SERANG, BANPOS – Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Banten, mengecam pembebasan dua orang terduga pelaku tindak pidana perkosaan terhadap gadis difabel mental berusia 21 tahun di Kota Serang oleh Polres Serang Kota. Kedua pelaku tersebut, sebelumnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan sempat ditahan di Mapolres Serang Kota, beberapa waktu lalu.
Koordinator Presidium KMS Banten, Uday Suhada, mengungkapkan bahwa pembebasan pelaku sebagai tindakan pembiaran dan impunitas terhadap pelaku. Sehingga membuka peluang bagi pelaku untuk mengulangi kekerasan seksual yang sama, pada korban atau orang lain.
“Kerentanan kondisi korban dan keluarga seharusnya menjadi pertimbangan untuk menyelesaiakan proses hukum kasus tersebut,” ujarnya, Selasa (18/1).
Ia mengungkapkan, praktek mediasi dalam kasus perkosaan yang dilakukan kepolisian, menyalahi prosedur asas keadilan di mata hukum, dan mencederai pelaksaan Undang-undang nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Saat ini, pemulihan dan rasa aman korban menjadi hal yang penting untuk terus diupayakan.
“Dalam penanganan kasus ini seharusnya kepolisian berkoordinasi dengan lembaga pendamping dan/atau bantuan hukum untuk memastikan korban dan keluarga mendapatkan pendampingan dalam proses hukum,” ungkapnya.
Uday menegaskan, kepolisian juga seharusnya mendukung hadirnya alat bukti tambahan, bukan malah membebaskan tersangka dan memfasilitasi perdamaian.
“Pembebasan tersangka menjadi teror bagi korban dan keluarga korban, dan pembiaran penegakan hukum sehingga korban tetap terintimidasi dan tidak mendapat keadilan,” tandasnya.
Ia menyebut bahwa tindak pidana perkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP merupakan delik biasa dan bukan delik aduan. Karena itu, pihak Kepolisian dalam hal ini penyidik, tetap berkewajiban untuk melanjutkan proses perkara perkosaan tersebut tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban. Oleh karena itu, KMS Banten menuntut kepada Polres Serang Kota dan LPAI serta P2TP2A.
“Kami menuntut kepada Polres Kota Serang untuk melanjutkan perkara dan menahan dua orang pelaku tersebut yang merupakan delik biasa sesuai pasal 285 KUHP, kami juga menuntut LPAI dan P2TP2A Kota Serang memberikan hak pemulihan dan rasa aman bagi korban dan keluarga korban akibat kasus pemerkosaan tersebut,” tandasnya.
Presidium KMS Banten lainnya, Hunainah, mengungkapkan bahwa dirinya merasa sangat prihatin dengan kondisi lingkungan yang hanya bungkam akan keadaan. Hari Selasa tanggal 18 Januari, ia berkesempatan untuk berkunjung ke rumah korban.
Namun, ia mengaku kecewa dengan pihak-pihak yang lebih banyak bungkam, ketimbang mengungkapkan kronologi kejadian. Bahkan, Ketua RT, bibi korban, bahkan korban sekalipun diungsikan oleh sang bibi bernama Titin.
“Sangat sedikit informasi yang kami dapatkan, padahal, kalau saja masyarakat terbuka dengan hal ini, sangat diyakini bahwa kedepan akan meminimalisir korban kekerasan seksual,” katanya.
Ia bersama dengan pendamping dari DP3AKB Kota Serang dan LPA Kota Serang, akan melanjutkan proses hukum dengan disertai bukti-bukti dan hukum yang berlaku. Ia juga menyayangkan adanya pernikahan yang dilangsungkan pada Senin malam, oleh salah seorang ustadz setempat, yang dimana pernikahan tersebut lemah hukum baik hukum syariat maupun hukum negara.
“Saya diberi informasi bahwa semalam (kemarin, red), korban dinikahkan oleh ustadz, ini sangat tidak bisa diterima. Karena kami memikirkan perasaan korban, masa mau disatukan dengan pelaku yang besar kemungkinan membuatnya trauma,” ucapnya.
Bahkan, pihaknya tidak akan berhenti sampai kunjungan hari itu saja. Secara persuasif, bersama tim lainnya, ia berupaya mengorek informasi lebih lanjut, untuk memperkuat bukti kepada pihak kepolisian.
“Seharusnya pihak kepolisian juga menilai bagaimana seharusnya penanganan kasus perkosaan ini ditangani, saya juga menyayangkan kepada oknum yang terlibat dalam keberlangsungan pernikahan antara korban dengan tersangka. Kami akan mengawal kasus ini hingga tuntas, agar tidak ada lagi korban kekerasan kepada perempuan, terlebih ini dalam kondisi difabel,” tandasnya.
Dosen Pidana Fakultas Hukum UNPAM, Halimah Humayrah Tuanaya, menyebutkan bahwa Polres Serang Kota keliru telah membebaskan dua tersangka perkosaan. Ia menyampaikan, perkosaan merupakan delik murni, bukan delik aduan.
“Jadi meskipun pelapor mencabut laporannya, polisi wajib terus melanjutkan proses hukumnya,” tegasnya.
“Ironis apabila Polres Serang Kota tidak melanjutkan proses hukum kejahatan perkosaan itu, lantaran pelapor sudah mencabut laporannya. Justru seharusnya dilakukan penyelidikan lebih lanjut terkait hal apa yang melatarbelakangi pelapor mencabut laporannya, apakah pelapor mengalami tekanan, ancaman, dan lain sebagainya,” jelas Halimah.
Ia mengatakan, korban yang saat ini telah dinikahkan dengan pelaku perkosaan. Hal itu tidak dapat dipandang sederhana sebagai bentuk pemulihan situasi pasca terjadinya tindak pidana.
“Restorative justice tidak diterapkan dengan tujuan memposisikan korban untuk menjadi korban kedua kalinya,” ucapnya.
Perkawinan idealnya dilaksanakan atas dasar kehendak dari kedua belah pihak, dengan tujuan untuk kebahagiaan bersama. Ia mempertanyakan, apakah perkawinan antara pelaku dan korban perkosaan adalah perkawinan yang dikehendaki korban atau bukan.
“Saya berharap, Polres Serang Kota segera melakukan korkesi atas kekeliruannya, dan melanjutkan proses hukum atas peristiwa tersebut,” tandasnya.
Kepala DP3AKB Kota Serang, Anton Gunawan, mengatakan bahwa pihaknya memang mengurus kasus pemerkosaan yang menimpa seorang penyandang disabilitas asal Kasemen. Namun menurutnya, DP3AKB Kota Serang hanya mengurus terkait dengan korbannya saja, tidak masuk ke ranah hukum.
“Kami ini mengembalikan kondisi korban dari dampak pemerkosaan itu. Apalagi kan sekarang sedang hamil yah. Makanya kami membantu dari sisi psikologisnya. Supaya jangan sampai dia sudah menjadi korban, lalu malah tertekan secara psikologis dan depresi,” ujarnya.
Berdasarkan hasil identifikasi dari tim psikiater, diketahui bahwa meskipun korban secara fisik berumur 21 tahun, akan tetapi secara mental masih berumur lima tahun. “Memang secara mental teridentifikasi masih berumur lima tahun,” ucapnya.
Anton menuturkan bahwa pihaknya tidak mengetahui bahwa korban telah dibawa pergi oleh bibinya. Ia pun tidak mengetahui apakah bibi yang membawa pergi korban merupakan istri dari salah satu pelaku atau bukan.
“Nah kami belum mendapatkan laporannya. Namun jika memang si korban ini mau dibawa oleh keluarga, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Asalkan korban tidak malah bertambah depresi. Memang ini sangat dilematis juga yah,” ungkapnya.
Termasuk pula terkait dengan telah dicabutnya laporan tindak pemerkosaan terhadap korban. Anton mengaku bahwa hal itu dia ketahui dari pemberitaan media, namun belum mendapatkan keterangan secara resmi.
“Apakah yang bersangkutan dan pelaku ada penyelesaian secara kekeluargaan, karena memang sudah di ranah hukum maka kami tidak bisa melakukan intervensi. Saat ini kami akan lebih fokus pada penanganan korban,” terangnya.
Anton menuturkan, pihaknya bisa saja mengambil langkah untuk menjadikan korban sebagai tanggungan negara, dengan merawatnya di rumah aman. Namun, pihaknya masih harus mencari tahu lebih dalam mengenai kondisi dari korban dan penilaian dari psikolog.
“Kami ke keluarganya sudah menyampaikan seperti itu. Kami siap menangani (merawat) korban. Kalau hasil nanti dari psikolog dan hasil informasi yang kami cari dari RT dan warga sekitar, jika diperlukan untuk melakukan perawatan oleh kami, maka kami ada rumah aman untuk merawat korban,” jelasnya. (DZH/MUF/PBN)