Kategori: HUKRIM

  • Mafia Jual Aset Sitaan KPK

    Mafia Jual Aset Sitaan KPK

    SERANG, BANPOS – Polda Banten membongkar praktik mafia tanah yang melibatkan seorang warga Kota Serang, Rabu (29/9). Tak tanggung-tanggung, tersangka yang ditetapkan dituduh menggelapkan 182 hektare tanah, termasuk di dalamnya aset Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, yang sedang berstatus sitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Satgas mafia tanah Ditreskrimum Polda Banten mengamankan warga berinisial RMT (63) di Dragong, Taktakan, Kota Serang. Dia ditetapkan menjadi tersangka terkait laporan dugaan pemalsuan sertifikat tanah atau penggelapan hak atas barang tidak bergerak seluas 182 hektare, di Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Cipocok, Kota Serang.

    “Penangkapan tersebut berdasarkan LP No. 316 tanggal 25 Agustus 2021 tentang tindak pidana pemalsuan surat, dan atau penggelapan hak atas barang tidak bergerak. Adapun pelapor adalah Kustohid, seorang kuasa hukum,” ujar Dirreskrimum Polda Banten, Kombes Pol Ade Rahmat Idnal, pada keterangan persnya, di Mapolda Banten, Rabu (29/9).

    Ade menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari Sugianto Lukman (alm) membeli beberapa bidang tanah di Kelurahan Banjarsari Kecamatan Cipocok, Kota Serang dalam 825 AJB pada tahun 1993-1997, seluas 182 ha dan belum pernah diperjualbelikan kepada pihak lain.

    Terkait beberapa bidang tanah yang saat ini ramai diberitakan, Sugianto Lukman (alm) beli beberapa bidang tersebut dari Ahmad bin Jami, pembeli diatasnamakan Aida Holling (karyawan) dalam AJB No. 729 tanggal 27 Februari 1995, SPPT masih atas nama Aida Holling, juga belum pernah diperjualbelikan kepada pihak lain.

    Namun pada saat BPN Serang lakukan pengukuran tapal batas, diketahui bahwa bidang tanah tersebut telah terbit SHM No. 4344/Banjarsari, AJB No. 162/2007 tanggal 26 Februari 2007. Seharusnya pada peta rincik bidang 738, namun pelaku sengaja memasukkan peta rincik 970 ke dalam SHM padahal peta rincik 970 sudah ditransaksikan dalam AJB No. 729/1995.

    “Namun, pasca mengetahui adanya dokumen yang tidak sesuai kebenarannya, ahli waris atas nama Neneng melaporkan peristiwa tersebut kepada Satgas Mafia Tanah Polda Banten,” ujarnya.

    Ade Rahmat mengungkapkan satgas mafia tanah Polda Banten telah periksa 17 orang saksi mulai dari pelapor, ahli waris, notaris, pihak BPN, terlapor dan saksi lainnya.

    “Dan dari penangkapan tersangka RMT (63) ini kita mengamankan barang bukti berupa bundel AJB No. 729 tahun 1995, lebih dari 100 minuta asli AJB, daftar himpunan ketetapan pajak (DHKP), peta blok, letter C, peta rincik legalisir, buku tanah dan beberapa lembar kuwitansi,” ungkapnya.

    Ade Rahmat mengimbau kepada masyarakat yang pernah melakukan transaksi terhadap RMT agar dapat melaporkan tersebut ke satgas Mafia tanah Polda Banten.

    “Kami juga mengimbau kepada masyarakat yang melakukan transaksi terhadap tersangka RMT agar dapat melaporkan peristiwa tersebut ke Satgas Mafia Tanah Polda Banten, karena potensial menjadi korban dengan modus yang sama. Dan saat ini Satgas Mafia Tanah Polda Banten terus berkoordinasi secara intensif dengan KPK untuk bisa menindaklanjuti penyidikan dan temuan fakta yang sudah diinventarisir oleh Satgas Mafia Tanah Polda Banten,” ujarnya.

    Lebih lanjut Ade Rahmat menerangkan, bahwa tersangka selama menjalankan aksinya telah meraup keuntungan materi berkisar ratusan juta hingga miliaran. “Hal ini masih dalam penyelidikan kami. Namun, diperkirakan keuntungan yang didapat oleh tersangka atas perbuatannya tersebut berkisar ratusan juta hingga 1 miliar,” jelasnya.

    Sementara itu, Kabid Humas Polda Banten AKBP Shinto Silitonga menambahkan bahwa penegakan hukum terhadap tersangka RMT menggunakan scientific criminal investigation, di mana sidik jari yang digunakan tersangka RMT dalam AJB tersebut tidak identik dengan pemilik sidik jari sesungguhnya.

    “Dan saya mengimbau kepada seluruh masyarakat yang ada di wilayah hukum Polda Banten agar berhati-hati dalam melakukan transaksi tanah, lebih dahulu menjalankan tahapan clear and clean terhadap histori tanah dan alas hak yang dimiliki atas bidang tanah tersebut,” katanya.

    Pasal yang disangkakan kepada tersangka ialah Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat dan penggunaan surat palsu, ancaman 6 tahun penjara, Pasal 266 KUHP tentang pidana menyuruh masukkan keterangan palsu ke dalam akte otentik, ancaman 7 tahun penjara dan Pasal 385 KUHP tentang penggelapan hak atas benda tidak bergerak, ancaman 4 tahun penjara.

    Sebelumnya, KPK juga melaporkan kasus penyerobotan tanah sitaan perkara korupsi Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Tanah di Serang, Banten itu dikangkangi PT Bangun Mitra Jaya. Developer itu hendak membangun perumahan di atas tanah ini.

    “Kami telah mengadukan hal tersebut ke Polda. Jadi kami menyerahkan sepenuhnya kepada aparat yang berwenang terkait hal tersebut,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.

    Dilansir Rakyat Merdeka, Shinto Silitonga membenarkan adanya pelaporan KPK mengenai penyerobotan aset sitaan. Laporan ini tengah ditangani.

    Untuk diketahui aset tanah milik Wawan di Sewor, Kelurahan Banjarsari, Kota Serang, disita KPK sejak 2014. Saat Wawan menjadi tersangka kasus korupsi pengadaan alat kedokteran di rumah sakit rujukan Provinsi Banten dan kasus suap sengketa Pilkada Banten.

    Lantaran aset tanah sitaan dikuasai pihak lain, KPK membuat pengaduan ke Polda Banten pada 2 September 2021.
    Ali mengutarakan, laporan dilakukan karena PT Bangun Mitra Jaya tak mau menghentikan pekerjaannya. Sebelumnya developer itu sudah ditegur secara lisan namun tak mengindahkan. Langkah hukum pun ditempuh.

    Ada tujuh bidang tanah yang dikuasai PT Bangun Mitra Jaya. Status tanah itu disita sementara sambil menunggu perkara Wawan bergulir di pengadilan.

    Jika majelis hakim menyatakan tanah itu dirampas untuk negara, KPK bakal mengeksekusinya. Namun jika diputuskan aset ini tidak terkait perkara, maka akan dikembalikan.

    Status tanah itu masih sitaan sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah.
    “Saat ini perkara Tubagus Chaeri Wardana sudah inkrah, dengan putusan majelis menyebut bahwa tujuh bidang tanah dimaksud dikembalikan kepada Tersita (Wawan),” terang Ali.

    Namun saat hendak melaksanakan putusan itu, aset sitaan telah dikuasai pihak lain.

    Sementara Julia, kuasa hukum pemilik tanah menyatakan kliennya punya hak atas tanah ini. Ia mengaku mewakili Neneng dan PT Berkah Maha Perkasa.

    Julia menjelaskan, tanah ini milik kliennya selaku ahli waris dari almarhum Sugianto Lukman. Ada 886 bidang tanah yang total alas haknya adalah akta jual beli (AJB) tertanggal 27 Februari 1995.

    “Dibuat PPAT Camat Suherman Putra Atmaja, itu dasar hukum bukti kepemilikan kami,” katanya seperti dilansir Rakyat Merdeka.

    Menurut Julia, kliennya tidak serta merta menguasai lahan yang sebagian kecilnya disita KPK. Namun dia mengungkapkan, bahwa ada 4 bidang yang tumpang tindih. Lantaran muncul sertifikat atas nama Airin Rachmi Diany, istri Wawan.

    Peralihan kepemilikan kepada Airin bermula dari penjualan tanah melalui seseorang bernama Solihah kepada Jayeng Rana pada tahun 2006. Nama Solihah diduga dicatut Jayeng yang menjualnya kepada Airin pada tahun 2017.

    “Di mana bidang tanah yang dijualbelikan itu adalah bidang tanah yang terlebih dahulu dimiliki Ibu Neneng berdasarkan akta yang jumlahnya 886. Itu sebagian bersinggungan dengan tanah Airin,” ujarnya.

    Menurut Julia, tumpang tindih alas hak milik Neneng dan Airin kurang lebih 6.700 meter persegi. Tanah yang dikuasai Airin itulah yang kemudian disita KPK.

    Meski di sebagian tanah yang dikuasai ada plang sitaan KPK, mereka berdalih pembangunan untuk proyek perumahan sudah mendapatkan izin.

    Dari penelurusan, PT Bangun Mitra Jaya berniat mendirikan perumahan di atas tanah sitaan KPK. Luasnya 184 hektare.
    Di lokasi tersebut, saat ini masih terdapat plang sitaan milik KPK. Tertulis keterangan bahwa tanah disita sejak 15 Januari 2014 yang terdiri dari 7 bidang.

    Pertama, nomor 1393 luas 907 meter persegi. Dua, nomor 1433 dengan luas 1.666 meter persegi. Tiga, nomor 1439 seluas 2.142 meter persegi.

    Keempat, nomor 1440 yang mempunyai luas 1.006 meter persegi. Lima, nomor 1441 seluas2.734 meter persegi. Enam, nomor 1449 luasnya 3.245 meter persegi. Tujuh, nomor 1769 dengan luas 2.230 meter persegi.

    Namun, tidak jauh dari plang tersebut terdapat plang lain. Isinya menyebutkan, bahwa tanah tersebut milik ahli waris mendiang Sugianto dengan luas 182 hektare.

    Dasarnya Akta Jual Beli (AJB) 824 Buku C Surat Penetapan Sita Pengadilan Negeri Serang Nomor: 617/Pid.B/2020/PN.Srg tanggal 24 Juni 2020.

    Kemudian, ada pula catatan surat permohonan izin khusus sita Nomor: 579/Pid.B/2020/PN/Srg tanggal 15 Juni 2020.(BYU/RUL/ENK/RMID)

  • TWK Diangap Tak Bermakna, Pegawai KPK Nonaktif Ditawari Jadi ASN Polri

    JAKARTA, BANPOS – Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo bakal merekrut 56 pegawai nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) untuk menjadi ASN di Polri.

    Perwakilan 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Hotman Tambunan secara resmi merespons tawaran Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di institusi Polri. Hotman menyampaikan, pihaknya akan terlebih dulu berkonsultasi sebelum memutuskan menerima atau tidak tawaran Kapolri.

    “Pernyataan Kapolri tentang pengangkatan kami sebagai ASN masih terlalu dini untuk kami tanggapi. Sebab, kami belum mengetahui mekanisme dan detail terkait inisiatif tersebut. Kami juga akan melakukan konsultasi dengan Komnas HAM dan Ombudsman RI terkait ini,” kata Hotman dalam keterangannya, Rabu (29/9).

    Meski demikian, lanjut Hotman, pihaknya tetap menghargai inisiatif Kapolri tersebut. Namun, dia mengakui, pihaknya perlu mencerna dan mendiskusikan inisiatif ini dengan seksama.

    Lepas dari kelanjutan inisiatif tersebut, kata Hotman, inisiatif ini membuat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang dijalankan sangat tidak valid. Termasuk soal hasilnya.

    “Pimpinan KPK Alexander Marwata menyebut kami sudah merah dan tidak bisa dibina. Namun nyatanya kini kami disetujui menjadi ASN di instansi yang berbeda. Artinya, sebenarnya kami lolos TWK. Ketidaklolosan kami, semakin nyata merupakan praktik penyingkiran dari KPK,” cetus Hotman.

    Oleh karena itu, Hotman menegaskan inisiatif pengangkatan sebagai ASN di instansi selain KPK, tidak menggugurkan rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman tentang TWK yang maladministrasi, inkompeten, sewenang-wenang dan melanggar HAM. “Sehingga, pelanggaran HAM dan cacat prosedur yang terjadi dalam pelaksanaan TWK, tetap harus ditindaklanjuti,” tegas Hotman.

    Terpisah, Koordinator MAKI, Boyamin Saiman menilai penawaran Kapolri kepada 56 pegawai nonaktif KPK membuktikan asesmen TWK tidak bermakna. Hal ini karena langkah Kapolri yang ingin merekrut 56 pegawai nonaktif KPK menjadi ASN Polri.

    “Jika Kapolri kemudian justru menginginkan merekrut mereka, artinya TWK kemarin itu yang dilakukan KPK itu tidak bermakna atau bahasa aku tidak mempunyai nilai apa-apa,” kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman dikonfirmasi, Rabu (29/9).

    Menurut Boyamin, jika 56 pegawai nonaktif KPK itu direkrut Polri, Kapolri menganggap hasil TWK tidak memiliki kekuatan hukum. Serta dinilai berwawasan hebat terkait penanganan korupsi.

    “Jadi, ini saya kira bentuk penilaian yang justru berbeda, kalau selama ini kan dikatakan oleh KPK sendiri mereka merah tidak bisa dibina,” papar Boyamin.

    Pegiat antikorupsi ini menilai, penawaran Kapolri terhadap 56 pegawai nonaktif KPK membuktikan mereka mempunyai wawasan kebangsaan yang hebat dalam memberantas korupsi. Karena memberantas korupsi adalah bagian dari pengabdian kepada bangsa dan negara.

    Boyamin tidak menilai rencana Kapolri ini sebagai bentuk penghinaan terhadap KPK. Tetapi justru, merupakan koreksi terhadap Pimpinan KPK dan BKN yang menyelenggarakan asesmen TWK.

    “Kalau menganggap ini bentuk suatu koreksi terhadap KPK saya benarkan kalau koreksi loh ya, artinya ini bentuk koreksi Kapolri terhadap TWK yang dilakukan KPK,” pungkas Boyamin.

    DI bagian lain, anggota Komisi III DPR Sarifuddin Suding menyambut baik langkah yang dilakukan oleh Kapolri Sigit tersebut. Hal ini memang perlu dilakukan untuk menghindari kegaduhan terkait polemik TWK ini.

    Namun demikian, legislator Partai Amanat Nasional (PAN) ini mempertanyakan kenapa 56 pegawai nonaktif tersebut diterima untuk menjadi pegawai oleh Polri. Namun ditolak oleh lembaga antirasuah.

    “Sehingga yang jadi pertanyaan, batasan atau parameter dalam TWK ini apa? Ini yang saya herankan, ini sebetulnya parameter dan untuk mengukur apa? ini kan ada dua institusi penegak hukum yang sama-sama dalam konteks sebagai aparat pemberantasan korupsi,” katanya.

    “Di satu sisi KPK menyatakan tidak lolos dalam konteks itu, tapi di sisi lain kepolisian menerima, sehingga muncul pertanyaan ini parameter apa yang digunakan,” tambahnya.

    Terpisah, Anggota Komite I DPD Abdul Rachman Thaha menilai sikap kapolri merupakan bukti kalau para eks-KPK itu merupakan sumber daya manusia potensial bagi penegakan hukum di Tanah Air.

    ”Terlepas dari materi TWK yang dinilai problematik, lolos atau tidak lolos TWK semestinya tidak dijadikan sebagai dasar untuk memberhentikan karyawan. TWK sebatas menghasilkan indikator dan itu seharusnya tidak menihilkan portofolio konkret berupa keberhasilan kerja (kinerja positif) para eks-KWK dimaksud. Hasil TWK sepatutnya dipakai sebagai salah satu acuan dalam pengembangan mereka selaku SDM unggulan KPK,” tutur Abdul Rachman Thaha.

    Namun lanjut dia, walau Kapolri beritikad baik, kesiapan itu nampaknya tidak akan serta-merta terealisasi dengan mudah. Sebab, sebagian pegawai eks-KPK itu pernah berkarir lalu mengundurkan diri dari Polri.

    ”Kembalinya lagi pegawai eks-KPK tersebut ke Polri boleh jadi akan terhalang oleh beban mental, termasuk kemungkinan sinisme dari para anggota Polri sendiri,” ujar Abdul Rachman Thaha.

    Apalagi menurut dia, ada peristiwa penyerangan oknum Polri terhadap penyidik KPK pada waktu lalu. ”Tentu, saya tidak berharap bahwa gesekan ekstrem semacam itu terulang lagi seandainya mantan personel Polri kembali ke korps Tribrata,” kata Abdul Rachman Thaha.

    Selain itu, Abdul Rachman Thaha menjelaskan, masuk ke Polri dan mendapat status sebagai ASN semata tidak akan memberikan para eks-KPK itu kewenangan untuk melakukan kerja-kerja penyidikan. Dengan status sebatas sebagai support system, kompetensi para eks-KPK tersebut tidak akan terwadahi.

    Dia menambahkan, kemungkinan demotivasi menjadi sesuatu yang dapat terjadi. Hal itu bisa menjadi kontraproduktif bagi Polri serta bagi eks-KPK bersangkutan.

    ”Hal ini sepertinya bisa diatasi apabila Polri membuka formasi bagi personel kontrak. Personel polisi yang dipekerjakan dengan status kontrak merupakan praktik umum di banyak negara,” terang Abdul Rachman Thaha.

    Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi pada 27 September 2021 lalu. Sigit memohon kepada Jokowi agar 56 pegawai tak lolos TWK bisa direkrut menjadi ASN Polri.

    Baca juga:

    Repons Istana Soal 56 Pegawai KPK Direkrut Sebagai ASN Polri
    Sigit mengatakan surat itu telah mendapatkan balasan dari Presiden Jokowi. Pada prinsipnya kepala negara ini merestui usulan dirinya. Surat balasan itu disampaikan melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.

    Oleh sebab itu, Sigit mengaku saat ini pihaknya sedang berkoordinasi dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo, dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk proses perekrutan 56 pegawai nonaktif KPK untuk menjadi ASN Polri.

    Adapun, 56 orang pegawai nonantif KPK akan resmi dipecat karena tidak lolos TWK sebagai syarat alih status menjadi ASN. Mereka akan resmi dipecat pada 30 September 2021 ini.

    Para pegawai nonaktif KPK itu sudah memperjuangkan hak mereka ke Ombudsman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Dua lembaga itu menyatakan ada permasalahan dalam proses peralihan kepegawaian KPK lewat TWK ini.

  • Sudahi Polemik  Proyek Toilet SD, Pemkot Terjunkan Auditor APIP

    Sudahi Polemik Proyek Toilet SD, Pemkot Terjunkan Auditor APIP

    SERANG, BANPOS- Pemkot Serang telah menginstruksikan kepada Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yakni Inspektorat, untuk melakukan audit terhadap pembangunan toilet di 18 SD Negeri. Pemkot mengklaim pihaknya belum membayar pembangunan 18 toilet itu.

    Wakil Walikota Serang, Subadri Ushuludin, mengatakan bahwa pihaknya telah memerintahkan kepada APIP, agar melakukan audit pada proyek pembangunan toilet, yang dilakukan oleh Dindikbud Kota Serang.

    “Yah, tapi saya begini. Saya kan sudah memerintahkan kadis dan inspektorat, untuk melakukan audit dari internal kami terlebih dahulu,” ujarnya kepada awak media, Selasa (28/9).

    Menurutnya, meskipun sudah selesai melakukan pembangunan toilet, Pemkot Serang masih belum melakukan pembayaran kepada para kontraktor.

    “Toh perasaan bayar juga belum, jadi kalau kerugian negaranya itu belum ada. Karena kan belum pernah terjadi transaksi,” ungkapnya.

    Ia mengaku, diperintahkannya APIP untuk melakukan audit terhadap pembangunan toilet tersebut, untuk melihat berapa nilai yang layak untuk dibayarkan oleh Pemkot Serang. Dengan demikian, polemik yang muncul pun dapat segera diselesaikan.

    “Tapi apapun itu, untuk menyudahi polemik dan lain-lain, maka pemerintah Kota Serang dalam sehari dan dua hari ini akan menurunkan APIP, auditor internal kita untuk mengecek layaknya berapa. RAB-nya berapa, kontraknya berapa dan kelayakan dari auditor itu berapa. Nah itu yang nanti akan dibayarkan,” tandasnya.

    Untuk diketahui, Dua orang pejabat Dindik Kota Serang diketahui telah dipanggil oleh Kejari Serang, untuk dimintai keterangan terkait dengan proyek pembangunan toilet ratusan juta di 18 SD Negeri. Hingga saat ini Kejari Serang masih belum melakukan pemanggilan terhadap pihak penyedia.

    Kasi Pidana Khusus (Pidsus) pada Kejari Serang, Jonitrianto Andra, membenarkan bahwa pihaknya telah memanggil pejabat Dindikbud Kota Serang, terkait dengan pembangunan toilet di 18 SD Negeri.

    “Wawancara pak itu, dipanggil untuk wawancara aja,” ujarnya saat dihubungi oleh awak media melalui sambungan telepon, Jumat (24/9) kemarin.

    Menurutnya, baru dua pejabat Dindikbud Kota Serang yang dipanggil. Seharusnya menurut Joni, pihak Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pun dipanggil bersama dengan dua orang tersebut, namun ia tidak hadir karena sakit.

    “Cuma PPK-nya masih sakit, belum datang. Baru berdua dari dinas. Pengusahanya belum dipanggil,” ungkapnya.

    Menurut Joni, pihaknya saat ini masih melengkapi berkas-berkas terkait dengan laporan yang dilakukan oleh Yayasan Saung Hijau Indonesia (SAHID) tersebut. “Baru itu saja, masih melengkapi berkas-berkas,” tandasnya. (DZH)

  • Bekas Sekdis Jadi Tersangka FS Fiktif

    SERANG, BANPOS – Penyidik Kejati Banten akhirnya menetapkan tersangka pada kasus dugaan pengadaan Feasibility Study (FS) atau uji kelayakan fiktif, untuk pembangunan unit sekolah baru (USB) SMA dan SMK pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten.

    Keduanya yakni AS dan JW. Diketahui, AS merupakan pegawai honorer pada Dindikbud Provinsi Banten, sedangkan JS merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang juga merupakan mantan Sekretaris pada dinas yang sama.

    Kasi Penkum pada Kejati Banten, Ivan Hebron Siahaan, mengatakan bahwa kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) tersebut bermula pada tahun 2018 lalu. Menurutnya, pada saat itu Dindikbud Provinsi Banten melaksanakan kegiatan pembuatan FS yang rencananya akan digunakan untuk pembangunan USB SMA dan SMK dengan pagu anggaran Rp800 juta.

    “Bahwa dalam pelaksananya kegiatan tersebut, diduga tidak pernah dilakukan akan tetapi anggarannya dicairkan alias fiktif,” ujarnya di kantor Kejati Banten usai melakukan penahanan terhadap kedua tersangka, Senin (27/9).

    Dalam modus yang dilakukan, Ivan menuturkan bahwa para tersangka melakukan pemecahan paket pekerjaan yang semula sebesar Rp800 juta. Paket tersebut dipecah untuk menghindari penunjukkan penyedia melalui proses lelang.

    “Lalu tersangka meminjam 8 perusahaan konsultan sebagai pihak yang seolah-olah melaksanakan pekerjaan, dengan cara membayar sewa sebesar Rp5 juta kepada pemilik perusahaan,” tuturnya.

    Setelah meminjam delapan perusahaan konsultan, para tersangka membuat kontrak yang dibuat seolah-olah memang kedelapan perusahaan tersebut memang melakukan pengerjaan pembuatan FS.

    “Kemudian oleh para tersangka membuat kontrak antara perusahaan-perusahaan dimaksud dengan PPK pekerjaan tersebut,” jelasnya.

    Namun karena 8 perusahaan tersebut tidak benar-benar menekan kontrak, maka pekerjaan yang dimaksud pun tidak pernah dilakukan. Sementara diketahui, AS lah yang membuat FS tersebut, bukan para konsultan.

    “Bahwa pekerjaan studi kelayakan dimaksud tidak pernah benar-benar dikerjakan oleh perusahaan yang ditunjuk, akan tetapi langsung dikerjakan sendiri oleh tersangka AS dan melaporkannya kepada tersangka JS selaku PPK,” ungkapnya.

    Setelah itu, dilakukan pembayaran atas pekerjaan Jasa Konsultasi Studi Kelayakan atau FS tersebut. Hal itu membuat negara mengalami kerugian atas pengadaan fiktif yang dilakukan oleh para tersangka.

    “Adapun kerugian negara yang timbul dari tindak pidana korupsi tersebut sesuai dengan hitungan penyidik adalah total loss sebesar anggaran yang dicairkan yaitu Rp697.075.972,” ucapnya.

    Ivan mengaku bahwa Kepala Kejati Banten memberikan atensi lebih dalam pengusutan perkara ini, mengingat output kegiatan FS itu sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk memilih lahan yang benar-benar feasible.

    “Sehingga diharapkan pengadaan lahan ke depannya tidak bermasalah baik secara hukum maupun sosial, sehingga tidak terulang kembali pengadaan tanah/lahan yang bermasalah seperti contohnya pengadaan Lahan SMKN 7 di Tangerang Selatan,” tandasnya.

    Keduanya saat ini dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan, dan dititipkan di Lapas Pandeglang.(DZH/PBN)

  • Tahun Depan Hibah Ponpes Ditiadakan

    Tahun Depan Hibah Ponpes Ditiadakan

    SERANG, BANPOS – Pemprov dan DPRD Banten menyepakati pada tahun 2022 mendatang, pos hibah pondok pesantren (Ponpes) dalam kebijakan umum anggaran prioritas dan plafon anggaran sementara (KUA PPAS) untuk sementara ditiadakan.

    Padahal hibah ponpes, dari tahun ke tahun diberikan slot anggaran, untuk membantu dan memajukan ponpes tersebut.

    Wakil Ketua DPRD Banten, Barhum, Senin (27/9) membenarkan dalam KUA PPAS tahun anggaran 2022 tidak ada pengalokasian anggaran untuk ponpes.

    “Berdasarkan kajian kami, antara pemprov dan DPRD, hibah ponpes tidak ada anggaran 2022 mendatang,” ujarnya.

    Namun demikian, hibah ponpes bisa dianggarkan kembali jika capaian target pendapatan asli daerah (PAD) yang dikumpulkan oleh Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) mengalami peningkatan signifikan.

    “Itu tergantung pak Opar (Kepala Bapenda). Kalau pendapatannya mengalami kenaikan atau ada pajak-pajak yang termaksimalkan, maka bisa saja hibah ponpes di Perubahan APBD tahun 2022. Kita lihat saja nanti perkembangannya seperti apa,” ujar politisi PDI Perjuangan ini.

    Disinggung kinerja Opar Sohari selaku Kepala Bapenda, Barhum mengaku belum terlihat inovasi terbarukan. “Perlu lebih maksimal lagi. Pak Opar nanti mampu menggerakan roda organisasinya bisa membuat konsep gebrakan pendapatan peningkatan di perubahan nanti,” ujarnya.

    Alasan lainnya, belum dianggarkannya hibah Ponpes, lantaran pemprov tengah konsen terhadap rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Gubernur Banten dan wakilnya, Wahidin Halim (WH)-Andika Hazrumy (Aa) 2017-2022.

    “Sekarang mengejar target RPJMD gubernur dan wakil gubernur. Jadi jangan berputar terbalik. Yang prioritas tidak jadi prioritas, yang tidak prioritas didahulukan,” tambahnya.

    Wakil Ketua DPRD Banten, Budi Prajogo mengungkapkan, tidak adanya slot anggaran hibah Ponpes 2022 dikarenakan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) tidak menyampaikan usulan. “Untuk alasanya silahkan tanya kepada TAPD,” ujar Budi.

    Wakil Ketua TAPD yang juga Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Banten, Rina Dewiyanti dihubungi melalui telepon genggamnya tidak merespon.(RUS)

  • Administrasi Hibah Ponpes Tidak Sesuai,  Mantan TAPD Beberkan Keterlibatan WH

    Administrasi Hibah Ponpes Tidak Sesuai, Mantan TAPD Beberkan Keterlibatan WH

    SERANG, BANPOS – Administrasi hibah ponpes pada tahun 2017 terungkap tidak sesuai jadwal penyusunan anggaran dan banyak intervensi dari Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH). Bahkan, menurut saksi yang merupakan mantan wakil Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD), WH menyebut alasannya agar tidak dimintai bantuan setiap saat.

    Demikian yang terungkap dalam lanjutan sidang dana hibah Ponpes dengan agenda menghadirkan tiga saksi, Senin (27/9) di Pengadilan Tipikor Serang.

    Ketiganya adalah mantan pejabat di lingkungan Provinsi Banten, diantaranya mantan Sekda, Ranta Soeharta, mantan Kepala Bappeda, Hudaya Latuconsina dan mantan kepala BPKAD dan BUD, Nandy Mulya Sudarman.

    Berdasarkan keterangan saksi, mantan Kepala Bappeda, Hudaya Latuconsina, WH memerintahkan untuk mengalokasikan dana sejumlah Rp120 miliar untuk dana hibah Pondok Pesantren (Ponpes). Dana tersebut, seharusnya digunakan untuk penyertaan modal BUMD Bank Banten yang saat itu sedang dalam keadaan kolaps.

    “Beliau (WH) memanggil saya ke ruangan, menyampaikan permintaan, ‘apakah memungkinkan untuk bantuan Ponpes, apakah masih tersedia anggaran’. Secara kebetulan, anggaran masih bisa diperbaiki sehubungan pak Gubernur sepakat untuk anggaran bantuan modal Bank Banten Rp120 miliar digunakan untuk hibah Ponpes,” ujar Hudaya.

    Ia sebagai mantan wakil ketua tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) juga mengakui, perjalanan keputusan Gubernur Banten memang tidak sesuai jadwal. Seharusnya, pembahasan program untuk ditetapkan dalam KUA-PPAS dilakukan pada bulan Mei 2017.

    “Bantuan Ponpes Rp20 juta perintah langsung oleh Gubernur, kemudian dibahas oleh TAPD. Tanggal 1 Mei, beliau (WH) memanggil saya untuk menanyakan adakah anggaran untuk hibah Ponpes, pak Gubernur mengatakan ‘biar saya nggak dimintai sarung terus’,” katanya.

    Hudaya mengatakan, KUA-PPAS ditetapkan pada bulan Juni 2017. Saat bersama dengan WH, ia mengaku sudah mengatakan bahwa prioritas utama anggaran saat itu adalah untuk pemulihan Bank Banten.

    “Saya juga kurang mengerti mengapa Gubernur lebih memilih untuk menggunakan uang tersebut untuk hibah Ponpes, padahal yang dikatakan lebih urgent (mendesak, red) saat itu adalah pemulihan BUMD Bank Banten. Saat saya tanya, dijawab ‘suka-suka gua lah’,” katanya menirukan WH saat berbincang dengannya.

    Hudaya menceritakan bahwa saat itu, WH yang baru saja dilantik meminta dirinya untuk menganggarkan sejumlah Rp25 juta per Ponpes, namun ia menolak karena anggaran Pemprov Banten tidak cukup.

    “Saya sempat menyarankan ke Gubernur bahwa nilainya disesuaikan dengan jumlah masing-masing santri, tapi pak Gubernur tetap dengan nilai Rp20 juta,” ucapnya.

    Selanjutnya, ia melakukan pertemuan dengan Sekda yang saat itu dijabat oleh Ranta. Ia membawa hasil pembahasan dengan Gubernur, bahwa disepakati setiap Ponpes mendapatkan dana hibah sejumlah Rp20 juta.

    “Selain itu, ada bantuan-bantuan hibah diluar Rp20 juta. Teknisnya saya kurang mengetahui, apakah Ponpes yang telah mendapatkan itu bisa mendapatkan hibah lagi atau tidak, bantuannya ada macam-macam, mulai Rp20 juta sampai Rp200 juta,” tuturnya.

    Hudaya mengungkapkan, permintaan dari Gubernur sudah lewat batas waktu. Kata dia, sebenarnya apabila program tersebut melalui proses usulan, batas waktu usulan adalah bulan Mei.

    “Ini posisinya terbalik, bukan karena pengajuan permohonan, tapi karena perintah. Kami tidak melihat usulan dari Ponpes, dan upaya yang kita lakukan untuk mengetahui ribuan nama Ponpes itu meminta data dari Kemenag dengan data 3200-an, lalu kita menetapkan dalam rangka rencana APBD yang dibahas kembali dengan adpem,” jelasnya.

    Saat ditanya oleh hakim ketua dan hakim anggota, Hudaya menegaskan bahwa program hibah Ponpes merupakan perintah Gubernur Banten melalui lisan. Kaitanya dengan Forum silaturahmi pondok pesantren (FSPP), ia sendiri tidak mengetahui sejauh mana kedekatannya dengan WH saat itu.

    “Ini perintah Gubernur, melalui lisan. Rencana anggarannya, ada anggaran Rp120 miliar yang tidak akan digunakan untuk penangguhan Bank Banten, Gubernur menolak untuk menambah dana Bank Banten,” ujarnya.

    Hudaya mengatakan, secara organisasi, FSPP sudah biasa bersinergi dengan Pemprov Banten dalam berkegiatan. Sehingga, pihaknya memaklumi ketika mereka mengusulkan dana operasional di luar dari dana hibah Ponpes sejumlah Rp5-6 miliar pada tahun 2017.

    “Untuk hibah Ponpes ini adalah perintah langsung oleh Gubernur ke Ponpes pada bulan Mei, tidak melalui FSPP,” katanya.

    Namun saat dimintai keterangan lebih lanjut soal keterlibatan FSPP dalam pendistribusian dana hibah Ponpes, ia mengaku baru mengetahui tanggal 20 Mei 2018 saat dirinya menjadi pendamping. Saat itu ia pertama kali melihat dokumen naskah Pergub nomor 49 tahun 2017 tentang hibah Ponpes di bagian lampiran penjabaran, berbeda saat dirinya masih menjadi TAPD.

    “Saya baru tahu pendistribusian bantuan melalui FSPP tanggal 20 Mei. Saat saya menjadi pendamping (pensiun) dan itu pertama sekali saya melihat dokumen (Pergub) hibah ponpes, tapi lampiran penjabaran Gubernur itu berbeda,” jelasnya.

    Sebelumnya, ia hanya mengetahui bahwa dalam lampiran itu dinyatakan realisasi dana hibah ponpes dilaksanakan oleh Kesra. Tetapi dalam naskah lampiran, disebutkan bahwa FSPP ditunjuk sebagai lembaga penerima dan penyalur dana hibah ke pesantren-pesantren.

    “Setelah itu saya tidak tahu lagi, karena bulan Juli saya sudah pensiun,” ucapnya.

    Sebelumnya, dari nilai Rp66 miliar hibah 2018, rinciannya yakni untuk operasional rutin sekretariat FSPP banten Rp3,8 miliar dan program pemberdayaan 3.122 ponpes dengan besaran masing-masing Rp20 juta dengan total Rp 62 miliar. Namun dalam dakwaan JPU kegiatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh FSPP. Sementara untuk pelaksanaan hibah ponpes 2020, negara mengalami kerugian Rp5,3 miliar dari Rp117 miliar total anggaran.

    “Intinya, instruksi hibah Ponpes adalah instruksi top-down. Lampiran 3 dalam Pergub Ponpes adalah bentuk operasional dana hibah untuk ponpes. Tetapi tanggal 20 Mei saya diperiksa di kejati, saya melihat tidak sesuai antara proses diawal dengan Pergub. Konteks dalam lampiran diluar konteks pembahasan APBD,” tandasnya.

    Saksi lainnya, mantan Sekda Banten, Ranta Soeharta mengungkapkan, hibah ponpes sudah berdasarkan aturan, karena dana hibah Ponpes sudah diverifikasi, maka dirinya membuat rekomendasi usulan langsung ke Gubernur.

    “Diusulkan Tahun 2017. Kalau nggak salah di RKPD KUA PPAS untuk hibah (keseluruhan) Rp2 triliun, untuk Ponpes, kalau nggak salah Rp66 miliar, terus dikurangi karena ada biaya operasional, jadi sekitar Rp64 miliar,” ujarnya.

    Ia mengaku tidak begitu banyak mengetahui akan keterlibatan FSPP dalam perkara hibah Ponpes. Ia hanya mengetahui bahwa FSPP adalah lembaga yang membina pondok pesantren.

    “Saya dengan FSPP nggak (dekat), setahu saya di dinas badannya, bahwa biro Kesra kerjasama dengan FSPP mungkin,” katanya.

    Saat ditanya oleh Hakim, ia lebih banyak menjawab tidak tahu dengan alasan sedikit lupa. Kemudian untuk realisasi pun, ia mengatakan tidak mengetahui secara mendetail.

    “Dalam KUA-PPAS masuk operasional FSPP Rp1 miliar, disini FSPP saja,” katanya.

    Karena ada kesepakatan perjanjian NPHD, seharusnya Ponpes melaporkan realisasi, namun ia tidak mengetahui apakah pelaporan ditujukan kepada Gubernur Banten atau Kesra. Ia mengaku mendengar terjadi kasus dalam realisasi dana hibah Ponpes, bahwa ada pemotongan-pemotongan dana yang seharusnya diterima utuh oleh Ponpes.

    “Dari informasi yang saya dapat, ada yang fiktif, ada yang dipotong. Saya secara detail tidak tahu, saya dengarnya itu, saya pensiun Juli,” tandasnya.

    Sementara itu, saksi terakhir yang dimintai keterangan yaitu Nandi. Sebagai kepala BPKAD sekaligus BUD, ia mengaku jarang mengikuti rapat hibah Ponpes.

    “Saya jarang ikut rapat, biasanya diwakilkan oleh kabag. Kalau info setelah saya dipanggil untuk di BAP terkait dengan masalah hibah Ponpes ini, saya menjelaskan mengenai tahapan teknis pencairan. Sesuai dengan Perda dan Pergub, pencairan dapat dilakukan melalui SKPD yang bersangkutan yang mengusulkan pencairan ke BPKAD dan BUD,” jelasnya.

    Kaitannya dengan pencairan dana hibah Ponpes, ia mengatakan bahwa tanda tangan dirinya sebagai kepala badan dan BUD dikuasakan oleh bidang. Mulanya, ia menerima usulan dari SKPD untuk pencairan.

    “Jadi yang tandatangan itu di bawah. Saya menerima usulan dari SKPD yang mengusulkan pencairan. Setelah verifikasi ke bawah, sampai terbit SP2D tidak ada laporan, berarti sudah lengkap, sudah cair,” katanya.

    Ia menyebut bahwa mekanisme pencairan sesuai aturan Kemendagri dan Pergub. Untuk Ponpes sendiri, ia mengaku lupa.

    “Saat itu saya tidak ingat, kebetulan saya diperlihatkan di penjabaran (pemeriksaan Kejati), saya baru tahu. Kalau FSPP itu memang sudah dikenal sejak lama, tapi mengenai menerima hibah saya baru tahu tahun 2018, itu karena memang di TAPD yang dipimpin oleh wakil ketua 1 ditayangkan siapa yang menerima hibah,” jelasnya.(MUF/PBN)

  • ‘Serigala’ Tangkap Perampok Spesialis

    ‘Serigala’ Tangkap Perampok Spesialis

    Komplotan perampok spesialis Minimarket di Pulau Jawa dan Bali dibekuk Tim Serigala Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Lebak. Dua tersangka berinisial DS dan DAR dibekuk Tim Serigala Satreskrim Polres Lebak di wilayah Jonggol, Bogor.

    Kasatreskrim Polres Lebak Ajun Komisaris Polisi (AKP) Indik Rusmono mengungkapkan, saat akan ditangkap dua pelaku berinisial DS dan DAR berupaya untuk kabur, polisi kemudian melumpuhkan keduanya dengan timah panas. Menurut Indik, kedua pelaku merupakan perampok spesialis Minimarket.

    “Dari pengakuan tersangka, sudah 17 TKP (tempat kejadian perkara) di Pulau Jawa dan Bali. Mereka berdua itu merupakan perampok spesialis Mini Market” kata AKP Indik Rusmono saat konferensi pers di Mapolres Lebak, Senin (27/9).

    Dikatakan Indik, untuk TKP di Lebak baru satu, yakni minimarket di Baros, Kecamatan Warunggunung. Ada lima pelaku yang melakukan percobaan perampokan, dua orang berhasil dibekuk dan tiga orang masih DPO.

    Dalam menjalankan aksinya, kata Indik, para pelaku ini cukup sadis. Mereka selalu membawa senjata api dan senjata tajam. Bahkan saat kejadian di Warunggunung para pelaku ini sempat menembakan pistol organik ke udara.

    “Para pelaku ini dalam menjalankan aksinya cukup sadis. Mereka selalu membawa senjata api dan senjata tajam. Bahkan, saat di Warunggunung, aksinya ketahuan dan masyarakat berkumpul ke lokasi. Pelaku kemudian menembakan pistol organik ke udara, sehingga membuat masyarakat bubar dan tidak berani mendekat ke lokasi perampokan,” jelasnya.

    Indik melanjutkan, Tim Serigala Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Lebak terpaksa melumpuhkan DS dengan dua peluru tajam di kakinya. Namun, DS masih berdiri tegak dan berupaya untuk kabur dari kejaran polisi.

    Setelah beberapa puluh meter, Tim Serigala baru berhasil menangkap DS. Mereka kemudian memeriksa tersangka dan menemukan wafak atau jimat yang terbungkus kain hitam di pakaian DS. Setelah Wafak diambil, tersangka langsung terkulai lemah di lokasi penampakan di daerah Bogor.

    Penyidik menembak kedua tersangka di Bogor. Karena melawan, DS ditembak dua kali dan masih bisa berlari, sedangkan DAR ditembak satu kali dan langsung tersungkur.

    “Tersangka DS memiliki jimat yang membuatnya tetap berlari, walaupun kedua kakinya telah ditembak,” katanya.

    Kanit IV Satreskrim Polres Lebak IPDA Alfian Hazali membenarkan, DS menyimpan wafak di pakaiannya. Dan itu mungkin yang membuatnya tetap berdiri dan masih bisa berlari dari kejaran anggota. Walaupun, dua kakinya sudah ditembus timah panas.

    “Penyidik juga kaget. Tersangka DS ini masih lari walaupun sudah ditembak di bagian betis kanan dan kiri,” ujarnya.(CR-01/PBN)

  • Belanja Inek di Kota Serang, Warga Jakbar Dicokok Polisi

    Belanja Inek di Kota Serang, Warga Jakbar Dicokok Polisi

    SERANG, BANPOS- Seorang joki narkoba asal Jakarta Barat disergap Tim Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Serang usai mengambil barang pesanan di sekitaran taman tugu debus, Kecamatan Panancangan, Kota Serang, Jumat (24/9/2021) kemarin.

    Dari tersangka Mus (22), warga Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng Kota, Jakarta Barat ini, petugas mengamankan barang bukti 40 butir pil ekstasi yang disimpan dalam 4 plastik klip di dalam bungkus rokok.

    Kapolres Serang AKBP Yudha Satria mengatakan tersangka Mus ditangkap sekitar pukul 22:00 WIB. Menurut Yudha, penangkapan bermula dari adanya informasi dari masyarakat yang diterima tim satresnarkoba bahwa akan ada transaksi narkoba di sekitaran tugu debus.

    “Berbekal dari informasi tersebut Kasatresnarkoba Iptu Michael K Tandayu menggerakkan Iptu Rian Jaya Surana bersama personilnya untuk turun melakukan penyelidikan di lokasi yang disebutkan warga,” ungkap Kapolres kepada awak media, Senin (27/9/2021).

    Setelah melakukan observasi di lapangan, petugas langsung melakukan penangkapan terhadap tersangka yang saat itu berada di sekitaran taman tugu debus. Ketika dilakukan penggeledahan, ditemukan bungkus rokok dalam saku celana tersangka.

    “Saat bungkus rokok dibuka di dalamnya berisi 4 plastik klip masing-masing berisi 10 butir pil yang diduga jenis ekstasi. Bersama barang buktinya tersebut tersangka langsung diamankan ke Mapolres Serang,” kata Yudha Satria.

    Sementara Kasatresnarkoba Iptu Michael K Tandayu menambahkan tersangka mengaku hanya diperintah oleh temannya di Jakarta Barat untuk mengambil barang pesanan di lokasi yang telah ditentukan di sekitaran tempatnya ditangkap.

    “Tersangka mengaku hanya sebagai joki yang diperintah mengambil barang pesanan di Kota Serang. Tersangka juga tidak mengetahui identitas dari si penjual atau bandar ekstasi,” kata Michael.

    Lebih lanjut dikatakan, tersangka baru pertama kali diminta untuk mengambil narkoba di Kota Serang namun di Jakarta dirinya mengaku sudah 4 atau 5 kali menjalankan orderan mengambil barang pembeli.

    “Kalau di Kota Serang baru sekali, tapi di Jakarta diakui sekitar 5 kali diminta mengambil barang. Pekerjaan tersebut dilakukan karena tergiur dengan upah yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari,” terang Kasatresnarkoba. (MUF)

  • Maling Spesialis Rumah Warga Ditembak Tim Unit Jatanras

    Maling Spesialis Rumah Warga Ditembak Tim Unit Jatanras

    SERANG, BANPOS- Dul (31), dan Jak (27), dua bandit spesialis pencurian di rumah warga tersungkur dibedil personil Tim Unit Kejahatan dengan Kekerasan (Jatanras) Polres Serang.

    Kedua tersangka ditangkap di dua lokasi berbeda di Kecamatan Kragilan dan Petir, Kabupaten Serang, Selasa (21/9) malam.

    Dua sekawan warga Desa Mekarbaru, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang terpaksa dilumpuhkan dengan timah panas karena melakukan perlawanan saat diminta petugas menunjuk tempat menyimpan barang bukti.

    “Kedua terpaksa dilakukan tindakan tegas dan terukur karena melakukan perlawanan dan tidak menggubris tembakan peringatan dari personil Unit Jatanras,” terang Kapolres Serang AKBP Yudha Satria didampingi Kasatreskrim AKP David Adi Kusuma saat menggelar ekspose, Sabtu (25/9/2021).

    Kapolres menjelaskan penangkapan dua tersangka merupakan tindaklanjut dari laporan Muhammad Idrus (23), ke Mapolres Serang pada Minggu (12/9). Korban melaporkan bahwa pada Jumat (10/9) dini hari, rumahnya di Desa Mekar Baru, Kecamatan Petir.

    “Korban melapor rumahnya disatroni maling. Sejumlah barang berharga dibawa pelaku, salah satunya handphone (HP),” kata AKBP Yudha Satria.

    Dari keterangan korban itulah, Kasatreskrim AKP David Adi Kusuma mengerahkan personil Unit Jatanras untuk melacak keberadaan HP. Setelah dilakukan penyelidikan, akhirnya Tim Jatanras yang dipimpin Iptu Denny Hartanto, berhasil mengetahui keberadaa HP.

    “Selasa (21/9) sekitar 23:00, berhasil diringkus di rumah kontrakan di Kecamatan Kragilan. Dari tangan Dul, diamankan HP milik korban. Karena pengakuan aksi kejahatan dilakukan bersama Jak, petugas pun langsung bergerak dan berhasil menangkap di rumahnya,” kata Kapolres.

    Sementara dalam pemeriksaan, kata Kapolres, Dul mengaku sudah melakukan pencurian sebanyak 6 kali, sedangkan Jak mengaku 4 kali. Selain rumah warga, sasaran pencurian juga toko kelontongan.

    Atas pengakuan tersebut, Tim Unit Jatanras meminta kedua tersangka untuk menunjukan tempat dimana tersangka menyimpan atau menjual barang-barang hasil curian.

    “Ketika diminta menunjukan tempat tersebut, kedua tersangka mencoba melarikan diri. Karena kedua tersangka tidak mengindahkan tembakan peringatan, akhirnya dilakukan tindakan tegas dan terukur,” tandasnya. (MUF)

  • Jaringan Pengedar Ganja Antar Pulau Diungkap Polres Serang, 7 Pelaku Diamankan

    Jaringan Pengedar Ganja Antar Pulau Diungkap Polres Serang, 7 Pelaku Diamankan

    SERANG, BANPOS- Tujuh tersangka jaringan peredaran ganja berhasil digulung personil Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Serang. Ketujuh tersangka pengedar dan bandar ini diringkus di sejumlah lokasi di Kabupaten Serang dan Sumatera Utara.

    Ketujuh tersangka yaitu AM, KO, AN, RM, RPP, AT dan MHT. Dari ketujuh tersangka ini, petugas mengamankan barang bukti 44 paket ganja berbagai ukuran dengan berat keseluruhan 2,8 kg. Selain puluhan paket ganja, juga diamankan satu paket sabu.

    Kapolres Serang AKBP Yudha Satria mengatakan pengungkapan jaringan ganja yang melibatkan bandar di Sumatera Utara ini berawal dari penangkapan tersangka AM dan KO saat akan pesta sabu di daerah Kecamatan Tanara, Kabupaten Serang.

    “Kedua tersangka ini diamankan pada Minggu (5/9) sekitar pukul 08:30. Dari saku celana AM ditemukan satu paket sabu yang diakui milik KO yang dibeli dari tersangka AN,” terang Kapolres didampingi Kasatresnarkoba Iptu Michael K Tandayu saat menggelar ekspose di Mapolres Serang, Jumat (24/9/2021).

    Dari keterangan tersangka itu, kata Kapolres, Kasatresnarkoba Iptu Michael K Tandayu memerintahkan Ipda Rian Jaya Surana untuk terus melakukan pengembangan. Hasilnya, tersangka AN berhasil ditangkap di rumahnya di daerah Kecamatan Anyer, Kabupaten Serang.

    “Dari tersangka AN, didapat barang bukti 41 paket ganja berbagai ukuran yang dikemas dalam plastik klip bening yang diakui dibeli dari tersangka BO (DPO),” kata AKBP Yudha Satria.

    Lebih lanjut dikatakan Kapolres, tersangka BO (DPO) ternyata tidak hanya menjual ganja kepada AN, tapi juga kepada RM dan RPP setelah keduanya ditangkap di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang pada Senin (6/9) lalu sekitar pukul 22:00 WIB.

    “Dari tersangka RM dan RPP diamankan 2 paket besar ganja yang diakui didapat dari BO melalui perusahaan jasa pengiriman. Namun dari resi diketahui atas nama AT,” ujarnya.

    Berbekal alamat yang tertera di resi, tim Satresnarkoba langsung bergerak ke Sumatera Utara dan berhasil mengamankan AT di daerah Dolan Rayat, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatra Utara.

    Dari penggeledahan ditemukan 1 paket besar ganja pesananan RPP yang rencana akan dikirim melalui jasa pengiriman. Pengakuan AT, ganja yang akan dikirim ke daerah Kibin, Kabupaten Serang ini dibeli dari MHT.

    “Setelah mendapat lokasi tempat tinggal MHT, petugas langsung bergerak dan berhasil menangkap MHT di rumah kontrakannya di Jakan Karya Bakti, Pasar Merah Barat, Kecamatan Medan Are, Kota Medan. Dari MHT petugas hanya mengamankan 1 unit timbangan serta 1 gulung plastik pres,” terangnya. (MUF)