JAKARTA, BANPOS – Melonjaknya angka penyebaran Covid-19, pemerintah memutuskan untuk memberlakukan PPKM darurat.
Kebijakan ini tentu berimbas besar pada aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat, sehingga hal tersebut perlu disertai dengan kebijakan perlindungan sosial yang lebih mendukung.
Masalahnya, terdapat keterbatasan negara dalam memenuhi perlindungan sosial tersebut. Indonesia Corruption Watch (ICW) merujuk pada data APBN 2021, pemerintah mengalokasikan Rp 408,8 triliun untuk program perlindungan sosial.
“Keseluruhan program tersebut diantaranya, yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Bantuan Sosial
Tunai (BST), Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa, Kartu Prakerja, Bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (BPUM), dan subsidi listrik,” kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Rabu (7/7).
Kurnia menyatakan, terlihat banyaknya dan beragam program-program bansos tetapi belum cukup membantu warga terdampak Covid-19. Mulai dari nilai bantuannya yang tidak signifikan hingga keterbatasan jumlah penerima.
Terlebih lagi, bantuan sosial tunai dalam APBN 2021 hanya dianggarkan hingga April 2021. Demikian pula ragam bantuan dari APBD provinsi dan kabupaten atau kota. Selain masalah keterbatasan anggaran, pemerintah menilai aktivitas sosial dan ekonomi telah berangsur pulih.
“Sebuah kebijakan yang jelas tidak berdasar dan keliru. Covid-19 masih menjadi ancaman besar, positivity rate Covid-19 melonjak, dan pembatasan aktivitas sosial tak terelakkan,” papar Kurnia.
Dalam kondisi ini, lanjut Kurnia, program perlindungan sosial, khususnya bansos, semakin dipertanyakan. Pemerintah lantas memutuskan melanjutkan BST selama dua bulan ke depan pada Juni-Juli 2021. Kontribusi pemerintah daerah melalui APBD juga dinanti warga, meski sebagian telah menegaskan tak ada bansos dari APBD alias bergantung pada program pusat.
Maka dalam hal ini, Pemda lebih memfokuskan anggaran untuk membiayai kebutuhan pelayanan kesehatan Covid-19.
Kebijakan ini lantas menimbulkan pertanyaan, bagaimana PPKM Darurat bisa efektif jija warga tak mempunyai penghasilan untuk menutupi kebutuhan pokok sehari-hari.
Di sisi lain, persoalan bantuan Covid-19 tidak hanya soal anggaran dan komitmen pemerintah yang terbatas.
Targetting error akibat pemutakhiran data yang masih bermasalah serta korupsi masih menjadi soal besar.
“Meski Kementerian Sosial tak lagi menyalurkan bansos sembako, potensi korupsi bansos Covid-19 tak serta merta hilang,” ungkap Kurnia.
Dia memandang, pemberian bansos tunai dan bantuan usaha rentan disalurkan tidak tepat sasaran, terlebih lagi terdapat persoalan pemutakhiran data dan penerima ganda. Petty corruption dalam bentuk pungli dan pemotongan bansos juga masih bermunculan.
“Potensi korupsi Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) pun masih tinggi, mengingat pemda umumnya menyalurkan bantuan dalam bentuk barang, seperti sembako, masker, dan obat-obatan. Regulasi pengadaan darurat perlu dilengkapi dengan mekanisme yang lebih menjamin agar penyedia yang ditunjuk oleh PPK tidak ditunjuk berdasarkan nepotisme, melainkan rekam jejaknya dalam menyediakan barang sejenis atau terdaftar dalam e-katalog,” bebernya.
Oleh karena itu, ICW sepakat bahwa program bansos perlu ditingkatkan, khususnya di tengah PPKM darurat, namun perlu adanya mitigasi korupsi. Korupsi pengadaan dapat dimitigasi dengan mengefektifkan peran pengawas internal dan mengaktifkan pengawasan masyarakat yang diawali dengan keterbukaan informasi terkait program-program pemerintah, berikut informasi pengadaan dan realisasinya.
“Sedangkan untuk menghindari dan menangani petty corruption, perlu dibuat mekanisme komplain yang lebih efektif dan berkelanjutan,” tegasnya.
Dia tak menginginkan, bantuan sosial tunas juga dikorupsi sama seperti kasus suap pengadaan paket bansos sembako senilai Rp 6,8 triliun di Kementerian Sosial yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, yang saat ini tengah dalam persidangan.
“Dalam persidangan yang digelar beberapa waktu lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyebut bahwa Juliari bersama dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang ditunjuknya serta pejabat lain telah menerima suap sebesar Rp 32,48 miliar dari 109 penyedia,” cetus Kurnia.
Dia menyebut, uang suap tersebut setara dengan BST untuk lebih dari 108 ribu penerima atau Kartu Sembako untuk lebih dari 162.000 warga miskin dan rentan. Kerugian warga juga diduga lebih besar karena bisa jadi bansos yang diterima warga tak hanya dikurangi uang suap, melainkan juga pengambilan keuntungan yang tak wajar.
“Terlebih lagi apabila penyedia bansos yang ditunjuk Kemensos melakukan subcon kepada perusahaan lain. Dari satu kasus korupsi bansos, kerugian warga sudah bergitu besar. Belum lagi dari kasus lain, seperti suap bansos sembako di Bandung Barat yang melibatkan Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna. ICW juga mencatat bahwa sepanjang 2020 sedikitnya terdapat 107 kasus korupsi bansos di 21 daerah,” cetus kurnia menyesalkan.
Kurnia menegaskan, kasus korupsi Juliari Peter Batubara perlu menjadi perhatian dan pembelajaran agar pemerintah juga memperhatikan peluang atau celah korupsi dalam program penanganan Covid-19, baik dalam program perlindungan sosial maupun penanganan kesehatan. Meskipun program tersebut krusial dan dibutuhkan warga, program tersebut rentan menjadi ladang korupsi sehingga perlu untuk dipikirkan lebih lanjut.
“Di lain hal, penegak hukum seperti KPK juga dituntut untuk objektif menangani perkara tersebut. Dengan serangkaian kejanggalan dalam penanganan perkara bansos, publik khawatir lembaga antirasuah itu hanya berhenti dengan menindak Juliari P. Batubara dan pihak lain yang terlibat di Kemensos,” tandas Kurnia.