni ini adalah gaya hidup, dalam hal ini pertanian perkotaan seringkali diasosiasikan dengan sehat, hemat, dan ramah lingkungan. Produksi pangan di kawasan perkotaan dapat dipandang sebagai peluang menghasilkan makanan segar dan berkualitas tinggi, meskipun hanya menggunakan ruang terbatas mencakup budidaya menggunakan tanah, hidroponik, dan rumah kaca (Resh, 2001).
Beberapa manfaat dari urban farming antara lain; (i) manfaat ekonomis; (ii) manfaat kesehatan; dan (iii) manfaat lingkungan.
Secara ekonomis, urban farming yang dikelola secara modern dengan menggunakan aplikasi teknologi dapat memberikan tambahan penghasilan karena menghasilkan produk-produk tanaman yang berkualitas dan memiliki pasar spesifik.
Produk-produk yang dihasilkan oleh kegiatan urban farming relatif bersih, segar dan sehat sehingga selain dapat dikonsumsi sendiri juga dijual pada pasar-pasar tertentu, misalnya super market atau bahkan online marketing.
Dalam kaitannya dengan manfaat lingkungan pengelolaan urban farming termasuk ramah lingkungan karena berupaya meminimalisir penggunaan pestisida dan pupuk kimia serta mengutamakan penggunaan kompos, bahan organik dan bakteri dekomposer sebagai penyedia hara alamiah.
Dengan kultur teknis demikianlah maka produk urban farming memiliki citra baik sebagai produk pertanian ramah lingkungan, higienis, sehat, bergizi dan segar sehingga mampu meraih pembeli pada segmen menengah ke atas. Produk-produk urban farming yang pada umumnya berupa sayuran dan buah-buahan segar itu diproduksi oleh warga kota dan kawasan penyangganya mulai dari pekarangan rumah, kebun-kebun milik RT/RW, lahan-lahan kosong milik masjid, sekolah, pondok pesantren, developer hingga milik pemerintah dengan teknologi biasa (menggunakan tanah dan kompos) pada tanah lapang, menggunakan polybag disusun dalam rak secara vertikal, menggunakan hidroponik bahkan aquaponik (integrasi tanaman dan ikan) dalam suatu wadah pada musim pandemic ini sedang tumbuh menjamur.
Studi terhadap kegiatan urban farming berbasis pekarangan yang dikembangkan kaum wanita yang tergabung pada Kelompok Wanita Tani (KWT) di Kecamatan Ciruas, Baros dan Keramatwatu menunjukan bahwa sebanyak 82,86% pengurus dan anggota KWT yang berpartisipati aktif mengelola kebun pekarangan didorong karena ingin meningkatkan pendapatan dan pada musim pandemi ini sebanyak 68,57% termotivasi karena ingin berolahraga, berekreasi untuk menghilangkan kebosanan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Fauzy et al, (2018) yang menyatakan bahwa urban farming yang dikembangkan warga kota selain memberikan kontribusi terhadap kebutuhan logistic pangan, kesehatan juga kenyamanan lingkungan dan nilai estetika karena memiliki nilai seni dan memiliki daya tarik tertentu antara lain berolahraga, berekreasi untuk menghilangkan kebosanan.
Namun demikian dari segi pendapatan sebanyak 68,57% menyatakan bahwa hasil bertani di pekarangan rumah belum menjadi andalan pendapatan keluarga. Pendapatan keluarganya berasal dari luar usaha tani yaitu dari pendapatan suami yang bekerja di sektor formal maupun informal (91,42%). Hanya saja jika sewaktu-waktu suaminya terkena PHK maka sebanyak 45,71% menyatakan bahwa produk olahan memiliki prospek yang baik untuk menjadi andalan pendapatan keluarga. Dengan demikian pengembangan produk pertanian dari pekarangan dan dari jenis kegiatan urban farming lainnya perlu melangkah dari produk segar ke produk olahan.
Terkait ini, dukungan teknologi, finansial dan pasar dari pemerintah, swasta maupun perguruan tinggi diperlukan agar produk-produk olahan dari KWT dan kegiatan urban farming dapat berkembang dengan baik.
Kegiatan urban farming yang berorientasi pasar dan dikelola secara pribadi beserta komunitasnya adalah apa yang telah dilakukan oleh Farm Hydro (FH) di Kota Serang.
FH selain menyelenggarakan pelatihan hydroponic bagi pemula bersama komunitasnya telah berhasil mensuplai kebutuhan sayuran segar ke pasar-pasar retail modern di Kota Serang, Kota Cilegon dan Tangerang.
Sementara itu dari dunia pondok pesantren yang dipelopori oleh 12 pondok pesantren dari Kabupaten Lebak, Pandeglang, Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang dan Kota Serang Provinsi Banten dengan “Gerakan Tanam Porang” di pekarangan dan lahan terbuka/bertegakan telah muncul sebagai varian baru dalam konteks pengembangan urban farming.
Gerakan tanam porang yang telah menghimpun kekuatan empat pilar ini (Pemerintah Provinsi Banten sebagai penyedia pupuk organik, UPZ BAZNAS Pemprov Banten sebagai penyedia benih, Tim Manajemen Porang FSPP Provinsi Banten sebagai pengelola dan pondok pesantren sebagai penyedia lahan produksi) telah berhasil menanam porang sebagai upaya meningkatkan keanekaragaman dan ketahanan pangan diluar beras pada pada era pandemi.
Konsep kerjasama empat pilar ini menempatkan mustahik fakir miskin sebagai pemilik benih dan berfungsi sebagai pengawas kegiatan tanam porang. Hasilnya setelah dikurangi biaya benih dan biaya operasional dibagi tiga yaitu sebanyak 40% untuk mustahik fakir miskin, 20% untuk tim pengelola porang (TMP) dan sebanyak 40% untuk pondok pesantren selaku penyedia lahan produksi.
Inovasi ini, alhamdulilah mendapatkan apresiasi dari pemerintah pusat dengan diraihnya penghargaan Provinsi Banten sebagai Provinsi Berinovasi oleh Gubernur Banten beberapa waktu lalu. Prestasi ini patut disyukuri sebagai motivasi agar masyarakat Banten dan dunia pondok pesantren secara kreatif terus mengembangkan pertanian untuk meningkatkan ketahanan pangan baik di era pandemi ini maupun di masa mendatang.
Wallahu’alam.