RUMAH lazimnya digunakan sebagai tempat untuk berlindung dari panas, dingin, hujan dan kondisi cuaca lainnya. Namun rumah tidak selalu bisa dan layak untuk melindungi penghuninya dari hal-hal demikian.
Pemerintah melalui UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan PP No. 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, membuat kategori Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) untuk mendefinisikan rumah tersebut.
Secara singkat, RTLH adalah rumah yang tidak memenuhi persyaratan keselamatan bangunan, kecukupan minimum luas bangunan, dan kesehatan penghuni. Berdasarkan data pada situs dataertlh.perumahan.go.id, hingga awal tahun 2021 di Provinsi Banten tercatat sebanyak 152.496 unit rumah yang masuk dalam kategori tidak layak huni.
Secara nasional, Provinsi Banten berada di peringkat ke-7 provinsi terbanyak jumlah RTLH, satu peringkat di bawah Provinsi Sumatera Utara dengan jumlah 190.894 unit rumah dan satu peringkat di atas Provinsi Jawa Timur dengan jumlah RTLH sebanyak 148.630 unit.
Berbagai bantuan digelontorkan oleh pemerintah, baik Pusat maupun Daerah, untuk menuntaskan persoalan RTLH tersebut. Di tingkat Pusat, terdapat program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS). Sedangkan di Provinsi Banten dikenal dengan nama program Peningkatan Kualitas Rumah Tidak Layak Huni (PK-RTLH).
Namun, semangat penuntasan RTLH tersebut dinilai tercoreng dengan adanya dugaan penyunatan bantuan, yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu. Bukan hanya masyarakat, bahkan pemborong pun diduga turut menjadi korban penyunatan tersebut.
Salah satu penerima manfaat BSPS di Kecamatan Cinangka, sebut saja Mirna, mengatakan bahwa pelaksanaan BSPS yang ia terima banyak sekali kendala. Berbagai kendala yang dihadapinya berkaitan dengan persoalan anggaran.
“Seperti genteng itu kan tidak dapat, katanya genteng ini ditukar dengan batu, jadi genteng modal sendiri. Intinya yang dari bantuan itu hanya sampai mapar (bangunan saja tidak sampai genteng),” ujarnya saat diwawancara di kediamannya.
Ia menuturkan, dari rencana pembangunan rumah yang sebelumnya telah ditetapkan, ternyata justru ia lebih banyak menombok anggaran. Seperti biaya untuk membayar tukang yang membangun rumahnya.
“Uang yang untuk tukang dikasih Rp2,5 juta nombok. Banyak sih nomboknya. Ini juga masih ada sangkutan sama tukangnya, belum beres, nomboknya kurang. Saya bilang ke tukangnya, jangan nagih lah, nanti kalau saya ada rejeki, saya bayar,” tuturnya.
Selain menombok untuk bayar tukang, Mirna juga menombok untuk bahan-bahan material lainnya yang disebut masuk dalam pembiayaan pembangunan rumah. Seperti semen, kaso dan lain sebagainya.
“Kendalanya ya kayak semen kurang. Kalau batu batanya masih, cuma semennya yang habis. Kalau tidak salah 50-60 sak semen yang dikasih, kalau pondasi ini modal sendiri semennya, 10 sak semen,” kata dia.
Ia mengatakan, berdasarkan pernyataan dari petugas terkait, besar kemungkinan seorang fasilitator lapangan, 10 sak semen yang beli sendiri tersebut untuk membangun pondasi akan diganti. Namun ternyata tidak.
“Sudah ngomong kalau itu (semen) katanya mau digantiin. Petugasnya juga melihat waktu bikin pondasi, tapi enggak diganti. Kendala itu sudah dilaporkan ke pihak desa, tapi karena katanya itu sudah prosedurnya segitu, kami sih percaya-percaya aja,” ungkapnya.
Berdasarkan perencanaan awal, bantuan BSPS tersebut seharusnya bisa untuk membangun dua kamar tidur dan satu kamar mandi. Namun karena kurangnya material dan adanya batas waktu pembangunan yang hanya selama 25 hari saja, rumah dirinya hanya terbangun satu kamar tidur saja.
“Baru jadi ruang tengah, kamar satu. Disuruhnya kamar dua, cuma kan ngejar waktu biar cepat selesai, ya sudah kaya gini aja. Katanya ditarget waktu 15 hari paling lambat 25 hari. Ketika sudah 25 hari, selesai. Katanya lebih dari itu, dana sendiri,” ucapnya.
Ia pun mengaku bahwa untuk bahan material, ia tidak tahu membeli dimana. Sebab, pihak desa yang mengatur tempat pembelian bahan materialnya. “Jadi pihak desa yang ngatur beli material dimana, terus uangnya ditransfer ke material tersebut oleh pemerintah,” terangnya.
Kepala Desa setempat saat ingin dikonfirmasi, mengaku sedang melaksanakan takziah dan akan memberi kabar setelahnya. BANPOS sempat menunggu di Desa Cinangka hingga waktu Maghrib, namun tidak ada konfirmasi lebih lanjut.
BANPOS pun mencoba melakukan konfirmasi melalui pesan WhatsApp maupun sambungan telepon seluler. Sayangnya, Kepala Desa tersebut nomor teleponnya sedang tidak aktif.
Sementara itu, Plt. Kepala Desa Cinangka, Nana Kurnia, mengaku selama pelaksanaan BSPS di desanya tidak terjadi kendala apapun. Menurutnya, masyarakat puas dengan program tersebut.
“Dari pusat juga melakukan uji petik ke sini, Alhamdulilah lulus jadi nggak ada yang bermasalah, terbangun semua. Jadi tidak ada yang mangkrak. Kan kadang-kadang orang minta bantuan tapi malah tidak dibangun,” ujarnya.
Menurutnya, program tersebut memang hanya memberikan bantuan sebesar Rp20 juta, dengan rincian Rp2,5 juta untuk biaya tukang dan Rp17,5 juta untuk belanja material. Apabila memang dalam proses pembangunannya kurang, maka penerima manfaat harus mau secara swadaya melanjutkan pembangunannya.
“Kami tanyakan dulu ke KPM yang dapat, mau apa enggak untuk membangun dengan anggaran segitu. Tapi harus benar-benar dibangun. Dengan nominal segitu, harus sampai kebangun. Kalau dananya kurang, maka pemilik rumah harus mau swadaya sampai terbangun semua. Dari pendamping peraturannya seperti itu,” ungkapnya.
Sementara, seorang penerima bantuan di Kampung Kedungleles, Kelurahan/Kecamatan Kasemen, Kota Serang juga mempertanyakan rincian dari bantuan BSPS. Dia menilai, sejauh ini apa saja bantuan yang harus diterima warga tidak jelas rinciannya.
Warga Kampung Kedung Leles, Nasir (55), mencontohkan, dari ketidakjelasan rincian itu, menduga ada beberapa jenis bantuan yang hilang. Dia mencontohnkan adanya catatan yang menyebutkan pengadaan genteng sebagai salah satu item dalam bantuan itu. Namun ketika diminta, pihak penanggungjawab tidak memberikan genteng.
“Kaya genteng nggak dapet, terpaksa pakai yang lama. Saya kan sudah minta, Pak minta gentengmya, tapi nggak dikasih, katanya nanti duitnya ga kebagian bangunannya,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, bantuan yang didapat bukan pembangunan dari awal, tapi hanya memperbaiki bagian atap, balok atap dan tembok bata. Pada awalnya tidak diperbolehkan saat mengajukan perbaikan bagian tertentu, tapi akhirnya diperbolehkan dengan diberitahukan RT dan beberapa penanggungjawab.
“Ini mah cuma rehaban, kamar mah cuma dipancang doang, yang parah atapnya, tadinya itu minta rehaban. Tadinya sih nggak boleh, takutnya kan kalo dibongkar kan nggak cukup, biayanya besar, jadi rehab atap doang, tadinya kan mau roboh atapnya. Kalo kamar mandi cuma dikasih closet,” terangnya.
Ia pun menyebutkan beberapa penanggungjawab perbaikan rumahnya, diantaranya Imam, dan Zaenal. Bahkan ia mengakui mengeluarkan uang pribadi sebanyak Rp6 juta selama perbaikan rumahnya. Uang itu pun merupakan hasil dari meminjam.
Terpisah, Ketua LSM Gerakan Masyarakat Untuk Perubahan (Gempur) Mulya Nugraha menilai program yang dikeluhkan PKM mengindikasikan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam pelaksanaan program itu. Menurutnya, pihak pemberi bantuan seharusnya bertindak transparan dengan mensosialisasikan hak dan kewajiban penerima maupun pemberi bantuan.
“Setidaknya terlihat ada yang disembunyikan dalam program ini. Karena keluhan-keluhan masyarakat yang mengemuka memperlihatkan program ini banyak diselipi indikasi-indikasi penyimpangan,” kata Mulya, kemarin.
Dengan kondisi itu, Mulya menilai sudah selayaknya program-program yang mengatasnamakan RTLH diselidiki oleh aparat hokum. Menurutnya, laporan-laporan warga bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap kebobrokan dalam pelaksanaan program itu.
“Jangan sampai program yang seharusnya meringankan masyarakat justru jadi memberatkan karena ulah oknum-oknum yang bermain di lapangan,” tuntasnya.
Sementara, Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi Banten, Muchamad Rachmat Rogianto tak bisa dikonfirmasi. Hingga kemarin malam, BANPOS berupaya menghubungi Rachmat melalui sambungan telepon. Tetapi telepon yang bersangkutan tidak aktif.(MG-01/MUF/DZH/ENK)