JAKARTA, BANPOS – Mimpi buruk pandemi Covid-19 masih belum berakhir. Kasus harian masih
terus melonjak. Kemarin, penambahan jumlah kasus Covid-19 telah menyentuh angka 38.391.
Nyaris 40 ribu. Sehingga, total kasus terkonfirmasi kini tembus angka 2.417.788.
Sebaran kasus baru sebanyak itu, didominasi DKI Jakarta dengan angka 12.974. Disusul Jawa
Barat (7.772), Jawa Tengah (4.232), Jawa Timur (2.551), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (1.424)
dalam lima besar provinsi penyumbang kasus positif terbanyak pada hari ini, Kamis (8/7).
Dari total kasus terkonfirmasi, tercatat 63.760 kasus meninggal dunia dengan tingkat kematian 2,64
persen. Naik 852 kasus dibanding data Rabu (7/7). Kenaikan jumlah kasus kematian tertinggi,
dibukukan Jawa Tengah dengan angka 229. Disusul Jawa Timur (165), Jawa Barat (136), DKI
Jakarta (130), dan Derah Istimewa Yogyakarta (38).
Sedangkan kasus sembuh, kini telah mencapai 1.994.573 dengan tingkat kesembuhan 82,5 persen.
Atau bertambah 21.185 kasus dibanding hari sebelumnya. Angka kesembuhan harian tertinggi,
dicetak DKI Jakarta dengan angka 10.857. Diikuti Jawa Barat (3.259), Jawa Tengah (2.239), Jawa
Timur ((1.291), dan daerah Istimewa Yogyakarta (918).
Makin tingginya penyebaran Covid-19, membuat anggota Komisi I DPR Fadli Zon
meminta agar pemerintah mengibarkan bendera merah putih. Ia juga menyarankan
agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima bantuan dari asing untuk mengatasi
pandemi.
“Kibarkan bendera merah putih dan bukan tangan lebar menerima batuan dari negara-
negara sahabat apalagi yang sudah berhasil mengatasi pandemi,” ujar Fadli Zon dalam
keterangannya, Kamis (8/7).
Menurut Fadli, pemerintah Indonesia harus bersikap realistis menghadapi gelombang
baru Covid-19. Infrastruktur kesehatan, logistik, serta jumlah tenaga kesehatan
Indonesia terbukti sudah berada di ambang batas. “Kita tak akan sanggup lagi
menghadapi situasi yang terus memburuk,” katanya.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menuturkan, ada beberapa alasan kenapa
Indonesia membutuhkan langkah luar biasa mengatasi gelombang baru Covid-19 ini.
Pertama, dalam dua pekan terakhir, sudah terjadi berkali-kali rekor kasus baru Covid-
19 di dalam negeri sangat mengkhawatirkan. Rabu, 7 Juli ini, rekor jumlah kasus
positif Covid-19 telah menyentuh angka 34.379.
“Hanya tinggal soal waktu rekor itu akan segera menembus angka 40 ribuan, lalu 50
ribuan, jika kita tak segera mengambil langkah luar biasa,” ungkapnya.
Kedua, kebijakan yang sudah diambil pemerintah belum memadai untuk memutus
kedaruratan. Meskipun berjudul PPKM Darurat di Jawa-Bali, namun kebijakan ini tak
bisa dianggap luar biasa. Dalam praktiknya di lapangan, kebijakan ini belum bisa
membatasi kegiatan masyarakat. Sebagian masyarakat merasa perlu mencari nafkah
harian untuk kebutuhan hidup sehati-hari karena pemerintah tidak memberi
kompensasi atas pembatasan ini.
“Apalagi, di sisi lain, hingga hari ini pemerintah masih saja membuka pintu bandara
dan pelabuhan. TKA asing dari Tiongkok masih bisa melenggang masuk. Keadaan ini
membuat sebagian masyarakat merasa didiskriminasi,” ungkapnya.
Ketiga, kemampuan infrastruktur kesehatan Indonesia sudah di ambang batas.
Menurut data Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), saat ini
okupansi tempat tidur di berbagai rumah sakit di Jakarta, Banten, Yogyakarta, Jawa
Barat dan Jawa Tengah sudah mencapai 100 persen. PERSI menyampaikan bahwa
jumlah kasus aktif telah meningkat di 28 provinsi. Tabung oksigen dan oksigennya
sendiri menjadi langka dan tak memenuhi kebutuhan mereka yang membutuhkan.
Terjadi panic buying untuk sejumlah obat, vitamin bahkan susu.
Wabah saat ini memang masih berpusat di Jawa, namun lonjakan kenaikan kasus,
lonjakan okupansi ruangan di rumah sakit, juga terjadi di luar Jawa, seperti
Kalimantan Barat, Lampung dan Kepulauan Riau.
“Jika kasus ini terus meningkat, krisis bukan hanya akan terjadi di rumah sakit-rumah
sakit di Jawa, tapi juga di berbagai provinsi lain di luar Jawa,” katanya.
Menurut data Lapor Covid-19, pekan lalu tercatat ada 265 kematian di luar rumah
sakit, pada saat orang-orang mengisolasi diri di rumah atau mengantri untuk
mendapatkan tempat tidur darurat. Data ini bisa memberikan gambaran bagaimana
infrastruktur kesehatan ini sudah tak lagi bisa melayani pasien-pasien baru yang terus
bermunculan.
“Banyak mereka yang terpapar tak bisa ke rumah sakit karena penuh dan terpaksa
isolasi mandiri tanpa pengawasan dokter atau tenaga medis,” tuturnya.
Keempat, krisis tenaga kesehatan. Sejak awal pandemi, jumlah dokter yang meninggal
akibat Covid-19 di Indonesia telah melebihi angka 400 orang. Kalau digabungkan
dengan tenaga kesehatan lain, seperti perawat, misalnya, jumlah kematian tenaga
kesehatan sudah menembus angka seribu orang. Para dokter dan tenaga kesehatan
lainnya adalah pejuang dengan perlengkapan terbatas.
Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI), tingkat kematian tenaga kesehatan di
Indonesia berada di urutan ketiga tertinggi di dunia, bahkan menjadi yang tertinggi di
Asia.
“Jika krisis ini terus memburuk, kita mungkin masih bisa membuka rumah sakit
darurat, namun tenaga kesehatan tidak bisa disediakan secara instan,” ungkapnya.
Kelima, krisis ketersediaan vaksin. Hingga kini, jumlah penduduk Indonesia yang
telah menerima vaksin sekitar kurang dari 5 persen. Meski pada 30 Juni lalu
Pemerintah mengumumkan telah menerima 118,7 juta dosis vaksin Sinovac dan
AstraZeneca, namun jumlah ini jauh dari cukup untuk memvaksinasi 181,5 juta orang,
atau 70 persen dari populasi.
Sebagai perbandingan, Kanada memiliki 338 juta dosis vaksin, atau 5 kali dari jumlah
populasi mereka. Inggris, memiliki jumlah vaksin 3,6 kali jumlah populasi, dan
Amerika Serikat memiliki dosis vaksin 2 kali lipat jumlah populasinya.
Dengan tingkat ketersediaan vaksin yang rendah, serta laju vaksinasi yang juga
lambat, tanpa langkah luar biasa, kita tidak akan bisa menghadapi tsunami Covid-19.
“Apalagi, angka-angka yang sejauh ini diumumkan pemerintah diyakini tidak
mewakili kondisi lapangan sebenarnya. Ada banyak kasus tidak dilaporkan dan tidak
bisa ditangani oleh pemerintah,” katanya.
Beberapa langkah lain yang harus segera dilakukan misalnya, segera tutup gerbang
lalu lintas internasional sementara apalagi untuk TKA yang tidak esensial. Batasi
mobilitas dan penerbangan domestik hanya untuk keperluan logistik dan kesehatan.
Ia juga mengusulkan agar Jokowi langsung yang memimpin situasi darurat ini
sehingga semua kementerian dan lembaga fokus menghadapi darurat pandemi
bersama-sama. Koordinasi di satu komando kendali dari pusat hingga daerah.
“Tanpa keputusan luar biasa, kita akan membuat krisis ini menjadi semakin panjang
dan lama dengan korban rakyat semakin banyak termasuk berdampak parah pada
situasi ekonomi dan sosial,” pungkasnya.(HES/ENK/RMID/JPG)