Kategori: HEADLINE

  • 17 ASN Penuhi Syarat, Potensi Kadis Perempuan di Kota Serang Harus Terbuka

    SERANG, BANPOS – Dorongan kepada Pemkot Serang agar bisa menempatkan perempuan pada jabatan Eselon II terus berdatangan. Sebab jika dibiarkan Jabatan Eselon II Kota Serang hanya diduduki oleh pejabat laki-laki, maka Pemkot Serang dapat dikatakan tidak responsif gender.

    Hal itu disampaikan oleh pegiat Pusat Studi dan Informasi Regional (Pattiro) Banten, Angga Andrias. Angga mengatakan bahwa saat ini, gender merupakan isu prioritas dalam pembangunan daerah termasuk reformasi birokrasi.

    Menurutnya, dalam pembangunan daerah, penting untuk mengafirmasi keterwakilan laki-laki dan perempuan dengan tetap memperhatikan area perubahan dalam reformasi birokrasi. Apalagi reformasi birokrasi merupakan hal yang tengah gencar dilakukan oleh pemerintah.

    “Di Kota Serang, peranan perempuan dalam pembangunan daerah belum menunjukkan keberpihakan terhadap perempuan. Dari data BPS, Indeks Pemberdayaan Perempuan dalam tiga tahun terakhir terjadi penurunan dan tahun 2021 sebesar 61.66,” ujarnya.

    Ia mengatakan, berdasarkan data yang pihaknya miliki, jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemkot Serang pada tahun 2021 sebanyak 4.020 orang. Dari jumlah tersebut, mayoritas merupakan perempuan. Hal itu membuktikan bahwa sebetulnya Kota Serang sangat berpotensi memiliki Pejabat Eselon II dari perempuan.

    “Pada 2021 jumlah PNS didominasi oleh perempuan sebesar 2.677 dan laki-laki sebesar 1.343. Jumlah ini memiliki potensi pemberdayaan perempuan dalam pengisian jabatan dalam tata kelola pemerintahan,” terangnya.

    Angga menuturkan, masih kosongnya empat jabatan Kepala OPD, harus segera diisi untuk menjaga efektivitas penyelenggaraan negara. Selain itu, pengisian empat jabatan tersebut juga menjadi kesempatan bagi Walikota Serang, untuk menunjuk perempuan demi pemenuhan pemerintah yang responsif gender.

    “Walikota berpeluang mengafirmasi responsif gender dengan mengisi kandidat dari perempuan. Karena berdasarkan data BPS Kota Serang, terdapat 17 PNS perempuan yang berpeluang dalam mengisi kekosongan tersebut,” tandasnya.

    Sebelumnya diberitakan, Walikota Serang, Syafrudin, melirik potensi empat jabatan kosong untuk dapat diisi oleh pejabat perempuan. Hal itu untuk merealisasikan keterwakilan perempuan di pemerintahan.

    Menurut Syafrudin, dirinya mengharapkan ada pejabat perempuan di lingkungan Pemkot Serang, yang bisa menunjukkan kompetensi dan kapasitasnya untuk menduduki jabatan Eselon II.

    “Saya juga sangat menginginkan itu. Camat saat ini sudah ada yang perempuan. Nah saya juga ingin agar di jajaran Kepala Dinas pun ada perempuan,” ujarnya saat diwawancara BANPOS, Selasa (1/11).

    Ia mengatakan, para pejabat perempuan di Kota Serang harus berani untuk ikut Open Bidding, dan membuktikan bahwa mereka layak untuk mengemban amanah sebagai pejabat Eselon II di lingkungan Pemkot Serang.

    “Kalau saya tegaskan bahwa ini tetap harus melalui prosedurnya. Ada uji kompetensi dan open bidding yang harus dilalui secara prosedural. Sehingga, jangan sampai jika memang belum memenuhi kompetensi, dipaksakan untuk menjabat Eselon II,” ucapnya.(DZH/PBN)

  • Panas Siswa ‘Lebih’ Bergejolak Kembali

    Panas Siswa ‘Lebih’ Bergejolak Kembali

    SERANG, BANPOS – Polemik PPDB tingkat SMA/SMK terus berlanjut. Puluhan wali murid beserta petugas Kepolisian serta TNI ‘menggeruduk’ SMK Negeri 5 Kota Serang. Tindakan itu akibat adanya dugaan pungutan liar (Pungli) yang dilakukan oleh pihak sekolah, untuk melakukan pembangunan Ruang Kelas Baru (RKB) bagi para ‘siswa lebih’ akibat PPDB lalu.

    Persoalan yang terus berlarut itu dinilai mahasiswa sebagai kegagalan pelaksanaan PPDB oleh Dindikbud Provinsi Banten. Selain tidak tegas dalam aturan pelaksanaannya, ‘manuver’ yang dilakukan oleh pihak sekolah dan sejumlah pihak lainnya, dalam mengakali sistem PPDB terkesan diabaikan. Ditambah, Dindikbud Provinsi Banten terus menekan pihak sekolah untuk segera menyelesaikan pembangunan.

    Berdasarkan pantauan, para wali murid beserta petugas gabungan itu mendatangi SMK Negeri 5 Kota Serang pada pukul 13.10 WIB. Selain bersama dengan petugas gabungan, para wali murid juga didampingi oleh tokoh masyarakat dan organisasi kepemudaan setempat.

    Kedatangan mereka untuk memprotes terkait dengan penarikan uang sebesar Rp1,7 juta per ‘siswa lebih’. Untuk diketahui, sebetulnya para wali murid sudah bersepakat terkait dengan penarikan uang sebesar Rp1,7 juta tersebut. Namun, mereka berubah pikiran dan bersama tokoh masyarakat yang mendanai pembangunan RKB, Edi Santoso, memprotes kebijakan itu.

    Salah satu wali murid, Yati, mengatakan bahwa yang dirinya ketahui, untuk penyelesaian pembangunan RKB itu akan ditalangi oleh Kepala SMK Negeri 5 Kota Serang, Amin Jasuta. Namun, hal itu tidak jadi lantaran Amin disebut hendak menggelar hajatan.

    “Kemarirn kan katanya tuh dana penyelesaian itu ditalangi oleh pak Kepala Sekolah Rp70 juta. Tapi ternyata dia itu mau hajatan,” ujarnya kepada awak media, Rabu (2/11).

    Menurutnya, Edi Santoso sebagai pihak ‘pemodal’ disebut telah angkat tangan untuk melakukan pembangunan RKB. Namun meski demikian, menurutnya Edi masih bertanggung jawab atas pembangunan RKB itu.

    Setelah melakukan penggerudukan, Yati mengatakan bahwa pihak SMK Negeri 5 Kota Serang menyanggupi untuk mengembalikan uang tersebut kepada para wali murid. Yati mengaku, pihaknya mau memberikan uang itu karena ditakut-takuti bahwa anak mereka tidak diakui.

    “Kan kami dikenakan biaya Rp1,7 juta. Terus katanya besok mau dikembalikan lagi. Saya sudah bayar Rp1 juta. Ya gimana yah, kasian juga kalau posisi anak gak diakui katanya kan. Makanya kalau tidak ada yang tanggungjawab, miris juga yah saya. Makanya ya sudah kami bayar saja,” ucapnya.

    Kepala SMK Negeri 5 Kota Serang, Amin Jasuta, mengatakan bahwa pembangunan RKB yang saat ini dilakukan memang berasal dari duit pribadi dirinya dengan Edi Santoso. Padahal sebelumnya, disepakati jika pembangunan itu dilakukan menggunakan dana CSR impor sampah dari Tangerang Selatan.

    Namun sayangnya, sampai saat ini impor sampah dari Tangerang Selatan tidak kunjung jelas apakah akan dilanjut ataupun tidak, mengingat masyarakat Cilowong terus menerus melakukan penolakan terhadap kebijakan itu.

    “Sebenarnya dulu direncanakan dari dana CSR sampah, tapi sampai saat ini belum keluar. Sementara pak Edi itu kan orang yang ditokohkan oleh masyarakat, jadi sambil menunggu dana CSR, menggunakan dana pribadi. Tapi enggak tahu nih sampai sekarang belum (jelas),” ujarnya.

    Menurutnya, pembangunan RKB swadaya ini rencananya akan menelan anggaran sebesar Rp150 juta. Hingga saat ini, masih kekurangan anggaran sebesar Rp70 juta. Adapun uang pribadi dirinya yang telah terpakai untuk membangun RKB sebesar Rp30 juta.

    “Jadi Rp70 juta itu diperkirakan uang saya akan dipakai jika seperti ini. Kalau yang benar sudah terpakainya mah Rp30 juta,” ucapnya.

    Amin mengatakan bahwa sebelum dilakukan penarikan uang sebesar Rp1,7 juta, pihaknya sudah mengumpulkan para wali murid untuk mendiskusikan hal tersebut. Ia mengaku bahwa para wali murid bersepakat untuk membayar uang patungan.

    “Ada pertemuan, yang bersama dengan komite. Kan komite diberikan deadline oleh Komisi V untuk selesai di awal November, karena memang masalah terus kan. Karena memang bingung dana, maka kami kumpulkan orang tua. Pak kumpul mah oke, tapi sekarang tidak lagi,” jelasnya.

    Ia pun mengaku bahwa sebenarnya dirinya hanya ‘ketempuan’ saja atas berbagai polemik pembangunan RKB ini. Sebab seharusnya, dia tidak ikutan nombok pembangunan RKB, karena Edi Santoso yang menyanggupi pembangunan sebelum CSR turun.

    Ia juga menyiratkan rasa tertekan akibat pembangunan RKB yang tidak kunjung selesai. Karena, dirinya terus menerus ditanya terkait penyelesaian pembangunan oleh pihak Dindikbud Provinsi Banten, maka dirinya pun mengambil langkah untuk meminta wali murid patungan.

    “Daripada saya setiap saat dipanggil lagi dipanggil lagi sama orang dinas, ditanya ‘kapan selesai?’. Ya sebenarnya ini kan bukan saya (yang membangun), tapi karena ini sebagai tanggung jawab sekolah, dinas kan gak mungkin menegur ke masyarakat. Kalau saya sebenarnya orang tua itu mau untuk diajak (patungan),” ucapnya.

    Sementara itu, Kabid Kajian Strategis dan Advokasi pada HMI MPO Ciwaru, M. Abdul Aziz, mengatakan bahwa kekisruhan terkait dengan pembangunan RKB di SMK Negeri 5 Kota Serang, merupakan bukti carut marutnya manajemen organisasi di Dindikbud Provinsi Banten.

    “Jelas ini membuktikan bahwa Dindikbud Provinsi Banten tidak baik dalam melakukan manajemen pengelolaan organisasi,” ujarnya.

    Menurut Aziz, ada beberapa catatan terkait dengan pembangunan RKB mandiri di SMK Negeri 5 Kota Serang. Pertama, pembangunan tersebut dapat dipastikan di luar perencanaan yang telah disusun dalam rencana kerja anggaran sekolah (RKAS).

    “Sudah pasti tidak ada pada RKAS, karena ini dibangun dadakan karena banyaknya dorongan dari berbagai pihak kepada sekolah, mulai dari dewan sampai kelompok-kelompok masyarakat tertentu untuk menerima siswa lebih dari kuota,” tuturnya.

    Kedua menurutnya, Dindikbud Provinsi Banten seperti ingin cuci tangan, namun tetap menginginkan hasil daripada persoalan PPDB tersebut. Pasalnya, dari yang pihaknya ketahui, Dindikbud merupakan pihak yang melarang pembangunan RKB.

    “Tapi anehnya, berdasarkan pernyataan dari pak Amin Jasuta, sekarang mereka malah menekan-nekan supaya cepat selesai. Kalau memang seperti itu, seharusnya DIndikbud juga turun tangan dong membantu pembangunan, ini kan tidak,” ucapnya.

    Terakhir menurutnya, jika memang pembangunan RKB diperbolehkan menggunakan dana dari masyarakat, maka seharusnya Dindikbud Provinsi Banten pasang badan untuk menjelaskan kepada masyarakat dan pihak-pihak lainnya, bahwa itu memang diperbolehkan.

    “Tapi kalau memang tidak boleh, ya hentikan dong. Kami juga mendapatkan beberapa informasi jika persoalan pembangunan RKB dari dana masyarakat itu juga terjadi di beberapa sekolah lainnya, dan itu aman-aman saja tanpa ada masalah,” tegasnya.

    Aziz mengatakan, persoalan yang terjadi di SMK Negeri 5 Kota Serang merupakan imbas dari buruknya pelaksanaan PPDB. Siswa lebih yang terjadi di sejumlah sekolah, akibat tidak tegasnya Dindikbud dalam mengelola PPDB.

    “PPDB harus diperketat. Kami tahu bahwa kuota dikembalikan kepada masing-masing sekolah. Tapi kalau sekolah dipaksa untuk menerima lebih, apa gunanya PPDB dilaksanakan? Tabrak saja semua aturan kalau begitu,” tandasnya.(DZH/PBN)

  • Minimnya Penerangan Hingga Jalan Bergelombang Jadi Keluhan Pengguna Jalan Tol Tangerang Merak

    Minimnya Penerangan Hingga Jalan Bergelombang Jadi Keluhan Pengguna Jalan Tol Tangerang Merak

    SERANG, BANPOS – Perbaikan dan penambahan lajur pada beberapa titik di Jalan Tol Tangerang-Merak mulai dikeluhkan pengendara. Pasalnya, dari minimnya penerangan hingga kondisi jalan yang bergelombang dirasakan para pengguna jalan tol yang dikelola ASTRA Infra Tol tersebut.

    Salah seorang warga Kota Serang Anis Masyruroh mengeluhkan aktivitas perbaikan tersebut. Ia yang kerap melintas tol tangerang-merak menjelaskan jika aktivitas perbaikan membuat jalan menjadi sempit. Terlebih hanya bisa dilintasi oleh dua lajur.

    “Yah, bikin bete juga yah. Karena lajur jadinya hanya untuk 2 kendaraan, terlebih kalau ada mobil gandengan,” katanya.

    Selain itu, Anis berharap jika selama perbaikan yang dilakukan oleh pengelola jalan tol tangerang-merak memberikan atau menambah penerangan pada titik-titik proyek perbaikan maupun penambahan lajur. Ia menambahkan khusus untuk KM 60-70 kondisi jalan dirasa bergelombang sehingga dibutuhkan perhatian khusus.

    “Karena kan sekarang jalannya gelap. Susah memprediksi kendaraan di depan dan belakangnya. Saya harap penerangannya deh ditambah di lokasi proyeknya,” pungkas Anis.

    Diberitakan sebelumnya, ASTRA Tol Tangerang-Merak kembali melakukan pekerjaan perawatan rutin untuk peningkatan kualitas perkerasan jalan yang sebagai bagian dari pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM). Perawatan rutin akan dilakukan mulai Oktober 2022.

    Adapun pekerjaan perawatan yang dilakukan diantaranya pelepasan dan pelapisan ulang aspal (scrap, fill danoverlay, SFO) serta rekonstruksi perkerasan jalan sepanjang jalan Tol Tangerang-Merak, baik arah Jakarta dan Arah Merak.

    Selama pengerjaan SFO dan rekonstruksi sementara waktu, lajur yang menjadi objek pemeliharaan tidak dapat dilintasi pengguna jalan, namun lajur lainnya dioperasikan normal.

    ASTRA Tol Tangerang-Merak meminta maaf atas ketidaknyamanan selama proses pekerjaan pemeliharaan jalan tersebut, dan demi keamanan dan keselamatan Astra Tol Tangerang-Merak telah memastikan kapada pihak kontraktor pelaksana untuk pemasangan rambu-rambu yang jelas dan memandu pada setiap titik pekerjaan. Perambuan pekerjaan akan dilengkapi minimal 1 km sebelum lokasi pekerjaan, untuk informasi pengguna jalan bersiap melintasi area sekitar lokasi pekerjaan.

    “Kami menghimbau kepada pengguna jalan untuk mematuhi rambu lalu lintas yang ada dan tetap berada di lajurnya, hindari mendahului dari bahu jalan serta berkendara dengan kecepatan tinggi.  Dan yang terpenting rencanakan perjalanan dengan baik, cari informasi lalu lintas sebelum bepergian”, ujar Kepala Departemen Manajemen CSR dan Humas ASTRA Tol Tangerang-Merak, Uswatun Hasanah. (Red)

  • PT Indah Kiat Calon Tersangka Kasus Kecelakaan Kerja

    PT Indah Kiat Calon Tersangka Kasus Kecelakaan Kerja

    SERANG, BANPOS – Pihak Perusahaan PT. Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP) berpotensi ditetapkan sebagai tersangka atas peristiwa kecelakaan kerja yang mengakibatkan satu pekerja proyek meninggal dunia. Hal itu dikarenakan delik yang dipakai dalam penelusuran investigasi tim penyidik bersama dengan unsur kepolisian dan pengawas ketenagakerjaan pada gelar perkara kedua yaitu adanya unsur kesengajaan dari pihak perusahaan tidak melaporkan peristiwa kecelakaan kerja sebagaimana ditetapkan dalam Permenaker.

    Penyidik/Pengawas Ketenagakerjaan Disnakertrans Provinsi Banten, Rachmatullah, mengatakan dari indikasi kesengajaan itu nanti bisa dikembangkan. Ia mengatakan, sesuai hasil gelar perkara kedua ini, yang jelas tersangka adalah dari perusahaan.

    “Sesuai hasil gelar perkara dua ini yang jelas tersangka dari perusahaan. Nanti kita lihat hasil pendapat dari audiens, yang jelas kita sudah paparkan semua termasuk barang bukti dan legitimasi yang terkuat siapa yang bertanggung jawab di situ, lebih kepada perusahaan yang tidak melaporkan,” ungkapnya, Selasa (1/11) di Kantor Disnakertrans Provinsi Banten.

    Menurutnya, kecelakaan kerja terjadi kemudian tidak melaporkan, hal ini yang menjadi masalah dan pelanggaran. Rachmat menyampaikan gelar perkara kedua disebutkan ada unsur kesengajaan yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang melanggar peraturan perundangan ketenagakerjaan pasal 15 jo pasal 11 Undang-Undang 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja.

    “Sudah kami ingatkan sekali secara langsung di ruang meeting PT. Indah Kiat, kemudian (diingatkan kembali) secara tertulis. Kami mengirimkan juga (surat), ternyata tidak menyampaikan laporan ke Disnaker sebagaimana Permenaker nomor 3 tahun 1998 di pasal 2, jelas berbunyi bahwa pengurus atau pengusaha wajib melaporkan tiap kecelakaan kerja yang terjadi di tempat kerja Kepada Disnaker,” ujarnya.

    Rachmat menjelaskan, pada pasal 4 Permenaker nomor 3 tahun 1998, disebutkan perusahaan melaporkan peristiwa kecelakaan kerja dalam waktu tidak lebih dari 2×24 jam. Meski begitu, pihak PT. IKPP tidak melaporkan, sehingga dalam gelar perkara tersebut mempertegas bahwa unsur kesengajaan sudah terbukti ada dan pihaknya telah melakukan penetapan tersangka.

    “Untuk penetapannya hari ini (kemarin, red), karena tadi sudah merujuk ke tersangka, maka penyidik akan merekap hasil daripada pendapat atau masukan dari beberapa penyidik dan pengawas termasuk Korwas. Kita siapkan namanya dan nanti penetapan itu oleh penyidik di rapat kecil penyidik dari hasil gelar perkara kedua ini,” jelasnya.

    Ia mengatakan, apabila sudah ditetapkan tersangka nanti pihaknya akan melakukan pengambilan keterangan terhadap tersangka. Tersangka tersebut akan dipanggil untuk siap sidang di Pengadilan.

    “Tersangkanya nanti kita ada pemanggilan, untuk nama kita tidak sebut dulu, nanti saat pemanggilan BAP kita akan kasih gambaran. Karena harus sudah ada tersangka untuk masuk ke proses selanjutnya,” tandasnya.

    Kepala Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan Disnakertrans Provinsi Banten, Ruli Rianto, mengatakan bahwa giat gelar perkara dilakukan untuk meminta masukan apakah ketentuan tersangka sudah bisa diputuskan atau belum. Ia mengatakan, dari gelar perkara tersebut akan diketahui dari pasal yang disangkakan.

    “Nanti dikerucutkan, siapa sih yang bertanggung jawab terhadap perbuatan tersebut. Kalau kami hanya sebatas memberikan masukan-masukan hal-hal apa yang harus dilengkapi penyidik sehingga memutuskan siapa yang jadi tersangka,” ujarnya.

    Ruli mengatakan, berbicara tersangka, pada proses ini pihaknya tidak bisa menyebutkan siapa. Sebab, substansi penetapan tersangka ada pada penyidik.

    “Tetapi paling tidak orang itu adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap perbuatan pelanggaran tersebut. Kalau dari arah yang tadi disampaikan sudah ada kisi-kisinya,” ucapnya.(MUF/PBN)

  • RSUD dan Hermina Lalai

    RSUD dan Hermina Lalai

    SERANG, BANPOS–Pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banten dan Rumah Sakit Hermina dinilai lalai dan menyebabkan akses masyarakat menjadi terhambat untuk mendapatkan layanan, khususnya bagi pasien yang menggunakan BPJS. Rumah Sakit dituding melakukan diskriminasi terhadap pasien BPJS dan jalur umum, selain itu ternyata sarana dan prasarana yang ada sudah tidak berfungsi.

    Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Komisariat Unbaja, Rifqi Fatahilah, menyatakan, pihaknya pada Minggu (30/10) lalu, mendapatkan permintaan tolong dari salah satu warga Kabupaten Pandeglang.

    “Mereka menghubungi melalui sambungan telepon kepada kami. Mereka mengaku kebingungan karena ibu mereka terkena stroke dan harus segera dirujuk ke RSUD Banten untuk dilakukan pemeriksaan, terutama CT Scan,” ujarnya, Selasa (1/11).

    Namun ternyata, sudah beberapa jam mencoba menghubungi RSUD Banten untuk melakukan konsultasi sehingga ibunya dapat segera dirujuk ke sana dari Puskesmas setempat, namun tidak kunjung mendapatkan jawaban dari RSUD Banten.

    “Sehingga mereka meminta kepada kami untuk bisa mendatangi RSUD Banten, dan berkonsultasi langsung terkait dengan perujukan ibunya ke RSUD. Itu sekitar pukul 19.20 WIB,” terang Rifqi.

    Ketika mendatangi RSUD Banten, Rifqi mengatakan bahwa pihak RSUD mengakui jika hotline yang biasa digunakan untuk melakukan rujukan tengah mengalami kendala. Sehingga untuk menghubungi hotline tersebut, harus menggunakan cara lain.

    “Ini menjadi catatan pertama kami. Bayangkan jika memang ada yang benar-benar butuh cepat dan layanan hotlinenya rusak seperti itu, pasti sangat menyusahkan. Bahkan orang Puskesmas saja tidak tahu bagaimana untuk menghubungi RSUD selain melalui hotline. Kami terpaksa menggunakan WhatsApp pribadi untuk menyambungkan pihak RSUD dengan Puskesmas untuk berkoordinasi,” katanya.

    Setelah melakukan konsultasi dan koordinasi hampir sekitar tiga jam, Rifqi mengatakan bahwa pasien stroke itu dapat dirujuk ke RSUD Banten. Namun ternyata, alat CT Scan milik RSUD Banten juga tengah rusak dan tidak bisa digunakan.

    “Hingga akhirnya RSUD mengarahkan untuk pergi ke Rumah Sakit Drajat Prawiranegara (RSDP) dulu untuk menjalankan CT Scan, lalu dirujuk lagi ke RSUD Banten untuk perawatan lanjutan,” tuturnya. Untuk saat ini, pasien diputuskan untuk dirawat di RSDP, dengan pihaknya mengupayakan BPJS pasien dapat diaktifkan kembali.

    Menurut dia, hal tersebut sangat tidak efektif. Apalagi Rifqi mengatakan bahwa pasien tersebut terpaksa harus dirujuk ke RSUD Banten lantaran kondisi ekonomi pasien yang tidak memungkinkan untuk dirawat selain di RSUD Banten.

    “Pasien hanya berbekal Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) karena memang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera. Pasien memiliki BPJS, namun dalam keadaan non-aktif. Itu pun baru selesai hari ini (kemarin) berkat bantuan dari Dinas Sosial (Dinsos) Pandeglang, BPJS Pandeglang dan desa terkait,” ucapnya.

    Rifqi menegaskan bahwa RSUD Banten merupakan garda terdepan dalam pelaksanaan program kesehatan gratis yang dicanangkan oleh Pemprov Banten. Meski gratis, namun RSUD Banten tetap harus memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat.

    “Jangan sampai mentang-mentang gratis, pelayanannya jadi tidak maksimal. Pelayanan seadanya, fasilitas seadanya. RSUD harus bisa diakses dengan mudah oleh masyarakat. Kalau untuk menghubunginya saja sudah susah, bagaimana masyarakat bisa mudah dalam mengakses pelayanannya. Lalu bagaimana mereka melakukan perawatan alat, kok bisa sampai rusak begitu. Pasti kan ada anggaran rutin untuk perawatan,” tegas dia.

    Berdasarkan penelusuran BANPOS pada situs Sirup LKPP Provinsi Banten, diketahui bahwa pada tahun 2022, RSUD Banten telah menganggarkan sebesar Rp400 juta untuk pemeliharaan alat CT Scan, dan sebesar Rp5,5 juta untuk melakukan kalibrasi alat.

    Berdasarkan data pada situs Open Tender, anggaran pemeliharaan dan kalibrasi tersebut besar kemungkinan untuk alat CT Scan yang dimiliki oleh RSUD Banten, yang pengadaannya dilakukan pada 2013 lalu, dengan anggaran sebesar Rp16 miliar. Pengadaan alat itu dimenangkan oleh PT Agung Jaya Nusantara.

    Masih berdasarkan situs Sirup LKPP, pada November ini, RSUD Banten juga menganggarkan pengadaan alat CT Scan baru. Pengadaan CT Scan 128 slice tersebut dilakukan melalui metode e-Purchasing, dengan anggaran sebesar Rp13,640 miliar.

    Sementara itu, Humas dan Promkes RSUD Banten, Lilis Qouliyah, saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon membenarkan bahwa CT Scan di RSUD Banten memang dalam kondisi rusak. Ia menuturkan, pihaknya sudah mengajukan proses untuk memperbaiki CT Scan tersebut.

    “Rusaknya sudah sekitar seminggu yang lalu. Pemeliharaan oleh pihak penyedia. Kami sudah ajukan prosesnya (perbaikan), cuma memang kan nunggu antrian gitu. Karena kan memang banyak yang mengajukan,” ujarnya kepada BANPOS.

    Namun beberapa pertanyaan BANPOS terkait dengan kerusakan apa yang terjadi pada CT Scan tersebut, perkiraan waktu pelaksanaan perbaikan dan waktu pelaksanaan pemeliharaan rutin, dia tidak bisa menjawab lantaran harus kembali bertanya kepada beberapa bagian lain.

    “Yang punya datanya kan bagian instalasi, saya tidak tanya satu persatu. Yang pasti sih semua alat di kami itu dilakukan pemeliharaan,” ucapnya.

    Adapun terkait dengan pengadaan alat CT Scan yang baru, ia pun tidak dapat menjawab. “Mohon maaf pak untuk terkait informasi pengadaan alkes apa saja, saya kurang tahu pak,” tandasnya.

    Terpisah, Anggota DPRD Kota Cilegon Andi Kurniyadi mendatangi Rumah Sakit Hermina Kota Cilegon yang berlokasi di Bonakarta, pada Senin (31/10) sekitar pukul 16.30 WIB.

    Kedatangan wakil rakyat tersebut, lantaran adanya aduan dari masyarakat sebagai pasien Demam Berdarah (DBD) yang diduga ditolak pihak rumah sakit Hermina karena menggunakan BPJS Kesehatan.

    Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun, Politisi Partai NasDem itu tiba di Rumah Sakit Hermina sekira pukul 16.30 WIB. Ia meminta satpam untuk dipertemukan dengan pimpinan rumah sakit.

    Setelah itu, di lantai 4 rumah sakit Hermina dirinya bertemu dengan salah satu manajemen. Perdebatan sempat terjadi, tidak berselang lama manajemen menyuruh Andi  masuk ke suatu ruangan untuk membahas hal tersebut.

    Saat dikonfirmasi Andi mengatakan, dirinya datang ke rumah sakit Hermina lantaran adanya aduan dari warga yang ditolak pihak rumah sakit untuk dilakukan perawatan karena terserang DBD.

    “Saya kesini karena ada aduan dari salah satu pasien yang ditolak oleh pihak rumah sakit Hermina karena menggunakan BPJS. Padahal pasien tersebut terkena DBD dan minta dirawat, kenapa tidak dirawat apa hanya karena menggunakan BPJS Kesehatan,” kata Andi kepada awak media usai mengeluhkan pelayanan di rumah sakit tersebut.

    Saat berada di dalam ruangan dengan pihak manajemen rumah sakit Hermina, Andi menanyakan masalah aturan kepada pihak Rumah Sakit Hermina. Karena dirinya mendapatkan pernyataan, ditolaknya pasien DBD yang menggunakan BPJS itu tidak masuk kriteria.

    Namun setelah dicecar oleh Andi, ternyata jika menggunakan umum itu bisa dirawat. Itu diperparah dengan informasi yang diterima Andi ketika berkomunikasi dengan salah satu manajemen rumah sakit Hermina lainnya, pasien ditolak karena kamar penuh.

    “Saya tanya tadi, kenapa pake BPJS tidak bisa, jawabannya aturan. Tolong terangkan kepada saya, terus kalau pakai umum bisa, dan dia bilang bisa, begitu jawabannya. Berarti kan memang ada ketimpangan antara BPJS dan umum,” tuturnya.

    “Bahkan pak Dodi bilang bahwa kamar penuh, tapi tadi dokter bilang tadi hasil diagnosanya tidak memenuhi kriteria di BPJS, artinya hal itu saja sudah berbeda ini ada apa?,” tambahnya.

    Dikatakan Andi, dalam waktu dekat ini pihaknya akan memanggil pihak rumah sakit Hermina dengan Dinkes Cilegon untuk bisa menjelaskan hal tersebut. Mengingat, banyak aduan dari masyarakat karena menggunakan BPJS Kesehatan ditolak

    “Kami akan panggil ini rumah sakit untuk dilakukan hearing, karena banyak juga pasien BPJS yang membuat keluhan kepada kita semakin marak penolakan dari pihak rumah sakit, berbagai macam alasan, entah kamar penuh,” pungkasnya.

    Sementara itu, salah satu manajemen Rumah Sakit Hermina bernama Alit yang menerima langsung anggota DPRD ngamuk, itu berkilah bahwa permasalahan tersebut hanya miskomunikasi saja.

    “Jadi masalahnya itu hanya miskomunikasi saja ya pak. Kita juga akan cek lagi pasien, kejadiannya tadi sore,” kata Alit yang juga merupakan Marketing rumah sakit Hermina.

    Saat disinggung terkait pasien BPJS yang tidak memenuhi kriteria. Alit tidak bisa menjelaskan secara gamblang, bahkan tidak paham dan menyuruh untuk mencari sumber sendiri.

    “Saya kurang paham (pasien BPJS tidak memenuhi kriteria dan ditolak rumah sakit) bisa di searching sendiri ada kriterianya,” cetusnya.(LUK/DZH/PBN)

  • Tradisi Pembelian Kado Untuk Guru Dikeluhkan Wali Murid di Cilegon

    Tradisi Pembelian Kado Untuk Guru Dikeluhkan Wali Murid di Cilegon

    CILEGON, BANPOS,- Tradisi turun temurun meberikan kado kenangan kepada guru sekolah swasta Taman Kanak- Kanak (TK) berupa logam mulia (LM) Antam seberat 1 gram dengan total harga diperkirakan mencapai Rp1. 200 ribu, dikeluhkan Wali murid. Sekolah TK swasta ini tergolong sekolah favorit di Kota Cilegon. Kado LM ini diberikan kepada guru yang baru melahirkan.

    Menurut salah seorang walimurid yang meminta namanya dirahasiakan mengatakan, modus seperti ini sering terulang dalam setiap tahun ajaran berjalan. Ia mengaku keberatan karena kondisi ekonomi wali murid tidaklah sama.

    “Kondisi ini sering terulang. Okelah mungkin bagi walimurid yang mampu bisa saja mereka membayar. Tetapi bagi kami dan beberapa yang lainnya kan cukup membebani kas pengeluaran rumah tangga. Iuran dengan membeli LM ini sering setiap ada guru yang melahirkan. Saya sudah sampaikan keberatan tetapi tidak ada respon dari pengurus,” ujar salah satu wali murid kepada wartawan, di Cilegon, Selasa (1/11).

    Ia mengungkapkan bahwa berbagai macam iuran sering muncul yang dilakukan oleh oknum Jamiyah. Jamiyah adalah sekumpulan perwakilan wali murid di sekolah TK elit tersebut. Adapun kegiatan lainnya, misalnya parenting, penyuluhan narasumber, dan makan minum narasumber.

    Selama di sekolah TK tersebut, para wali murid sudah dibebankan berupa iuran baju seragam dan iuran per bulan. Namun demikian masih ada saja uang iuran dengan dalih berbagai kegiatan.

    Ketika ditanya apakah pungutan iuran- iuran tersebut ada ijin dari Yayasan, Kepsek, dan dewan guru..? Ia mengaku tidak tahu apakah Yayasan dan Kepala Sekolah mengetahui atau tidak kegiatan iuran tersebut. , karena pungutan iuran itu dikelola Jamiyah. Jamiyah adalah perwakilan wali murid terdiri orang, dimana salah satu tugasnya adalah mengelola uang wali murid berupa uang kegiatan murid.

    Atas kegiatan penarikan iuran yang dinilai memberatkan wali murid di TK tersebut, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Cilegon, Suhendi menyatakan bahwa pembinaan sekolah swasta dari TK, SD dan SMP memang kewenangan Dinas Pendidikan. Akan tetapi perihal adanya iuran dan anggaran, merupakan kewenangan managemen sekolah masing- masing. (BAR)

  • Ombudsman Sebut BPOM Lalai

    Ombudsman Sebut BPOM Lalai

    JAKARTA, BANPOS-Ombudsman menyebut, ada kelalaian dari Kemenkes dan BPOM terkait peristiwa gagal ginjal akut pada anak. Selain itu, Ombudsman juga mendesak Pemerintah untuk segera menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) pada peristiwa tersebut.

    Anggota Ombudsman, Robert Na Endi Jaweng mengatakan, lonjakan kasus gagal ginjal akut pada anak beberapa waktu terakhir ini perlu ketegasan Pemerintah untuk menetapkannya sebagai KLB.

    “Memang dalam UU Wabah Penyakit Menular dan Permenkes ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi sebagai KLB, namun Pemerintah juga harus membaca UU ini tidak hanya tekstual saja namun juga filosofi kebijakan dan kondisi di masyarakat,” tegas Robert dalam jumpa pers secara daring di Kantor Ombudsman Jakarta dikutip, Selasa (25/10).

    Robert mengatakan, kasus gagal ginjal akut ini merupakan darurat kesehatan yang penanganannya harus terpadu, sehingga perlu penetapan status KLB. Dengan penetapan KLB, maka menurut Robert penanganan gagal ginjal akut akan lebih terkoordinasi dengan baik.

    Selain itu, perlu dibentuk tim satuan tugas khusus untuk penanganan kasus gagal ginjal akut ini.

    Robert menambahkan, dengan ditetapkannya status KLB, diharapkan dapat terpenuhinya Standar Pelayanan Publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium hingga Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP).

    “Selain itu diharapkan dapat terwujud koordinasi dan sinergi dengan Pemerintah Daerah dan BPJS Kesehatan terkait pembiayaan pasien,” imbuhnya.

    Ombudsman berharap sosialisasi dalam rangka pencegahan kasus gagal ginjal akut pada anak dapat dilakukan hingga tingkat desa.

    Menurut Robert, masyarakat berhak akan informasi terkait penanganan kasus gagal ginjal akut hingga pencegahannya. Hingga saat ini Pemerintah belum memberikan penjelasan yang menyeluruh mengenai penyebab gagal ginjal akut pada anak.

    Pada penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak ini, Ombudsman menemukan potensi maladministrasi yang dilakukan Kemenkes di antaranya belum adanya data pokok terkait sebaran kasus baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan pusat.

    “Sehingga menyebabkan terjadinya kelalaian dalam pencegahan atau mitigasi kasus ini,” ujar Robert.

    Di samping itu, Ombudsman menemukan ketiadaan standarisasi pencegahan dan penanganan kasus gagal ginjal akut pada anak oleh seluruh pusat pelayanan kesehatan baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL).

    Sehingga menyebabkan belum terpenuhi Standar Pelayanan Publik (SPP) termasuk pelayanan pemeriksaan laboratorium.

    Tak hanya Kemenkes, Ombudsman juga menyoroti adanya kelalaian dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam pengawasan premarket (proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan) dan postmarket control (pengawasan setelah produk beredar).

    Pada tahap premarket, Ombudsman menilai, bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (uji mandiri).

    Robert menekankan, bahwa peran pengawasan BPOM harus lebih aktif dengan melakukan uji petik terhadap sejumlah produk farmasi.

    Ombudsman menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM dengan implementasi di lapangan.

    Selain itu, Robert menegaskan, BPOM wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.

    Pada tahap postmarket control, Ombudsman menilai bahwa dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM pasca pemberian izin edar.

    “BPOM perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar. Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar,” tegas Robert.

    Ombudsman berkomitmen untuk melaksanakan pengawasan dengan melakukan sidak di beberapa tempat seperti fasilitas kesehatan maupun perusahaan produsen farmasi serta pemanggilan para pihak terkait untuk memberikan penjelasan atau klarifikasi.(PBN/RMID)

  • Waspadai Pungutan Seragam Adat

    Waspadai Pungutan Seragam Adat

    SERANG, BANPOS–Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan kebijakan baru berupa Permendikbud Nomor 50 tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Bagi Peserta Didik Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

    Di dalam Permen tersebut, salah satunya mengatur tentang penggunaan pakaian adat dalam kegiatan sekolah. Hal yang perlu diwaspadai, atas keputusan tersebut yakni, kebijakan biaya atau pungutan yang nantinya memberatkan orang tua murid atau siswa.

    Menyikapi hal tersebut, Pj Gubernur Banten Al Muktabar, Selasa (25/10), mengatakan, pihaknya belum bisa langsung menerapkan kebijakan itu kepada satuan Pendidikan yang menjadi kewenangan, yakni tingkat SMA/SMK dan SKh, mengingat kondisi masyarakat Banten yang kaya akan keberagaman dari mulai suku, bahasa, agama samapai budaya.

    Maka dari itu, sebelum melangkah kepada hal teknis pemutusan untuk penerapan kebijakan itu, Al harus terlebih dahulu melakukan komunikasi dengan masyarakat, khususnya para tokoh adat, kasepuhan serta tokoh masyarakat setempat.

    “Saya harus berkomunikasi juga dengan masyarakat untuk mendesain pakaian adatnya seperti apa, mengingat pakaian adat di Banten itu kan banyak, ada sunda, betawi, jawa, baduy dan lain-lainnya,” katanya.

    Menurut Al, dalam penerapannya nanti bisa saja masing-masing daerah menggunakan pakaian adat yang diunggulkannya. Oleh karena itu, komunikasi dengan bupati dan walikota juga perlu dilakukan, agar semuanya menjadi selaras atas asas kebersamaan. “Kita juga melihat akan kemampuan provinsi dari sisi regulasi. Apakah nanti harus menggunakan pergub atau bagaimana, itu terus kita komunikasikan,” katanya.

    Sementara itu ketua Komisi V DPRD Banten Yeremia Mendrofa mengaku hingga kini dirinya belum melakukan komunikasi dengan mitra kerjanya, Dindikbud Banten. Namun meskipun demikian, dirinya mewanti-wanti kepada pemprov agar kebijakan yang nantinya dikeluarkan tidak menimbulkan polemik di masyarakat.

    “Maka dari itu dibutuhkan sosialisasi yang maksimal, setidaknya dari sekarang sampai menjelang tahun ajaran baru,” katanya.

    Selain itu, lanjut politisi PDIP itu, dirinya juga mengantisipasi konflik sosial yang terjadi antara wali murid dengan pihak sekolah, terutama di sekolah negeri. Hal itu mengingat paradigma masyarakat Banten saat ini, Pendidikan itu gratis dan tidak ada pungutan biaya. Jangan sampai ada kesan pungutan untuk baju seragam itu.

    “Sedangkan kalau itu dibebankan kepada APBD, tentu harus ada payung hukumnya,” jelasnya.

    Namun terlepas dari itu semua, Yeremia sangat mendukung kebijakan pemerintah itu. Komisi V mendorong bagaimana penguatan budaya daerah, salah satunya pemakaian baju nuansa daerah. Jangan sampai generasi muda Banten ini lupa akan budaya daerahnya sendiri. “Salah satunya melalui baju itu. Nanti kita koordinasikan teknisnya dengan dindik,” tandasnya.

    Terpisah, Sekretaris Dindikbud Banten M Taqwim saat dikonfirmasi terkait penerapan kebijakan seragam pakaian adat itu mengatakan pihaknya akan terlebih dahulu melakukan Analisa dan mempelajarinya lebih dalam. “Ok kita pelajari lagi ya,” katanya.(RUS/PBN)

  • Anak-anak Lebak Rawan Kekerasan dan Pelecehan

    LEBAK, BANPOS – Kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak di Lebak semakin meningkat. Kasus terbaru yang terjadi ialah pemerkosaan terhadap anak dibawah umur yang dilakukan oleh orangtuanya sendiri.

    Kabid Perlindungan Anak DP3AP2KB, Euis Sulaeha mengatakan, pihaknya telah menerima informasi terkait kasus tersebut dan sedang mendalaminya.

    “Kita berkoordinasi dengan UPTD PPA dan unit PPA di Polres Lebak, Pelaku memiliki alibi bahwa korban bukanlah anak kandung,” kata Euis Kepada BANPOS, Selasa (24/10).

    Euis menjelaskan, pihaknya saat ini lebih terfokus untuk penanganan dan pendampingan terhadap korban, baik secara fisik maupun psikologis yang akan dilakukan pemantauan melalui UPTD PPA.

    “Menanggapi kasus tersebut, kita perlu bantuan serta dukungan dari seluruh pihak agar mengantisipasi bahkan menghindari kekerasan dan pelecehan terhadap anak dan perempuan,” jelasnya.

    Sementara itu, berdasarkan data yang dimiliki oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lebak, sejak Januari hingga Agustus terdapat kasus kekerasan kepada anak sejumlah 30 orang, pada bulan Oktober 2022 bertambah menjadi 5 orang. Sedangkan Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Lebak mencatat yakni sebanyak 15 kasus pelecehan dan kekerasan.

    Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lebak, Oman Rohmawan mengatakan, kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak semakin marak di Kabupaten Lebak. Pelecehan seksual terhadap anak adalah sebuah tindakan yang harus ditindak tegas. Menurutnya, pelecehan bukan hanya tentang pemerkosaan. Mencium, meraba, berbuat sesuatu hal yang membuat tidak nyaman seorang perempuan itu juga sudah masuk kedalam pelecehan seksual.

    “Saya miris, kasus pelecehan seksual terhadap anak semakin bertambah saja jumlahnya, setiap bulan pasti ada kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak, perkembangannya dinamis, kalau kita hanya menangani kasus yang sekiranya kurang tersentuh oleh pemerintah, kalau data di UPTD mah sih pas lihat mah ada 100 lebih, tapi kurang tau ya, soalnya ada yang masuk ke LPA, ada yang masuk ke UPTD, ada yang ke Polres,” kata Oman.

    Ia menjelaskan, faktor yang menyebabkan kasus pelecehan semakin marak adalah penyalahgunaan teknologi, kelainan orientasi seksual, video porno, adanya peluang kesempatan untuk melakukan seksual, minum minuman keras, dan lain sebagainya. Kurangnya kesadaran masyarakat akan bahayanya perbuatan tersebut, kurangnya pengawasan keluarga terhadap anak, dan tidak adanya dukungan penuh dari pihak pemerintahan terkait penanganan untuk mengentaskan problematika tersebut.

    “Kami kan hanya sukarelawan, kadang kalau mau terjun ke lapangan pun harus menggunakan uang pribadi, segi pendampingan pun pake uang pribadi, emang tugas kami mensosialisasikan, tapi kami juga punya keterbatasan akses untuk menangani kasus tersebut,” jelasnya.

    Ia menerangkan, menjaga satu anak perempuan itu tidak cukup oleh satu orang, akan tetapi, menjaganya memerlukan orang satu kampung agar tidak terjadi tindak asusila terhadap anak.

    “Seharusnya, satu kampung itu menjaga anak perempuan yang ada, anggap saja dia anak kita sendiri, karena dalam mengatasi agar tidak terjadi pelecehan terhadap anak harus melibatkan semua elemen,” tandasnya.

    Senada dengan Oman, Sekretaris Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Lebak, Ratu Nisya Yulianti mengatakan, rawannya keamanan bagi Perempuan dan anak menjadi fokus perhatian Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Lebak dan aktivis sosial. Menurutnya, ini adalah catatan terburuk di Kabupaten Lebak karena maraknya tingkat kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan dan anak semakin tinggi.

    “Iya betul, miris juga hari ini Lebak kembali mendapat kabar yang luar biasa mengiris hati, bukan hanya perempuan tapi mungkin segenap masyarakat yang mendengar hal ini cukup memprihatinkan, yakni maraknya kasus pelecehan seksual,” kata Ratu.

    Ia menerangkan, kasus kekerasan dan pelecehan yang di terjadi di Lebak lebih dari 100 kasus dan jumlah terbanyak marak ada Lebak Selatan. Ia menegaskan, peran pemerintah dan segenap stakeholder pemerhati sosial ini harus lebih dikuatkan untuk terus menciptakan ruang aman baik terhadap perempuan dan anak

    “Kami juga sedang merumuskannya, kami juga tidak bisa bekerja sendiri perlu ada kerjasama dari pihak pemerintahan yang memiliki akses tidak terbatas, jangan sampai karena jarak yang jauh dari pusat kota menjadikan alasan wilayah selatan menjadi titik yang terabaikan dalam pemberdayaan dan penyuluhan cegah kekerasan seksual,” jelasnya.

    Ia menerangkan, semua elemen harus berperan dan bersatu untuk menentukan kualifikasi strategi yang efektif seperti melakukan Pemberdayaan dan penyuluhan terhadap anak SD, SMP, dan SMA.

    “Seperti misalnya kita harus memahami tantangan-tantangan yang sesuai dengan problematika mereka, menyiapkan pendamping psikologis untuk korban pelecehan, dan menyiapkan pendamping secara hukum,” tandasnya.

    Terpisah, Sekretaris Daerah (Sekda) Lebak, Budi Santoso mengatakan, Pemda Lebak, sedang mengupayakan agar bisa menekan kasus kekerasan dan pelecehan terhadap anak dan perempuan.

    “Sebenarnya kami juga sedang berupaya dalam menekan kasus tersebut, saya mohon semua masyarakat Lebak agar menjadi dengan baik keselamatan anak-anaknya, untuk mengentaskan problematika ini perlu kesadaran masyarakat Lebak,” tandasnya.(MG-01/PBN)

  • Darurat Penyimpangan Seksual

    Darurat Penyimpangan Seksual

    SERANG, BANPOS – Ibukota Provinsi Banten menjadi sorotan dalam hal penyimpangan seksual yang bermuara pada ditemukannya puluhan warga terindikasi sebagai orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Kasus HIV/AIDS sendiri ditemukan berdasarkan pemeriksaan yang mayoritas ditemukan pada komunitas penyimpangan sosial salah satunya laki-laki suka laki-laki (LKL) atau juga disebut ‘gay’, wanita penjaja seks komersial (WPSK) dan waria di Kota Serang.

    Berdasarkan data yang didapat, dari 6 Kecamatan di Kota Serang terdapat 957 warga Kota Serang terindikasi sebagai pelaku penyimpangan seksual LKL, 465 WPSK dan 62 waria. Dari jumlah tersebut, tercatat 58 orang dengan HIV/AIDS yang saat ini tengah menjalani perawatan.

    Hal itu diungkap oleh Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Serang, Ahmad Hasanuddin, usai menggelar rapat koordinasi keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Serang, Selasa (25/10) di Hotel Puri Kayana Kota Serang. Pada kesempatan tersebut, diungkapkan bahwa pelaku penyimpangan seksual di Kota Serang rata-rata berusia 15 hingga 25 tahun.

    “Jadi estimasi ODHA dan populasi kunci yang ada di Kota Serang ini tersebar di 6 Kecamatan se-Kota Serang. Dengan adanya LSL ini potensi AIDS semakin besar dan kami mengajak teman-teman untuk melakukan sosialisasi menyampaikan pengetahuan dalam upaya pencegahan,” ujarnya.

    Ia merinci, dari 6 Kecamatan se Kota Serang, terbanyak LSL adalah di Kecamatan Serang dengan jumlah 486 orang, jumlah WPSK sebanyak 282 dan waria sebanyak 20 orang. Menurutnya, Kecamatan Serang merupakan wilayah dengan penduduk yang cukup padat di Kota Serang yang menjadi faktor tingginya angka penyimpangan seksual.

    “LKL terbanyak di Kecamatan Serang, pertama memang jumlah penduduk di Kota Serang paling banyak di Kecamatan Serang. Sehingga mungkin pergaulan dan banyak perilaku, didikan dan juga pengaruh dari lingkungan bisa jadi faktor,” tuturnya.

    Sementara itu, di Kecamatan Cipocok terdapat 3 Puskesmas yang mendata LSL sebanyak 148 orang dan WPSK 74 orang dan waria. Kecamatan Kasemen terdiri dari 3 Puskesmas, terdapat LKL sebanyak 207 dan waria 12 orang. Kecamatan Walantaka terdata sebanyak 75 LSL, 55 WPSK dan 30 waria. Kecamatan Taktakan terdata sebanyak 23 LSL, 18 WPSK, terakhir Kecamatan Curug, LSL 18 orang, dan WPSK 28 orang.

    Hasan menjelaskan, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini menjadi yang paling banyak kasus LSL dan WPSK. Hal itu dikarenakan saat ini penanganan dan penyusuran kasus tersebut sedang gencar dilakukan, ditambah dengan maraknya komunitas gay.

    “Memang dibandingkan tahun sebelumnya, tahun ini lebih banyak, mudah-mudahan kita bisa menekan. Oleh sebab itu, kami mengundang instansi lainnya dalam kegiatan ini dengan mengundang pihak Kodim, Rutan, Kemenag Kota Serang, agar bersama-sama melakukan penanganan,” tuturnya.

    Ia menyebut, penanggulangan ODHA dan penyimpangan seksual ini seharusnya tidak hanya dilakukan oleh Dinkes saja. Menurutnya, semua instansi harus terjun bersama-sama dalam rangka melakukan pencegahan dan menanggulangi agar dapat menekan jumlah ODHA dan penyimpangan seksual yang berpotensi terjangkit HIV/AIDS.

    “Seharusnya bukan hanya Dinkes saja, tapi dari berbagai sektor turut serta dalam menangani hal ini,” ucapnya.

    Diakhir ia mengatakan, apabila kondisi LSL, WPSK dan waria masih terus bertambah, maka potensi jumlah ODHA bisa meningkat. Sehingga melalui kegiatan itu, pihaknya dapat bersama-sama melakukan Gerakan dalam rangka meminimalisir melalui sosialisasi secara masif dari berbagai sektor.

    “Untuk menekan itu kami melakukan sosialisasi dan edukasi. Karena perilaku seksual ini yang bermasalah, dan LSL ini kebanyakan remaja berusia 15 tahun hingga 49 tahun,” tandasnya.

    Pengelola Program Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Serang, Ahmad Budiman mengatakan, di tahun 2022 sepanjang bulan Januari hingga Oktober 2022, tercatat 58 kasus ODHA di Kota Serang. Pihaknya kemudian mendorong setiap OPD-OPD dan Lembaga yang ada di Kota Serang dalam rangka penanggulangan HIV AIDS yang saat ini trennya terus meningkat.

    “Trennya memang terus meningkat dan hal ini salah satu faktornya adalah gaya hidup, kemudian penderitanya lebih banyak laki-laki. Kalau tahun 1998-2000 itu kan kasus ditemukan pada pengguna narkoba dan untuk tahun 2005 ditemukan pada ibu-ibu,” ujarnya.

    Ia menyebut bahwa akhir-akhir ini, tren meningkatnya kasus ODHA ditemukan pada komunitas gay. Mirisnya, diantara ratusan LSL itu didominasi oleh remaja dengan rentang remaja dan ibu rumah tangga.

    “Jadi sekarang ini meningkatnya kasus dari komunitas gay, hampir tiap hari ditemukan gay. Paling banyak kasus terdapat di Ciruas, Pamarayan, Cikeusal, dan Ciomas, untuk di Kabupaten Serang, kalau Kota Serang kebanyakan pendatang,” tandasnya.(MUF/PBN)