SAAT ini di bulan kemerdekaan penyakit Gastristis atau Mag penulis mendadak kambuh kembali, akibat salah makan dan kecapean dengan gejal badan lemas, mual dan kepala sedikit pusing. Namun di tengah merasakan indahnya getaran sakit mag, cape badan, kepala terasa nyut-nyutan, mata berkuang-kunang, tangan di infus, ada kegelisah nalar-pikir melihat bagimana entitas bangsa memeriahkan bulan kemerdekaan ini.
Kegelisahan penulis bukan tentang nalar pikir ikut sakit tapi tentang keterpanggilan nalar dan pikiran melihat kondisi objektif kebangsaan dan keagamaan di Indonesia dalam kaitannya dengan upaya memaknai hakekat kemerdekaan ini, terutama tentang adanya fenomena destruksi dan despotisme relasi umat beragama.
Kegelisan ini juga, berangkat dari keteladanan para pemikir terdahulu yang telah meletakan fondasi berbangsa, dan bernegara.
Mereka para pahlawan bangsa, para pemikir bangsa selalu bergerak untuk berjuang melawan penjajah meski diterpa sakit pada dirinya, sebut saja misalkan Jendral Sudirman, meski beliau sedang sakit tapi semangat juang beliau tetap menyala-nyala untuk kemerdekaan bangsa ini, sampai-sampai kondisi sakit pun ikut melakukan perang gerilya di tengah hutan.
Belum lagi pemikir dan pejuang kemerdekaan seperti Tan Malaka dan Soekano bukti teladan bagi bangsa ini, dimana beliau-beliau ini meski dalam keadan sakit, semangat juang untuk kemerdekaan selalu dilakukan dengan cara perlawanan, baik lisan maupun tulisan.
Ada beberapa buku perlawanan dan pencerahan yang ditulis oleh Tan Malaka dan Soekarno ketika beliau dalam keadan sakit.
Perlu diingat bahwa kedua tokoh revolusioner ini sebagai pejuang kemerdekaan ketika mencari inspirasi dan literasi keilmuan, serta fatwa perlawanan, selalu berdiskusi dan tetap meminta pendapat sebagai upaya tambahan khasanah keilmuan kepada Khadarus Syeh KH. Hasyim Asy’ari, tokoh kemerdekaan pendiri Indonesia dan Muasis NU dengan haluan berdimensi Islam aswaja yang moderat dan rahmah.
Sosok Khadratus Syeh Kiai Haji Hasyim Asyari adalah ulama pejuang kemerdekaan yang dijadikan sumber inspirasi, sebagai rujukan bagi pejuang kemerdekaan lainnya dalam melakukan perlawanan terhadap penjajajah dan kolonialisme Belanda, Inggris dan Jepang.
Selain ulama, Kiai Hasyim juga sebagai pemikir kebangsaan dengan puncak dari pemikirannya adalah hasil proses ijtihadiyahnya yang berdampak luas bagi bangsa Indonesia adalah tentang fatwa Hubull Wathon Minal Iman [mencintai tanah air adalah sebagian dari iman] dan mewajibkan bagi umat atau fardu a’in membela tanah air ini.
Nah, berangkat dari hal tersebut penulis bukan sedang sok-sokan atau metasbihkan diri sebagai pemikir atau penulis seperti para pejuang kemerdekaan itu. Tidak sama sekali. Hanya saja penulis merasa terpanggil untuk melakukan refleksi kemerdekaan pada sudut pandang berkaitan teladan para pejuang kemerdekaa yang selama ini diabaikan oleh entitas bangsa sehingga bukan memaknai kemerdekaan secara kaffah, tapi menciptakan adanya penjajahan model baru pada kebebasan pemikiran kegamaan, ditengah kita sedang menyerukan kemerdekaan substansial segala dimensi, terutama kemerdekaan tentang pemikiran keagamaan.
Penjajahan pemikiran dan sikap keagamaan ini adalah hal yang paling berbahaya bagi keberlangsungan sebuah negara bangsa merdeka dan beragama, untuk terus dilawan agar bangsa ini pula merdeka dalam kebebasan keagamaan. Meskipun itu memerlukan perjuangan panjang dan lebih sulit, karena Soekarno sendiri telah memberikan nasehat, kedepan musuhmu akan lebih sulit, karena saudaramu sendiri.
Saat ini, ada fenomena penjajahan baru pada pemikiran dan sikap keagamaan umat oleh kelompok kegamaan yang mencoba mereduksi komitmen kebangsaan atau menjauhkan agama dengan kebangsaan.
Padahal selama ini Indonesia adalah negara kebangsaan yang tidak lepas dari nilai agama sebagai guidance dalam mengisi kemerdekaan hasil konsensus para pejuang kemerdekaan. Konsensus kebangsaan ini telah di bangun oleh para founding fathers yang beragam agama, suku, bahasa, adat dan kepercayaan dengan ikatan perasaan senasib untuk merdeka.
Fenomena penjajahan model ini bisa diistilahkan sebagai despotisme agama, yang muncul setelah kaum agama melakukan show of force mengelilingi monas, sebagai klaim bela agama akibat Ahok keceletot omong tentang Al quran.
Sesungguhnya Ahok sendiri tak etis bicara agama orang lain, apalagi terkesan menistakan agama. Namun, apalah daya semua itu telah terjadi, dengan divonisnya Ahok sebagai penista agama oleh proses peradilan.
Harusnya kasus Ahok ini menjadi pelajaran berharga bagi keberlangsungan kebangsaan dan kegamaan di Indonesia. Namun disadari atau tidak kasus ini Ahok ini pula telah menyulut pembentukan karakter dan wajah Islam baru yang berorientasi politik ideologis agama dengan model politik radikal dan munculnya despotisme agama.
Penulis tidak sedang menuduh kelompok ini melakukan Despotisme Agama. Tapi fenomenanya adalah, aksi bela agama secara simbolik keliling monas ini, dengan klaim tujuh juta umat, telah membuat konfigurasi politik agama menjadi tren dan bergelora mewarnai atmosfer kebangsaan dan keagamaan di Indonesia.
Mungkin tadinya, aksi bela agama ini bentuk reaksi perlawanan temporal pada Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan latar belakang non muslim. Namun, justru dikristalkan dengan model dan wajah politik keagamaan. Mirisnya, mulai digeser oleh sebagian dari mereka, yaitu kelompok kecil yang bermazhab Wahabi dan Neo Khowarij menjadi kekuatan baru dengan selalu menggunakan jargon bela agama padahal mulai bergeser menjadi “hara” agama, karena cenderung menjadi despotisme agama dengan menakut-nakuti umat berbeda dengan gerak politik komunitas ini, atau meneror secara psikis atas bersatunya umat. Jika tidak mengikuti, mereka dituduh sebagai anti persatun umat Islam maka akan di vonis sebagai musuh Islam. Belum lagi tekanan pada nalar dan psikis umat bahwa dialah sebagai repesentasi katalis gerakan umat Islam yang wajib dipatuhi fatwa dan seruannya. Model ini lah sesungguhnya bentuk penidasan terselubung pada umat Islam atau pada umat yang berbeda agama.
Hal Ini bisa dilihat dari Istrumen intimidatifnya seperti , tuduhan tidak Islami, jika tidak berada dalam shaf mereka adalah munafik dan, tak segan segan menuduh kafir bahkan menghalalkan darahnya untuk dipercikan ke dalam neraka milik kelompok ini. Model ini sejatinya bukan sedang bela agama tapi sedang melangsungkan dan mempraktekkan despotisme agama.
Apa sesungguhnya despotisme agama itu. Jika kita mendefinisikan terminologi despotisme dengan makna aslinya adalah bentuk kekuasaan dengan satu penguasa, baik individual maupun oligarki, yang berkuasa dengan kekuatan politik absolut.
Namun, kali ini istilah despotisme ini digunakan penulis untuk menjelaskan sikap berkuasa dengan tiran mayoritas [dominasi melalui ancaman hukuman : kafir dan neraka ditambah kekerasan : jihad dan grudug] atau absolutisme teks-teks normatif dengan justifikasi teks-teks suci agama oleh satu imam besar atau kelompok orang yang mengunakan simbol agama.
Jika meminjam istilah Johan Galtung, mungkin bisa setipe atau satu rumpun antara despotisme agama dengan “penindasan terselubungnya” Galtung, dimana kekerasan atas kebebesan ini melalui justifikasi ideologi.
Galtung menggunakan istilah justifikasi ideologi, sementara penulis mengunakan justifikasi agama, padahal sama-sama melakukan penindasan terselubung, sama-sama menggunakan kekerasan psikis maupun fisik.
Dalam tulisan ini, despotisme ini sengaja disematkan pada sejenis kaum beragama hasil tawaf di monas dengan model kegurun-gurunan atau orang menyebut dengan “Kardun,” sifatnya merasa paling benar, merasa paling berkuasa, merasa paling mayoritas, merasa paling berhak melakukan kehendak apapun dengan menggunakan teks-teks suci untuk kepentingan menjajah dan memenjarakan kebebasan nalar beragama, maupun kebebasan sikap keagamaan terhadap sesama umat beragama atau umat yang berbeda agama.
Ini penting ditulis dan menjadi diskursus kita bersama, dalam upaya memerdekakan nalar dan sikap beragama kita di bumi pertiwi yang hampir satu abad merdeka, tepatnya sudah 75 tahun para muasis Indonesia meletakan kemerdekan bagi umat di negara bangsa ini. Ada beberapa sebab diantaranya, semakin menguatnya kelompok yang ingin mendestruksi kebangsaan dan nasionalisme umat dengan cara menawarkan ideologi agama sebagai jalan alternatif politik ideal bagi dunia dan akhirat, mereka tak segan menggugat nasionalisme karena tidak ada dalil agama, sambil menuduh kafir dan mengajak perang dan perlawanan pada mereka yang mencoba mempertahankan negara bangsa ini, sambil menganalogikan sebagai perang melawan kafir dengan legitimasi teks-teks kitab suci.
Sesungguhnya tulisan ini tidak sedang berpretensi sedikitpun untuk meninjau terhadap wacana keberagamaan dalam konteks normatif [teks-teks suci yang terkandung dalam kitab suci], tapi lebih pada mencari hakekat kemerdekaan beragama kita yang semakin lama semakin tertindas oleh kelompok agama yang merasa berkuasa dan merasa paling benar dengan mengunakan teks-teks suci agama.
Sebagai contoh terkini, di bulan kemerdekaan, masih ada kasus penyerangan dengan kekerasaan pada keluarga habib Umar Asegaf di Solo yang sedang melaksanakan ritus budaya atau tradisi kultural lokal sebelum proses pernikahan keluarganya. Penyerangan ini dilakukan oleh sekelompok umat yang menggunakan simbol agama, sambil teriak takbir, berkata jihad, menyatakan darahnya halal, memvonis hukumnya masuk neraka, adalah bukti kemerdekaan beragama baik nalar dan sikap keagamaan sedang dirampas melalui despotisme agama.
Wallahu ‘alam..