SERANG, BANPOS – Mengawali tahun 2023, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten mengungkap dua dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pada bank milik pemerintah, baik nasional maupun daerah. Dua kasus itu menambah jumlah praktik perbankan koruptif yang pernah terjadi di Banten.
Berkaca pada tahun 2021 dan 2022, terdapat sebanyak 5 bank milik pemerintah, yang tersangkut kasus tipikor. Kelimanya yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang Pandeglang, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Cilegon Mandiri, Bank Banten, Bank BJB Tangerang dan Bank BJB Syariah Tangerang.
Jika diakumulasikan, kerugian dari praktik korupsi di lima bank pemerintah itu mencapai angka Rp221,6 miliar, dengan rincian Bank Banten sebesar kurang lebih Rp186 miliar, BPRS CM kurang lebih sebesar Rp14,6 miliar, BJB Tangerang kurang lebih Rp8,7 miliar, BJB Syariah Tangerang sebesar kurang lebih Rp10,9 miliar dan BRI Pandeglang kurang lebih sebesar Rp1,4 miliar.
Kepala Kejati Banten, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam konferensi pers secara daring dari Jakarta mengatakan bahwa pada awal tahun 2023 ini, dirinya telah menandatangani dua surat perintah penyidikan.
Surat perintah pertama dengan nomor: Print-03/M.6/Fd.1/01/2023 disebutkan merupakan surat perintah terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang muaranya berasal dari perkara Tipikor pemberian kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI) Bank Banten kepada PT HNM tahun 2017.
“Berdasarkan fakta hukum dari hasil pengembangan perkara penyidikan tindak pidana korupsi penyimpangan dalam pemberian KMK dan KI oleh Bank Banten kepada PT HNM tahun 2017, Tim Penyidik telah memperoleh alat bukti yang cukup terjadinya perbuatan TPPU,” ujarnya, Kamis (5/1).
Ia mengatakan, RS selaku Direktur Utama PT HNM menguasai rekening kredit dan menerima hasil pencairan KMK transaksional tahap pertama dan kedua, dan KMK standby loan tahap pertama dan kedua, dengan nilai seluruhnya Rp61.688.765.298.
“RS telah menyalahgunakan dana KMK dan KI dari Bank Banten tersebut dengan cara menggunakan dana pencairan kredit tersebut untuk kepentingan lain yang tidak sesuai peruntukannya (side streaming),” tuturnya.
Selain itu, RS juga melakukan penempatan aliran dana pencairan kredit tersebut ke rekening-rekening pihak lain yang tidak berhak. RS juga membelanjakan dengan maksud menyamarkan dan atau menyembunyikan uang hasil pencairan KMK dan KI dari Bank Banten.
“Dengan cara melakukan pemindahbukuan atau transfer/RTGS serta penarikan tunai dan pembayaran ke sejumlah pihak melalui beberapa rekening,” ucapnya.
Perbuatan tersebut diduga telah melanggar Pasal 3 UU nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang atau Pasal 4 UU nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Kami telah memerintahkan kepada Tim Penyidik pada Aspidsus Kejati Banten untuk segera menyelesaikan proses penyidikan TPPU dengan melakukan tindakan hukum yang cepat dan terukur serta sesuai aturan hukum, dan melakukan penelusuran setiap aliran dana dan mengupayakan secara optimal pengembalian kerugian keuangan negara dari siapapun yang menerimanya,” tegasnya.
Selain perkara TPPU di Bank Banten, Kejati Banten juga tengah mengincar dugaan tipikor pada salah satu bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) di Tangerang. Diduga, terjadi tipikor di bank tersebut pada pengelolaan dana simpanan nasabah prioritas periode April sampai dengan Oktober 2022.
Adapun modus operandi yang dilakukan oleh para pelaku yang merupakan oknum pegawai bank tersebut, yaitu dengan melakukan manipulasi data-data nasabah prioritas, dan menggelapkan dana nasabah prioritas dimaksud.
“Perbuatan tersebut dilakukan dalam kurun waktu April sampai dengan Mei 2022 dan pada bulan September sampai dengan Oktober 2022 tanpa sepengetahuan dan seizin nasabah prioritas,” jelas Leonard.
Akibat dari perbuatan oknum pegawai tersebut, mengakibatkan kerugian keuangan negara pada salah satu bank Himbara tersebut sebesar Rp8.530.120.000. Perbuatan oknum itu diduga telah melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selanjutnya, Pasal 3 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Lalu Pasal 8 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal terakhir yang diduga dilanggar yakni Pasal 9 jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Kami juga telah memerintahkan Tim Penyidik pada Aspidsus Kejaksaan Tinggi Banten, untuk segera melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak terkait dan melakukan tindakan hukum untuk mempercepat penyelesaian proses penyidikan,” katanya.
Leo mengaku belum bisa memberitahukan bank Himbara apa yang dimaksud dalam perkara yang tengah digarap oleh Kejati Banten ini. Namun, Himbara sendiri terdiri atas empat bank BUMN yaitu Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BNI dan Bank BTN.
Sementara itu, pegiat Pusat Studi dan Informasi Regional (Pattiro) Banten, Angga Andrias, mengatakan bahwa melihat maraknya korupsi perbankan di Provinsi Banten, membuka kemungkinan di bank-bank lainnya pun terjadi hal yang sama. “Iya bisa ada potensi juga di tempat (bank dan daerah) lain,” ujarnya.
Terlebih jika dilihat dari modus operandi yang dilakukan, hampir seluruhnya sama. Karena, rata-rata untuk membajak uang yang ada di bank, akan melibatkan pihak ketiga dan pejabat di internal bank itu sendiri.
“Tentu ini tergantung kebijakan setiap bank. Tapi kalau keempat bank tersebut terjerat, artinya setiap cabangnya memiliki pola permainan kredit fiktif yang sama,” ucapnya.
Persoalan itu pun menurutnya dapat membuat masyarakat khawatir. Terlebih, uang yang dikorupsi oleh oknum-oknum tersebut merupakan uang yang dititipkan oleh masyarakat di sana, dengan harapan uang mereka aman.(DZH/PBN)