SERANG, BANPOS – Disnakertrans Provinsi Banten melakukan gelar perkara hasil investigasi peristiwa kecelakaan kerja di Proyek RDF III PT. Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP) Kabupaten Serang yang menyebabkan tewasnya pekerja proyek S (25) karena tersengat listrik saat melakukan aktivitas kerja pada 4 Oktober 2022.
Gelar perkara melibatkan Pengawas Kemnaker, Korwas PPNS Ditreskrimsus Polda Banten, UPTD Pengawasan Ketenagakerjaan Serang Raya dan bidang pembinaan tenaga kerja, Kamis (13/10).
Hasilnya, PT. IKPP di Kabupaten Serang dituding ‘sengaja’ menyembunyikan peristiwa kecelakaan kerja. Hal ini dikarenakan perusahaan yang memproduksi kertas itu tidak melaksanakan kewajiban berdasarkan Undang-undang (UU) nomor 1 tahun 1970 terkait kewajiban melapor tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja.
“Hari ini (kemarin) gelar terkait beberapa catatan yang kami dapatkan dari tim hasil investigasi di lapangan, bahwa ada unsur ‘kesengajaan’ yang dilakukan oleh pengurus terkait kewajiban melapor, ini tidak dilakukan sehingga penekanan sesuai dengan Permenaker nomor 3 tahun 98 pasal 4 mengatakan, pelaporan itu sekurang-kurangnya 2×24 jam terhitung sejak terjadinya kecelakaan,” ungkapnya.
Ia mengaku pihaknya telah mengingatkan berulang kali untuk melapor, namun hal itu tidak dilakukan oleh perusahaan. Sehingga mereka menyampaikan bahwa hal ini jelas merupakan unsur kesengajaan.
“Unsur kesengajaan itu sudah kita ingatkan sekali dua kali tidak menindaklanjuti. Berarti itu kan ‘sengaja’, sekali dua kali kami ingatkan karena tidak ditindaklanjuti ya sudah berarti tidak ada itikad untuk menyampaikan laporan,” katanya.
Kesimpulan gelar hari itu, pihaknya akan dilakukan pemanggilan-pemanggilan terhadap semua saksi-saksi untuk membuat terang terhadap kasus kecelakaan kerja tersebut. Sejumlah pihak yang akan dipanggil nantinya yaitu karyawan, manajemen dan beberapa unsur yang langsung bersentuhan terhadap kecelakaan kerja yang terjadi.
“Tapi diharapkan sih ada itikad dari Perusahaan untuk melaporkan setiap accident itu sesuai dengan undang-undang 1 tahun 1970 pasal 11, perusahaan wajib melaporkan setiap kejadian kecelakaan kerja terjadi. Agar mudah dalam melaksanakan penyelesaian, kalau tidak lapor, kami tidak bisa melakukan penyelesaian sesuai dengan aturan,” ucapnya.
Lebih jauh ia menyampaikan perihal sanksi apabila sudah ditetapkan tersangka, saat ini masih tergolong ringan berdasarkan UU 1 tahun 1970 pasal 15 ayat 2 yang mengatakan sanksi berupa kurungan 3 bulan atau denda Rp100.000. Meskipun demikian, angka denda tersebut masih bisa dikonversi melalui Permenaker nomor 3 tahun 2015, bisa dikali 1000 yaitu Rp100.000×1.000, sehingga denda bisa mencapai Rp100 juta.
“Yang dikurung (dihukum) nanti ada tindak lanjut hasil investigasi berikutnya, ada gelar kedua yaitu menetapkan untuk tersangka nya. Tersangka kalau berdasarkan Undang-undang nomor 1 tahun 1970 lebih dominan ke pengurus (manajemen), pengurus nanti siapa yang terlibat langsung,” tuturnya.
Berdasarkan hasil investigasi, disebutkan bahwa korban yang merupakan pekerja proyek pembangunan gedung pengelola limbah PT. IKPP itu belum genap satu bulan bekerja. Mirisnya, korban tidak termasuk dalam kepesertaan BPJS Jaminan sosial dan ketenagakerjaan (Jamsostek) hingga peristiwa kecelakaan kerja merenggut nyawanya.
“Korban meninggal ada santunan yang seharusnya diberikan, kalau dia sudah terdaftar di BPJS ada hak yang wajib diberikan kepada ahli waris. Namun sampai saat ini, informasi yang kami terima korban atas nama Setiawan belum tercover BPJS,” terangnya.
Ia menegaskan, di aturan sudah jelas menyatakan bahwa semua karyawan harus dan wajib diberikan perlindungan. Bahkan 30 hari sebelum aktivitas kerja, karyawan atau pekerja itu harus sudah terdaftar, terlebih untuk pekerjaan konstruksi yang berisiko tinggi.
“Apalagi untuk konstruksi itu ada Permenaker khusus, disamping wajib lapor Ketenagakerjaan, juga Wajib lapor pembangunan konstruksi. Masukan dari Pengawas Kemnaker tadi kami diminta untuk diperdalam kembali agar semua pihak dipastikan kejelasannya dan ini tidak terhenti begitu saja,” tandasnya.
Sementara itu, Kabid Pengawasan Ketenagakerjaan pada Disnakertrans Provinsi Banten, Ruli Rianto mengungkapkan bahwa substansi hukum ketenagakerjaan bertujuan untuk memenuhi hak-hak tenaga kerja. Oleh sebab itu, perusahaan wajib memberikan perlindungan setiap tenaga kerja melalui kepesertaan BPJS Jamsostek.
“Kecelakaan kerja ini kan sesuatu yang tidak pernah kita inginkan. Oleh karena itu, upaya represif kita yaitu melalui penegakan hukum untuk pengusaha agar menjalankan kewajibannya melindungi tenaga kerjanya,” ujarnya.
Seperti diketahui, di Provinsi Banten pada tahun 2021 ada 6.816 kasus kecelakaan kerja. Sementara tahun 2022 terjadi kecelakaan kerja sebanyak 5.980 dengan berbagai macam jenis kecelakaan kerja mulai kecelakaan kerja ringan, sedang dan besar.
“Saya meminta kepada pengawas untuk memastikan korban agar mendapatkan hak-haknya yang diberikan oleh pengusaha melalui BPJS sebagai fasilitator, karena itu kewajiban pengusaha. Kalau pekerja belum menjadi peserta BPJS, pengusaha bisa langsung memberikan hak tenaga kerja kepada ahli waris,” jelasnya.
Menurutnya, Pemerintah membantu dengan menyusun mekanisme jaminan sosial Ketenagakerjaan yang difasilitatori oleh BPJS. Berdasarkan penghitungannya, santunan kematian diberikan sebesar 48 bulan upah, santunan berkala sebesar Rp200.000 selama 48 bulan dan biaya pemakaman dan lainnya yang merupakan hak pekerja.
“BPJS merupakan mekanisme agar tenaga kerja mendapatkan hak-haknya, dan menjadi keprihatinan kita ketika ada kejadian kecelakaan kerja seperti ini terlebih di sektor konstruksi. Biasanya yang paling sering (terjadi kecelakaan kerja) sektor konstruksi, karena konstruksi mobiltasnya tinggi, karyawan pendidikannya rendah dan jam kerja tinggi,” tandasnya. (MUF/AZM)