Kategori: HUKRIM

  • Keterangan Saksi Bikin Bingung, Sidang Tipikor Pengadaan Lahan Samsat Malingping

    Keterangan Saksi Bikin Bingung, Sidang Tipikor Pengadaan Lahan Samsat Malingping

    SERANG, BANPOS – Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan Samsat Malingping menghadirkan Kepala Bapenda Provinsi Banten, Opar Sohari dan mantan Sekretaris Bapenda Provinsi Banten, Epi Rustam, sebagai saksi.

    Opar menjadi saksi pertama yang menyampaikan keterangannya di depan Majelis Hakim. Beberapa jam di persidangan, Opar diberondong berbagai pertanyaan mulai dari Majelis Hakim, hingga kuasa hukum terdakwa.

    Menjelang akhir persidangan, Opar sempat bersitegang dengan terdakwa, Samad, kaitannya dengan kronologis pengadaan tanah yang diduga dibeli oleh Samad lalu kembali dijual ke Pemprov Banten.

    Opar mengatakan bahwa Samad membeli tanah menggunakan uang Bapenda Provinsi Banten dan atas inisiatif pribadinya, kepada saksi atas nama Cicih. Namun keterangan tersebut dibantah oleh Samad.

    “Salah yang mulia. Saya tidak membeli dari Cicih, tidak benar saya beli dari Cicih. Seluas 6.510 meter dibeli dari Uwi. Menggunakan uang pribadi bukan uang Bapenda,” ujarnya, Selasa (24/8).

    Hakim Ketua pun sempat mempertegas kepada Opar, terkait dengan keterangannya tersebut. Namun Opar tetap pada keterangannya. “Tetap pada pernyataan,” katanya.

    Saksi selanjutnya yakni mantan Sekretaris Bapenda Provinsi Banten, Epi Rustam. Epi yang juga merupakan Ketua Panitia Pengadaan Tanah, menyampaikan bahwa pihaknya memang melakukan pembelian lahan kepada Uwi seluas 6.510 meter persegi dengan cara transfer langsung melalui Kas Daerah.

    “Pemiliknya tidak hanya Haji Uwi, ada Haji Irawan. Yang dibeli tanah atas nama Uwi. Bayar via transfer dari Kas Daerah ke pak Haji Uwi. Ada buktinya. Selain pak Haji Uwi, tidak ada yang ditransfer,” ujarnya.

    Namun, persidangan sampat dibuat bingung oleh keterangan Epi Rustam terkait dengan kepemilikan lahan Uwi dan Cicih. Sebab berdasarkan hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP), terdapat seluas 1.707 meter persegi tanah yang disebut masuk ke dalam tanah yang dimiliki Uwi.

    “Bagaimana bisa tanah yang sebelumnya atas nama Cicih Suarsih seluas 1707 meter persegi, pada akhirnya seluruhnya dibayarkan ke Uwi? Yang 4.410 meter buktinya apa?” tanya Majelis Hakim.

    “Bahwa memang kami menyerahkan ke BPN untuk dilakukan identifikasi secara keseluruhan, siapa pemilik dari lahan ini. Memang pada saat itu kami sempat menanyakan kepada PPTK, menanyakan ke pihak BPN. Lahan yang bermasalah yang 1.707 yang termasuk ke pembayaran 4.410 meter persegi. Kalau masalah secara detail saya kurang begitu tahu,” jawap Epi.

    Menurutnya, ia hanya bertugas dari segi persiapan. Dirinya pun mengaku baru tahu kalau hal itu menjadi masalah setelah diperiksa oleh Kejaksaan.

    “Yang kami tahu, kami melakukan semua pembayaran ke pak Haji Uwi dua blok itu. Yang kami tau justru masalah itu muncul setelah dilakukan pembayaran dan setelah kami diperiksa oleh Kejaksaan. Bahwa lahan yang dibayarkan itu ada perjanjian di bawah tanah terhadap haji Samad. Belum ada buktinya, masih perjanjian di bawah tanah. Itu sebelum pembayaran dari Bapenda, AJB dari Cicih belum ada pembayaran,” ucapnya.

    Berkaitan dengan Akta Jual Beli (AJB) yang mencantumkan nama Cicih Suarsih/Euis pun Epi tidak paham. Sebab selain AJB tersebut, ternyata terdapat sertifikat hak milik (SHM) atas nama Uwi/Euis juga di tanah yang sama.

    Epi pun ditanya terkait dengan tugas sekretaris pelaksana, yakni Samad, dalam hal pengadaan lahan. Hakim menanyakan, apakah menjadi tugas Sekretaris Pelaksana untuk mencari tanah.

    “Inisiatif terdakwa sendiri mencari lahan. Jalan sendiri, tanpa sepengetahuan saya. Bukan perintah dan tanpa SK,” terangnya.

    Menariknya, Hakim sempat berseloroh terkait dengan jawaban Epi atas pertanyaan yang disampaikan oleh kuasa hukum Samad. Saat itu, kuasa hukum menanyakan apakah yang dilakukan oleh Samad untuk mencari sendiri tanah untuk pengadaan gedung Samsat, merupakan sesuatu yang salah, Epi mengatakan tidak.

    “Secara normatifnya sudah betul. Yang salah, pada saat kami dipanggil ternyata ada masalah, dan masalahnya itu adalah masalah hukum. Sehingga, kami boleh dikatakan kecolongan,” ujar Epi.

    Melihat jawaban Epi yang tidak tegas sebagai saksi fakta, Hakim Ketua pun kembali menegaskan dimana letak kesalahan dari Samad dalam proses pengadaan tanah tersebut.

    “Dimana letak kesalahannya? Kalau begini terus, terdakwa bisa disebut tidak bersalah,” tegasnya.

    Selanjutnya, Epi pun menyatakan bahwa dalam SK yang ada, tidak diuraikan secara mendetail terkait dengan tugas panitia pengadaan. Bahkan menurutnya, ia baru tahu uraian tugas tersebut setelah diperiksa oleh Kejaksaan. Begitu pula dengan yang ada pada BAP. Sebab, dirinya saat ditanya oleh Hakim pun tidak bisa menjawab sesuai dengan yang ada di BAP.

    “Bahwa tim yang ada ini adalah tim internal untuk menunjang pelaksanaan-pelaksanaan tugas. Tim ini saya juga sempat bingung kenapa gak ada uraian tugasnya.

    Bahwa pada saat kami menerima surat keputusan menjadi tim persiapan, di dalamnya itu itu tidak ada uraian. Saya baru tau tugas sebagai ketua pada saat pemanggilan di Kejaksaan, saya baru melihat tugas di tim internal saat itu. Karena diperlihatkan Pergub nomor 11 tahun 2018,” ungkapnya.(DZH/ENK)

  • Soal Temuan BPK Gedung Setda 6 Lantai, Mahasiswa Minta Penjelasan Pemkot

    Soal Temuan BPK Gedung Setda 6 Lantai, Mahasiswa Minta Penjelasan Pemkot

    CILEGON, BANPOS – Organisasi mahasiswa di Cilegon menyoroti adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas pembangunan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) 6 lantai di Puspemkot Cilegon senilai Rp 518,339 juta. Diketahui pembangunan gedung tersebut menghabiskan anggaran APBD Cilegon hampir Rp 65,8 miliar.

    Ketua Pengurus Pusat (PP) Ikatan Mahasiswa Cilegon (IMC) Hariyanto amat menyayangkan adanya temuan BPK tersebut. Ia juga mempertanyakan kenapa hal itu bisa terjadi. “Menanggapi persoalan temuan yang diungkap BPK atas pembangunan Gedung Sekretariat Daerah (Setda) 6 lantai di Puspemkot Cilegon senilai Rp 518,339 juta, IMC secara kelembagaan amat sangat menyayangkan kenapa kemudian hal ini bisa terjadi,” katanya.

    Ia juga mempertanyakan kinerja dinas terkait dalam fungsi pengawasan dan perencanaan pembangunan gedung tersebut. “Dalam hal ini Inspektorat Kota Cilegon yang berfungsi mengenai perencanaan program pengawasan, perumusan kebijakan dan fasilitasi pengawasan serta pemeriksaan, pengusutan, pengujian dan penilaian tugas pengawasan harus segera bertanggung jawab,” tegasnya.

    Kemudian, kata dia pihak DPUTR yang memiliki tugas membantu walikota melaksanakan urusan pemerintahan bidang pekerjaan umum dan penataan ruang yang menjadi kewenangan daerah juga harus ikut bertanggung jawab. “Mengingat kedua-keduanya punya peranan penting dalam persoalan ini maka harus segera mungkin ditindak lanjuti,” ujarnya.

    Selain itu, kata dia BPK juga menemukan denda keterlambatan penyedia senilai Rp 50,506 juta. “Pemerintah daerah harus bertanggung jawab segera mungkin menindak dan merespon Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) ini,” pungkasnya.

    Hal senada diungkapkan Ketua Umum HMI Cabang Cilegon Rikil Amri. Rikil juga mempertanyakan adanya temuan BPK terkait pekerjaan pembangunan gedung setda 6 lantai yang menghabiskan anggaran hampir Rp 65,8 miliar.

    Menurutnya dari hasil temuan BPK ada potensi kerugian negara juga cukup besar mencapai Rp. 568,845 juta. “Kami meminta kejelasan dari Kepala Dinas PUTR (Ridwan) terkait adanya temuan dari BPK tersebut. Tolong jelaskan secara transparan, jangan ada yang ditutup-tutupi. Jangan sampai ada lagi praktik-praktik terlarang yang mengotori OPD-OPD di Pemerintahan Kota Cilegon,” ungkapnya.

    Rikil mengingatkan kepada para ASN agar bekerja secara profesional karena digaji oleh rakyat. “Kepala Dinas haruslah komunikatif dengan siapapun, tolonglah bekerja profesional dan proporsional, ASN di gaji dari uang rakyat. Jangan sampai ada permainan di belakang layar, kami mahasiswa sebagai agent of change dan social control akan terus mengawal dan mengawasi semua OPD di lingkungan Pemerintahan Kota Cilegon,” tegasnya. (LUK/RUL)

  • Tiga Pelaku Penganiayaan Dibekuk Polisi

    Tiga Pelaku Penganiayaan Dibekuk Polisi

    Diduga sebagai pelaku penganiayaan yang terjadi pada Selasa (10/8) lalu di jalan Raya Mauk-Sepatan, Desa Kosambi, Kecamatan Sukadiri, Kabupaten Tangerang, 3 orang remaja dibekuk jajaran Polresta Tangerang Polda Banten.

    Akibat penganiayaan tersebut, korban bernama Ardiansyah (17) yang masih berstatus pelajar warga Kampung Pisangan, Desa Tanah Merah, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, mengalami luka sabetan senjata tajam (Sajam) dibagian punggung.

    “Kami mengamankan 3 orang yang diduga sebagai pelaku penganiayaan masing-masing berinisial AR alias Pokek berusia 16 tahun warga Sepatan, RHG berusia 16 tahun warga Rajeg dan berusia 17 tahun warga Sepatan. Ketiganya masih berstatus pelajar,” kata Kapolresta Tangerang, Kombes Pol Wahyu Sri Bintoro, Selasa (24/8).

    Dikatakan Wahyu, tersangka AR dan RHG ditangkap saat Rayon 3 Polresta Tangerang gabungan Unit Reskrim Polsek Pasar Kemis, Unit Reskrim Polsek Rajeg, dan Unit Reskrim Polsek Mauk melaksanakan patroli pada Minggu (15/8) dini hari lalu.

    Menurutnya, pada saat melaksanakan patroli di Jalan Raya Perumahan Kuta Bumi 2, Kecamatan Pasar Kemis, polisi melihat 2 orang pria remaja yang berdasarkan ciri-ciri, identik dengan yang dilaporkan sebagai pelaku penganiayaan.

    Petugas kemudian mengamankan kedua pria remaja tersebut yakni tersangka AR dan tersangka RHG. Setelah diinterogasi, keduanya mengaku sebagai pelaku penganiayaan. Dari keterangan kedua tersangka, polisi menangkap tersangka FF di lokasi berbeda.

    “Ketiga tersangka dibawa ke Polsek Mauk untuk pemeriksaan karena tempat kejadian perkara diwilayah hukum Polsek Mauk,” ujarnya.

    Wahyu menjelaskan, kronologis perisitiwa tersebut terjadi sekitar pukul 4.00 WIB. Korban Ardiansyah bersama beberapa teman hendak pulang. Di lokasi kejadian, korban berpapasan dengan para pelaku yang konvoi sambil mengacungkan senjata tajam. Korban kemudian berusaha putar arah. Namun karena terkena sabetan senjata tajam, korban Ardiansyah terjatuh dan tertinggal. (DHE/RUL)

  • Penyuap Belum Diungkap, Kinerja Kejari Dipertanyakan

    Penyuap Belum Diungkap, Kinerja Kejari Dipertanyakan

    CILEGON, BANPOS – Anggota DPRD Provinsi Banten, Syihabudin Sidik mempertanyakan sikap Kejari Cilegon yang belum mengungkap pemberi suap terkait kasus suap penerbitan izin Surat Pengelolaan Tempat Parkir (SPTP) Pasar Kranggot.

    Politisi partai Gerindra ini menilai kasus yang menjerat Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Kota Cilegon, UDA sebagai tersangka penerima suap, janggal. Pasalnya sampai saat ini Kejari Cilegon belum menyeret pemberi suap.

    “Kalau gratifikasi atau suap itu, logikanya ada penerima ada pemberi. Masih juga ada tanda tanya satu lagi, nggak mungkin uang itu dilempar. Biasanya dia (pemberi suap) pakai pihak ketiga,” katanya saat menghadiri kegiatan silaturahmi kebangsaan DPD PKS ke Kantor DPC Gerindra Cilegon, Senin (23/8).

    Lebih lanjut, Syihabudin mempertanyakan mengapa Kejari belum mengungkap kepada masyarakat. Kata dia, dimana pun dalam setiap kasus suap atau gratifikasi pasti menyeret penerima dan pemberi.

    “Kalau UDA disangkakan dengan gratifikasi, si pemberinya sampai hari ini masih belum di publish. Mestinya kan lidik dan sidik berjalan serempak, nggak mungkin sendirian,” tuturnya.

    Ia menduga, Kejari dalam penanganan kasus terkesan politis. Karena tidak mengungkap kasus terang benderang. “Saya ini kan politisi, kenapa bu Kajari (Ely Kusumastuti) dalam kasus ini seperti bermain politik. Karena kasus ini bukan korupsi, ini gratifikasi. Maka kalau memang tidak ada pihak ketiga, ya pemberinya,” ujarnya.

    Syihabudin menginginkan agar kasus tersebut ditegakkan dengan sesuai aturan hukum yang berlaku. Setiap orang yang disangkakan melanggar hukum harus ditindak. Termasuk pemberi suap dalam kasus izin parkir Pasar Kranggot harus diungkap.

    “Sekali lagi, law enforcement. Saya punya harapan jangan ada unsur main politik. Karena hukum ditegakkan untuk menjadi panglima. Agar orang berdasarkan fakta dan bukti yang kuat, melakukan pelanggaran, yah diberikan sanksi,” tandasnya.

    Sementara itu, Salah seorang pengacara ternama di Kota Cilegon, Agus Surahmat Prawiroredjo menilai penetapan terhadap tersangka UDA terkesan setengah hati. Setengah hati karena penetapan tersangka hanya satu pihak saja. Padahal alasan yuridis jaksa bahwa perbuatan UDA masuk dalam ranah gratifikasi.

    Menurutnya, sebagai bagian dari masyarakat yang mencintai penegakan hukum tentu berita tersebut cukup menggembirakan. Artinya Kejaksaan Negeri Cilegon memenuhi janjinya dalam upayanya penegakan Hukum di Kota Cilegon.

    Namun demikian ada yang menarik dalam penangkapan dan atau pengungkapan kasus dalam klasifikasi gratifikasi oleh seorang Penyelenggara Pemerintahan.

    “Saat ini kan baru diungkap satu sisi saja yaitu penerima gratifikasi atas dugaan ijin perparkiran di Kota Cilegon. Sedangkan pihak pemberi bagaimana. Hal ini menjadi menarik karena penetapan tersangka hanya satu pihak saja yaitu penerima gratifikasi. Sementara pelaku penyuap atau pemberi gratifikasi tidak ditetapkan sebagai tersangka,” ujarnya Selasa (24/8).

    Dijelaskannya, peristiwa hukum tentu akan memaknai bahwa terjadinya peristiwa pidana tersebut terjadi oleh karena adanya hubungan kaosalitas antara pemberi dan yang diberi. Peristiwa pidana tentu tidak dapat terjadi apabila tidak ada peran dari pemberi suap dan atau gratifikasi .

    “Sebagaimana ketentuan Pasal 5 jo. Pasal 12 huruf a dan huruf b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”), baik pelaku pemberi maupun penerima gratifikasi diancam dengan hukuman pidana,” terangnya.

    Akan tetapi, lanjutnya, menurut Pasal 12 C ayat (1) UU Tipikor, gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak akan dianggap sebagai suap apabila penerima gratifikasi melaporkan kepada KPK. Pelaporan tersebut paling lambat adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi.

    Selanjutnya, yang dapat di pahami bersama bahwa pemberi gratifikasi melakukan upaya gratifikasi tentu dengan maksud agar pemberi ghratifikasi memperoleh harapan pula untuk mendapatkan sesuatu dari penerima gratifikasi.

    Dirinya membuat analogy pembanding yakni sangat tidak masuk logika misal seorang pengusaha, memberikan grtaifikasi kepada penyelenggara negara dengan kerelaan dan tidak dengan maksud untuk memperoleh suatu tujuan tertentu. Tentu hal ini sangat tidak mungkin.

    Olehkarenamya dapat diambil kesimpulan bahwa tindak pidana pemberian gratifikasi hanya dapat terjadi oleh karena adanya niat dan keinginan bersama untuk memperoleh keinginan bersama dengan kesepakatan bersama kedua belah pihak.

    Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Kadishub Cilegon UDA, telah ditetapka tersangka dan dilakukan penahanan oleh Kejaksaan Negeri Cilegon dengan dugaan menerima uang sebesar Rp531 juta terkait perizinan parkir di Pasar Kranggot. (LUK/BAR/RUL)

  • ‘Di-bully’, Jadi Alasan Hukuman Juliari Diringankan

    ‘Di-bully’, Jadi Alasan Hukuman Juliari Diringankan

    JAKARTA, BANPOS- Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan terhadap eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara.

    Dalam hal yang meringankannya, hakim menilai Juliari sudah menderita dikarenakan mendapat rundungan dari masyarakat.

    Dalam persidangannya sendiri, Hakim menyatakan Juliari P. Batubara telah terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

    “Menyatakan terdakwa Juliari P. Batubara telah terbukti secara sah dengan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi,” ujar Ketua Majelis Hakim M. Damis saat membacakan amar putusan.

    Juliari juga dijatuhi hukuman berupa uang pengganti sejumlah Rp14,59 miliar. Apabila Juliari tidak membayar uang pengganti dalam kurun satu bulan setelah putusan pengadilan, maka harta bendanya akan disita dan bila tidak mencukupi, Juliari akan diganjar pidana badan selama 2 tahun.

    Hakim pun memberikan hukuman berupa pencabutan hak politik selama 4 tahun, setelah Juliari selesai menjalani pidana pokok.

    Juliari dinyatakan terbukti menerima Rp32,48 miliar dalam kasus suap bansos Covid-19 wilayah Jabodetabek tahun 2020. Uang suap itu diterima dari sejumlah pihak.

    Rinciannya, sebanyak Rp1,28 miliar diterima dari Harry van Sidabukke, Rp1,95 miliar dari Ardian Iskandar M, dan Rp29,25 miliar dari beberapa vendor bansos Covid-19 lainnya.

    Dalam menjatuhkan vonis terhadap Juliari hakim mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Untuk hal yang memberatkan, perbuatan Juliari dinilai dapat dikualifikasi tidak ksatria.

    “Ibaratnya lempar batu sembunyi tangan. Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bahkan menyangkali perbuatannya,” beber Hakim Damis.

    Kemudian, perbuatan Juliari dilakukan dalam keadaan darurat bencana non alam yaitu pandemi Covid-19.

    “Tindak pidana korupsi di wilayah hukum Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat menunjukkan grafik peningkatan, baik kuantitas maupun kualitasnya,” keluhnya.

    Sementara yang meringankan, Juliari belum pernah dihukum. Kemudian, hakim menilai Juliari sudah cukup menderita lantaran dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat.

    “Terdakwa telah divonis oleh masyarakat telah bersalah padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ucap Damis.

    Hal meringankan lainnya, selama persidangan kurang lebih 4 bulan, Juliari hadir dengan tertib, tidak pernah bertingkah dengan macam-macam alasan yang akan mengakibatkan persidangan tidak lancar.

    “Padahal selain sidang untuk dirinya sendiri selaku terdakwa, terdakwa juga harus hadir sebagai saksi dalam perkara Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso,” tambah Hakim Damis

    Juliari terbukti melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Vonis ini, di atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).l yang menuntut Juliari dijatuhi hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Plus, membayar uang pengganti Rp14,5 miliar, dan pencabutan hak politik untuk dipilih dalam jabatan publik selama 4 tahun, setelah menjalankan pidana pokok.

    Putusan Majelis Hakim yang dipimpin M. Damis langsung mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Indonesia Corruption Watch (ICW) misalnya, menilai putusan 12 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (23/8) terhadap eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara tidak masuk akal.

    Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan putusan tersebut bahkan semakin melukai masyarakat selaku korban korupsi bansos Covid-19. Ia menilai, Juliari sepantasnya dihukum penjara seumur hidup.

    “Betapa tidak, melihat dampak korupsi yang dilakukan oleh Juliari, ia sangat pantas dan tepat untuk mendekam seumur hidup di dalam penjara,” ujar Kurnia dalam keterangannya

    Ia menjabarkan, sedikitnya terdapat empat argumentasi yang dapat mendukung penilaian hukuman tersebut. Pertama, kata Kurnia, Juliari melakukan kejahatan saat menduduki posisi sebagai pejabat publik. Sehingga, menurut dia, berdasarkan hukuman Juliari mesti diperberat berdasarkan Pasal 52 KUHP.

    Kedua, lanjutnya, praktik suap bansos dilakukan di tengah kondisi pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan betapa korupsi yang dilakukan Juliari sangat berdampak, baik dari segi ekonomi maupun kesehatan, terhadap masyarakat.

    Kemudian ketiga, hingga pembacaan nota pembelaan atau pledoi, Juliari tak kunjung mengakui perbuatannya. Padahal, dua orang yang berasal dari pihak swasta, Ardian dan Harry, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menyuap Juliari.

    Dan keempat, hukuman berat yang dijatuhkan terhadap Juliari bisa memberikan pesan kuat bagi pejabat publik lain agar tidak melakukan praktik korupsi di tengah situasi pandemi Covid-19

    “Berangkat dari hal ini, maka semakin lengkap kebobrokan penegak hukum, dalam menangani perkara korupsi bansos,” ucap Kurnia.

    Sementara itu, Penasihat Hukum eks Mensos Juliari Batubara, Maqdir Ismail mengatakan, vonis 12 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim terhadap kliennya sangat memberatkan.

    Sebab, ia menyebut, Juliari tidak pernah menerima uang suap bansos Covid-19 wilayah Jabodetabek tahun 2020, seperti yang didakwakan JPU KPK.

    “Yah, sangat berat, karena buktinya sekarang bahwa Pak Ari (Juliari) itu menerima uang? Nggak ada, selain dari pengakuan Matheus Joko Santoso dan juga Adi Wahyono,” ujar Maqdir seusai persidangan

    Lebih lanjut, kata dia, tidak ada barang bukti menyangkut perkara tersebut yang disita KPK dari Juliari.

    “Mana ada barang bukti yang disita dari dia? Kan nggak ada. Suap itu kan ada barangnya, bukan angan-angan orang gitu lho,” selorohnya.

    Maqdir menyatakan, putusan itu di luar perkiraannya. Soalnya, vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih tinggi dari tuntutan jaksa.

    Meski begitu, ia belum bisa memastikan bahwa pihaknya bakal mengajukan banding atas putusan majelis hakim tersebut. “(Banding) nanti kita lihat lah,” ucapnya.

    Sementara Juliari ogah berkomentar soal vonisnya. “Sama penasihat hukum saya ya,” tuturnya sembari menaiki mobil tahanan, di Gedung KPK Kavling C1.(OKT/AZM/RMID)

  • Enden Mahyudin : Kasus PT IPA akan Digiring di RDP

    Enden Mahyudin : Kasus PT IPA akan Digiring di RDP

    LEBAK, BANPOS – Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Lebak, Enden Mahyudin meminta agar Satpol PP segera menindak tegas kasus pembangunan pabrik kemasan oli milik PT Indo Pacific Agung (IPA), karena membangun pabrik tanpa memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

    Enden juga menyatakan, akan memanggil pihak-pihak terkait, jika Satpol PP melalui penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) tak melaksanakan aturan yang berlaku terkait Peraturan Daerah (Perda) dan akan menggiringnya ke Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi 1 DPRD Lebak.

    “Ya kami dari Komisi 1 DPRD meminta agar Satpol PP tegas menegakan aturan Perda, maupun terkait aturan perizinan dan segera memasang garis Pol PP. Yang saya tau police line Pol PP hanya dipasang di dalam, itu harusnya di luar gerbang pabrik itu,” kata Enden, Sabtu, (21/8).

    Menurut Politisi dari PDIP ini, Satpol PP Lebak melalui PPNS tentu harus menindak siapapun yang melanggar Perda, apalagi persoalan ini dinilai merugikan pendapatan daerah.

    “Oknum yang membangun tanpa izin tentu merugikan daerah, dan Satpol PP melalui PPNS harus menindak-lanjuti pelanggaran yang menyangkut Perda. Saya dapat laporan walaupun sudah dipasang line oleh Pol PP aktivitas pembangunan tetap berjalan, jadi mohon tegas dalam menegakan Perda,” tegas Enden.

    Kata dia, jika Satpol PP tidak segera mengambil tindakan dalam menegakan aturan Perda atau aturan terkait perizinan itu, pihaknya akan segera memanggil dan melakukan RDP sesuai dengan tupoksinya.

    “Kita akan bergerak sesuai dengan poksi kita di Komisi I. Jika masih saja laporan atau temuan kasus ini tidak segera ditindaklanjuti, maka kita akan segera memanggil pihak- pihak terkait untuk diundang di RDP,” paparnya.

    Seperti diberitakan BANPOS sebelumnya, Barisan Rakyat Lawan Korupsi Indonesia (Baralak) menuding pembangunan pabrik kemasan oli yang dilaksanakan oleh PT IPA yang berlokasi di Desa Citeras, Kecamatan Rangkasbitung tanpa perizinan jelas. Baralak menyebut, pekerjaan bangunan itu diduga tanpa memiliki IMB yang berpotensi merugikan pendapatan daerah.(WDO/PBN)

  • Masih Ngebandel, 4 THM Digerebeg Sound System Kembali Diangkut

    Masih Ngebandel, 4 THM Digerebeg Sound System Kembali Diangkut

    SERANG, BANPOS- Empat pengelola tempat hiburan malam (THM) yang ada di wilayah Kecamatan Kibin dan Ciruas, Kabupaten Serang nampaknya lebih memilih menantang petugas ketimbang patuh mengikuti anjuran pemerintah di masa pandemi Covid-19.

    Tercatat pengelola 4 THM nekad membuka usahanya di masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 3. Akibatnya, keempat THM yang berlokasi di jalan raya Serang -Jakarta ini digerebeg personil Polres Serang, Jumat malam hingga Sabtu dini hari.

    Para pengunjung di 4 THM itupun kocar-kacir begitu melihat kedatangan petugas. Meski banyak yang berhasil melarikan diri namun petugas berhasil menggelandang pengelola THM serta 32 pengunjung berikut wanita malam.

    Tidak hanya itu dari lokasi THM, petugas juga mengangkut 3 unit keyboard serta puluhan botol minuman keras berbagai merk.

    Keempat THM yang digerebeg yaitu The Star yang berlokasi di Kecamatan Kibin, Cafe Geros, Resto King Oloan dan Princess Queen, ketiganya berlokasi di Desa Kaserangan, Kecamatan Ciruas.

    “Kita lakukan tindakan tegas karena para pengelola THM dinilai membandel karena sudah berulang kali diingatkan jangan beroperasi di masa pandemi Covid-19, terlebih saat ini sedang diberlakukan PPKM Level 3 tapi masih beroperasi” tegas Kapolres Serang AKBP Yudha Satria kepada awak media, Sabtu (21/8/2021).

    Dikatakan Kapolres, di masa pandemi Covid-19, THM berpotensi menjadi cluster penyebaran virus corona. Kapolres juga menegaskan keberadaan THM juga banyak dikeluhkan masyarakat setempat. Selain itu, seluruh THM yang dilakukan tindakan tegas ini, juga diketahui tidak memiliki izin usaha dari pemerintah daerah.

    Oleh karena itu, Kapolres mewanti-wanti pengelola THM agar tunduk pada peraturan pemerintah jika tidak ingin dilakukan tindakan yang lebih keras lagi.

    “Saya ingatkan kembali kepada seluruh pengelola THM yang ada di wilayah Polres Serang agar taat pada peraturan, terlebih saat ini adalah masa pemberlakuan PPKM. Jika nanti beroperasi lagi akan ada tindakan yang lebih tegas lagi,” tegas Kapolres.

    Terkait seluruh barang yang diamankan, Kapolres menegaskan dirnya tidak akan mengembalikan. Sementara para pengunjung serta wanita pemandu yang diamankan, petugas telah melakukan pengambilan gambar, mencatat identitas, melakukan pembinaan serta dibuat pernyataan tidak akan melakukan hal sama.

    “Anggota sudah melakukan pengambilan gambar, baik pengunjung maupun pemandu lagu. Untuk saat ini kami beri toleransi tapi jika nanti diketahui masih mengulangi perbuatannya akan kami tindak tegas,” tandasnya. (MUF)

  • Korupsi Duit Parkir, Kadishub Cilegon Ditetapkan Tersangka

    Korupsi Duit Parkir, Kadishub Cilegon Ditetapkan Tersangka

    CILEGON BANPOS – Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilegon resmi menetapkan satu orang tersangka berinisial UDA dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan parkir di Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Cilegon.

    Diketahui tersangka keluar dari Kantor Kejari Cilegon masuk ke mobil tahanan sekitar pukul 16.35 WIB menggunakan baju tahanan berwarna merah kemudian mengenakan baju batik, topi putih dan masker hitam.

    “Intinya hari ini kami telah menetapkan tersangka atas nama inisial UDA beliau adalah Kepala Dinas Perhubungan aktif Kota Cilegon berdasarkan barang bukti dan perkembangan hasil penyidikan,” Kajari Cilegon Ely Kusumastuti kepada awak media saat konferensi pers di Kantor Kejari Cilegon, Kamis (19/8/2021).

    Lebih lanjut Ely mengatakan tersangka menerima sejumlah suap atas perijinan tempat parkir.

    “Sebesar Rp530 juta di satu titik dan Yang memberi dua pihak yang berbeda,” pungkasnya. (LUK)

  • Pegawai Kosipa di Serang Baru Ambil Sabu Dicokok Polisi

    Pegawai Kosipa di Serang Baru Ambil Sabu Dicokok Polisi

    SERANG, BANPOS- He (41), warga Desa Kramatjati, Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang, ditangkap personil Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Serang, karena kedapatan memiliki narkotika jenis sabu.

    Pria yang berprofesi sebagai bank keliling atau atau koperasi simpan pinjam (kosipa) ini ditangkap sesaat setelah mengambil sabu pesanan di pinggir jalan Desa Kaserangan, Kecamatan Ciruas, Kabupaten Serang.

    “Tersangka beralasan mengkonsumsi sabu untuk menjaga stamina agar tetap kuat karena tuntutan pekerjaan yang mengharuskan dirinya keluar masuk kampung menemui nasabahnya,” ungkap Kasatresnarkoba Iptu Michael K Tandayu kepada awal media, Kamis (19/8/2021).

    Kasat menjelaskan tersangka ditangkap pada Minggu (15/8) kemarin sekitar pukul 19.00 WIB, setelah pihaknya mendapat informasi dari masyarakat. Saat dilakukan penggeledahan, petugas menemukan satu paket sabu dari saku celanan bagian kanan.

    “Awalnya dari informasi masyarakat dan tersangka diamankan di pinggir jalan oleh tim yang dipimpin Ipda Ritonga Maulana. Saat digeledah kita temukan satu paket sabu. Tersangka mengaku pada saat ditangkap baru saja mengambil sabu pesananan,” terang Kasat.

    Dalam pemeriksaan, kata Michael, tersangka mengaku membeli sabu dari bandar yang mengaku warga Kota Serang bernama Iwan seharga Rp500 ribu.

    “Hanya saja tersangka tidak mengenal lebih dalam karena transaksi pembelian tidak secara langsung melainkan melalui telepon,” kata Kasat.

    Lebih lanjut Kasat menjelaskan pria kelahiran Palembang ini mengaku sudah tiga bulan mengkonsumsi sabu karena tuntutan pekerjaan sebagai bank keliling agar staminanya tidak cepat lelah.

    Kasat kembali mengingatkan kepada masyarak untuk tidak menggunakan narkoba, apapun jenisnya. Meski dipercaya oleh penggunanya bisa meningkatkan stamina namun efek dari menggunakan narkoba akan merusak sistem kesehatan tubuh.

    “Efek sebenarnya yang terjadi adalah merusak organ tubuh dan dapat menyebabkan kematian penggunanya,” tandas Michael. (MUF)

  • Satpam Jadi Miliarder di Korupsi Masker

    Satpam Jadi Miliarder di Korupsi Masker

    SERANG, BANPOS – Istri dari Agus Suryadinata, terdakwa dugaan korupsi pengadaan masker pada Dinkes Provinsi Banten, dalam persidangan mengungkapkan kondisi Agus sebelum dan sesudah dijalankannya proyek pengadaan masker KN-95. Dalam kesaksiannya, istri Agus, Irma Wimayanti, mengatakan bahwa suaminya sebenarnya bekerja sebagai satpam. Selain itu, Irma menegaskan bahwa suaminya pun tidak pernah bekerja di PT Right Asia Medika (RAM).

    “Bekerja sebagai satpam, enggak kerja di PT RAM,” ujar Irma kepada majelis hakim saat menjadi saksi pada sidang kasus dugaan korupsi masker di Pengadilan Negeri Serang, Rabu (18/8).

    Menurut Irma, suaminya pada sekitar Juni hingga Juli 2020 lalu, telah membeli sebuah rumah di Komplek Kidemang, Kota Serang, seharga Rp200 juta. Akan tetapi, Irma mengaku tidak tahu uang tersebut berasal dari mana.

    “Beli (lihat) dari papan jual rumah. Awalnya seharga Rp400 juta, tapi jadi Rp200 juta tunai. Enggak tau (uang dari mana). Beli dari Sumiati,” tutur Irma.

    Irma mengatakan, sejak dibeli oleh suaminya, rumah tersebut tidak lantas digunakan sebagai tempat tinggal. Namun, suaminya langsung melakukan renovasi rumah tersebut menjadi dua lantai. Rumah tersebut baru ditempati pada Januari 2021 kemarin.

    “Setelah bulan Juni direnovasi oleh suami. Enggak tahu berapa biayanya. Iya (jadi bagus), jadi dua lantai. Baru ditempati Januari 2021 kemarin. Sampai sekarang masih ditempati, tidak ada tanda disita,” jelasnya.

    Selain itu, Irma mengaku bahwa meskipun rumah yang suaminya bangun terlihat mewah, namun uang belanja dirinya setiap minggu tidak bertambah. “(Bukan bulanan) tapi mingguan. Seminggu Rp500 ribu. Bersyukur aja pak,” tandas Irma sembari tertawa kecil.

    Sebelumnya, sertifikat kepemilikan tanah senilai Rp1,9 miliar yang diberikan oleh terdakwa Agus Suryadinata kepada Dinkes Provinsi Banten, sebagai jaminan atas kelebihan bayar pengadaan masker KN-95 ternyata bukan milik Agus. Pemilik sebenarnya, Rojali, mengaku kaget sertifikat kepemilikan lahannya dijadikan jaminan oleh Agus.

    Rojali menuturkan bahwa sertifikat lahan miliknya yang dijadikan jaminan oleh Agus, merupakan lahan yang berada di Kabupaten Pandeglang dengan luas 5 ribu meter persegi. Di atasnya terdapat bangunan pasar. Menurut Rojali, tanah miliknya itu senilai Rp1,9 miliar.

    Pada saat itu, Rojali ingin menjual lahannya tersebut. Ia pun menawarkan kepada Agus, dengan pikiran bahwa mungkin saja Agus ingin membeli lahan miliknya. Dan ternyata Agus memang berminat untuk membeli lahan tersebut.

    “Pada 2020 itu, saya tawarkan kepada pak Agus. Siapa tau pak Agus, saudaranya atau kenalannya ada yang berminat. Nah waktu itu pak Agus seperti keluarganya berminat dengan harga Rp1,9 miliar,” katanya.

    Selanjutnya, Rojali menuturkan bahwa dirinya sempat menanyakan kepada Agus pada awal tahun 2021, perkembangan transaksi lahan miliknya. Agus hanya menuturkan bahwa akan ada cicilan pertama pada bulan Juni.

    “Katanya nanti akan ada cicilan di bulan Juni. Maka saya pun iyakan. Namun ternyata saat saya membaca berita di media online, ada kasus yang menjerat pak Agus sebagai tersangka,” ungkapnya.

    Hakim Ketua, Slamet, mempertanyakan bagaimana kronologis sertifikat kepemilikan tersebut bisa dipegang oleh Agus. Rojali pun mengatakan bahwa dirinya terlalu percaya dengan Agus, sehingga memberikan begitu saja sertifikat kepemilikan lahan yang ia punya.

    “Jadi enggak ada cicilan, gak ada bukti kwitansi, tidak ada Akta Jual Beli (AJB). Jadi tidak ada peralihan kepemilikan. Saya begitu yakin pak Agus, relasinya atau keluarganya memang ingin membeli lahan milik saya,” tuturnya.

    Rojali mengaku kenal dengan Agus sejak lama. Namun pertemuan intens dengan Agus terjadi sejak tahun 2019 hingga 2020. Saat itu, ia sedang mengerjakan konstruksi bangunan milik Agus.

    “Pertengahan 2020 itu melakukan pembangunan. Saya yang disain. Dari rumah yang tidak layak huni, saya bangun menjadi dua lantai. Nilainya itu Rp1 miliar,” katanya.

    Ia pun mengaku kecewa dengan tindakan Agus yang membohongi dirinya, dan menjadikan sertifikat kepemilikannya sebagai jaminan atas kasus dugaan korupsi pengadaan masker. Sebab, Agus sama sekali tidak menyinggung hal itu.

    “Sama sekali tidak pernah ada (menyinggung jaminan Dinkes). Sayang pak Agus membohongi saya. Katanya lahan mau dijual, tapi ternyata menjadi jaminan. Itu tanah warisan saya, saya akan melakukan gugatan,” tandasnya.(DZH/ENK)