Kategori: HEADLINE

  • Kabupaten Tangerang Korban Kasus Samsat

    SERANG, BANPOS – Aksi nekat pejabat dan sejumlah staf di Samsat Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang yang telah melakukan pembobolan pajak kendaraan bermotor sebesar Rp6,2 miliar, ternyata berpengaruh terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten Tangerang. Sedangkan sebagaimana diketahui, PAD ini sangat berpengaruh terhadap pelayanan publik dan pembangunan daerah.

    Sementara itu, Selasa (19/4), tim  dari Inspektorat dan BPKP tampak sibuk melakukan pemeriksaan terhadap pegawai Samsat Kelapa Dua yang diduga terlibat dan mencatat  penerimaan pajak yang disetorkan oleh masyarakat.

     Pantauan BANPOS di kantor Inspektorat, sejak pagi sampai menjelang sore di bagian Irbanwil IV, tim  pemeriksa Inspektorat dan BPKP nampak sibuk melakukan pemeriksaan terhadap pegawai dari Samsat Kelapa Dua.

       Namun sayangnya, tidak ada satu orangpun dari mereka yang diperiksa memberikan penjelasan, begitupun dengan tim pemeriksa. “Silakan hubungi Pak Inspektur saja pak,” jelas salah seorang tim pemeriksa.

       Sementara itu, Kepala Inspektorat Banten, Muhtarom ketika ditemui di ruang kerjanya tidak ada di tempat. Sementara telepon genggamnya dihubungi beberapa kali tidak dijawab. Begitupun dengan pesan tertulis yang dikirim BANPOS, hanya dibaca saja.

     Pengamat Kebijakan Publik, Moch Ojat Sudrajat dalam siaran persnya mengungkapkan fakta, akibat  ulah oknum pejabat dan pegawai di Samsat Kelapa Dua pada Bapenda Banten. Ada pemerintahan kabupaten yang juga turut dirugikan dengan aksi nekat  pembobol uang rakyat tersebut.

     “Pemkab Tangerang diduga menjadi korban dari kasus Samsat Kelapa Dua. karena dengan adanya pembobolan pajak yang diduga selama delapan bulan, terhitung dari Agustus 2021 sampai Maret 2022, maka dana bagi hasil (DBH) kabupaten/kota dari Pemprov Banten, secara otomatis nilainya berkurang atau kecil,” katanya.

      Ia menjelaskan, berdasarkan  ketentuan Pasal 6  angka 2 Pergub Banten Nomor 14 tahun 2019 tentang Perubahan  Ketiga Atas Peraturan Gubernur Banten  Nomor 39 tahun 2015 tentang Tata Cara Bagi Hasil  Pajak Provinsi Kepada Pemerintah Kabupaten / Kota se Provinsi Banten, memiliki hak sebesar 30 persen dari realisasi penerimaan BBNKB yang masuk dalam RKUD (rekening kas umum daerah),” ujarnya.

      Melihat ketentuan dan aturan pembagian DBH dari Provinsi Banten ke Kabupaten Tangerang, diperkirakan PAD yang menguap untuk sebesar Rp1,8 miliar.

        “Angka Rp1,8 miliar itu kalau memang pajak yang dibobol Rp6,2 miliaran. Tapi kalau ternyata  pajak yang dibobol diduga Rp12 miliar, maka PAD Kabupaten Tangerang yang hilang sekitar Rp3,6 miliar,” ujarnya.

        Diberitakan sebelumnya, Kepala Bapenda Banten Opar Sohari mengakui adanya pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Opar mengklaim jika uang hasil pembobolan di angka Rp6,2 miliar. Dan oleh yang bersangkutan telah disetor ulang atau dikembalikan ke kasda.

       Pembobolan pajak yang dilakukan oleh oknum pejabat eselon IV atau setingkat Kepala Seksi (Kasi), berinisial Zlf ini dilakukan selama delapan bulan. Terhitung dari Agustus 2021 sampai Maret 2022.

     Zlf dalam melakukan aksi kejahatannya, tidak sendiri, tapi dengan sejumlah pegawai pelaksana lainnya,   At merupakan staf PNS, dan Bd serta Bgj sebagai seorang TKS (Non PNS).

    Adapun peran Bd yang merupakan seorang TKS memegang kendali sistem IT di Samsat Kelapa Dua, yang diduga merupakan orang kepercayaan Zlf untuk melancarkan aksinya, karena Bd  memegang akun beserta password sistem administrasi di Samsat itu sendiri.

    Adapun modus pembobolan pajak yang dilakukan oleh Zlf  cs ini dengan cara mengalihkan jenis pajak, dari BBN (bea balik nama)  1 ke BBN 2, dan pembayaran pajak kendaraan yang digelapkan itu tidak melalui kasir. Tetapi ada orang utusan dari mereka yang mengambil langsung uang pembayarannya ke dealer atau Wajib Pajak (WP) dengan membawa notice atau Surat Ketetapan Kewajiban Pembayaran (SKKP).

    Besaran pajak pada notice yang dikeluarkan itu sendiri sebesar 12,5 persen, karena untuk pembayaran pajak BBN 1.

    Setelah uang atau cek pembayaran itu diterima, para pelaku kemudian mengubah jenis pembayaran yang diinput pada sistem itu menjadi BBN 2 dengan besaran pajaknya hanya satu persen,  setelah itu kemudian membayarkannya ke bank.

    Notice itu sendiri digunakan untuk menetapkan besarnya biaya pokok pajak, administrasi BBNKN, SWDKLLJ (Jasa Raharja), Penerbitan STNK, dan Penerbitan TNKB/NRKB.(RUS/PBN)

  • Disebut Gagal, BBWSC3 Ungkap Lelang Belum Selesai

    SERANG, BANPOS – Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau, Cidurian, Ciujung (BBWSC3) menyebut, normalisasi Sungai Cibanten memerlukan waktu yang cukup panjang. Selain itu, lelang untuk proyek normalisasi belum selesai saat banjir bandang melanda Kota Serang dan sekitarnya.

    Demikian yang diungkapkan oleh perwakilan BBWSC3 saat menghadapi aksi yang dilakukan oleh puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Cabang Serang, Selasa (19/4).

    Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut BBWSC3 segera melakukan normalisasi sungai Cibanten, yang merupakan salah satu penyebab terjadinya bencana banjir bandang di Kota Serang pada awal Maret lalu.

    Berdasarkan pantauan di lapangan, unjuk rasa yang dilakukan oleh HMI MPO Cabang Serang tersebut dijaga tak terlalu ketat oleh personel Polres Serang Kota. Para massa aksi membentangkan spanduk bertuliskan diantaranya ‘BBWSC3 Gagal’.

    Selama aksi berlangsung, massa aksi pun menyampaikan orasi dan tuntutan mereka berkaitan dengan pelaksanaan normalisasi Sungai Cibanten. Sebab, mereka menilai bahwa pendangkalan Sungai Cibanten merupakan salah satu penyebab terjadinya banjir bandang kemarin.

    “Normal, normal, normalisasi. Normalisasi sekarang juga,” teriak para pengunjuk rasa.

    Selain normalisasi sungai, para pengunjuk rasa pun meneriakkan tuntutan agar BBWSC3 selaku pengelola Bendungan Sindangheula agar dapat membuat protokol maupun standar operasional prosedur (SOP) mengenai peringatan dini, apabila debit air pada Bendungan Sindangheula melebihi kapasitas.

    Massa aksi juga menggelar aksi teatrikal. Dalam teatrikal itu, massa aksi membawa satu gubuk yang disebut sebagai rumah para penyintas. Tiba-tiba, terjadi banjir bandang yang membuat rumah itu roboh.

    Selanjutnya, datang sejumlah dermawan yang memberikan bantuan. Namun setelahnya, para penyintas banjir pun kembali menjerit dan menangis, lantaran usai mendapatkan bantuan sementara pada saat terjadinya bencana, mereka tidak mendapatkan bantuan pemulihan rumah mereka yang rusak.

    Setelah kurang lebih satu jam berunjuk rasa, massa aksi pun dihampiri oleh perwakilan dari BBWSC3. Perwakilan tersebut yakni Kabid KPI SDA pada BBWSC3, Nani. Saat dihampiri, massa aksi pun menyampaikan sejumlah tuntutan mereka yakni pelaksanaan normalisasi serta pembuatan SOP peringatan dini.

    Koordinator aksi, Muhammad Abdul Aziz, saat diwawancara mengatakan bahwa aksi yang dilakukan oleh pihaknya bertujuan untuk mengingatkan BBWSC3, untuk dapat segera melakukan normalisasi Sungai Cibanten.

    “Karena setelah satu bulan becana banjir di Kota Serang, tidak ada normalisasi Sungai Cibanten dan tata kelola sungai pun masih buruk. Selain itu juga tidak ada tindakan non struktural secara preventif kepada masyarakat,” ujarnya.

    Terlebih berdasarkan pengamatan pihaknya, sampai saat ini kondisi Sungai Cibanten pun masih kotor akibat bencana banjir kemarin. Ia mengklaim bahwa sejumlah titik sungai masih terlihat penumpukan sampah sisa dari banjir bandang lalu.

    “Dari pihak BBWSC3 sendiri tadi menjelaskan bahwa normalisasi sungai akan dilaksanakan di tahun depan, walaupun pengajuannya sudah dari tahun sekarang,” ucapnya.

    Aziz mengaku bahwa pihaknya mengapresiasi langkah dari BBWSC3 yang telah berupaya melakukan normalisasi. Namun menurutnya, yang menjadi konsen gerakan mereka ialah bagaimana tindakan yang dilakukan dalam jangka waktu singkat pasca-banjir bandang.

    “Satu sampai tiga bulan ke depan, ini memang belum ada (tindakan) dan walaupun perencanaan mereka sudah, namun tetap perlu kita ingatkan lagi, bahwa proses-proses yang dilalui itu harus lebih singkat karena bencana kan bisa datang kapan saja,” tegasnya.

    Pihaknya juga mendorong agar koordinasi yang dilakukan oleh BBWSC3 dengan Pemprov Banten, Pemkot Serang maupun Pemkab Serang juga diharapkan dapat ditingkatkan. Sebab berkaca pada bencana kemarin, antar lembaga pemerintahan itu justru saling menyalahkan.

    “Ya karena setelah banjir kemarin kita kan melihat mereka saling menyalahkannya, antara BBWSC3 dan Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Provinsi. Maka dari itu, kami mendorong agar proses konsolidasi atau proses koordinasi antar lembaga itu dipercepat,” terangnya.

    Sementara untuk SOP peringatan dini, menurutnya hal itu sangat penting untuk segera disusun. Sebab jika SOP itu sudah ada sebelum 1 Maret lalu, seharusnya korban dan dampak bencana dapat diminimalisir karena warga pun dapat mengungsi.

    “Peringatan dini dan lain-lain itu adalah masukan dari kami. Selain masukan terkait koordinasi antar lembaga, kami juga memberikan masukan untuk membuat embung dan penghijauan kembali di daerah Bendungan Sindangheula karena itu yang memang menjadi penyebab banjir itu sendiri,” ungkapnya.

    Aziz juga mengaku bahwa pihaknya akan menggelar aksi unjuk rasa

    Sementara itu, Kabid KPI SDA pada BBWSC3, Nani, mengatakan bahwa pihaknya mengapresiasi aksi yang dilakukan oleh HMI MPO Cabang Serang. Menurutnya, aksi tersebut merupakan hal yang positif dalam mengawasi kinerja BBWSC3.

    “Sebenarnya kalau kita saling berkolaborasi, saling memberikan apa yang kita sampaikan itu, mungkin tidak akan terjadi konflik seperti itu ya. Mereka (mahasiswa) juga paham seperti apa programnya kita, dan ya mudah-mudahan diterima mahasiswa,” ujarnya.

    Nani menuturkan, koordinasi dan komunikasi serta upaya pemulihan pasca-banjir bandang sudah dilakukan oleh pihaknya bersama dengan Pemkot Serang dan Pemprov Banten. Namun diakui, informasi tersebut hanya sepotong-sepotong terpublikasinya.

    Mengenai normalisasi, Nani mengaku bahwa sebenarnya upaya untuk melakukan normalisasi Sungai Cibanten telah dilakukan sebelum terjadinya banjir bandang. Namun untuk melakukan normalisasi itu, perlu adanya tahapan-tahapan yang cukup panjang.

    “Sebelum banjir kan sudah ada design, tahun ini sebenarnya (normalisasi) masih tahap lelang. Namun ternyata saat sudah dilelangkan, terjadi banjir,” ucapnya.

    Massa aksi pun membubarkan diri secara damai setelah aspirasi mereka diterima oleh perwakilan BBWSC3. Selain itu, mereka turut membersihkan sejumlah peralatan teatrikal mereka bersama dengan sejumlah aparat Kepolisian. (DZH/PBN)

  • Staf Marketing BPRS CM Ikut Lebaran di Penjara

    CILEGON, BANPOS – Tersangka kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi pada Pemberian Fasilitas Pembiayaan oleh PT. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Cilegon Mandiri (BPRS-CM) Tahun 2017 sampai dengan Tahun 2021 bertambah.

    Setelah sebelumnya menetapkan Idar Sudarma (IS) dan Tenny Tania (TT) sebagai tersangka, penyidik Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Cilegon menetapkan dua tersangka baru.

    Dua tersangka itu adalah Nina Noviana (NN) dan Mariatul Machfudoh (MM) selaku Staf Marketing atau Account Officer BPRS Cilegon Mandiri. Dengan begitu, dipastikan NN dan MM akan berhari raya Idul Fitri di dalam penjara.

    Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Cilegon Atik Ariyosa menjelaskan, dari hasil penyidikan didapatkan bukti permulaan yang patut untuk menetapkan dua orang tersebut sebagai tersangka.

    Penetapan kedua tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka nomor: TAP- 808/M.6.15/Fd.1/04/2022 tanggal 14 April dan nomor: TAP-809/M.6.15/Fd.1/04/2022 tanggal 14 April.

    Terkait peran kedua tersangka dalam kasus tersebut, Nina dan Machfudoh berperan membantu mengeluarkan uang dari BPRS-CM melalui jasa produk pembiayaan demi kepentingan dari tersangka Idar dan Tenny dengan cara melakukan analisa pembiayaan yang tidak sesuai dengan peraturan dan pedoman yang berlaku serta mendapatkan keuntungan atas perbuatannya tersebut.

    “Dikarenakan terhadap Tersangka NN dan Tersangka MM memenuhi syarat alasan objektif dan subjektif penahanan serta demi memperlancar proses penyidikan, selanjutnya terhadap dua  orang tersangka dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas II B Serang selama 20 hari terhitung sejak tanggal 14 April 2022 sampai dengan 3 Mei 2022,” kata Ari sapaan akrabnya saat dikonfirmasi kemarin.

    Sebelum dilakukan penahanan, dua orang tersangka tersebut telah dilakukan pemeriksaan kesehatan dan swab antigen dengan hasil dinyatakan sehat dan negatif Covid-19.

    Menanggapi terkait persoalan tersebut, Direktur Utama (Dirut) BPRS-CM Novran Erviatman meminta nasabah bank milik Pemerintah Kota Cilegon itu untuk tetap tenang.

    Manajemen memastikan kasus dugaan korupsi yang telah menjerat sejumlah petinggi dan staf itu tidak mempengaruhi operasional bank.

    Bahkan, uang yang saat ini masih disimpan di bank pun masih aman karena dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

    “Dana aman, karena dijamin LPS, operasional kami juga tidak terganggu. Action plan sudah kami susun dan disahkan oleh OJK,” ujar Novran.

    Novran mengaku prihatin atas kasus yang sedang terjadi di bank yang belum lama ini ia pimpin tersebut. Namun ia menyerahkan sepenuhnya persoalan itu kepada aparat penegak hukum.

    “Kemudian kepada Idar Sudarma dan Tenny sudah ada mekanisme yang kita jalankan, meski masih karyawan sudah disesuaikan. Kalau pa Idar ditentukan melalui RUPS, namun secara administratif sudah kita lakukan, sama dengan Bu Tenny Tania pun sudah dilakukan tindakan sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK),” tuturnya.

    Idar kini dinonjobkan dari jabatan Direktur Bisnis, kemudian Tenny telah diturunkan menjadi staf dari jabatan Manager Marketing.

    Novran memastikan pihaknya telah berkomitmen di tahun ini untuk memperbaiki keadaan tersebut. Sejumlah rencana aksi sudah dipersiapkan dan telah disetujui oleh OJK.(LUK/PBN)

  • WH-Andika Dianggap Gagal

    WH-Andika Dianggap Gagal

    SERANG, BANPOS – Banyaknya catatan penting dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Kinerja Pemerintah Daerah (LKPD) Pemprov Banten tahun anggaran 2021 mencerminkan gubernur, wakilnya serta DPRD  tidak maksimal memikirkan kepentingan dan kurang melihat persoalan serta kebutuhan masyarakat. Mereka dianggap gagal dalam menata dan mengelola keuangan daerah.

    Akademisi Untirta Serang, Ikhsan Ahmad, Minggu (17/4) mengungkapkan, sejak Pemprov Banten dipimpin oleh Gubernur Banten Wahidin Halim (WH) dan wakilnya, Andika Hazrumy (Aa) tidak becus dalam mengurusi masyarakat. Apalagi menjalankan semua janji-janji politiknya.

    “Sedari awal, saya melihat, bahwa Pemprov Banten tidak fokus dalam menjalankan peran, fungsi dan tanggung jawabnya, apa lagi kalau bicara janji politik,” katanya.

    Ia menjelaskan,  pemprov hanya meninabobokan masyarakatnya dengan pembangunan-pembangunan yang selama ini kurang menyentuh kepada masyarakat. “Analoginya seperti dongeng seorang kakek kepada cucunya,” imbuhnya.

    Selama ini penderitaan masyarakat  hanya dijadikan komoditas  WH-Aa dalam menjalankan peranya sebagai eksekutif di Pemprov Banten.

    “Kemiskinan lebih banyak ditempatkan sebagai barang dagangan dalam etalase politik dari pada dipahami sebagai sebuah persoalan masyarakat yang harus dituntaskan,” katanya.

    Kemiskinan dan keberhasilan pemberantasannya, hanya persoalan utak-atik angka statistik. Kemiskinan dijadikan ruang untuk membangun citra dan kepentingan kontestasi baik oleh eksekutif maupun legislatif.

    “Disisi lain terjadi pelacuran yang intens antara dewan dengan eksekutif melalui berbagai sarana prostitusi politik, diantaranya transaksi proyek dan penyatuan pemisahan kekuasaan legislatif dan eksekutif di warung remang-remang. Ketua partai sekaligus kepala daerah menjadi kunci mematikan peran legislatif tidak bisa melakukan pengawasan kepada eksekutif. Ketua partai sekaligus kepala daerah menjadi virus utama kooptasi anggota partai yang bersangkutan yang kemudian dikembangkan menjadi rumusan diksi formal politik, koalisi ke atas, ke bawah, ke kanan dan ke kiri,” ungkapnya.

    Adapun opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas Laporan Kinerja Pembangunan Daerah (LKPD) Banten tahun anggaran 2021 kata Ikhsan, tidak mencirikan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).

    “WTP bukan jaminan atas pengelolaan penyelenggaraan yang baik dan bebas korupsi, Saya khawatir jangan-jangan ada kesalahan menempatkan WTP sebagai simbol dan fungsinya dalam mekanisme  pelaporan. Karena sejatinya Banten, selama kepemimpinan WH – Andika penuh dengan drama, kisah kasih korupsi dan gelora reformasi birokrasi yang karut marut dan selama itu pula WTP,” katanya.

    Senada diungkapkan oleh Pengamat Hukum Tata Negara yang sekaligus Ketua Pusat Kajian Konstitusi Perundang-undangan dan Pemerintahan (PKK) Untirta Serang, Lia Riestadewi. Menurutnya, opini WTP  dari BPK hanya mengukur bahwa Provinsi Banten itu telah tertib standar akuntansi keuangan.

    “WTP yang dicapai hanya dianggap tertib administrasi. Tidak menilai persoalan- persoalan yang terjadi di Provinsi Banten,” ujarnya.

    Kurang maksimalnya, dalam penanganan kemiskinan serta temuan-temuan lainnya yang disampaikan BPK pada Rabu pekan lalu dikatakan Lia, adalah kesalahan berjamaah yang dilakukan eksekutif dan legislatif.

    “Dalam konteks penyelenggaraan  pemerintahan daerah, Gubernur dan DPRD adalah satu kesatuan seperti sepasang suami istri yang tinggal dalam satu ranjang dan satu kamar jadi jika BPK  menyatakan lemahnya peran Gubernur dalam menjalankan fungsi sebagai Wakil Pemerintah dan lemahnya DPRD dalam menjalankan fungsi pengawasan, itu hal yang wajar Karena mereka memang satu, Cuman di depan publik seakan-akan menyalahkan tapi dalam kamar bermesraan,” kata Lia.

    Bahkan Lia menilai, kasus kemiskinan yang menjadi sorotan BPK dirasa sudah tidak aneh baginya. Pasalnya beberapa waktu lalu, Banten menyandang gelar provinsi tidak bahagia. Ini sangat berbanding terbalik dengan APBD nya yang cukup besar.

    “Temuan dari BPK, dari mulai kurangnya penanganan dalam penanggulangan kemiskinan serta aset-aset yang bermasalah dan persoalan lainnya itu semua tidak akan bisa diselesaikan oleh Gubernur sehingga target  RPJMD juga tidak tercapai   Bulan  Mei sudah selesai masa tugasnya, jadi gagal kepemimpinan periode WH – Andika terbukti dengan Banten dinobatkan sebagai provinsi nomor 1 yang masyarakat nya paling tidak bahagia, padahal APBD Banten masuk 10 besar APBD tertinggi di Indonesia,” terang Lia.

    Dengan besarnya APBD, pemerintah.provinsi semestinya bisa mengatasi kemiskinan yang ada, dan membuat masyarakatnya tersenyum bahagia.

    “Seharusnya dengan 10 besar APBD tertinggi tersebut Banten bisa menanggulangi kemiskinan lebih baik dan bisa membuat masyarakat nya bahagia, jika fungsi Gubernur dan DPRD nya berjalan secara maksimal merencanakan pembangunan sesuai kebutuhan masyarakat bukan keinginan penguasa,” jelasnya.

    Diberitakan sebelumnya, BPK menyoroti  masih tingginya kemiskinan,serta peran DPRD Banten  tidak mampu  memerankan fungsi pengawasan lebih intens lagi atas pengelolaan keuangan APBD yang dijalankan oleh WH melalui organisasi perangkat daerah (OPD).

    “Permasalahan signifikan, kebijakan Pemprov Banten dalam upaya penanggulangan kemiskinan belum sepenuhnya memadai. Pemprov belum sepenuhnya memberdayakan masyarakat miskin dengan tepat dalam upaya penanggulangan kemiskinan,” kata Auditor Utama Keuangan Negara V BPK, Akhsanul Khaq.

    BPK juga meminta WH untuk memberikan pembinaan nya kepada kabupaten/kota. Serta mendesak kepada DPRD Banten agar lebih fokus lagi kepada anggaran yang digunakan oleh OPD. Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah untuk lebih meningkatkan fungsi pembinaannya kepada pemerintah kabupaten/kota, dan bagi DPRD dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap pengelolaan dan tanggungjawab keuangan daerah.

    Adapun untuk tindak lanjut dari temuan, BPK RI Perwakilan Banten masih mencatat ada banyak temuan-temuan oleh Pemprov Banten yang belum diselesaikan hingga saat ini.  “Untuk pemantauan tindak lanjut rekomendasi hasil pemeriksaan BPK. Dari total keseluruhan sebanyak 1.568 rekomendasi sejak periode 2005 sampai dengan 2021, yang telah ditindaklanjuti 1.296 atau 82,65 persen, dan yang belum ditindaklanjuti 272 atau sekitar 17,35 persen,” katanya.

    Permasalahan lainnya yang dihadapi oleh pemprov atas LKPD Banten tahun 2021 lanjut Akhsanul yakni, pengelolaan hibah dari pemerintah pusat belum tertib diantaranya, hibah berupa uang dan barang dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak dilaporkan kepada bendahara umum daerah, aset tetap yang hasilnya dari hibah uang yang belum seluruhnya dicatat dan disajikan nilainya. Dan rekening yang digunakan untuk menerima hibah berupa uang belum dilaporkan seluruhnya kepada bendahara umum.

    “Selanjutnya, pengelolaan rekening bendahara belum memadai. Permasalahan tersebut meliputi rekening, sekolah di Bank Jabar Banten tidak terdaftar dalam SK penetapan rekening daerah dan pemberian barang atau jasa giro atas saldo rekening pada Bank Banten belum sesuai perjanjian kerjasama,” ujar Akhsanul.

    Dan terkait penatausahaan aset tetap belum memadai kata dia, permasalahannya meliputi, data kartu inventaris barang (KIB) tanah, gedung dan bangunan serta jalan irigasi dan jaringan belum menyajikan informasi yang lengkap antara lain alamat dan luas aset, terdapat satu bidang aset tanah yang dicatat ganda pada dua perangkat daerah, dan terdapat delapan aset tetap jalan, irigasi dan jaringan dengan nilai Rp100.

     “Ditambah lagi pelaksanaan belanja modal pada beberapa kontrak tidak sesuai ketentuan. Permasalahan tersebut mengakibatkan kelebihan pembayaran atas lima paket pekerjaan gedung dan bangunan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, serta empat paket pekerjaan jalan dan jembatan pada Dinas PUPR,” jelas Akhsanul.(RUS/PBN)

  • ‘Berjamaah’ Bobol Pajak Samsat

    SERANG , BANPOS – Dalam melakukan aksi kejahatannya, oknum pejabat di Samsat Kelapa Dua Tangerang ini diketahui tidak seorang diri, tapi secara ‘berjamaah’ dengan sejumlah pegawai pelaksana lainnya, baik yang berstatus ASN atau Non ASN alias Tenaga Kerja Sukarela (TKS).

    Mereka yang diduga terlibat dalam pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua masing-masing berinisial Zlf, At, Bd, dan Bgj. Zlf sendiri merupakan seorang ASN dengan jabatan setingkat Kepala Seksi (Kasi) yang diduga menjadi otak dari rencana jahat itu. At merupakan staf PNS ,dan Bd serta Bgj sebagai seorang TKS.

    Adapun peran Bd yang merupakan seorang TKS memegang kendali sistem IT di Samsat Kelapa Dua, yang diduga merupakan orang kepercayaan Zlf untuk melancarkan aksinya, karena Bd  memegang akun beserta password sistem administrasi di Samsat itu sendiri.

    Berdasarkan informasi dihimpun, pembayaran pajak kendaraan yang digelapkan itu tidak melalui kasir. Tetapi ada orang utusan dari mereka yang mengambil langsung uang pembayarannya ke dealer atau Wajib Pajak (WP) dengan membawa notice atau Surat Ketetapan Kewajiban Pembayaran (SKKP).

    Besaran pajak pada notice yang dikeluarkan itu sendiri sebesar 12,5 persen, karena untuk pembayaran pajak BBN 1.

    Setelah uang atau cek pembayaran itu diterima, para pelaku kemudian mengubah jenis pembayaran yang diinput pada sistem itu menjadi BBN 2 dengan besaran pajaknya hanya satu persen,  setelah itu kemudian membayarkannya ke bank.

    Notice itu sendiri digunakan untuk menetapkan besarnya biaya pokok pajak, administrasi BBNKN, SWDKLLJ (Jasa Raharja), Penerbitan STNK, dan Penerbitan TNKB/NRKB.

    “Jadi ada perbedaan besaran pembayaran antara yang di sistem dengan notice yang dikeluarkan, padahal nomor registrasi yang sama,” kata salah seorang pegawai Pemprov Banten  kepada BANPOS yang meminta identitasnya dirahasiakan.

    Perbedaan itu kemudian berpengaruh juga pada sistem pelaporan keuangan Jasa Raharja. Untuk itu, pihak Jasa Raharja meminta bukti datanya secara utuh kepada Samsat Kelapa Dua.

    Namun yang terjadi, pihak Samsat tidak memberikan pelaporan yang dimintakan dan merekomendasikan untuk meminta ke pusat. Setelah dibuka dan ditelusuri, ternyata perbedaan angkanya sangat besar.  “Dari situlah kemudian kasus ini terungkap,” katanya.

    Sementara itu sumber di Samsat mengatakan, kasus ini sudah lama terjadi dan sudah menjadi bidikan pihak kepolisian, mengingat kerugian negara yang diakibatkannya sangat besar mencapai Rp12 miliar.

    “Samsat Kelapa Dua itu kan salah satu penyumbang pendapatan yang paling besar, pendapatanya selama satu tahun lebih dari Rp500 miliar. Terlebih jenis kendaraan yang terjual itu kebanyakan kelas menengah ke atas,” katanya.

    Meskipun sudah lama terjadi, namun dirinya juga tidak mengetahui persis apakah kepala UPT Samsat dan Kepala Bapenda Banten mengetahui perihal modus itu. Sebab, permainan yang dilakukan hanya melibatkan sampai sebatas pejabat Kasi.

    “Iya memang Kepala Samsat nya pak Bayu Adi Putranto, yang juga salah satu menantu dari Gubernur Banten,  Bapak Wahidin Halim. Tapi saya tidak tahu persis apakah dia terlibat atau tidak,” katanya.

    Pengamat Kebijakan Publik, Moch Ojat Sudrajat mengungkapkan, ada dua hal yang diduga masuk ranah pidana dalam persoalan pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua.

    “Kalau saya analisa, ada dua dugaan perbuatan yang dapat dikategorikan suatu tindakan pidana. Pertama, dugaan pemalsuan dokumen Surat Ketetapan Kewajiban Pembayaran PKB, BBNKB, SWDKLLJ dan PNBP. Dan yang kedua, dugaan penggelapan  atau pembobolan,” katanya.

    Ojat yang merupakan pegiat informasi, dan kerap wara wiri ke lembaga peradilan ini menjelaskan, dugaan pemalsuan surat ketetapan adanya dugaan modus merubah BBN l ke BBN 2. “Patut diduga ada dua surat ketetapan yang diterbitkan,” imbuhnya.

    Ojat juga mempertanyakan, sistem dan pola kerja yang diterapkan oleh Bapenda Banten sehingga begitu rapuh dan mudahnya uang masyarakat dibobol oleh oknum pegawainya sendiri.

    “Sangat heran jika pembobolan ini terjadi, bukankah ada tutup buku setiap harinya, di Kantor Samsat tersebut, artinya seharusnya pada saat tutup buku ini sudah dapat terdeteksi dari awal jika terjadi penggelapan pajaknya. Atau jangan-jangan, setiap hari atau setiap bulannya Kepala Samsat Kelapa.Dua tidak melakukan pengecekan, inilah yang saya maksudkan lalai,” katanya.

    Sementara Ojat juga mempertanyakan angka Rp6,2 miliar yang disampaikan oleh kepala Bapenda Banten Opar Sohari, sebagai angka pembobolan pajak di Kelapa Dua Tangerang.

    “Dari manakah angka yang konon senilai Rp6 miliar tersebut didapatkan dan lalu dikembalikan.?  Jika Inspektur Provinsi Banten menyatakan masih melakukan pemeriksaan artinya masih belum ada angka yang sudah ditetapkan besaran nilai kerugiannya, dan jika benar sudah dikembalikan tentunya harus ditunjukan kepada public STS nya agar publik yakin,” harapnya.

    Oleh karena itu, untuk meyakini angkanya Rp6,2 miliar atau Rp12 miliar perlu dibentuk tim independen, agar semuanya jelas dan pasti. Tidak ada uang rakyat hilang akibat ulah pejabat di Bapenda Banten.

    “Saya pribadi berharap jika memungkinkan sebagai bentuk akuntabilitas kepada masyarakat, dibentuk tim independen dalam melakukan investigasi atas kasus ini, agar mendapatkan kepastian berapa sebenarnya nilai yang dibobol ini?. Apalagi mengingat salah seorang yang diduga pelaku berinisial Bd diduga adalah mantan karyawan dari perusahaan atau vendor yang membuat sistem IT atau aplikasi di Samsat di Provinsi Banten,” ujarnya.

    Bahkan Ojat berjanji akan terus melakukan pengawasan terhadap penanganan pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua, serta akan meminta PPTK dan BPK melakukan penelusuran serta audit.

    “Kami akan bersurat ke PPATK dan BPK untuk melakukan audit. Dan saya berharap jika benar adanya pengembalian pajak yang dibobol tersebut,tidak menghilangkan atau menjadi pemaaf bagi terduga para pelaku termasuk Kepala Samsat Kelapa Dua,” ujarnya.

    Untuk diketahui, Kepala Samsat Kelapa Dua Tangerang, Bayu Adi Putranto merupakan menantu gubernur WH. Karir Bayu terbilang cepat, setelah mertuanya menjabat sebagai kepala daerah.

    Bayu Adi Putranto dilantik menjadi Kepala UPTD Pengelolaan Pendapatan Daerah Kelapa Dua pada Belanda pada tanggal 30 September 2020 lalu. Bayu mendapatkan promosi atau naik jabatan setelah beberapa bulan menjabat  sebagai Kepala Seksi Sub Bagian Tata usaha (eselon IV) UPTD Pengelolaan Pendapatan Daerah Ciledug.(RUS/PBN)

  • Rantai Pasokan Bikin Migor Mahal

     

    SERANG, BANPOS- Permasalahan harga minyak goreng curah di Provinsi Banten disebut akibat terlalu panjangnya rantai pasokan di pasaran. Hal itu mengakibatkan terjadinya gap harga yang terus meningkat, dibandingkan dengan harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan oleh pemerintah

    Hal itu terungkap dalam inspeksi yang dilakukan oleh Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) RI, Jerry Sambuaga, ke Pasar Lama Kota Serang. Dalam inspeksi tersebut, Jerry didampingi oleh Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy dan Kepala Disperindag Provinsi Banten, Babar. Terlihat pula sejumlah pejabat Pemkot Serang mendampingi inspeksi tersebut.

    Jerry menuturkan bahwa harga dari sejumlah bahan pokok di pasaran terpantau stabil. Begitu pula dengan stok pasokan bahan pokok, masih terbilang aman. Begitu pula dengan minyak goreng kemasan, terpantau harga masih cukup stabil meskipun diharapkan masih bisa berkurang.

    “Alhamdulillah harga-harga terpantau cukup stabil, tadi saya sempat melihat pasokan-pasokannya, itu juga cukup aman stoknya. Untuk harga, tadi saya lihat untuk minyak goreng kemasan, mengikuti harga pasar mulai dari Rp23-25 ribu per liter. Kalau bisa lebih dimurahkan lagi,” ujarnya, kemarin.

    Namun, Jerry menuturkan bahwa untuk harga minyak curah masih ditemukan adanya penjualan dengan harga di atas HET. Menurutnya, hal itu dikarenakan harga dari distributor yang terlalu tinggi, sehingga tidak memungkinkan pedagang untuk mendapat untung dari selisih pembelian di bawah HET.

    “Salah satu kendalanya yaitu harga dari pihak distributor ke pedagang itu memang cukup mahal. Ini tentu sebuah masukan buat kami, sehingga kami berharap para pedagang bisa menjual sesuai dengan HET Rp14 ribu per liter dan Rp15.500 per kilo gram,” ungkapnya.

    Berdasarkan pantauan, Jerry sempat berkomunikasi dengan para pedagang di Pasar Lama. Ia menanyakan alasan para pedagang menjual minyak goreng curah di atas HET, hingga sebesar Rp18 ribu per liter. Dari pengakuan pedagang, mereka mematok harga di atas HET, lantaran harga beli mereka pun di atas HET.

    “Soalnya dari distributornya Rp17 ribu per liter, jadi saya jual Rp18 ribu per liter,” ucap salah satu pedagang yang ditanya. Ia mengaku, sebenarnya, dirinya juga ingin harga minyak goreng curah lebih murah dari yang ia jual. Namun, harga beli tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu.

    Wakil Gubernur Banten, Andika Hazrumy, mengatakan bahwa Pemprov Banten telah meminta kepada produsen yang ada di Provinsi Banten, untuk segera menyalurkan minyak goreng curah sebelum Lebaran. Sebab, Provinsi Banten mendapat jatah minyak curah sebanyak 11 ribu ton minyak goreng.

    “April ini, kami pasok 11 ribu ton minyak goreng di Banten. Dan itu baru keluar 25 persen. Di Banten ini ada sebanyak enam produsen minyak goreng, kami akan minta supaya mereka mengeluarkan stok mereka sebelum lebaran agar tidak langka,” ujarnya.

    Andika menuturkan, harga minyak goreng curah yang melebihi HET, dikarenakan para pedagang membeli pasokan minyak goreng subsidi tersebut, bukan ke distributor. Sehingga, para pedagang menjadi pihak ke sekian dari produsen.

    “Ini kan dari hulunya. Beberapa dari mereka tidak membeli langsung dari distributor, tetapi dari turunannya. Mereka ada yang membeli dari Pasar Rau, jadi harganya juga meningkat karena ini tangan ke berapa,” ungkapnya. 

    Sementara itu, DinkopUKMPerindag Kota Serang membentuk tim yang ditugaskan untuk menelusuri hak guna bangunan (HGB) di Pasar Lama dan di Pasar Kepandean, Kota Serang. Hal itu dilakukan guna menindaklanjuti adanya los atau ruko yang selesai dikerjasamakan oleh pihak ketiga.

    Kepala DinkopUMKMPerindag, Wasis Dewanto, menjelaskan bahwa pihaknya saat ini baru memberikan penugasan tim untuk mengecek ke setiap pasar-pasar di Kota Serang. Meskipun demikian, belum ada petugas yang turun ke lapangan satu per satu, sehingga ada beberapa los atau ruko yang statusnya belum diketahui.

    “Saya baru penugasan mengecek, belum turun timnya. Belum turun ke lapangan satu per satu, apakah yang punya PT Amandoles ini (Pasar Lama) dan yang di Kepandean milik pihak ketiga,” ujarnya.

    Ia menjelaskan, untuk kerjasama pihak ketiga di Kepandean, sudah berakhir tahun 2008. Akan tetapi, perjanjian pihak ketiga di Pasar lama seharusnya berakhir di tahun 2023. 

    “Tapi ada yang sudah diserahkan ke Pemkot seperti gedung, tinggal ada 7 ruko yang masih dikuasai oleh PT Amandole, yang sisanya kita akan cek HGB nya,” katanya. 

    Wasis mengatakan, pihaknya akan melakukan pengecekan HGB di setiap pasar yang sudah selesai kerjasama dengan pihak ketiga. Sebab, apabila pasar yang berakhir kerjasamanya di tahun 2021 ataupun 2022, maka pihaknya akan mengenakan sewa kepada pemakai ruko atau los.

    “Kalau berakhir di tahun 2021 atau 2022, harus dikenakan sewa. Tapi kita harus hati-hati mengenakan sewa, khawatir jadi blunder ke kita, kita pengen nambah PAD, tapi enggak runut regulasi yang kita ikuti,” terangnya.

    Terkait dengan pedagang yang membayar HGB sebesar Rp5 juta kepada oknum DinkopUMKMPerindag, Wasis menegaskan bahwa oknum itu tidak ditemukan bahkan tidak ada. Sampai pekan kemarin pun, tidak ada pedagang yang mengeluhkan kepada DinkopUMKMPerindag terkait dengan bayaran HGB oleh oknum. 

    “Enggak ada (oknum DinkopUMKMPerindag), ngarang itu. Makanya saya minta dia (pedagang) menghadap ke saya. Sampai hari ini nggak ada yang menghadap, artinya saya ingin tahu dia bayarnya ke siapa, kalau ke DinkopUMKMPerindag ke siapanya,” tuturnya.

    Ia mengungkapkan bahwa Pemkot Serang memiliki 4 los di Pasar Kepandean. Apabila ada pedagang yang tidak kebagian, maka diperbolehkan untuk membangun namun dengan membuat pernyataan.

    “Kita punya 4 los, kalau enggak cukup ya dia bangun sendiri silahkan. Selama dia buat pernyataan bahwa tidak mengakui sebagai pemiliknya, tapi biaya sendiri,” katanya. (DZH/MUF/RUS/AZM)

  • Menantu WH Didesak Disanksi

    SERANG, BANPOS – Aparat Penegak Hukum (APH), Kepolisian dan Kejaksaan diminta segera turun tangan mengusut tuntas dalam  kasus pembobolan pajak yang terjadi di Samsat Kelapa Dua, Tangerang yang nilainya  miliaran rupiah, dan sudah diakui oleh pejabat setempat.

    Selain itu, muncul desakan agar Kepala Samsat Kelapa Dua Tangerang, Bayu Adi Putranto, yang diketahui merupakan menantu Gubernur Banten Wahidin Halim (WH), agar disanksi tegas dengan dinonaktifkan seperti pejabat lain yang sempat dihukum oleh WH.

    Sementara informasi yang berkembang pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua, Tangerang, selama kurun waktu Agustus 2021 sampai dengan Maret 2022, mencapai angka Rp12 miliar lebih.

    Ketua DPRD Banten, Andra Soni dihubungi melalui telepon genggamnya, Minggu (17/4) meminta kepolisian dan kejaksaan segera melakukan pengusutan tuntas terhadap pembobolan pajak yang dilakukan oleh oknum di Samsat Kelapa Dua.  Pihaknya juga meminta WH selaku pejabat pembina pegawai menonaktifkan sejumlah pejabat terkait.

    “Mens area (niat perbuatan jahat dari seorang pelaku kejahatan) nya sudah jelas. Makanya ini harus diproses APH, dan mereka yang bertanggung jawab di Bapenda, harus diberhentikan dulu dari jabatannya,” kata Andra.

    Ia berharap APH secepatnya melakukan pengusutan atas dugaan korupsi di tubuh Bapenda Banten. Ini penting dilakukan, agar kasusnya terang benderang. Siapa saja yang terlibat dan ikut menikmati uang haram tersebut, apalagi kasusnya sudah berjalan selama delapan bulan, disaat keuangan pemerintah sedang mengalami penurunan akibat Pandemi Covid-19.

    “Ini kategori kejahatan besar. Masyarakat diminta untuk taat pajak. Tapi setelah membayar, uangnya diambil, dan nilainya tak tanggung-tanggung, miliaran. Dampaknya ini sangat besar. Dimana kita, saat ini sedang membangun kepercayaan kepada masyarakat, tapi ada oknum di Bapenda melakukan kejahatan sangat besar. Padahal membangun kepercayaan itu sangat sulit sekali. Saya harap ini harus diusut tuntas, agar ada pembelajaran serta efek jera,” ujarnya.

    Andra Soni juga meminta Inspektorat dan BPKP melakukan audit, tidak hanya Samsat Kelapa Dua, akan tetapi kepada semua Samsat yang ada di Banten seperti Cikande, Cilegon, dan Samsat yang ada di wilayah Tangerang Raya.

    “Semua samsat ini harus diaudit. Jangan-jangan, apa yang terjadi di Samsat Kelapa Dua  ada juga di samsat lainnya,” ungkapnya.

    Sementara itu, Kepala Bapenda Banten Opar Sohari membantah jika pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua nilainya mencapai Rp12 miliar  lebih. Namun pihaknya tak menampik jika kejahatan itu dilakukan sejak Agustus 2021 lalu.

    “Kata siapa angkanya segitu (Rp11 sampai Rp12 miliar). Sekitar Rp6,2 miliar. Dan uangnya itu sudah dikembalikan ke kas daerah (kasda). Sudah aman dan  diselamatkan. Jadi sudah clear (selesai), tidak ada apa-apa lagi” katanya.

    Pengembalian uang Rp6,2 miliar ke Kasda lanjut Opar dilakukan oleh oknum pejabat eselon IV dibantu tiga orang staf pelaksana tersebut secara bertahap. Tidak sekaligus. “Dicicil. Saya lupa yang terakhir itu berapa, yang ngurus Pak Berly (Sekretaris Bapenda). Tapi yang jelas, uangnya sudah terselamatkan lagi dan masuk ke Kasda,” ujarnya.

    Namun menurut Opar, meski angkanya Rp6,2 miliar telah masuk Kasda, akan tetapi pihaknya masih menunggu hasil audit Inspektorat dan BPKP. “Perkiraan tidak jauh dari angka itu, kita tunggu saja hasil auditnya,” ujarnya.

    Kepala Inspektorat Banten, Muhtarom dihubungi melalui pesan tertulisnya membenarkan pihaknya sudah mulai melakukan pemeriksaan terkait dengan oknum Samsat Kelapa Dua masih dilakukan pendalaman. “Kami baru melakukan pemeriksaan,” katanya.

    Muhtarom sendiri belum mengetahui sampai kapan pemeriksaan terhadap para pelaku yang diduga melakukan pembobolan pajak kendaraan ini dilakukan.

    Direktur Eksekutif Pusat Aspirasi Warga atau Pusar Banten, Bayu Kusuma menyayangkan adanya  pembobolan pajak  di Samsat Kelapa Dua Tangerang. Pengakuan Kepala Bapenda Opar Sohari yang menyebut adanya pembobolan pajak juga  dipertanyakan.

    “Kita patut mempertanyakan kenapa baru sekarang diketahui. Padahal beliau (Opar Sohari) sudah menjabat Kepala Bapenda beberapa tahun,” pungkasnya.

    Namun demikian, kata dia, upaya pelibatan tim audit dari BPKP dan Inspektorat merupakan langkah baik dari Opar Sohari.

    “Bila perlu Kejati turun tangan, karena statemen yang bersangkutan sudah jelas bahwa uang pajak kendaraan baru sebesar Rp12 miliar dari Samsat Kelapa Dua Tangerang itu benar lenyap,” ujar Bayu Kusuma lagi.

    Bayu Kusuma menduga kuat, kasus yang sama juga dilakukan oknum pegawai di UPT Samsat lainnya di Banten. ,Opar juga harus ikut bertanggung jawab. Artinya, yang bersangkutan tidak lantas menunjuk hidung dan menyalahkan anak buahnya begitu saja.

    “Sektor pendapatan merupakan lahan korupsi paling aman yang biasanya terjadi dan sulit teridentifikasi, beda dengan kasus korupsi pada sektor belanja yang kerap menjerat para pelakunya,” papar Bayu.

    Dia menegaskan, kesamaan jenis korupsi dari dua sektor tersebut adalah, bahwa praktik keduanya tidak bisa dilakukan secara sendiri.

    “Pasti bersama-sama, dan kita berharap ini dapat diungkap seterang-terangnya. Aparat penegak hukum harus turun tangan. Kasus ini tidak boleh berhenti sampai di Inspektorat atau BPKP saja,” tegasnya.

    Koordinator Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Banten (KMSB), Uday Suhada meminta Inspektorat Banten dan BPKP segera menyelesaikan audit investigasi terhadap Samsat Kelapa Dua, Tangerang.

    Tujuannya agar persoalan menguapnya uang pajak kendaraan bermotor baru di Samsat itu menjadi terang benderang.

    Tak hanya itu, audit investigasi juga harus dilakukan di seluruh Samsat yang ada di Provinsi Banten. Sebab kemungkinan besar kasus serupa juga terjadi di Samsat  lainnya.

    “Agar semuanya terang benderang, maka audit investigasi oleh Inspektorat dan BPKP itu paling tepat. Tapi tak hanya di Samsat Kelapa Dua saja, tapi seluruh Samsat,” tegas Uday.

    Terkait dengan sistem dan penetapan Nilai Jual Kendaraan Bermotor atau NJKB, Bapenda sebagai institusi yang berada di atas UPT Samsat, mestinya bisa mengontrolnya.

    “Saya melihat pengendalian dan pembinaan di Bapenda Provinsi Banten tidak berfungsi dengan baik. Petinggi Bapenda hendaknya tidak hanya mengandalkan sistem,” kata Uday.

    Dan yang harus diingat juga, lanjut dia, bahwa di lingkungan Bapenda itu insentifnya berbeda sendiri. Semua pegawai diistimewakan dari segi pendapatan atau gaji.

    “Harusnya itu diimbangi oleh kinerja. Sebab dengan tidak berbuat curang saja mereka sudah sejahtera,” jelasnya.

    Sementara itu Akademisi Untirta, Ikhsan Ahmad mengatakan, pembobolan pajak di Samsat Kelapa Dua itu merupakan tindakan kriminal yang mesti ditelusuri, dan segera ditetapkan siapa tersangkanya.

    Yang tak kalah pentingnya lagi, menurut Ikhsan, adalah mengamankan kembali uang rakyat yang sudah dicuri itu dalam bentuk apapun.

    “Kepala Samsat yang bersangkutan agar diberhentikan sementara, agar tidak ada konflik kepentingan, biar bisa diperiksa secara objektif. Tidak boleh ada diskriminasi hukum, walaupun kerabat petinggi, harus sama dimata hukum,” tegasnya.

    Ikhsan pun meminta petinggi di Pemprov Banten, terutama pejabat di di lingkungan Bapenda tidak tutup mata atas persoalan itu.

    “Semua harus ikut menyadari bahwa persoalan itu bukan persoalan sepele. Sebab itu sudah merugikan keuangan negara. Jangan karena sudah dilakukan audit, lantas persoalannya sudah kelar. Ini bahaya. Harus ada sanksi hukum atas persoalan ini. Segera selesaikan proses audit di seluruh Samsat,” ujar Ikhsan.

    Pejabat di lingkungan Bapenda juga dianggap lalai dan ceroboh dalam melakukan pengawasan. WH dengan sisa masa jabatanya yang hanya tinggal menghitung hari,  diminta untuk melakukan evaluasi jajaran pejabat Bapenda.

    “Jadi, institusi yang menangani persoalan ini hendaknya jangan hanya mengaudit keuangan. Tapi coba cek dan evaluasi juga sumber daya manusia di OPD tersebut. Tes kompetensi mereka yang sesungguhnya,” saran dia.

    Sebab menurut pengamatan dirinya sejauh ini, sebagian besar pejabat dan pegawai Samsat berkaitan dengan kedekatan dan nepotisme.

    “Kompetensi diabaikan. Jadi wajar kalau ada korupsi. Mereka ditengarai tidak memahami  bagaimana mengoptimalkan penerimaan pajak. Mereka lebih fokus pada bagaimana mengamankan jabatannya dengan segala cara. Tolong ini menjadi catatan,” terangnya.

    Ikhsan bahkan menyarankan ada pihak luar Pemprov Banten untuk menguji kemampuan para pejabat di lingkungan Bapenda.

    “Silakan diuji. Suruh itu para pejabat, misalnya seksi penerimaan di seluruh Samsat di Banten untuk menghitung pajak kendaraan. Informasi yang saya dapat, ada pejabat yang jangankan menghitung, tarif dan rumus saja ada yang tidak mengerti. Ini kan kacau,” ungkapnya.

    Lalu dalam formasi jabatan pelaksana pun, kata dia, PNS yang ditempatkan di sejumlah Samsat kompetensinya kurang mumpuni. Akhirnya praktek pelayanan lebih banyak dikerjakan oleh honorer. Sejauh ini terkesan tidak ada mekanisme pengawasan yang rapi dan menjamin kelangsungan pelayanan dan keamanan transaksi keuangan dari korupsi.

    “Lebih parahnya. Honorer-honorer yang ditempatkan di beberapa Samsat adalah dari “golongan sultan”. Sehingga kadang pelaksana PNS sulit juga bekerja sama.

    Ini yang menyebabkan korupsi terjadi. Penyebab utamanya adalah SDM yang ambyar. SDM yang ambyar dan ditempat di tempat strategis, tentu menghasilkan pertanyaan, siapa yg menempatkan mereka,” ungkap Ikhsan Ahmad lagi.

    Karenanya Ikhsan Ahmad mewanti-wanti, siapapun Penjabat (Pj) Gubernur Banten yang akan datang, harus bertindak cepat, tepat dan berani mengevaluasi seluruh pejabat yang ada di Provinsi Banten.

    “Saya berharap Pj Gubernur Banten mendatang mampu mengubah iklim kerja di Pemprov Banten,” pungkasnya.

    Pengamat kebijakan publik, Moch Ojat Sudrajat, merasa aneh  kepada Kepala Bapenda Opar Sohari yang mengklaim bahwasannya kasus ini yang melaporkan Kepala UPT-nya langsung kepada dirinya, yang kemudian dilanjutkan ke Inspektorat. Apalagi angka uangnya sangat besar sekali yang diduga dibobol itu.

    “Jadi selama ini tanggung jawab pengawasan yang dilakukan oleh Kepala UPT seperti apa dan bagaimana,” tanyanya.

    Ojat kemudian membandingkan kasus penggelapan pajak ini dengan beberapa persoalan berkenaan dengan tanggung jawab itu yang pernah terjadi dalam kurang waktu kepemimpinan Gubernur Banten Wahidin Halim (WH).

    Ia melihat bagaimana sikap dari  WH yang langsung membebastugaskan terhadap Kepala Satpol-PP Provinsi Banten Agus Supriyadi yang dinilai lalai menjaga ruang kerjanya hingga sampai berhasil diduduki oleh buruh yang melakukan aksi unjuk rasa akhir tahun 2021 lalu.

    Kemudian pada kasus Sekda Banten Al Muktabar yang langsung dilakukan sidang disiplin dengan tuduhan tidak pernah masuk pasca diberhentikan sementara.

    Padahal sejatinya, Al Muktabar selalu masuk, namun akses untuk absensi kehadirannya ditutup. Sehingga kemudian ia membuat absensi manual setiap harinya, sebagai bukti jika suatu saat nanti dipertanyakan.

    Tidak sampai di situ, penempatan kerja Sekda Al Muktabar pasca diberhentikan sementara juga tidak jelas. Meskipun dalam sehari-hari ia bertugas di BKD, namun sampai ia diangkat kembali menjadi Sekda Banten, surat perintah penugasan itu tidak pernah ia dapatkan.

    “Seharusnya dalam kasus Samsat Kelapa Dua ini juga Pak Gubernur bisa bertindak tegas, seperti yang pernah ia lakukan kepada pejabat lain di Pemprov Banten,” pungkasnya.

    Tidak lantas, ketika yang mempunyai kuasa itu merupakan anggota keluarganya, Gubernur Banten memperlakukan berbeda dengan pejabat lainnya.

    “Padahal kalau melihat kasusnya, ini lebih parah dan fatal, sebab sudah mengarah kepada tindak pidana. Pun sekalipun kepala UPT tidak terlibat, namun di depan hukum ia harus bertanggung jawab,” katanya.

    Selain itu, Ojat juga menyayangkan sikap Kepala Bapenda yang terkesan melindungi kepala UPT Samsat Kelapa Dua. Terlepas itu mungkin dirinya juga mendapat tekanan dari atasannya atau tidak.

    “Karena hakikatnya seorang pemimpin itu harus mau beresiko ketika jajaran dibawahnya melakukan kesalahan, dan ia mau mempertanggungjawabkannya. Terlepas bagaimana implementasi pertanggungjawaban itu,” katanya. (RUS)

  • Dianggap Tak Serius Bertanggung jawab, BBWSC3 Akan Didemo Penyintas Banjir

     

    SERANG, BANPOS – Pemuda dan mahasiswa Kota Serang berencana melakukan aksi unjuk rasa di Balai Besar Wilayah Sungai Cidurian, Ciujung, Cidanau (BBWSC3) dan Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B). Mereka akan menuntut tanggung jawab dari BBWSC3 dan Pemprov Banten, terhadap nasib para penyintas banjir bandang di Kota Serang.

    Ketua Presidium Gerakan Pemuda Kota Serang (GPKS), Ahmad Fauzan, dalam keterangan tertulisnya mengatakan bahwa sampai saat ini, nasib para penyintas bencana banjir bandang di Kota Serang masih belum jelas. Padahal, sudah satu bulan lebih bencana tersebut terjadi.

    “Kita ketahui bahwa belum lama Kota Serang dan sekitarnya terkena bencana banjir yang menyebabkan korban jiwa, bangunan-bangunan rumah warga dan mata pencaharian. Namun sudah lebih dari sebulan, mereka masih belum jelas nasibnya akan seperti apa,” ujarnya, Minggu (17/4).

    Ia menuturkan, banjir bandang yang terjadi pada awal Maret lalu merupakan banjir terparah dalam sejarah Kota Serang. Hal itu pun seharusnya menjadi atensi dari pihak-pihak terkait, seperti BBWSC3 dan Pemprov Banten, agar dapat turut serta bertanggung jawab terhadap kejadian itu.

    “BBWSC3 sebagai pengelola Bendungan Sindangheula serta Sungai Cibanten dan Pemerintah Provinsi sebagai wilayah administrasi yang mengelola segala hal atas penanggulangan bencana, harus bertanggung jawab,” ungkapnya.

    Namun sampai saat ini, pihaknya menilai bahwa Pemprov Banten maupun BBWSC3 tidak serius untuk mengambil tanggung jawab terhadap para penyintas bencana.

    “Kami GPKS bersama HMI MPO menganggap kondisi ini harus segera ditangani. Sehingga, kami akan turun aksi menuntut BBWSC3 dan Pemprov agar segera bertanggung jawab atas nasib para penyintas bencana,” ucapnya.

    Sekretaris Umum HMI MPO Cabang Serang, Ega Mahendra, mengatakan bahwa pihaknya sangat kecewa dengan Pemprov Banten yang memangkas bantuan pembangunan rumah bagi penyintas banjir bandang, dari 40 unit rumah menjadi hanya 9 unit rumah.

    “Padahal kalau turun di lapangan, sangat banyak rumah yang rusak. Lalu data 31 rumah penyintas banjir yang rusak rumahnya yang tidak lolos verifikasi, siapa yang bertanggung jawab? Padahal bantuan dari Pemprov itu sangat dinanti para penyintas,” ujarnya.

    Ega menegaskan, pihaknya bersama dengan GPKS akan turun melaksanakan aksi unjuk rasa, sehingga Pemprov Banten dapat menepati janji membangun 40 rumah penyintas banjir bandang.

    “Kami hanya ingin rumah penyintas banjir yang hancur rumahnya segera dibangun tanpa adanya proses yang berbelit. Jika memang harus ada berbagai syarat-syarat administrasi, buka kepada publik dan berikan solusinya,” tegasnya.

    Ia juga menyoroti BBWSC3 yang merasa bahwa pihaknya tidak memiliki tanggung jawab terhadap banjir bandang kemarin. Padahal, mereka sangat bertanggung jawab pada saat sebelum dan sesudah terjadinya bencana banjir bandang.

    “Padahal jika normalisasi dilakukan sesegera mungkin, banjir seperti itu dapat diminimalisir. Lalu bagaimana dengan sistem peringatan dini pada pengelolaan Bendungan Sindangheula, seharusnya hal itu dilakukan ketika ada potensi air yang melebihi kapasitas. Dengan demikian, korban jiwa maupun harta benda dapat diminimalisir juga,” tandasnya. (DZH/PBN)

  • Layaknya Jamur, Tramadol Eksimer Dijual Bebas di Kabupaten Serang

    Layaknya Jamur, Tramadol Eksimer Dijual Bebas di Kabupaten Serang

    SERANG, BANPOS – Peredaran obat keras jenis tramadol dan eksimer dijual bebas di wilayah Kabupaten Serang layaknya jamur. Ironisnya, para pembeli obat keras yang masuk dalam psikotropika golongan IV ini didominasi oleh kalangan anak muda bahkan pelajar.

    Padahal, obat keras tersebut seharusnya dijual kepada konsumen yang memiliki resep dari dokter. Akan tetapi, saat ini jenis obat keras tersebut dijual dengan bebas di Toko obat, tanpa harus menunjukkan resep dokter.

    Hal itu berdasarkan hasil investigasi wartawan BANPOS di salah satu Toko obat yang berlokasi di sekitaran Cikande Asem, Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang. Penjaga toko yang bertugas di Toko obat itu dengan bebas menjual obat keras tersebut.

    Wartawan mencoba masuk ke salah satu Toko obat itu dengan maksud membeli tramadol. Hasilnya, dengan mudahnya penjaga Toko obat memberikan obat keras jenis tramadol tanpa menanyakan resep dari dokter.

    Tak sampai disitu, penjaga Toko juga mengakui bahwa beberapa obat lainnya seperti eksimer dijual bebas di Tokonya. Menurutnya, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan koordinator berinisial IB dan menyebutkan pemilik Toko obat tersebut bernama Fahri.

    “Obat lainnya juga ada bang, abang siapa ini, Toko punya Fahri. Abang dari anggota? dari lembaga apa dari media, kok nanya-nanya, saya sudah kordi (koordinasi) ke IB, kalau saya belum koordinasi, saya enggak berani buka (toko),” ujar penjaga Toko obat yang belum diketahui namanya itu.

    Penjaga toko obat itu menjelaskan, obat keras jenis tramadol dijual seharga Rp10 ribu per satu butir. Sementara, untuk jenis lain yakni eksimer berwarna kuning dijual Rp20 ribu satu paket, yang tiap satu paketnya berisi empat butir obat keras jenis eksimer.

    Hingga berita ini dirilis, wartawan belum mendapatkan konfirmasi dari pemilik toko obat tersebut.

    Sementara itu, saat BANPOS berupaya melakukan konfirmasi kepada Kasat Narkoba Polres Serang, Iptu Michael K. Tendayu. Ia meminta wartawan untuk datang ke Polres Serang hari ini, untuk konfirmasi terkait peredaran obat keras di Kabupaten Serang.

    “Untuk konfirmasi hal itu besok saja ketemu di kantor,” ucapnya. (MUF)

  • Tak Terima Ditegur, Imam Masjid Di Pontang Dikeroyok Tiga Bersaudara

    Tak Terima Ditegur, Imam Masjid Di Pontang Dikeroyok Tiga Bersaudara

    SERANG, BANPOS – Keterlaluan, tidak terima ditegur meluruskan shaf (barisan) shalat, tiga bersaudara malah menganiaya imam Masjid Al Firdaus hingga babak belur di Kampung Begog, Desa Singarajan, Kecamatan Pontang, Kabupaten Serang.

    Ketiga bersaudara yang dilaporkan sebagai pelaku pengeroyokan yaitu MM (45), RY (58) dan SP (44) akhirnya diringkus Tim Unit Jatanras Polres Serang di rumahnya masing-masing pada Selasa (12/4/2022).

    Berdasarkan informasi yang dihimpun BANPOS, peristiwa pengeroyokan imam mesjid oleh 3 bersaudara ini terjadi pada Jumat (25/3) petang. Berawal ketika korban dan tersangka MM melaksanakan shalat Asar berjamaah di Masjid Al Firdaus.

    Seperti biasa sebelum rangkaian shalat dimulai imam sebagai pemimpin selalu melihat dan meminta makmum untuk meluruskan dan merapatkan shaf.

    Hal itu pun dilakukan oleh H Nabhani yang bertindak sebagai iman menegur tersangka untuk meluruskan barisan agar shalat berjalan dengan sempurna. Namun tersangka MM tidak terima dan mengadu persoalan itu kepada dua kakak kandungnya.

    Entah apa yang diadukan, RY dan SP bukannya menenangkan suasana malah ikut tersinggung. Selepas shalat Maghrib berjamaah di mesjid, ketiga pelaku menghadang korban di teras samping masjid.

    Begitu korban keluar mesjid hendak pulang, tanpa tabayun ketiga tersangka kemudian meluapkan kekesalannya dengan menghujani pukulan. Menghadapi 3 tetangganya yang kesetanan, korban yang sudah sepuh tidak mampu melakukan pembelaan diri.

    Beruntung, beberapa jemaah mesjid yang masih ada di dalam melihat aksi pengeroyakan dan berusaha melarai. Setelah berhasil dilerai, korban ketiga pelaku ngeloyor pergi, sedangkan korban yang terluka diantar warga pulang ke rumahnya.

    Kapolres Serang AKBP Yudha Satria saat dikonfirmasi membenarkan kejadian pengeroyokan terhadap imam masjid tersebut. Kapolres juga membenarkan jika Tim Unit Jatanras yang dipimpin Ipda Iwan Rudini telah mengamankan tiga saudara yang diduga sebagai pelaku pengeroyokan.

    “Pelakunya sudah diamankan dari rumahnya masing-masing dan saat ini sudah dilakukan penahanan dengan jeratan Pasal 170 KHUP tentang pengeroyokan dengan ancaman hukuman lebih dari 5 tahun penjara,” terang Kapolres didampingi Kasatreskrim AKP Dedi Mirza pada Jumat (15/4/2022). (Red)