Penulis: Panji Romadhon

  • Walikota Lantik Adiknya Jadi Pj Sekda Kota Cilegon

    Walikota Lantik Adiknya Jadi Pj Sekda Kota Cilegon

    CILEGON, BANPOS – Pasca-kosongnya jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Cilegon yang ditinggalkan oleh Sari Suryati yang memasuki masa purnabhakti atau pensiun pada 1 Oktober 2020 lalu. Pemkot Cilegon, tak butuh waktu lama untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut.

    Setelah pekan lalu mengajukan usulan kepada Pemprov Banten untuk pengisian Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Cilegon dan disetujui. Akhirnya Walikota Cilegon Edi Ariadi melantik dan mengambil sumpah jabatan Maman Mauludin sebagai Penjabat (Pj) Sekda Kota Cilegon di ruang Aula Setda II Pemkot Cilegon, Jumat (9/10).

    Diketahui Maman Mauludin merupakan adik kandung Walikota Cilegon Edi Ariadi. Maman juga saat ini menjabat Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Cilegon.

    Jabatan orang nomor tiga di Kota Cilegon itu kosong karena saat ini posisi tersebut dalam proses lelang jabatan. Karena itu, Wali Kota menunjuk adiknya sendiri dengan restu Gubernur Banten mengisi kekosongan jabatan tersebut. “Gubernur telah merekomendasikan dan menyetujui penunjukan Penjabat Sekda Cilegon paling lama 3 bulan,” kata Edi usai pelantikan, Jumat (9/10).

    Edi menegaskan tugas Penjabat Sekda masih berkutat pada penanganan Covid-19, menyukseskan pelaksanaan Pilkada serentak 2020, dan koordinasi internal dinas-dinas di Kota Cilegon. “Bahwa tugas ke depan akan amat sangat berat dan kompleks, di antaranya menyukseskan pelaksanaan Pilkada serentak 2020, penanganan dan pencegahan Covid-19, dan koordinasi internal,” terang Edi.

    Kemudian kata Edi, walaupun adiknya akan menjabat kurang lebih sekira tiga bulan, Maman memiliki tanggungjawab untuk mengejar penyelesaian sejumlah program prioritas yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2016-2021.

    “Ya jadi yang belum selesai di RPJMD harus diselesaikan. Yang krusial itu seperti JLU (Jalan Lingkar Utara), pelabuhan Warnasari dan stadion (sport center). Sementara gedung enam lantai perkiraan November ini sudah selesai,” kata Edi.

    Ketua DPW NasDem Banten ini berharap Pj Sekda dapat berinovasi guna capaian visi misi daerah termasuk sigap dan tanggap terutama kaitannya dengan adanya perhelatan demokrasi pada Pilkada Cilegon.

    “Untuk Kepala OPD juga saya berpesan agar bersama-sama memberikan dukungan agar Penjabat Sekretaris Daerah dapat melaksanakan seluruh tugasnya sesuai dengan target kinerja,” pungkasnya.

    Menanggapi permintaan dari sang kakak, Maman menyatakan dirinya akan segera meningkatkan koordinasi dan sinergitas dengan Kepala OPD untuk melaksanakan tugas. “Saya kira juga tidak berbeda jauh ya, karena posisi Kepala BPKAD selama ini kan merupakan Wakil Sekda dalam Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), artinya satu jalur dan ditingkatkan,” kata Maman.

    Ketika disinggung soal capaian RPJMD yang menurutnya perlu kerja sama tim yang bergerak cepat untuk menuntaskan program kerja yang tersisa.

    “Apalagi ini juga kan RPJMD akan dihadapkan dengan tahun peralihan. Makanya mana-mana program yang masih kurang pada realisasinya itu akan jadi titik pembahasan dalam waktu dekat karena itu merupakan PR yang harus diselesaikan,” tandasnya.(LUK/PBN)

  • Tolak UU Ciptaker, Dewan Kota Serang Fraksi Gerindra Ini Siap Dipecat

    Tolak UU Ciptaker, Dewan Kota Serang Fraksi Gerindra Ini Siap Dipecat

    SERANG, BANPOS – Anggota DPRD Kota Serang dari Fraksi Gerindra, Rizki Kurniawan, menegaskan bahwa dirinya menolak UU Cipta Kerja (Ciptaker). Bahkan, ia siap dipecat lantaran sikapnya itu bertentangan dengan sikap Fraksi Gerindra di DPR RI.

    Hal tersebut ia sampaikan pada saat menyambut massa aksi mahasiswa dari PMII Kota Serang. Massa aksi yang diperkirakan berjumlah ratusan itu menggeruduk DPRD Kota Serang, untuk meminta agar lembaga legislatif tingkat kota itu juga menolak UU Ciptaker.

    “Partai saya sebenarnya mendukung UU Cipta Kerja ini,” ujar Rizki yang disambut dengan teriakan dari para massa aksi dan berbagai ungkapan kecewa, Jumat (9/10).

    Namun ia menegaskan bahwa bukan hanya para massa aksi saja yang kecewa, ia pun selaku kader partai merasa kecewa atas keputusan fraksinya di DPR RI. Ia pun siap menerima segala resiko dari sikapnya selaku kader dan anggota DPRD.

    “Saya sudah sampaikan kepada anggota fraksi di DPR RI, lalu saya juga sudah sampaikan kepada Sekretaris Jendral, bahwa saya secara pribadi selaku anggota DPRD dari Kota Serang menolak pengesahan UU itu. Saya siap menerima segala resikonya,” tegas dia.

    Ia membeberkan kepada para massa aksi bahwa dirinya merupakan anak seorang buruh. Maka ketika ada aturan yang dapat menyengsarakan buruh, akan ia tolak habis-habisan.

    “Saya ini anak buruh. Maka saya harus berjuang demi buruh. Dan saya dipilih oleh rakyat. Saya harus memperjuangkan rakyat,” ungkapnya.

    Dikonfirmasi seusai aksi, Rizki menuturkan bahwa dirinya benar-benar siap menerima segala keputusan partai, atas sikap yang ia ambil. Karena menurutnya, sikap tersebut berlandaskan pada hati nurari dirinya selaku bagian dari masyarakat.

    “Yah itu silahkan saja dari DPP (terkait dengan pemecatan) yang memutuskan. Kalau memang itu yang terbaik, silahkan saja. Iyah (siap menerima segala konsekuensi),” tandasnya. (DZH)

  • Pak Sekda Urip, Geser Sebentar Yah…

    Pak Sekda Urip, Geser Sebentar Yah…

    SERANG, BANPOS – Tb. Urip Henus resmi digeser dari jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Serang. Saat ini, ia menjabat sebagai Staf Ahli Walikota (SAW) Bidang Hukum dan Pemerintahan. Sedangkan jabatan Sekda saat ini dalam posisi kosong.

    Selain Sekda, beberapa pejabat Eselon II lainnya pun mengalami pergeseran. Diantaranya yakni Maman Luthfi yang sebelumnya merupakan Kepala Dishub menjadi SAW Bidang SDM dan Kesra, Yudi Suryadi yang sebelumnya Inspektur menjabat Asda II, Imam Rana Hardiana yang sebelumnya SAW Bidang SDM dan Kesra menjadi Asda III.

    Selanjutnya yakni Yoyo Wicahyono yang sebelumnya Kepala Disperdaginkop UKM, bertukar jabatan dengan Akhmad Zubaidillah menjadi Kepala Disporapar. Sedangkan Akhmad Zubaidillah menjadi Kepala Disperdaginkop UKM.

    Sedangkan Heri Hadi yang sebelumnya SAW Bidang Hukum dan Pemerintahan menjadi Kepala Dishub. Terakhir yakni Komarudin yang sebelumnya menjabat sebagai Asda III menjadi Inspektur Kota Serang.

    Walikota Serang, Syafrudin, menerangkan bahwa digesernya Urip dari jabatan Sekda hanya sementara saja. Sebab sesuai dengan aturan, perlu adanya evaluasi jabatan dalam kurun waktu lima tahun, dan Urip diperkenankan untuk duduk kembali pada posisi Sekda.

    “Kalau umpamanya ada perpanjangan itu ada mekanismenya. Jika umpamanya ada open bidding itu diperbolehkan. Ini sudah sesuai aturan,” ujar Syafrudin di Aula Setda Kota Serang, Jumat (9/10).

    Syafrudin menerangkan, untuk keputusan apakah Urip akan tetap lanjut sebagai Sekda atau pun tidak, akan mengikuti mekanisme yang telah diatur melalui Uji Kompetensi. Maka dari itu, jabatan Sekda saat ini dibiarkan kosong terlebih dahulu.

    “Jadi tidak hari ini dilantik kejabatan yang lain atau hari ini diperpanjang. Tidak seperti itu. Jadi akan di isi PLH dulu. Jadi Sabtu-Minggu ini ada kekosongan Sekda, mudah-mudahan Senin sudah ada isinya, nanti akan diadakan open bidding, bisa saja pak Urip ikut open bidding lagi,” terangnya.

    Sementara itu, Kepala BKPSDM Kota Serang Ritadi, mengatakan bahwa pergeseran Urip dari jabatan Sekda ke SAW bukan merupakan demosi. Sebab, baik Sekda maupun SAW sama-sama JPT Eselon II.

    “Jadi tidak ada istilah demosi dalam jabatan JPT itu. Karena JPT itu kepala dinas, kepala badan. Sekda itu sama satu JPT,” tandasnya.

    Saat dimintai tanggapan, Tb. Urip Henus enggan memberikan komentar kepada awak media. Ia pun meninggalkan awak media tanpa menjawab satu pun pertanyaan. (DZH)

  • Jurnalis Mahasiswa Hilang, Jurnalis Suara.com Diintimidasi

    Jurnalis Mahasiswa Hilang, Jurnalis Suara.com Diintimidasi

    SERANG, BANPOS – Sejumlah jurnalis kampus Politeknik Negeri Jakarta, dikabarkan hilang saat meliput aksi unjuk rasa penolakan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja di Istana Negara, Kamis (8/10). Ketiganya yaitu Ajeng Putri, Dharmajati Yusuf dan Muhammad Ahsan Zaki.

    Diketahui, tim peliputan Badan Otonom Gerakan Mahasiswa (BO GEMA) berangkat pukul 07:48 WIB dengan jumlah 9 personil yang menggunakan Id Card, kecuali Ahsan yang memakai pakaian hitam, rompi serta celana cokelat tanpa memakai atribut GEMA. Sebagai antisipasi, mereka membawa jaket kuning di dalam tas masing-masing.

    “Ketemuannya kita di stasiun Juanda, salah satu tim liputan kita namanya Fikri, berkabar di jam 08:24 sudah berada di kawasan Istiqlal yang menjadi titik kumpul kita (tim GEMA, red),” ujar salah satu rekan jurnalis GEMA, Indah, saat dihubungi oleh BANPOS, Kamis (8/10) malam.

    Pukul 09:32 para jurnalis kampus menunggu anggota lainnya yang bernama Fero di titik kumpul yang sudah ditentukan. Kemudian, pukul 10:08 anggota lainnya yaitu Adnan memberikan kabar bahwa dirinya belum dapat menembus kawasan Monumen Nasional (Monas).

    “Berarti dia sudah bergerak ke tempat liputan. Pukul 10:41, Arya (anggota GEMA) berkabar sudah berada di Mahkamah Agung (MA),” katanya.

    Pada pukul 10:42, Indah berinisiatif untuk berkirim pesan melalui grup peliputan pada aplikasi perpesanan WhatsApp untuk meminta live report suasana. Selanjutnya pukul 10:51, ia mendapatkan kabar bahwa Ajeng dan Dharma serta Ahsan standby di Istana.

    “Pukul 11:07 di grup itu Ajeng laporan bahwa di lokasi itu belum ada siapa-siapa, masih sepi. Pukul 11:10 Ajeng live report suasana (lewat grup) dan bilang masih sepi, dia bilang ‘tapi tenang aja, gue bakal update terus’. Udah setelah itu kita lose kontak sama dia,” jelasnya.

    Ia berupaya untuk menghubungi Ajeng, menanyakan terkait dengan konten GEMA, mengingat Ajeng merupakan ketua reporter yang berurusan pada konten-konten berita GEMA. Hingga akhirnya, Indah membuat keputusan sendiri karena Ajeng sama sekali tidak membalas pesannya.

    “Padahal status WhatsApp media online. Sekitar pukul 14:00 saya mulai panik, dan akhirnya saya menelpon lewat WhatsApp dan berdering, posisinya juga online, tapi nggak diangkat sama sekali. Saya coba bertahap menghubungi dia dan menghubungi Dharma untuk minta konten. Sama sekali tidak ada balasan, padahal status mereka online,” tururnya.

    Ia pun meneruskan pesan ke grup reporter pusat GEMA, mengabarkan kalau kedua reporter yaitu Ajeng dan Dharma tidak ada kabar termasuk Ahsan. Sempat menelpon melalui panggilan seluler, statusnya semua berdering tapi tidak juga diangkat.

    “Akhirnya kita mencoba melacak, tapi karena kami kekurangan tim IT yang jago untuk melacak sampai sedalam itu, kami putuskan pakai aplikasi tapi ketika dicoba error. Mencoba pakai nomor lain, lokasi masih menunjukkan di tempat yang sama. Terkahir mereka berkabar ada di sekitar istana,” katanya.

    Pukul 16:00, ia mendapati nomor ketiga reporter GEMA berstatus panggilan sedang dialihkan. Sehingga tim GEMA berupaya untuk melakukan pencarian melalui pamflet yang disebarluaskan dan menghubungi Lembaga bantuan hukum (LBH) pers dan LBH pusat, serta berkontak dengan aliansi jurnalis independen (AJI).

    “Dan mereka sudah mau untuk mendampingi GEMA, apabila teman kita ditahan di kepolisian. Tapi sampai sekarang kita belum tau posisi mereka dimana, karena berita banyak banget simpang siur makanya kami membuat pers rilis, kalau teman kita belum ketemu,” tandasnya.

    Selain itu, dalam peliputan yang sama, terjadi penganiaayaan, intimidasi, dan perampasan alat kerja Jurnalis Suara.com, Peter Rotti. Ia mengalami kekerasan dari aparat kepolisian saat meliput aksi unjuk rasa penolakan Omnimbus Law Undang-undang Cipta Kerja di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (8/10).

    Pemred Suara.com, Suwarjono mengungkapkan dalam press rilisnya bahwa peristiwa itu terjadi sekitar pukul 18.00 WIB, saat Peter merekam video aksi sejumlah aparat kepolisian mengeroyok seorang peserta aksi di sekitar halte Transjakarta Bank Indonesia.

    Ketika itu, Peter berdua dengan rekannya, yang juga videografer, yakni Adit Rianto S, melakukan live report via akun YouTube peristiwa aksi unjuk rasa penolakan Omnimbus Law.

    “Melihat Peter merekam aksi para polisi menganiaya peserta aksi dari kalangan mahasiswa, tiba-tiba seorang aparat berpakaian sipil serba hitam menghampirinya,” kata Suwarjono.

    Kemudian disusul enam orang Polisi yang belakangan diketahui anggota Brimob. Para polisi itu meminta kamera Peter, namun ia menolak sambil menjelaskan bahwa dirinya jurnalis yang sedang meliput.

    “Namun, para polisi memaksa dan merampas kamera Peter. Seorang dari polisi itu sempat meminta memori kamera. Peter menolak dan menawarkan akan menghapus video aksi kekerasan aparat polisi terhadap seorang peserta aksi,” jelasnya.

    Para polisi bersikukuh dan merampas kamera jurnalis video Suara.com tersebut. Peter pun diseret sambil dipukul dan ditendang oleh segerombolan polisi tersebut.

    “Saya sudah jelaskan kalau saya wartawan, tetapi mereka (polisi) tetap merampas dan menyeret saya. Tadi saya sempat diseret dan digebukin, tangan dan pelipis saya memar,” kata Peter melalui sambungan telepon.

    Setelah merampas kamera, memori yang berisi rekaman video liputan aksi unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di sekitar patung kuda, kawasan Monas, Jakarta itu diambil polisi. Namun kameranya dikembalikan kepada Peter.

    “Kamera saya akhirnya kembalikan, tetapi memorinya diambil sama mereka,” ujarnya.

    Kekinian Peter dalam kondisi memar di bagian muka dan tangannya akibat penganiayaan aparat kepolisian.

    “Saya selaku Pemred Suara.com mengecam aksi penganiayaan terhadap jurnalis kami, maupun jurnalis media-media lain yang mengalami aksi serupa,” kecamnya.

    Sebab, jurnalis dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik selalu dilindungi oleh perundang-undangan.

    “Saya juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas hal ini,” tandasnya.(MUF/PBN)

  • 14 Orang Demonstran Ditetapkan Tersangka, LBH Rakyat Banten Lakukan Pendampingan

    14 Orang Demonstran Ditetapkan Tersangka, LBH Rakyat Banten Lakukan Pendampingan

    SERANG, BANPOS – Ditreskrimum Polda Banten telah menetapkan status tersangka terhadap 14 orang yang telah diamankan dalam aksi unjuk rasa di depan kampus UIN SMH Serang. Aksi yang berlangsung Selasa (6/10) lalu itu juga berakhir ricuh.

    Kabidhumas Polda Banten Kombes Pol Edy Sumardi yang didampingi oleh Wadirreskrimum Polda Banten AKBP Dedi Supriadi mengatakan, berdasarkan hasil dari penyelidikan, pemeriksaan saksi-saksi dan bukti yang cukup serta berdasarkan hasil gelar perkara telah ditetapkan 14 orang sebagai tersangka. Mereka dianggap telah memenuhi unsur-unsur dalam melakukan tindak pidana saat aksi demo menolak UU Cipta Kerja.

    “Setelah waktu 1 x 24 jam, kami dari Polda Banten berhasil menetapkan status tersangka kepada 14 orang yang kami amankan saat demonstrasi mahasiswa kemarin,” ucap Edy.

    Edy juga mengatakan bahwa dari 14 tersangka tersebut, satu orang diantaranya dilakukan penahanan. Tersangka berinisial BS (18) tercatat sebagai mahasiswa STIE Banten. Sedangkan 13 orang tersangka lainnya tidak dilakukan penahanan.

    Edy mengatakan, BS ditahan karena disangkakan melanggar pasal 351 KUHP dengan ancaman pidana nya lebih dari lima tahun. Sedangkan 13 orang yang tidak dilakukan penahanan dengan pertimbangan ancaman hukumannya dibawah lima tahun yaitu OA (22) mahasiswa. Oa dikenakan pasal 212 KUHP dengan ancaman hukuman penjara 1 tahun 4 bulan.

    Selanjutnya delapan orang lainnya dikenakan Pasal 218 KUHP ancaman hukuman empat bulan penjara dengan inisial MNG, RN, DR, NA, AK, FS, MZS, FF dan 4 Pelajar SLTA dgn inisial RR, MI, MF, MM. Mereka dijadikan tersangka untuk pelanggaran UU Nomor 4 tahun1984 tentang Wabah Penyakit dengan ancaman hukuman 1 tahun penjara.

    “13 Tersangka yang tidak dilakukan penahan tersebut, padanya dikenakan wajib lapor pada hari Senin dan Kamis, dan proses hukum nya tetap berlanjut hingga berkas perkaranya lengkap dan untuk kita sidangkan ke pengadilan,” tandasnya.

    Terkait dengan penetapan status tersangka kepada 14 massa aksi dengan satu orang yang dinyatakan memenuhi unsur pidana sehingga masih ditahan, LBH Rakyat Banten selaku kuasa hukum akan mengambil beberapa tindakan.

    “Upaya hukum yang akan kami lakukan adalah memberikan perlindungan hukum kepada satu orang tersebut (yang masih ditahan karena memenuhi unsur pidana). Kami akan mengajukan penangguhan penahanan. Namun jika tidak, kami akan menggunakan hak kami untuk melakukan praperadilan, untuk menguji sah tidaknya penahanan tersebut,” kata pengacara LBH Rakyat Banten, Raden Elang Yayan Mulyana.(DZH/ENK)

  • 3 Demonstran dari Serang Di-Covid-kan?

    3 Demonstran dari Serang Di-Covid-kan?

    JAKARTA, BANPOS – Tiga dari 93 pendemo yang terjaring di Lampu Merah Tomang terindikasi positif Covid-19, setelah menjalani tes usap di Polres Metro Jakarta Barat, Kamis (8/10). Menanggapi hal tersebut, mahasiswa mencurigai para demonstran tersebut di-Covid-kan.

    Tes usap terus dilakukan seiring datangnya jumlah pendemo yang berdatangan ke kawasan Jakarta Barat, tanpa seragam kerja atau embel-embel serikat buruh.

    “Kita amankan di sekitar Tomang. Ternyata setelah diperiksa oleh petugas, dari 96 yang diamankan petugas, ada tiga peserta ikut demo yang positif Covid-19,” ujar Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Pol Audie Latuheru, seperti dilansir Antara, Kamis (8/10).

    Dari keterangannya, para pendemo mengaku berasal dari Serang, Banten. Rencananya, mereka akan melakukan unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta.

    Mereka datang karena mendapat informasi dari media sosial.

    “Kita sangat khawatir akan penyebaran virus Corona. Dengan adanya tiga orang terindikasi positif Covid-19, tidak menutup kemungkinan, yang lainnya akan tertular. Mereka akan kembali ke rumahnya masing-masing, dengan membawa virus itu,” papar Audie.

    “Kami fokus pada apa yang ditetapkan Kapolri lewat Kapolda, untuk memberikan upaya dan daya. Demi menekan tingginya angka penyebaran Covid-19,” tandasnya.

    Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Serang, Muhammad Izki Kahfi, mencurigai bahwa penetapan massa aksi dari Serang sebagai orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, merupakan upaya untuk meredam aksi yang dilakukan seluruh elemen masyarakat.

    “Kami curiga bahwa tiga orang massa aksi yang ditangkap itu sengaja di-Covid-kan oleh polisi. Kami melihat hal tersebut sebagai upaya penggembosan gerakan massa,” ujarnya.

    Yang menjadi landasan kecurigaan tersebut yakni, tindakan untuk mengambil swab massa aksi yang ditahan oleh pihak kepolisian. Menurutnya, aneh jika tiba-tiba massa aksi yang ditahan langsung dilakukan uji swab dan didapatkan hasil langsung cepat.

    “Setelah divonis positif. Jelas pendemo lainnya harus isolasi. Akibatnya demonstrasi akan gembos,” tandasnya.[FAQ/RMCO/PBN]

  • UU Cipta Kerja Kembali Ciptakan Kericuhan

    UU Cipta Kerja Kembali Ciptakan Kericuhan

    PANDEGLANG, BANPOS – Sebanyak 500 lebih mahasiswa dari seluruh kampus yang ada di Kabupaten Pandeglang, melakukan aksi unjuk rasa di halaman kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pandeglang.

    Aksi tersebut dilakukan, sebagai bentuk kekecewaan mahasiswa terhadap Undang-undang Omnibus Law, karena dinilai tidak pro terhadap masyarakat. Bahkan dalam aksinya, mahasiswa sempat kontak fisik dengan aparat kepolisian yang menimbulkan dua orang mahasiswa mengalami luka-luka dan dilarikan ke Rumah Sakit.

    Koordinator lapangan, Hadi Setiawan mengatakan, pihaknya mendorong Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pandeglang, untuk menyampaikan aspirasinya agar mencabut UU Omnibus Law, sebab dinilai merugikan masyarakat.

    “Berdasarkan hasil analisa dan kajian terkait dengan rancangan undang-undang omnibus law yang disahkan menjadi undang-undang, tentu berbahaya bagi nasib masyarakat dan masa depan buruh, karena berbicara kepentingan bukan mengcover kepentingan masyarakat secara luas,” kata Hadi dalam orasinya, Kamis (8/10).

    Menurutnya, Omnibus Law ini adalah jalan untuk memuluskan skema kapitalisme dan liberalisme asing maupun lokal di dalam negeri. RUU cipta kerja dengan semangat liberalismenya mempertahankan dunia yang brutal.

    “Semenjak rancangan undang-undang cipta kerja disahkan menjadi undang-undang, banyak menuai kritikan seperti aksi mogok kerja, hingga aksi unjuk rasa di berbagai daerah di Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa bahayanya omnibus law ini diundangkan gejolak aksi unjuk rasa yang dilakukan,” ujarnya.

    Sementara itu, Korlap Aksi dari perwakilan GMNI Pandeglang, TB. Muhamad Afandi mengatakan, masyarakat dan buruh malah mendapatkan tindakan represif dari aparat keamanan sampai menyebabkan masyarakat luka-luka, hilang, sampai ditahan oleh aparat keamanan sampai saat ini.

    “Maka dari situasi di atas tersebut, kami dari aliansi Cipayung plus Kabupaten Pandeglang bersama BEM seluruh Pandeglang, menuntut untuk mencabut Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja. Segera terbitkan Perppu Omnibus Law cipta kerja, wujudkan reformasi agraria sejati, hentikan segala bentuk kriminalisasi dan tindakan represif, terhadap aktivis rakyat dan mahasiswa yang dilakukan oleh aparat keamanan, bangun industri nasional,” kata Afandi.

    Korlap PMII Pandeglang, Yandi Isnendi mengatakan, terdapat dua orang yang mengalami luka-luka di bagian kepala, pihaknya mengaku akan melaporkan oknum keamanan yang melakukan tindakan represif.

    “Kita akan laporkan, sekarang yang bersangkutan sedang diberikan penanganan medis di RSUD Berkah Pandeglang, kita akan lakukan visum dan akan melaporkan hal ini,” katanya usai terjadinya bentrok.

    Sementara itu, Kapolres Pandeglang AKBP Sofwan Hermanto, menginginkan kepada masa aksi untuk tetap menjaga kondusifitas, dan tidak melakukan tindakan anarkisme saat melakukan aksi unjuk rasa tersebut.

    “Ada upaya dari teman-teman yang ingin masuk ke gedung DPRD, tugas kami memberikan perlindungan, menjaga kondusifitas dan keamanan agar tidak adanya kerusakan fasilitas umum, saat saya menemui mereka kami memposisikan bahwa kita sama-sama atas nama masyarakat untuk menjaga, bukan berarti kami bertentangan dengan mahasiswa,” terangnya. (CR-02/PBN)

  • Democratic Policing: Polisi dan Demonstran

    Democratic Policing: Polisi dan Demonstran

    Oleh Zunnur Roin
    Sekretaris Jenderal PB HMI MPO

    Pemolisian Demokratis (Democratic Policing) patut menjadi konsekuensi agenda reformasi Polri, suatu agenda reformatif terhadap postur Polri dalam sistem politik NKRI melingkupi kultur personil Polri dalam pelaksanaan keamanan nasional. Sederhananya begitulah titik tolak konsep pemolisian yang di urai oleh Tito Karnavian dan Hermawan Sulistyo dalam buku yang mereka tulis lebih dari 400 halaman, terbit di tahun 2017 dengan judul Democratic Policing. Kritik dan perdebatan konseptual sempat mencuat, hingga merangsang aspek historis ABRI (TNI/Polri) dan skeptis profesionalisme terhadap institusi maupun personil Polri itu sendiri.

    Fakta reformasi Polri sebagai anak kandung reformasi adalah keniscayaan demokratisasi Indonesia. Yang sebelumnya pemungsian institusi keamanan dan pertahanan Negara oleh rezim Orde Baru dibingkai sebagai power play pada banyak aspek, melaui pola yang otoriter. Dengan demikian reformasi polri pada tataran nilai demokratis mewajibkan penyelenggaraan keamanan nasional berbasis civilian, yang menjadi paradigma utuh konsep Democratic Policing tersebut. Disokong dengan argumentasi modernitas serta diintegrasikannya Polri dalam bangunan politik dan hukum yang dicita-citakan Reformasi. Mengutip artikel di Media Indonesia yang berjudul Polri,politik dan polemik democratic policing (https://bit.ly/2HkOM8I), menyebutkan bahwa penghormatan terhadap HAM, pelayanan yang adil dan nondiskriminasi, penggunnaan kekerasann yang minimal, serta Polri yang akuntabel dan profesional ialah aspek-aspek yang penting untuk terinternalisasi dalam institusi Polri.

    Manifestasi Democratic Policing semakin tampak dalam butir-butir Tagline Promoter (Profesional,Modern,Terpercaya),yang salah satunya menjadi jargon praktik penyelenggaran keamanan nasional oleh Polri, pastinya terbangun sebagai nilai yang berpayung Hukum. Artinya,atas nama Hukum praktik Promoter punya ruang pelaksanaan yang mengikat. Meskipun dalam opini publik, pelaksanaan supremasi hukum oleh Polri selalu diwarnai pesimistis.

    Sebagai aktor sipil yang saaat ini aktif di organisasi gerakan mahasiswa, penulis ingin mengulik problem klasik Demonstran dan Polisi ikhwal penyampaian pendapat dimuka umum, yang syarat dengan pelanggaran nilai-nilai HAM. YLBHI dalam siaran pers yang dikutip dari situs LBH Yogyakarta (https://bit.ly/3ckm4Ao) mencatat, bahwa aparat Kepolisian merupakan aktor paling dominan dalam kasus pelanggaran fiar trial pada tahun 2019, terdapat 1.847 korban dari 160 kasus. Angka yang sangat tinggi tersebut berkaitan erat dengan aksi-aksi massa yang terjadi sepanjang 2019. Maka menarik kemudian jika tema Democratic Policing direfleksi, disaat banyaknya catatan-catatan buruk pemolisian, terkhusus hubungannya dengan massa aksi.

    Sebelum tulisan ini tayang, problem klasik ini menimpa kader HMI MPO Cabang Bogor, saat aksi demonstrasi didepan kantor Bupati Kabupaten Bogor pada tanggal 17 september 2020 lalu. Beberapa demonstran mengalami perlakuan represif oknum Polri dan Satpol PP Kabupaten Bogor. Di Sulawesi Tenggara, meninggalnya dua Mahasiswa Universitas Halu Oleo (UHO) pada gerakan Reformasi Dikorupsi september 2019 lalu (Randi dan Muh. Yusuf Kardawi) menyulut solidaritas Mahasiswa Kendari, dan menggelar Aksi pada 26 September 2020. Bentrokan antara massa aksi dengan aparat kepolisian tak terhindari, hingga Polisi mengerahkan Helikopter untuk membubarkan massa. Selanjutnya, beredar video ketua umum HMI MPO Cabang Serang di seret dan diperlakukan tidak manusiawi saat aksi bersama puluhan mahasiswa lainnya dalam peringatan HUT Provinsi Banten ke 20 di kantor DPRD Banten (4/10/2020). Secara umum, peristiwa-peristiwa tersebut melulu dibenarkan atas nama Hukum, ragam macam dalil regulasi yang lentur bahkan mengikat di pakai sebagai landasan tindakan-tindakan pengendalian massa yang berujung represif tersebut.

    Demonstrasi dan Regulasinya

    Langkah demonstrasi menjadi pilihan demokratis masayarakat sipil dalam upaya mengemukakan pendapat dengan dalil-dalil pro keadilan. Langkah konstitusional tersebut dilindungi oleh UUD 1945 pada Pasal 28E, dan mekanisme pelaksanaannya di atur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaiakan Pendapat di Muka Umum. Polri sebagai institusi keamanan dalam negeri diamanatkan dalam Pasal 13 ayat 3 UU No. 9 Tahun 1998 untuk bertanggungjawab menyelenggarakan pengamanan guna menjamin ketertiban umum. Sebagai acuan turunan, Polri menerbitkan Peraturan Kapolri (Perkap) No.16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa dan Perkap No. 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Selain itu ikhwal perlindungan HAM terdapat Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, serta Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Teks-teks peraturan dan perundangan-perundangan tersebut di claim mengatur hak demokrasi dan menjamin perlindungan HAM terhadap Demonstran yang diklasifikasikan dalam kerangka ideal. Namun beberapa tindakan represif yang terjadi,menurut hemat penulis selalu disebabkan oleh dua perspektif tindakan kontrademokratis-kontra yuridis, sehingga beberapa aksi demonstrasi berujung pada konflik.

    Pertama, dengan dalil menjamin keamanan dan ketertiban umum, langkah demonstrasi diatur ketat dan santun sebagai manifestasi yuridis dan tata krama Demokrasi Indonesia. Dalam hal itu Polri merujuk segala Pasal hukum yang tertuang dalam keseluruhan peraturan perundang-undangan tersebut diatas. Dengan demikian, persitiwa aktual dalam keseluruhan proses aksi massa terkungkung dalam fatwa-fatwa Hukum yang bisa bersifat diskresi fungsional oleh personil dilapangan. Dirujuk dari artikel Hukum Online yang berjudul Penting! Meski Dijamin Hukum, Ini 5 Jenis Demonstrasi yang Dilarang (https://bit.ly/30cGyWX).

    Kedua, Metode demonstrasi ideal relatif tidak layak pakai jika kritik direspon melalui metode pembelaan atau pengekangan yang nondemokratis, meskipun kritikan atas objek masalah yang diperjuangkan oleh para demonstran adalah narasi keadilan. Secara teoritis kontradiksi itu dapat disebut sebagai Deprivasi Relatif yang bermuara pada kebutuhan perjuangan. Sehingga metode demonstrasi yang berenergi perjuangan seperti itu cenderung/terkesan sporadis, dan tak jarang menimbulkan kerugian materil dan immateril. Disisi lain, metode demonstrasi ideal pun mengalami ambiguitas demokratis jika konten gerakannya memenuhi syarat pelarangan dengan dalil-dalil hukum yang lentur, naif jika polisi dalam asumsi liar diduga terlibat mengaburkan konten-konten persoalan yang diperjuangkan.

    Jembatan Keadilan, Prasyarat Keamanan Nasional

    Polri merupakan salah satu institusi Negara yang secara massif memiliki intensitas interaksi yang tinggi dengan masyarakat sipil, artinya polri merupakan representasi konkret dari Negara pada konteks mengukur sejauh mana keadilan dapat dinikmati serta dapat mencermati kebebasan dan efektifitas pelayanan Negara. Sepatutnya ruang tersebut potensial difungsikan optimal untuk pro keadilan.

    Dua perspektif tersebut diatas seyogyanya dapat direfleksi guna memperkaya aktualisasi Democratic Policing. Artinya, Proporsi nilai demokratis tidak di interpretasikan pada pengayaan Institusional Polri sebagai fungsi penegakan hukum semata, Tidak pula mengakuisisi peran kepolisian pada banyak sektor, praktik tersebut jelas bertentangan dengan prinsip reformasi polri yang mengurai paradigma superioritas institusi ABRI pada banyak aspek. Namun lebih kepada pengamalan institusi yang menjembatani Demokratisasi untuk seluruh elemen sipil dalam mencapai keadilan.

    Merubah Regulasi Pengendalian Massa

    Penerapan Democratic Policing tercermin dari terjaganya nilai-nilai HAM , termasuk pada proses pengendalian massa. Dengan demikian, pada domain pengendalian massa diperlukan pendekatan transformatif, yang bertumpu pada keberpihakan atas hak-hak sipil secara utuh.

    Secara kultural, pengamalan Democratic Policing mesti keluar dari bayangan superioritas institusional yang justru mempengaruhi pola pemolisian personal polri. Maka perilaku demokratis personil Polri dalam fungsi-fungsi keamanan Nasional harus dinternalisasikan sejak dalam sistem pembinaan hingga pengawasan personil Polri.

    Secara yuridis, pendekatan transformatif tersebut terwujud dengan perlunya Perubahan regulasi-regulasi pengendalian massa yang saat ini masih memberi ruang diskresi fungsional secara berlebihan. Sehingga pelanggaran HAM tak terelekkan dalam tiap aksi massa yang bercorak Deprivasi Relatif.

    Menengok masa depan aksi massa, Situasi ekonomi politik indonesia saat ini membuka celah tingginya gelombang gerakan massa. Dengan demikian, urgensi pendekatan transformatif tersebut tersebut tidak semata mengupayakan Demonstrasi berjalan lancar dan damai, tapi situasi Keamanan dan Pertanahan negara stabil dari dampak kondisi ekonomi-politik Global.

  • UU Cipta Kerja Telan Korban, 4 Mahasiswa dan 2 Polisi Luka Berat

    UU Cipta Kerja Telan Korban, 4 Mahasiswa dan 2 Polisi Luka Berat

    SERANG, BANPOS – Penetapan UU Cipta Kerja memunculkan gesekan konflik yang cukup keras, hingga menimbulkan korban luka berat dan ringan akibat bentrokan antara massa aksi dengan aparat keamanan.

    Setelah Polda Banten menyampaikan adanya korban luka sebanyak dua orang dipihaknya. Aliansi Geger Banten yang melakukan aksi penolakan UU Cipta Kerja merilis, terdapat 4 peserta aksi yang luka berat dalam kericuhan aksi yang dilakukan kemarin.

    “Jumlah korban luka ringan lebih dari 20 orang, jumlah korban luka berat sebanyak 4 orang,” jelas Humas Aksi, Ishak melalui rilis yang diterima awak media, Rabu (7/10).

    Ia memaparkan, 3 dari korban tersebut dibawa ke Rumah Sakit dikarenakan mengalami luka cukup parah, akibat terkena lontaran gas air mata yang dilontarkan oleh aparat kepolisian pada saat menghalau massa aksi.

    “Ada yang terindikasi mengalami geger otak, kemudian ada yang mengalami luka di kepala dan dijahit sebanyak 8 jahitan,” ungkapnya.

    Ia menyatakan, sekitar 5 orang massa aksi yang diamankan aparat kepolisian terlihat mendapatkan tindakan represifitas seperti, tendangan, kepala diinjak, pukulan, dan diseret.

    “Kami secara aliansi mengutuk keras tindakan represifitas, kami bersama kuasa hukum Aliansi Geger Banten kecewa, karena sampai saat ini belum bisa melakukan pendampingan serta menemui kawan-kawan yang ditangkap pihak kepolisian,” katanya.

    Sebelumnya, Kapolda Banten Irjen Pol Fiandar mengatakan, massa aksi memiliki beberapa pelanggaran sehingga aparat keamanan melakukan tindakan tegas terhadap para demonstran.

    Selain itu, Polda Banten juga masih menyelidiki adanya penyusupan dari gerakan anarkis yang biasa disebut Anarko.

    “Cara kerjanya, tampilannya, implementasi aktivitas demonya seperti itu. Sedang kita dalami, belum kita simpulkan. Namun kearah sana menjadi perhatian dari Ditreskrimum terkait kelompok-kelompak yang diduga Anarko,” ujar Fiandar.

    Fiandar menyatakan, dua anggota kepolisian mengalami luka akibat terkena lemparan batu pada saat terjadi bentrok. “Karo ops benjol dahinya, dilempar batu,” ujarnya.(PBN)

  • Menunggu Ditetapkan Status Tersangka, Pendemo Omnibus Law Tidak Bisa Didampingi LBH

    Menunggu Ditetapkan Status Tersangka, Pendemo Omnibus Law Tidak Bisa Didampingi LBH

    SERANG, BANPOS – 14 pendemo yang diamankan oleh Polda Banten diklaim masih berstatus saksi, sebab itu, mereka tidak bisa didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang sempat berencana memberikan pendampingan kepada para demonstran yang diamankan.

    “Saat ini statusnya masih saksi. Nanti kalau sudah menjadi tersangka baru bisa didampingi,” ujar Dirreskrimum Polda Banten Kombes Pol Martri Sonny, usai konferensi pers di Mapolda Banten, Rabu (7/10).

    Ia menyatakan, saat ini Polda Banten masih melakukan pendalaman terkait peran dan keterkaitan terkait peran para demonstran terkait dugaan kriminal yang disangkakan.

    “Mereka ditangkap di lokasi aksi unjuk rasa tersebut. Kita tahu bersama terjadi perlawanan dengan pelemparan batu dan mercon. Mereka diamankan dengan bukti yang ada dan akan didalami keterkaitan dengan pihak Anarko,” ungkapnya.

    Sementara itu, Kapolda Banten Irjen Pol Fiandar mengatakan, massa aksi memiliki beberapa pelanggaran sehingga aparat keamanan melakukan tindakan tegas terhadap para demonstran.

    Selain itu, Polda Banten juga masih menyelidiki adanya penyusupan dari gerakan anarkis yang biasa disebut Anarko.

    “Cara kerjanya, tampilannya, implementasi aktivitas demonya seperti itu. Sedang kita dalami, belum kita simpulkan. Namun kearah sana menjadi perhatian dari Ditreskrimum terkait kelompok-kelompak yang diduga Anarko,” ujar Fiandar.

    Fiandar menyatakan, dua anggota kepolisian mengalami luka akibat terkena lemparan batu pada saat terjadi bentrok. “Karo ops benjol dahinya, dilempar batu,” ujarnya.

    Terpisah, LBH Rakyat Banten selaku penasihat hukum massa aksi yang ditahan oleh Polda Banten, membenarkan bahwa mereka sampai saat ini tidak diperkenankan mendampingi para mahasiswa.

    Humas LBH Rakyat Banten, M. Syarifain, mengatakan bahwa pada sekitar pukul 22.00 WIB pasca penahanan pada Selasa (7/10) kemarin, pihaknya telah mendatangi Polda Banten untuk melakukan pendampingan hukum

    Namun, meskipun telah melakukan negosiasi dengan pihak kepolisian, mereka baru bisa masuk ke dalam ruangan pada pukul 00.00 WIB. Itu pun mereka masih belum diperkenankan untuk melakukan pendampingan hukum dan hanya bertemu salah satu massa aksi yang sedang diperiksa.

    Ia pun menyayangkan hal tersebut. Menurutnya, tindakan yang dilakukan oleh Polda Banten telah melanggar pasal 54 KUHAP terkait dengan pendampingan hukum di segala tingkatan.

    “Dalam pasal 54, guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon.

    Pada prinsipnya, penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.

    “Ini yang sangat disayangkan sebenarnya. Karena kami tidak diberikan space untuk memberikan pendampingan pada saat berita acara,” tuturnya.(DZH)