PANDEGLANG, BANPOS-Berdasarkan data yang tercatat pada Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Pandeglang, jumlah kasus pelecehan seksual terhadap anak di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2019 hingga 2021 cenderung mengalami peningkatan.
Selain itu, dari data yang dikumpulkan juga didapatkan hasil bahwa rata-rata lokasi kejadian pelecehan terletak di desa dan pesisir pantai.
Sementara itu, data laporan kasus pelecehan seksual terhadap anak yang dilimpahkan kepada Kejaksaan Negeri (Kejari) Pandeglang tahun 2022, sekitar 17 kasus.
“Untuk tahun 2022, kasus pelecehan seksual terhadap anak pada tahap penuntutan atau setelah dilimpahkan kepada Kejaksaan sebanyak 6 kasus yang dilakukan oleh anak, untuk dewasa sebanyak 11 kasus,” kata Kepala Seksi (Kasi) Intelijen Kejari Pandeglang, Wildani Hapit, S.H. kepada BANPOS melalui pesan WhatsApp, beberapa waktu lalu.
Rata-rata vonis hukuman untuk pelaku pelecehan seksual terhadap anak, lanjut Wildani, untuk pelaku orang dewasa berbeda dengan pelaku anak.
“Rata-rata untuk pelaku anak dalam rentang dibawah dua tahun, sedangkan untuk dewasa dibawah 10 tahun terkecuali yang dilakukan oleh karena hubungan keluarga atau tenaga pendidik rata-rata diatas 10 tahun,” terangnya.
Saat ditanya mengapa selalu ada informasi bahwa Aparat Penegak Hukum (APH) memfasilitasi mediasi antara pelaku dan korban pelecehan seksual terhadap anak, Wildani mengatakan bahwa Kejaksaan tidak pernah melakukannya.
“Terkhusus di Kejaksaan Negeri Pandeglang, Penuntut Umum tidak pernah melakukan bahkan memfasilitasi mediasi antara korban dengan pelaku, walaupun jika dilakukan oleh pelaku anak pelaksanaan mediasi juga secara norma tidak bisa dilakukan. Karena ancaman untuk pelecehan seksual diatas 7 tahun untuk perkara yang dilakukan anak, sehingga tidak mungkin mediasi (diversi) dilakukan. Sedangkan untuk pelaku dewasa tidak pernah pihak Penuntut Umum memfasilitasi mediasi yang disebutkan tersebut dengan alasan Penuntut Umum cenderung menerapkan asas Kepentingan terbaik bagi anak,” jelasnya.
Menurutnya, rata-rata lokasi kejadian kasus pelecehan seksual terhadap anak dominasi dilakukannya diwilayah hukum bagian selatan atau wilayah pantai.
“Rata-rata kejadian dominasi dilakukan di wilayah hukum bagian selatan (pantai,red) dan untuk akhir-akhir ini lokasi kejadian menjadi trend di daerah Mandalawangi dan sekitarnya,” paparnya.
“Untuk pelaku anak dilakukan diatas 14 tahun sampai 17 tahun, sedangkan korban anak cenderung berumur 14 sampai 16 tahun. Sedangkan untuk pelaku dewasa sangat relatif mulai dari umur 18 tahun sampai 65 tahun,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala UPT P2TP2A DP2KBP3A Pandeglang, Sudin menyampaikan bahwa ada kecenderungan kenaikan laporan kasus pelecehan seksual terhadap anak di Kabupaten Pandeglang.
“Jumlah kasus pelecehan seksual terhadap anak di Kabupaten Pandeglang, tahun 2019 sebanyak 41 kasus, tahun 2020 sebanyak 67 kasus, tahun 2021 sebanyak 78 kasus. Sedangkan untuk tahun 2022 hingga bulan Juni sebanyak 28 kasus,” katanya kepada BANPOS.
Berdasarkan jumlah kasus yang terjadi pada tahun 2019 hingga 2021 tersebut, kata Sudin, secara statistik trend nya mengalami peningkatan. Namun untuk tahun 2022, pihaknya belum bisa memastikan jumlah kasusnya hingga akhir tahun.
“Jika melihat jumlah kasus yang terjadi mulai dari tahun 2019 hingga 2021, secara statistik trend nya bertambah. Namun untuk tahun 2022, jumlahnya 28 kasus hingga akhir Juni lalu,” terangnya.
Dijelaskannya, akar permasalahan terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak karena broken home, anak diasuh oleh orang tua yang terpisah.
“Akar permasalahan yang pertama karena anak ini diasuh oleh yang terpisah, entah karena perceraian atau karena mungkin salah satu orang tuanya meninggal. Sekilas bila dipelajari kasusnya, rata-rata anak yang tidak diasuh orang tua yang utuh rentan menjadi korban kekerasan. Jadi ketahanan keluarga ini yang harus ditingkatkan supaya anak-anak terlindungi,” jelasnya.
Oleh karena itu, yang harus dilakukan dengan segera adalah melakukan sosialisasi secara masif dan peserta sosialisasinya bukan hanya perempuan saja akan tetapi untuk laki-laki juga harus menjadi sosialisasi tersebut.
“Peserta sosialisasi itu kan kebanyakan perempuan, padahal kan pelakunya laki-laki. Kita Lembaga pemerintah mengedukasi kepada seluruh lapisan masyarakat untuk melakukan sosialisasi dengan massif. Makanya tahun ini kita akan mengadakan rapat koordinasi dan kerjasama lintas sektor dalam pencegahan kekerasan perempuan dan anak,” katanya.
Untuk lokasi tempat kejadian sendiri, kata Sudin lagi, beberapa kasus terjadi di daerah pelosok pedesaan seperti di wilayah Kecamatan Mandalawangi dan Kecamatan Sumur.
“Beberapa kasus di Kecamatan Mandalawangi banyak, di Kecamatan Sumur juga ada,” ungkapnya.
Sementara itu, Kabid Perlindungan Anak DP2KBP3A Pandeglang, dr. Marfuah Nuraini mengatakan, untuk pencegahan terhadap kasus pelecehan seksual terhadap anak, Pemkab Pandeglang memiliki beberapa program unggulan.
“Sosialisasi pencegahan kepada berbagai unsur diantaranya PATBM, Ibu-ibu TP PKK, organisasi dan lembaga perlindungan anak dan lainnya. Membentuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di tingkat desa. Program unggulan adalah adanya kelompok PATBM di seluruh desa se-Kabupaten Pandeglang, penguatan dengan bukti SE Bupati terkait seluruh desa harus membentuk kelompok PATBM,” katanya.
Menurutnya, persentase untuk program pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak bersumber dari APBD tahun 2022 dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
“Dari APBD tahun 2022 sebesar Rp 150 juta dan dari DAK non fisik sebesar Rp 400 juta,” jelasnya.
Dalam mencegah dan mendampingi kasus pelecehan seksual terhadap anak, lanjut Marfuah, DP2KBP3A telah melakukan MoU dengan OPD dan instansi terkait.
“DP2KBP3A bekerjasama dengan Unit PPA Polres Pandeglang, RSUD berkah, pengacara/ advokat dan psikolog,” ujarnya.
Adapun hambatan terbesar dalam mencegah peningkatan kasus pelecehan seksual terhadap anak, kata Marfuah lagi, karena kurangnya sumber daya petuga di UPT P2TP2A.
“Hambatan baik dalam pencegahan maupun penanganan kasus adalah kurangnya sumber daya petugas di UPT P2TP2A, hanya satu Kepala UPT dan dibantu seorang staf TKS,” ungkapnya.(dhe/pbn)