Kategori: INDEPTH

  • Membidik Industri Tapi Gagap Sendiri

    Membidik Industri Tapi Gagap Sendiri

    Ditetapkannya Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 8 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Serang Tahun 2020-2040 (Perda RTRW) belum terlihat kemajuan implementasinya, terutama dari segi zona industri yang menjadi satu hal paling disorot dalam perda ini.

    Walaupun berdasarkan dokumen Perda RTRW yang BANPOS miliki, disebutkan bahwa tujuan dari Perda ini adalah untuk mewujudkan daerah sebagai pusat pelayanan perdagangan dan jasa, pendidikan, dan pariwisata religi di Provinsi Banten yang produktif dan berkelanjutan serta meningkatkan dan mendukung potensi investasi sebagai PKN (Pusat Kegiatan Nasional).

    Dari tujuan yang terdapat pada pasal 5 ayat 1 tersebut, terlihat bahwa sesungguhnya Kota Serang tidak berencana untuk serta merta menjadi kota industri, setidaknya hingga tahun 2040 nanti.

    Selain itu, pada pasal 6 tentang kebijakan dan pasal 7 tentang strategi, dalam perda tersebut juga tidak menyebutkan kaitan terkait kawasan industri. Namun pada pasal 34, muncul tentang Kawasan Peruntukan Industri yang hanya memiliki 3 ayat dengan 6 butir penjelasan, dimana pada ayat 2 disebutkan bahwa kawasan peruntukan industri dicanangkan memiliki luas paling rendah 1.053 hektar yang diarahkan di Kecamatan Kasemen dan Walantaka

    Di Kecamatan Walantaka, Pemkot Serang menyediakan lahan seluas 1.500 hektare lahan disediakan untuk dijadikan kawasan industri. Sedangkan di Kecamatan Walantaka, Pemkot Serang menyediakan lahan seluas 350 hektare.

    Dengan luas lahan yang hampir dua ribu hektare itu, Pemkot Serang menginginkan agar para investor berbondong-bondong masuk ke Kota Serang, dan menanamkan investasi dengan membangun industri-industri skala kecil dan menengah di sana. Tujuannya, untuk meningkatkan sumber pendapatan daerah, dan menyerap tenaga kerja lokal di Kota Serang.

    Salah satu sumber BANPOS di lingkungan Pemkot Serang mengatakan, minimnya investor yang melirik Kota Serang lantaran Kota Serang belum siap menghadapi perubahan RTRW, yang menjadikan Kasemen dan Walantaka sebagai kawasan industri. Pasalnya, infrastruktur menuju kawasan industri itu pun masih sangat tidak layak.

    “Sekarang begini, kalau memang Kasemen dan Walantaka akan menjadi industri sampai dengan skala sedang, aksesnya bagaimana? Padahal jalan yang mengarah ke dua daerah itu saja sangat sempit. Dilalui kendaraan pribadi saja masih sering terkena macet, apalagi kalau sudah ada kendaraan industri. Aksesnya sangat buruk,” ujarnya yang merupakan pejabat Eselon III itu.

    Menurutnya, Pemkot Serang sangat terburu-buru menjadikan kota yang sebenarnya adalah kota jasa dan perdagangan ini menjadi kota industri. Padahal seharusnya, Pemkot Serang juga memperhatikan lokasi dan akses lalu lintas ke arah kawasan industri tersebut.

    “Mungkin Walantaka akan sedikit terbantu dengan akan dibangunnya pintu keluar tol. Tapi bagaimana dengan Kasemen? Sedangkan kita tahu sendiri akses jalan ke sana juga masih kurang. Makanya saya kira Pemkot Serang ini masih terlalu terburu-buru jadi kota industri,” ungkapnya.

    Ia menuturkan, Pemkot Serang harus bisa melihat celah dan peluang untuk bisa menutupi kekurangan tersebut. Sebagai contoh, bekerja sama dengan investor-investor yang akan menanamkan modal di dua daerah tersebut, dalam hal peningkatan infrastruktur.

    “Jika menggunakan APBD, kapan bisa selesainya? Jangan sampai karena terburu-buru ingin membuat Kota Serang menjadi kota industri, malah membuat kita kebingungan sendiri karena belum siap,” ucapnya.

    Hal senada disampaikan oleh Ketua Komisi IV pada DPRD Kota Serang, Khoeri Mubarok. Politisi asal Partai Gerindra ini mengatakan bahwa pihaknya sempat bingung dengan Pemkot Serang yang menyanggupi diri menjadi kota industri, namun lupa bahwa infrastruktur Kota Serang masih belum memadai.

    “Sebenarnya kami tuh bingung. Di satu sisi ini merupakan bentuk kemajuan. Namun di sisi lain, perhatian Pemerintah Kota Serang terhadap infrastruktur sangat kurang. Terutama di Kecamatan Kasemen. Kita berbicara kawasan industri, tapi akses jalan menuju ke sana itu tidak memadai. Maka dari itu lah investor sedikit yang masuk. Karena mereka bingung, aksesnya bakal dari arah mana?” ujar Khoeri saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (23/6).

    Begitu pula dengan Kecamatan Walantaka. Menurut Khoeri, para investor pun enggan untuk menanamkan modalnya di sana lantaran mereka juga bingung akses ke sana masih sangat buruk. Padahal kebutuhan infrastruktur jalan mereka sangat tinggi.

    “Terlebih zona industri itu harus mempunyai jalan masuk standarnya kontainer 24 feet masuk. Ini kan enggak ada (luasnya sampai sesuai dengan standar),” katanya.

    Ia pun menegaskan jika Pemkot Serang memang terburu-buru dalam merubah Perda RTRW dan memasukkan wilayah industri. Padahal untuk membangun wilayah industri, dibutuhkan kerja sama dengan berbagai pihak, salah satunya Pemerintah Provinsi Banten.

    “Kalau untuk membuat wilayah industri, harusnya Pemerintah Kota menggandeng Pemerintah Provinsi. Kami ingin agar Pemerintah Kota ini menjalin komunikasi dengan Pemerintah Provinsi terkait dengan rencana tata ruang kedepannya,” kata dia.

    Komunikasi dan kerja sama menurutnya sangat penting untuk dilakukan lantaran banyak infrastruktur penunjang kawasan industri yang dirasa tidak dapat dibangun sendiri oleh Pemkot Serang, akibat keterbatasan anggaran dan kewenangan.

    “Saya contohkan, harus ada fly over penyambung dari Kota Serang ke wilayah Kasemen. Karena kalau membangun itu kan Pemkot Serang tidak bisa, anggarannya sedikit. Jadi itu bisa dilakukan oleh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Pusat. Begitu juga dengan Walantaka,” ungkapnya.

    Bahkan secara gamblang, Khori menyampaikan ketidakyakinannya kepada Pemkot Serang apabila ingin membangun kawasan industri sendiri tanpa bekerja sama dengan pihak-pihak lainnya. Ia pun membandingkan dengan kinerja Pemkot Serang dalam mengurusi masalah drainase.

    “Kalau saya pribadi, saya tidak yakin Kota Serang mampu (sendiri) dalam menyelesaikan sejumlah PR infrastruktur itu. Mengurusi drainase saja Pemkot Serang tidak sanggup. Apalagi mengurusi sendiri zona industri. Sampai hari ini skema sistem drainase Kota Serang saja masih paling buruk, bagaimana mau berjalan sendiri mengurusi zona industri,” tegasnya.

    Maka dari itu, Khoeri menegaskan bahwa Pemkot Serang kedepannya harus lebih serius lagi dalam membuat sebuah perencanaan. Sebab, hal itu membuat masyarakat menunggu akan realisasi dari rencana tersebut.

    “Kami Komisi IV ini meminta kepada Pemkot Serang ini agar lebih serius lagi dalam merencanakan terkait zona industri ini. Jangan sampai hanya sebatas keinginan dan janji-janji saja. Karena masyarakat ini kan menunggu terkait dengan hal tersebut. Ini kan dampaknya langsung kepada perekonomian masyarakat,” ucapnya.

    Khoeri mengatakan, DPRD Kota Serang mencoba secara maksimal mengawal pembangunan kawasan industri tersebut. Bahkan menurutnya, saking tidak seriusnya Pemkot Serang dalam mengurusi persoalan kawasan industri, sejumlah hal-hal yang tidak dipikirkan oleh Pemkot Serang untuk menunjang keberadaan kawasan industri harus dipikirkan langsung oleh DPRD Kota Serang.

    “Termasuk Raperda Pembangunan Industri, ini merupakan inisiatif dari dewan, bukan dari Pemkot Serang. Memang banyak Raperda yang diinisiasi oleh DPRD Kota Serang, yang itu bahkan tidak dipikirkan oleh Pemkot Serang,” tegasnya.

    Dalam Raperda Pembangunan Industri itu, pihaknya mendorong sistem pengelolaan zona industri ini berbasis BUMD. Sehingga, skema industri yang dibangun nantinya mewajibkan Pemerintah Kota Serang hadir secara langsung.

    “Terkait dengan pengelolaan airnya, pengelolaan sampahnya, pengelolaan terkait dengan limbah B3-nya. Tapi sampai sekarang kami belum mendapat updatenya. Jadi persiapan Kota Serang dalam menghadapi zona industri ini belum maksimal. Bahkan bisa dibilang tidak serius dalam menghadapinya,” ucap dia.

    Jika memang Pemkot Serang serius dalam merealisasikan Kecamatan Kasemen dan Walantaka menjadi kawasan industri, seharusnya sejak awal revisi RTRW dibahas dan pada akhirnya disahkan di penghujung tahun 2020, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait langsung melakukan sinkronisasi perencanaan pembangunan dengan RTRW yang baru.

    “Nah sampai hari ini kan kami belum melihatnya. Yah mudah-mudahan Pemkot Serang ke depannya ini lebih matang dalam perencanaannya. Lebih mementingkan hal prioritas yang memang menyentuh langsung kepada masyarakat,” tegasnya.

    Walikota Serang, Syafrudin, mengakui hal tersebut. Orang nomor satu di Kota Serang itu mengatakan bahwa kondisi infrastruktur jalan untuk menunjang operasional industri di Kecamatan Kasemen dan Walantaka memang belum memadai.

    “Karena memang kayaknya infrastruktur yang belum memadai, kan industri itu kan harus besar jalannya. Jadi rencana tata ruang Provinsi itu sebenarnya akan memperlebar jalan antara Kasemen sampai ke Teluknaga, tapi sampai sekarang kan belum,” ujar Syafrudin saat diwawancara BANPOS di Puspemkot Serang.

    Akan tetapi menurutnya, hal itu hanya menjadi permasalahan bagi industri sedang saja. Untuk industri kecil, Syafrudin menuturkan bahwa hal itu tidak menjadi masalah. Bahkan ia mengklaim bahwa sudah ada sejumlah industri kecil yang hendak membangun di dua Kecamatan itu.

    “Tapi kalau industri kecil sudah mulai sih, sebab sudah mulai pembebasan-pembebasan lahan di situ, hanya belum berdiri saja,” terangnya.

    Menurut mantan Kepala DLH Kota Serang tersebut, selain permasalahan jalan yang kurang lebar untuk bisa dilalui oleh kendaraan industri, permasalahan pun muncul lantaran adanya terowongan pada akses jalan menuju Kecamatan Kasemen.

    “Jadi itu yang menjadi kendala, mudah-mudahan kedepan bisa diperlebar  Sebetulnya tinggal pengembangan infrastruktur saja,” ucapnya.

    Untuk akses pintu tol agar dapat mempermudah mobilisasi kendaraan industri, Syafrudin mengatakan bahwa Pemprov Banten sudah berjanji akan membangun gerbang tol di Kecamatan Walantaka.

    “Akses itu akan dibuat oleh Provinsi, sodetan dari Cikeusal sampai Boru. Tapi umpamanya akses dari Ciruas itu mah sudah bagus sebetulnya,” tandasnya.(DZH/PBN)

  • Maladministrasi Gerbang Korupsi

    Maladministrasi Gerbang Korupsi

    PRAKTIK manipulasi tanggal dokumen atau backdate pada dokumen negara disebut telah masuk ke dalam ranah maladministrasi. Sementara maladministrasi merupakan bentuk perbuatan melawan hukum dan gerbang awal terjadinya tindak pidana korupsi (Tipikor).

    Hal itu disampaikan oleh Kepala Keasistenan Pemeriksaan Laporan Ombudsman Banten, Zainal Muttaqin. Kepada BANPOS, Zainal menuturkan bahwa temuan adanya praktik backdate pernah viral di Indonesia, ketika Ombudsman RI menemukan praktik tersebut pada proses Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) KPK RI.

    “Jika akang mengikuti, kami pernah tindak lanjut TWK di KPK. Kami menemukan maladministrasi dalam bentuk tanggal mundur pembuatan surat perjanjian kerjasama antara KPK dengan BKN. Kami nyatakan itu maladministrasi. Kenapa? Karena maladministrasi itu merupakan perbuatan melawan hukum,” ujarnya saat diwawancara melalui sambungan telepon.

    Ia menuturkan, maladministrasi bukanlah sesuatu yang bisa diremehkan. Pasalnya, maladministrasi tidak jauh berbeda dengan perbuatan melawan hukum lainnya. Terlebih maladministrasi yang terjadi pada pelayanan publik.

    “Kalau maladministrasinya itu tidak diperbaiki, maka bisa sampai kita usut kepada unsur-unsur pidana. Kenapa itu dilakukan, kenapa manipulasi dilakukan, kenapa tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Nah bisa saja mens rea itu karena motivasinya untuk merugikan keuangan negara atau tindak pidana korupsi,” ucapnya.

    Jenis-jenis maladministrasi pun menurut Zainal bermacam-macam. Mulai dari penyalahgunaan kewenangan hingga pengabaian terhadap kewajiban hukum.

    “Dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik, (maladministrasi) bisa dalam bentuk melampaui wewenang, atau menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari wewenang tersebut. Lalu ada kelalaian juga atau mengabaikan kewajiban hukum,” katanya.

    Ia menuturkan, dari adanya maladministrasi bukan hanya menimbulkan kerugian immateriil saja. Namun juga bisa mengarah pada terjadinya kerugian materil, baik untuk publik maupun orang-perorangan. Hal itu juga bisa terjadi pada praktik backdate yang terjadi pada Dinas PUPR.

    “Kami melihat praktik-praktik yang tidak sesuai dengan fakta hukum, kami sebut maladministrasi. Jadi tidak sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi atau tata hukum pemerintahan yang baik,” ungkap Zainal.

    Praktik manipulasi tanggal itu pun menurutnya bisa berlanjut pada unsur pidana. Sebagai contoh, ketika pelaksanaan manipulasi tanggal tersebut memberikan dampak kerugian keuangan negara, sehingga bisa dikatakan tindak pidana korupsi.

    “Jadi unsur pidananya bisa banyak, kalau misalnya surat-suratnya dibuat dengan manipulasi tanggal, bisa masuk unsur surat palsu. Kalau surat palsu itu masuk unsur pidananya, ketentuan pidananya seingat saya itu pasal 263 di KUHP,” terangnya.

    Terlebih, dokumen-dokumen pemerintahan biasanya digunakan sebagai bahan keterangan suatu kegiatan atau peristiwa. Biasanya, dokumen pemerintahan akan digunakan oleh BPK, Inspektorat maupun Aparat Penegak Hukum (APH) dalam memeriksa keabsahan kegiatan atau peristiwa.

    “Dengan dokumen kontrak yang ditandatangani tanggal mundur, itu kan kita mau bilang peristiwanya masa lalu. Itu juga masuk dalam unsur pemalsuan. Jadi kami selalu bilang, maladministrasi itu gerbang korupsi,” terangnya.

    Untuk kasus backdate yang terjadi pada Dinas PUPR Provinsi Banten, Zainal enggan mengandai-andai alasan di balik praktik tersebut. Namun apapun alasan yang disampaikan, menurutnya praktik backdate itu sudah melanggar aturan administrasi sehingga masuk kategori maladministrasi.

    “Kalau alasannya harusnya kemarin (dibuat kontrak) tapi baru bisa dilakukan sekarang, nah itu harus bisa diperdalam lagi. Kenapa kemarin tidak dilakukan? Apakah dia lalai? Maka ada unsur maladministrasi ketidak kompetenan. Ataukah dia misalnya menyimpangi prosedur, harusnya melakukan ini dulu tapi dia sudah.melakukan yang lain. Maka ada unsur penyimpangan prosedur,” ungkapnya.

    Dalam ketentuan administrasi, Zainal menuturkan bahwa jika suatu dokumen telah dinyatakan maladministrasi, maka dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Begitu pula dengan kontrak adendum yang dibuat tanggal mundur oleh Dinas PUPR Provinsi Banten.

    “Dalam ketentuan, jika kita tidak menjalankan administrasi yang baik, maka produk itu bisa dianggap tidak berkekuatan hukum. Kita perlu melihat sampai sana. Jika suratnya palsu dan dipakai, maka sudah jelas itu tidak memenuhi prosedur penerbitan surat administrasi,” tegasnya.

    Zainal mengatakan, maladministrasi masih dapat diperbaiki. Maka dari itu, Ombudsman memiliki rekomendasi tindakan korektif apabila badan publik kedapatan melakukan tindakan maladministrasi. Hal itu juga menjadi langkah pencegahan terjadinya tindak pidana oleh badan publik.

    “Namun jika ternyata memang sengaja melakukan itu, melewati prosedur tertentu atau tahapan tertentu yang diatur dalam Undang-undang, maka bisa dicari dugaan tindak pidana atau pemalsuan. Kan bisa jadi itu menguntungkan sebagian pihak,” terangnya.

    Tindakan korektif tersebut menurutnya tetap harus dilakukan sesuai dengan aturan Perundang-undangan yang berlaku. Tindakan itu pun harus bisa memenuhi hak dari para pelapor atau pengadu yang datang ke Ombudsman, dalam hal temuan itu berdasarkan hasil laporan.

    “Kalau misalkan tindakannya dengan menerbitkan surat baru dan membatalkan surat yang lama, selama itu dimungkinkan maka tidak jadi masalah. Namun jika itu sudah sampai pada merugikan keuangan negara, kami akan langsung melakukan koordinasi dengan Aparat Penegak Hukum,” katanya.

    Dalam kasus Dinas PUPR, Zainal menuturkan bahwa sebenarnya pemerintah pun memiliki langkah untuk merubah perencanaan, jika memang hal itu yang ingin dilakukan oleh Dinas PUPR ketika melakukan backdate kontrak.

    “Perencanaan kan sudah dibuat, sudah diproyeksikan baik dari tanggalnya sampai anggarannya. Ketika tidak dilaksanakan, harus didalami dulu kenapa tidak bisa dilaksanakan. Kalaupun bergeser kan perlu diatur dulu. Kita kan dimungkinkan mengganti anggaran apabila kondisi-kondisinya waktu kita membuat perencanaan itu sudah berubah. Tapi tidak bisa langsung melakukan perubahan tanpa melakukan perencanaan ulang terlebih dulu,” tegasnya.

    Menurutnya, sejauh ini pihaknya belum pernah mendapatkan laporan dari masyarakat terkait dengan praktik backdate di pemerintahan. Namun, pihaknya pernah menemukan kasus tersebut pada perkara laporan lain.

    “Jadi untuk laporan secara khusus soal manipulasi tanggal, memang tidak secara khusus dilaporkan kepada Ombudsman. Tapi ada dari beberapa laporan pengaduan, kami temukan adanya praktik-praktik seperti itu,” ungkapnya.

    Senada disampaikan oleh akademisi Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa, Iron Fajrul Aslami. Ia mengatakan bahwa dalam persoalan Dinas PUPR, terdapat dua aspek yakni aspek administrasi dan aspek hukum.

    “Sebenarnya ada dua aspek yah. Pertama aspek administrasi sendiri. Kedua jika ini ada akibat yang serius, ada orang yang dirugikan, maka bisa masuk ke ranah hukum. Kalau dari segi administrasi, tanggal dan sebagainya, mungkin karena kekhilafan manusia, itu masih bisa untuk diperbaiki secara administrasi,” ujarnya.

    Namun berbeda dengan aspek hukum. Menurutnya, jika manipulasi tanggal pada dokumen kontrak adendum tersebut telah merugikan masyarakat, maka bisa masuk ke ranah pidana. Terdekat, pidana pemalsuan dokumen.

    “Tapi kalau dokumen tersebut bisa merugikan orang lain, apalagi masyarakat, maka dari segi etika ataupun secara hukum administrasi, atau bisa jadi itu dokumen penting negara maka bisa masuk ke ranah pidana. Bisa masuk ke pemalsuan dokumen,” katanya.

    Menurutnya, ranah hukum pidana dirasa merupakan permasalahan terakhir yang bisa timbul akibat dari manipulasi tanggal tersebut. Ia mengatakan, jika memang masih bisa diperbaiki secara administrasi, maka sebisa mungkin untuk diselesaikan sesuai dengan koridor hukum yang berlaku.

    Menanggapi praktik manipulasi tanggal yang dilakukan oleh Dinas PUPR agar bisa mendapat dana pinjaman PT SMI, ia menuturkan bahwa yang harus menjadi fokus ialah penggunaan anggaran tersebut yang harus tepat sasaran.

    “Dana dari PT SMI itu kan ketika sudah dipinjam maka menjadi dana daerah yah. Peruntukannya untuk kesejahteraan masyarakat. Kalau memang ternyata dalam pelaksanaannya itu menyimpang, maka sudah pasti itu masuk ke dalam ranah pidana,” tandasnya. (DZH/ENK)

     

     

     

     

  • Jejak Kelam Tranggono 

    Jejak Kelam Tranggono 

    KARIR Moch. Tranggono di Pemprov Banten, termasuk luar biasa. Hanya ‘sekejap’ menjadi pejabat eselon II di lingkungan Pemprov Banten, ‘tiba-tiba’ pula ditunjuk menjadi Penjabat (Pj) Sekda Banten. Padahal rekam jejaknya di waktu yang sekejap itu justru terindikasi cukup hitam.

    Sebelum menjabat sebagai Pj Sekda Banten, yang bersangkutan adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR), setelah itu menjadi staf ahli gubernur. Jabatan Kadis PUPR dan Staf Ahli Gubernur dijabat Tranggono pada era Gubernur Banten periode 2017-2022, Wahidin Halim (WH). 

    Diketahui, M Tranggono dilantik sebagai Kadis PUPR Banten, hasil open bidding atau lelang jabatan pada tanggal 19 November 2019, setelah itu  pada tanggal 26 Agustus 2021 oleh WH  ditempatkan sebagai staf ahli gubernur. 

    Kini, sudah hampir memasuki satu bulan M. Tranggono menjabat sebagai Penjabat (Pj) Sekretaris Daerah (Sekda) mendampingi Al Muktabar yang saat ini menjabat sebagai Pj Gubernur Banten. Pengangkatan Tranggono sebagai Pj Sekda tidak berjalan mulus begitu saja, badai cobaan datang seiring perjalanan waktu, mulai dari internal ASN Pemprov Banten maupun dari eksternal.

    Pekan pertama dirinya menjabat sebagai Pj Sekda, sejumlah ASN menyampaikan keraguan kapasitas Tranggono dalam menjalankan tugasnya sebagai panglima ASN di Pemprov Banten. Mereka menganggap bahwa Tranggono tidak dapat menyelesaikan persoalan ASN yang terkotak-kotak imbas kepemimpinan Wahidin-Andika.

    “Kenyamanan Pj Sekda Banten hanya dirasakan oleh Pj Gubernur. Dan saya menduga kalau Pak Tranggono tidak mampu menyatukan ASN pemprov yang terkotak-kotak. Karena ada ASN gerbong mantan Banten 1 (Wahidin Halim), dan gerbong atau barisan mantan Banten 2 (Andika Hazrumy),” ujar salah satu ASN di lingkungan Pemprov Banten.

    Kepiawaian Tranggono dalam memimpin birokrasi pun juga diragukan. Hal itu berhembus tatkala Pj Gubernur Banten, Al Muktabar, justru kerap mendiskusikan urusan-urusan pemerintahan dengan Kepala BPKAD Provinsi Banten, Rina Dewiyanti, dibandingkan dengan Tranggono. Padahal menurut sumber BANPOS, seharusnya Al mendiskusikan permasalahan tersebut dengan Tranggono dibandingkan dengan Rina.

    Bahkan, Tranggono disebut meninggalkan jejak hitam pada saat dirinya memimpin Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Provinsi Banten. Setidaknya, terdapat tiga jejak hitam yang Tranggono tinggalkan pada OPD dengan anggaran yang cukup besar tersebut, yakni pemangkasan anggaran PUPR pada saat refocusing anggaran hampir 80 persen pada program pemeliharaan jalan dan jembatan yang disebut akibat Tranggono absen dalam rapat pembahasannya, penerbitan Surat Perintah Kerja (SPK) bodong yang disebut diketahui oleh Tranggono namun tidak diambil tindakan, dan rekayasa dokumen kontrak adendum dengan cara pembuatan tanggal mundur.

    Berdasarkan sumber BANPOS, pada saat pelaksanaan rapat refocusing anggaran pertama pada tahun 2020, Wahidin Halim (WH) yang pada saat itu masih menjabat sebagai Gubernur Banten, mengumpulkan para pejabat Pemprov Banten untuk membahas pergeseran anggaran. Namun pada saat itu, Tranggono yang menjabat sebagai Kepala DPUPR tidak hadir.

    “Makanya pak WH marah dan memangkas anggaran pemeliharaan jalan dan jembatan sampai 80 persen,” ujarnya.

    Dalam rilis yang dipublikasikan oleh Dinas PUPR Provinsi Banten, pada tahun 2020, Dinas PUPR memiliki anggaran untuk pemeliharaan jalan dan jembatan sebesar Rp101.570.146.900. Namun setelah refocusing, anggaran tersebut menyusut hingga hanya tersisa sebesar Rp28.622.540.450, atau berkurang sebesar 72 persen dari pagu awal.

    Pada November tahun 2021, Tranggono terseret dalam dugaan 103 Surat Perintah Kerja (SPK) bodong di Dinas PUPR. Nama dan tandatangnya tertera dengan sangat jelas dalam SPK tersebut. HIngga kini, tidak ada pengusutan terhadap kasus itu.

    Tak kurang dari 40 kontraktor lokal yang tergabung dalam Forum Pengusaha Palka merasa tertipu oleh oknun pegawai di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Banten. Mereka mengaku kecele, serta tak berdaya. Pasalnya uang  Rp3 miliar lebih telah masuk  ke kantong oknum pegawai Dinaa PUPR melalui transfer bank maupun cash atau langsung.

    Hanya dengan dijanjikan proyek dengan pola penunjukan langsung (PL) di PUPR tahun 2021 ini, pengusaha tersebut rela mengeluarkan uang setoran  sebesar 20 persen. Sementara satu pengusaha mendapatkan 2 atau tiga paket, bahkan ada beberapa yang dapat lima sampai 16 paket.

    “Semoga Pak Tranggono mau belajar, sehingga teman-teman OPD dapat menerimanya dengan lapang dada,” ujar seorang pengusaha yang medapatkan SPK bodong di PUPR.

    Sementara terkait dengan pemalsuan dokumen kontrak, peristiwa itu terjadi pada tahun 2021. Berdasarkan rekaman yang didapat oleh BANPOS, Tranggono yang pada saat itu sedang memimpin rapat menyampaikan kepada para peserta rapat untuk melakukan backdate atau tanggal mundur atas kontrak adendum sejumlah pembangunan proyek Pemprov Banten yang dibiayai utang Sarana Multi Infrastruktutr (SMI).

    Rapat yang dihadiri oleh para pejabat di lingkungan Dinas PUPR Provinsi Banten, kontraktor dan pengawas itu mulanya membahas terkait dengan RPJMD Provinsi yang diperkirakan tidak dapat tercapai akibat refocusing anggaran. Salah satu cara untuk keluar dari jurang kegagalan tersebut yakni mengambil anggaran dari hasil pinjaman kepada SMI.

    Namun untuk bisa mengambil anggaran tersebut, diperlukan sejumlah langkah sehingga pembayaran program dapat sesuai dengan waktu pencairan dana pinjaman tersebut. Salah satu langkah yang disampaikan oleh Tranggono yakni dengan cara backdate kontrak adendum. Mulanya, backdate kontrak bakal dilakukan dengan tanggal mundur 1 Januari.

    Namun, dalam rapat yang diduga berlangsung pada April 2021 itu, akhirnya disepakati tanggal yang digunakan yakni tanggal yang sesuai dengan kontrak adendum yang dilakukan oleh Bidang Bina Marga. Hal itu karena sejumlah dokumen sudah diambil oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Inspektorat.

    “Jadi rencana kami adalah dengan membuat backdate tanggal 1 Januari (2021). Tapi ada pertimbangan juga kemarin, salah satunya bahwa bahan itu sebagian sudah diambil oleh BPK, Inspektorat. Jadi kalau tidak ada kendala lain, akan kita buat sama dengan Bina Marga, akan dilakukan pada 1 Maret (2021),” ujar Tranggono dalam rekaman yang dimiliki BANPOS.

    Tranggono pun menyampaikan kepada para Kabid di lingkungan Dinas PUPR Provinsi Banten, agar adendum dengan backdate 1 Maret tersebut dapat segera berjalan. Selain mengakali tanggal kontrak adendum, Tranggono juga memerintahkan agar para anak buahnya melakukan pemberhentian sementara kontrak pekerjaan.

    Namun meski kontrak pekerjaan diberhentikan sementara setelah dilakukan adendum, para kontraktor tetap diminta untuk melanjutkan pekerjaan tersebut hingga tuntas. Sebab jika tidak dikerjakan, maka para kontraktor berpotensi menghadapi persoalan pembengkakan biaya operasional. Meski demikian, pembayaran yang dilakukan oleh Dinas PUPR tetap menunggu anggaran dari PT SMI cair.

    “Saran saya demikian. Kalau bapak ibu menunda pekerjaan, overhead makin tinggi, biaya operasional makin tinggi. Saya yakin bapak ibu masih punya kapasitas, paling tidak diselesaikan sesuai dengan targetnya. Maka nanti akan saya berikan surat pemberhentian sementara dan juga adendum, supaya bapak ibu ini tidak terkena denda. Saya tidak ikhlas jika bapak ibu terkena denda,” katanya.

    Tranggono menyampaikan bahwa langkah manipulasi tanggal kontrak tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya temuan oleh pihak Inspektorat maupun BPK. Terlebih, Pemprov Banten menurutnya sedang berada pada tren sedikit temuan pada saat itu.

    “Ini trennya sedang turun masalah temuan. Mungkin ini ada hikmahnya juga, kesempatan ini yuk kita sama-sama bereskan administrasi agar tidak ada temuan-temuan yang memberatkan kita,” ucap Tranggono kepada para peserta rapat.

    Berdasarkan informasi yang didapat BANPOS, Inspektorat mengetahui terkait dengan adanya praktik manipulasi tanggal tersebut. Namun, tidak ada langkah yang diambil oleh Inspektorat berkaitan dengan hal itu.

    BANPOS mencoba melakukan konfirmasi kepada pihak Inspektorat terkait dengan hal itu. Akan tetapi selama tiga hari BANPOS mendatangi kantor Inspektorat Provinsi Banten, tidak berhasil bertemu dengan Inspektur Provinsi Banten, Muhtarom, maupun Sekretaris Inspektorat Provinsi Banten, Nia Karmina Juliasih.

    “Maklum pak namanya juga pejabat, pasti sibuk,” ujar salah satu staf di kantor Inspektorat. BANPOS pun mencoba melakukan konfirmasi melalui pesan WhatsApp baik kepada Muhtarom maupun Nia. Akan tetapi, tidak ada respon dari keduanya hingga berita ini diterbitkan.

    Pj Sekda Provinsi Banten, Tranggono, saat dikonfirmasi oleh BANPOS membantah terkait dengan adanya praktik mundur tanggal pada pelaksanaan penandatanganan kontrak adendum saat dirinya menjabat sebagai Kepala Dinas PUPR.

    “Kalau ada tolong kasih tahu. Di sana kami melakukan backdate itu tidak ada. Yang jelas seperti ini, kemarin itu kan ada kaitannya dengan belum selesai (pembayaran). Saya melihat adanya proyek yang diutangkan, kami bayarkan,” ujarnya kepada BANPOS.

    Tranggono pun merespon sejumlah persoalan lain yang menerpa dirinya saat menjadi Pj Sekda. Seperti persoalan sejumlah pihak yang menuturkan bahwa pengangkatan dirinya telah melanggar aturan. Ia menuturkan bahwa dirinya hanya menjalankan tugas dari pimpinan saja. Kritik tersebut pun menjadi motivasi bagi dia untuk bekerja.

    Terkait dengan isu Al Muktabar yang kerap berkomunikasi dan berkoordinasi dengan Rina ketimbang dirinya, Tranggono anggap wajar. Sebab, hal itu merupakan gaya kepemimpinan dari Al Muktabar agar para bawahannya solid.

    “Komunikasi ini kan berbeda-beda caranya. Saya lihat pak Pj ini dengan bawahannya ini lebih solid, dia mencoba untuk bagaimana bisa lebih baik lagi. Ya kan orang lain melihatnya demikian, tapi kan saya tidak pernah cerita,” tuturnya.

    Sedangkan terkait dengan perpecahan di kalangan ASN, menurut Tranggono sudah tidak ada. Sebab bagi para ASN, mengikuti atasan merupakan sebuah kewajiban, sebagaimana sumpah Sapta Prasetya Korpri yang diucapkan pada saat pengangkatan para ASN.

    “Isu perpecahan saya pikir wajar. Kata kuncinya adalah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman. Ini kan isunya terkait dengan komunikasi. Tapi saya rasa perpecahan ini sudah tidak ada. Kita ini ASN loyal terhadap pimpinan, begitu juga dengan pimpinan baru,” tandasnya.(DZH/RUS/ENK)

  • Aturan Melarang Pemerintah Membutuhkan

    Aturan Melarang Pemerintah Membutuhkan

     

    SEJUMLAH pemerintah daerah di Banten menyadari harus mematuhi aturan soal penghapusan pegawai honorer di lingkungannya masing-masing. Namun, ada kebutuhan pegawai yang tak bisa dipenuhi oleh kuota penerimaan ASN sehingga pemerintah daerah masih menunggu aturan teknis agar penerapan aturan itu tak menimbulkan kerugian bagi daerahnya.

    Sekretaris Daerah (Sekda) Lebak, Budi Santoso saat dikonfirmasi BANPOS membenarkan sudah ada surat edaran dari Kemenpan/RB untuk segera menyusun kebijakan ke arah itu. Namun menurut Budi, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak saat ini tidak akan gegabah melakukan keputusan ke arah tersebut sebelum ada solusinya. Selain itu keberadaan pegawai honorer itu sangat dibutuhkan pemerintah.

    “Pemkab Lebak akan hati hati dalam menyikapi dan akan mencari solusi terbaik untuk temen temen tenaga non ASN. Tenaga honorer selama ini direkrut karena kekurangan kebutuhan SDM di beberapa perangkat daerah, jadi jelas tenaga mereka dibutuhkan oleh pemda,” terang Sekda.

    Budi menyebut, pihaknya masih melakukan pendataan berdasarkan pendidikan dan masa kerja mereka menjadi honorer, hal ini buat pertimbangan alih status mereka ke PPPK.

    “Saat ini Pemkab sedang menginventarisir tenaga honorer berdasarkan kualifikasi pendidikan dan berapa lama mereka menjadi tenaga honorer. Ini akan digunakan sebagai bahan pertimbangan pengusulan formasi PPPK, tentunya itu sesuai dengan kemampuan keuangan pemda, kecuali ada penambahan anggaran khusus dari pemerintah pusat untuk penggajian PPPK,” kata Budi.

    Terpisah, Kepala BKPSDM Kabupaten Pandeglang, Moch Amri meyakinkan, penerimaan honorer yang dilakukan Pemkab Pandeglang sangat terencana dan sesuai dengan kebutuhan.

    Upaya tersebut, kata dia, sengaja dilakukan Pemkab Pandeglang, karena pada beberapa tahun lalu masih banyak Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang kekurangan pegawai seperti dilingkungan Dinas Pendidikan yakni tenaga guru.

    “Waktu itu dan hingga saat ini kekurangan guru masih terjadi. Makanya, sebelum ada peraturan pelarangan pengangkatan honorer, di kita masih ada beberapa sekolah yang melakukan pengangkatan honorer secara mandiri,” katanya.

    Menurutnya, keberadaan honorer Pemkab Pandeglang yang saat ini ada, begitu sangat membantu. Terutama mereka yang ditempatkan di bagian pelayanan yang minim pegawainya.

    “Tentunya di setiap pengangkatan pegawai ada prosesnya. Selain memenuhi syarat pendidikan, mereka yang diangkat juga merupakan orang-orang yang dibutuhkan. Tidak asal copot begitu saja, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan,” ujarnya.

    Walikota Cilegon Helldy Agustian mengatakan, kemungkinan terkait penghapusan tenaga honorer akan dibahas di Pertemuan Apeksi Agustus 2022 mendatang. “Ini (Wacana penghapusan tenaga honorer) jadi salah satu bahan masukan di pertemuan Apeksi,” kata Helldy, Senin (6/6).

    Lebih lanjut, Helldy mengatakan, setiap tahun ratusan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemkot Cilegon pensiun. Sedangkan, yang diangkat menjadi PNS hanya sekitar puluhan. “Setiap tahun ratusan yang pensiun, tahun kemarin saja yang jadi PNS 69 orang doang, kalau tidak rekrut honorer kita kekurangan,” ujarnya.

    Helldy menambahkan, keberadaan tenaga honorer sangat membantu jalannya birokrasi dan pelayanan publik. Adanya pengangkatan tenaga honorer dinilai sudah sesuai kebutuhan Pemkot Cilegon. Tenaga honorer sendiri bekerja di bidang teknis maupun administratif pemerintahan. “Kalau tidak (mengangkat honorer) akan kekurangan terus, ini kan sesuai kebutuhan,” pungkasnya.(DZH/LUK/WDO/DHE/ENK)

     

  • Guru Hingga Satpol PP Terancam

    Guru Hingga Satpol PP Terancam

     

    PENGHAPUSAN tenaga honorer dari sistem kepegawaian di daerah, diyakini akan memberi dampak besar terhadap sektor pendidikan dan kesehatan. Karena, dari 17.000 tenaga honorer di Pemprov Banten, 10 ribu diantaranya merupakan guru dan tenaga kesehatan.

    Seperti yang disampaikan oleh Kepala Sekolah SDN Wirana Pasir, Asep Saepul Rohman. Ia mengatakan bahwa di sekolah yang dirinya pimpin, setidaknya terdapat sebanyak sembilan tenaga honorer terdiri atas guru, operator sekolah dan penjaga sekolah.

    “Memang saya tidak tahu kapan terakhir kali perekrutan honorer, karena saya baru menjabat. Cuma rata-rata honorer yang bekerja di sini itu mayoritas di atas lima tahun (pengabdiannya). Jumlah honorer guru 7, operator sekolah satu dan penjaga sekolah satu,” ujarnya kepada BANPOS.

    Menurutnya, apabila tenaga honorer benar-benar dihapuskan sementara tidak ada kejelasan mengenai nasib para tenaga honorer yang telah lama mengabdi, maka sekolahnya pun akan kekurangan tenaga dalam menjalankan tugasnya.

    “Yang jelas kalau dengan mekanisme dan peraturannya diberlakukan (penghapusan tenaga honorer), pasti kekurangan guru. Sangat pasti itu. Karena jumlah PNS dan PPPK itu masih dikatakan kurang,” ucapnya.

    Di SDN Wirana Pasir menurutnya, hanya terdapat lima guru PNS saja. Itu pun termasuk dirinya yang merupakan Kepala Sekolah. Sedangkan rombongan belajar (rombel) berjumlah delapan rombel. Hal itu pun membuat keberadaan guru honorer sangat membantu proses belajar mengajar.

    “Sangat membantu sekali, karena kami ini kekurangan guru. Ada yang gurunya menjadi guru kelas, ada yang menjadi guru mata pelajaran. Meskipun di SD itu guru sifatnya borongan, namun karena jumlah PNS di sekolah kami itu hanya lima, itu pun termasuk Kepsek, maka tidak bisa dipegang semua. Sedangkan rombel itu delapan, makanya jadi kurang,” terangnya.

    Maka dari itu, ia meminta kepada pemerintah agar dapat memberikan solusi terbaik bagi para tenaga honorer yang bekerja di dunia pendidikan. Karena jika tidak ada solusi, maka dipastikan dunia pendidikan akan kekurangan tenaga pengajar.

    “Harapan saya dari peraturan tersebut, bisa ada kebijakan lain yang dapat mendukung status keberadaan mereka. Tetap diakui pemerintah, kesejahteraannya bisa lebih diperhatikan, dan kalau bisa diangkat menjadi PPPK atau PNS,” harapnya.

    Terpisah, kegundahan pun muncul di kalangan guru honorer yang sudah terdaftar di Dapodik Dinas Pendidikan Lebak. Ketua Asosiasi Guru Honorer Pendidikan Agama Islam (AGHPAI) Lebak, Edi Cahya Purnama kepada BANPOS mengharapkan agar keberadaan guru yang sudah masuk Dapodik dan di BKP-SDM Lebak segera diangkat statusnya menjadi PPPK. 

    “Ini sebenarnya kekhawatiran. Apalagi kabupaten Lebak Tahun ini katanya tak membuka rekrutmen. Jadi kita para guru honorer yang sudah mencapai nilai ambang batas dan dinyatakan lulus passing grade pada seleksi tahap 1 dan 2 Tahun 2021 tapi belum dapat formasi. Ini kita masih nunggu kebijakan yang terbaik tahun ini dari pemerintah,” ungkap Edi, Kamis (9/6).

    Selain sekolah, OPD yang terdampak atas penghapusan tenaga honorer ialah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Bahkan, mayoritas anggota Satpol PP terdiri atas para tenaga honorer. Persentasenya bisa mencapai 75 persen dari jumlah anggota.

    Kepala Satpol PP Kota Serang, Kusna Ramdani, mengatakan bahwa jika tenaga honorer benar-benar dihapus, maka pihaknya akan sangat terdampak. Bahkan menurutnya bukan hanya Satpol PP saja, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) dan Dishub pun dipastikan akan terdampak, karena mayoritas berisi tenaga honorer.

    “Semua pasti sama kena, cuma kami belum tahu nih karena pusat yang mencarikan solusi, termasuk provinsi. Jadi kami ikut saja bagaimana solusinya,” ujarnya.

    Pada Satpol PP Kota Serang, terdapat 180 anggota yang berstatus honorer. Karena Satpol PP Kota Serang juga membidangi Pemadam Kebakaran (Damkar), maka honorer di Damkar pun turut dihitung. Setidaknya, terdapat 70 anggota Damkar Kota Serang yang berstatus honorer.

    “Jadi total seluruhnya ada 250 orang. Posisinya sama sih dengan di Dishub dan di DLH, banyak tenaga honorernya,” ungkap Kusna.

    Sejauh ini, Kusna mengaku bahwa belum ada arahan maupun rapat koordinasi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat maupun Pemprov Banten. Sebab menurutnya, Pemerintah Pusat maupun Pemprov Banten pun terkendala aturan yang sama.

    “Kalau kami sih sudah menyarankan untuk diangkat menjadi PPPK. Cuma kan belum ada jawabannya dari pusat. Karena PPPK itu kan diprioritaskan untuk guru, penyuluh dan tenaga kesehatan. Kami mah sudah mengusulkan,” ucapnya.

    Dengan dihapuskannya tenaga honorer, Kusna menuturkan bahwa dapat berdampak pada hilangnya 250 pasukan Satpol PP dan Damkar Kota Serang. Termasuk juga DLH yang akan kehilangan tenaga kebersihan, dan juga Dishub.

    “Makanya saya harap ada solusi yang terbaik gitu dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat memang harus memikirkan daerah juga bahwa kita ini kekurangan pegawai. Untuk tindaklanjut itu sebenarnya ada di BKPSDM yah,” terangnya.

    Senada disampaikan oleh Kepala Satpol PP Provinsi Banten, Agus Supriyadi. Ia mengatakan, terdapat sebanyak 252 anggota Satpol PP Provinsi Banten yang berstatus pegawai honorer. Opsi dialihkan menjadi PPPK maupun ASN pun telah digaungkan, akan tetapi masih belum ada kejelasan.

    “Pemprov Banten terus melakukan konsolidasi dengan MenpanRB terkait dengan penyelesaiannya. Karena kan ada dua opsi penyelesaiannya, memetakan mana yang bisa non PNS menjadi PPPK atau PNS. Atau mengambil langkah strategis tentang non PNS yang tidak bisa ditempatkan sebagai PPPK dan PNS,” ucapnya.

    Agus mengaku telah beberapa kali melakukan koordinasi dan konsultasi dengan KemenpanRB terkait dengan kuota khusus PPPK dan PNS bagi Satpol PP. Akan tetapi hal tersebut pun agak sulit lantaran belum ada formasi bagi Satpol PP pada PPPK. Jika persoalan itu tidak segera didapatkan solusi, maka Satpol PP Banten berpotensi kehilangan 3/4 kekuatan personelnya.

    “Bisa dua sampai tiga kali lipat pasukan Satpol PP itu non PNS. Itu yang sebenarnya harus bisa dipikirkan juga, karena Satpol PP itu harus PNS. Sementara jabatan fungsional (PPPK) yang bisa diduduki oleh Satpol PP ini belum ada,” tandasnya. (DZH/LUK/WDO/DHE/ENK)

  • TOLAK OUTSORCING, MINTA DIPERJUANGKAN

    TOLAK OUTSORCING, MINTA DIPERJUANGKAN

    OPSI outsourcing maupun opsi dijadikan sebagai pelaku UMKM pun mendapatkan penolakan dari Forum Pegawai Non-PNS Banten. Mereka menilai bahwa opsi tersebut sama saja memberikan ketidakpastian status terhadap mereka yang telah lama mengabdi di Provinsi Banten.

    Hal itu disampaikan oleh Ketua Forum Pegawai Non-PNS Banten, Taufik Hidayat. Melalui pesan WhatsApp, Taufik mengatakan bahwa pihaknya kerap diajak berdiskusi untuk memberikan masukan, akan tetapi masukan tersebut sama sekali tidak didengar.

    “Saya sangat tidak sepakat dan tidak setuju. Karena memang dari awal kami sudah diminta berbagai masukan, tapi pada kenyataannya tidak dilibatkan dalam hal itu,” ujarnya kepada BANPOS.

    Menurutnya, opsi outsourcing bagi para pegawai honorer pun sangat tidak relevan. Pasalnya, hal itu membuat para pegawai honorer yang telah lama mengabdi di Provinsi Banten, akan kehilangan kepastian status mereka.

    “Ini sangat-sangat bukan solusi yang relevan. Justru kami sangat kecewa karena harapan dari teman-teman bisa mengabdi di Banten ini bisa ada kejelasan status, yang bisa diperjuangkan oleh pemerintah provinsi. Tapi pemprov malah memberikan solusi seperti itu. Maka kami sangat tidak setuju mengenai solusi tersebut,” tegasnya.

    Ia mengatakan, Pemprov Banten seharusnya dapat berdiri bersama dengan para pegawai honorer, untuk mendorong kepada Pemerintah Pusat agar ada otonomi khusus di bidang kepegawaian, sehingga para pegawai honorer pun mendapatkan kepastian status.

    “Harapan kami itu, selain Pemprov membuat pemetaan jabatan, mereka melakukan langkah-langkah konkret untuk membuat tindakan ke pemerintah pusat. Artinya meminta kepada pemerintah pusat untuk memberikan otonomi kepada daerah, agar kewenangan daerah itu dispesialkan. Jangan sampai teman-teman ini jadi korban peraturan gitu,” ungkapnya. 

    Terpisah, salah seorang honorer Bagian Humas dan Protokol Pemkab Pandeglang, Aldi mengatakan, terkait dengan adanya wacana penghapusan tenaga honorer oleh pemerintah pusat tersebut, pihaknya merasa keberatan.

    “Saya sudah bekerja sekian lama, tapi tiba-tiba pemerintah pusat menghapus tenaga honorer. Lalu kami yang sudah bekerja begitu lama tidak diberikan penghargaan dengan adanya penghapusan tersebut, minimal ada kebijakan untuk diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),” kata Aldi kepada BANPOS, Kamis (9/6).

    Sementara itu, salah seorang pegawai honorer yang bertugas di kantor Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Pandeglang, Yosep meminta agar pemerintah pusat untuk memperhatikan honorer tenaga teknis adminsitrasi.

    “Kami minta pemerintah pusat dalam rekrutmen PPPK tahun 2022 membuka formasi untuk tenaga teknis administrasi, karena selama ini pegawai honor tenaga teknis administrasi juga perannya sangat penting membantu pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan terutama urusan adminsitrasi,“ katanya.

    Menurutnya, masalah honorer tidak akan pernah selesai dan tuntas apabila tenaga teknis administrasi tidak dilirik dan diperhatikan oleh pemerintah.

    “Maka dari itu saya berharap rekrutmen PPPK tahun 2022, pemerintah pusat membuka formasi bagi pegawai honorer tenaga teknis adminsitrasi,“ ujarnya.

    Salah seorang pegawai staf honorer di salah satu kecamatan di Lebak selatan (Baksel) mengungkapkan, dirinya merasa putus harapan jika keberadaan status kepegawaiannya dihapus. Dirinya berharap pemerintah memberikan kebijakan yang pro honorer.


    “Saya sudah belasan tahun mengabdi di sini, sejak tahun 2004. Di kepegawaian status saya honorer tetap pemda. Kalau tahun ini saya tidak diangkat, ya udah gak ada harapan lagi. Lagian umur juga makin tua, hampir 50 tahun. Mudah-mudahan saja ada kebijakan dari pemerintah terkait nasib status saya,” ungkapnya, Kamis (9/6).(DZH/LUK/WDO/DHE/ENK)

     

  • Simalakama Honorer

    IBARAT buah simalakama, keberadaan pegawai honorer di lingkungan pemerintahan di Provinsi Banten menjadi polemik. Aturan sudah tidak memungkinkan untuk mempertahankan pegawai yang tak ada dalam hierarki kepegawaian di Indonesia. Namun, menghilangkan peran mereka tanpa solusi, bisa menimbulkan gejolak sosial.

    Diketahui, status pegawai honorer mulai akhir November 2023 akan dihapuskan di setiap perangkat pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Ini sesuai surat edaran Kemenpan/RB tertanggal 31 Mei 2022 sebagai lanjutan konsideran peraturan pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manejemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), bahwa mulai Tanggal 28 November 2023 nanti Aparatur Sipil Negara (ASN) itu hanya terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK).

    Penghapusan status pegawai honorer memberikan dampak yang signifikan bagi pemerintah daerah. Di Provinsi Banten saja, terdapat sebanyak 17 ribu pegawai honorer, yang terdiri atas 10 ribu tenaga guru dan kesehatan dan tujuh ribu pegawai honorer teknis.

    Penghapusan status tersebut selain disebut dapat menambah jumlah pengangguran, juga dapat membuat sejumlah OPD dan lembaga pemerintahan lainnya seperti sekolah, terseok-seok dalam menjalankan tugasnya.

    Penjabat Sekretaris Daerah (Pj Sekda) Provinsi Banten, Tranggono, mengatakan bahwa kebijakan penghapusan status pegawai honorer merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Dalam Peraturan MenpanRB, disebutkan bahwa Aparatur Sipil Negara (ASN) hanya terdiri atas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak (PPPK).

    Kendati demikian, Tranggono mengaku bahwa pihaknya akan tetap mencari solusi yang terbaik bagi para pegawai honorer. Sebab, hal itu sudah menjadi atensi dari Pj Gubernur Banten, Al Muktabar.

    “Teman-teman ini (honorer) kan anak-anak kita. Kita memiliki tanggungjawab agar anak-anak kami ini Wongke kalau dalam bahasa jawanya. Arahan pak Gub sudah jelas, bagaimana caranya itu tidak merugikan,” ujarnya, Kamis (9/6).

    Ia mengatakan, berdasarkan PermenpanRB, salah satu solusi yang ditawarkan dalam menyelesaikan permasalahan pegawai honorer ialah dilakukan dengan menerapkan mekanisme outsourcing. Dengan demikian, pihaknya juga dapat mengendalikan para pegawai yang kurang produktif dalam bekerja.

    “Satpam misalkan, dengan gajinya kecil (saat honorer), maka jika melalui outsourcing jadi besar. Memang dalam dinamikanya itu, Satpam yang biasanya malas pada akhirnya jadi terpacu karena menggunakan sistem outsourcing,” terangnya.

    Ia membandingkan kondisi yang pernah dirinya alami ketika tengah bekerja di luar negeri. Pada saat itu, Tranggono bekerja di Korea Selatan, di sana terdapat sebanyak 150 orang pegawai, namun hanya ada lima orang saja yang yang PNS.

    “Nah yang lainnya outsourcing. Ini bagus, bisa dievaluasi dengan adanya sistem outsourcing,” ungkapnya.

    Dengan adanya mekanisme outsourcing dalam penempatan pekerja honorer, maka pihaknya dapat meminta kepada pihak outsourcing, untuk menyediakan tenaga yang profesional dan andal, dengan membina para pegawai honorer yang sudah masuk ke dalam sistem outsourcing.

    “Kita minta kepada yang outsourcing, dibina. Jadi ada juga tiga klaster ini, misal yang pertama klaster yang bermasalah, kedua belum pas, nah yang ketiga itu klaster yang ideal. Maka yang ideal bisa kita dorong menjadi PPPK,” ucapnya.

    Sementara untuk mereka yang ada pada klaster kedua, pihaknya akan memberikan inkubasi dan pembinaan melalui pihak outsourcing. Menurutnya, hal itu merupakan bentuk kepedulian Pemprov Banten terhadap para pegawai honorer.

    “Kita inkubasi supaya mereka lebih mandiri sesuai dengan keahliannya, lebih profesional. Sesungguhnya kita mengangkat mereka kepada hal yang lebih baik lagi,” katanya.

    Menurutnya, penyelesaian masalah dengan menggunakan mekanisme oursourcing merupakan penyelesaian masalah terbaik. Sebab jika tenaga honorer masih tetap dipertahankan oleh Pemprov Banten, maka dipastikan akan menjadi temuan.

    “Gini, kalau kita angkat enggak mungkin. Kalau November 2023 itu kita masih angkat honorer, itu akan menjadi temuan BPK. Maka solusinya tadi, kita bisa salurkan ke outsourcing. Bahkan saya bilang, kalau dia terampil, bisa kita berangkatkan ke luar negeri,” ucapnya.

    Selain outsourcing, Tranggono menuturkan bahwa pihaknya juga akan mengambil opsi agar para pegawai honorer dapat berwirausaha. Menurutnya, saat ini Pemprov Banten pun tengah berfokus pada penambahan pelaku UMKM. Dirinya berjanji Pemprov Banten akan membimbing dan membina para pegawai honorer yang menjadi pelaku UMKM.

    “Ada strategi-strategi lain, kita ini kan industri. Banten ini (daerah) industri, kita bisa kerjasamakan dengan mereka. Nah tanggungjawab kami, 17 ribu orang itu jangan nambah lagi. Konsekuensinya jika bertambah, maka OPD akan kami berikan sanksi,” tegasnya.

    Menurut Tranggono, Pemprov Banten telah menyiapkan rencana aksi dalam penyelesaian masalah tenaga honorer, hingga November 2023. Menurutnya, tidak ada opsi yang buruk, hanya saja jika tidak bisa lanjut sebagai abdi negara, maka para honorer bisa mengabdi sebagai UMKM atau pekerja industri.

    “Kalau bicara itu, kita bicara rencana aksi. Bagaimana timelinenya. Tidak ada yang terburuk, kalau memang terburuk, wayahna kami dorong mereka menjadi wiraswasta. Kan Banten ini pariwisata, kenapa kita enggak dorong ke sana. Jadi tidak ada opsi terburuk,” jelasnya.

    Wacana outsourcing juga disampaikan Kepala Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kota Cilegon Ahmad Jubaedi. Dia mengatakan saat ini tengah menggodok sejumlah strategi untuk dapat menyelamatkan para honorer yang tidak masuk dalam PPPK. Dari sekitar 5.057 tenaga honorer di Cilegon yang meliputi TKK, THL atau TKS, pihaknya tengah memetakan mana rekrutmen yang bisa dilakukan dengan PPPK dan outsourching. 

    Saat ini, khusus tenaga honorer yang dialihkan ke outsourching, pemkot masih mengkajinya. Karena akan berkaitan dengan kemampuan anggaran masing-masing daerah.

    “Kita sedang mempelajari surat edaran Menpan-RB dan juga PP tentang manajemen PPPK. Pemerintah pusat mengamanatkan Pemda harus mengambil langkah, sehubungan pada November 2023 sudah tidak ada lagi nomenklatur selain PPPK,” tambahnya.

    “Tadi kita mencoba merumuskan langkah-langkah sampai dengan November seperti apa. Pada 2022 formasi untuk honorer kan di prioritaskan namun yang memenuhi persyaratan dan mengikuti seleksi, diangkat sebagai PPPK,” pungkasnya.

    Dikatakan Jubaedi, saat ini pihaknya akan melakukan identifikasi terhadap honorer di Kota Cilegon. Nantinya, ada yang masuk ke Outsourcing dan ada yang menjadi PPPK melalui proses seleksi.

    “Yang kompeten, begitu kita ikut sertakan tentunya prioritas untuk PPPK, bagi yang tidak kita akan identifikasi juga, karena diluar itu ada kebijakan tentang alih daya (Outsourcing) yang masuk itu hanya 3, keamanan, kebersihan dan driver,” katanya.

    Tentunya yang menjadi permasalahan, yakni honorer yang sudah masuk kualifikasi dan bisa mengikuti seleksi PPPK, akan tetapi tidak lulus. Jubaedi menjelaskan, pihaknya akan melakukan upaya untuk dapat diusulkan kepada pemerintah pusat sebagai tanggung jawab daerah.

    Jubaedi mengungkapkan, opsi terakhir yang nanti akan dilakukan oleh Pemkot Cilegon bagi honorer yang tidak lolos seleksi PPPK, akan diakomodir dan diajukan kepada pemerintah pusat, untuk mendapatkan keringanan. 

    “Ada mekanisme yang bisa dilakukan melalui seleksi PPPK, tapi opsi terkahir bisa tidak pemerintah pusat memberikan mencontoh. Kita sudah jelas ada pendataan, karena mereka kan sudah bekerja bertahun-tahun,” jelasnya.

    “Pak wali juga kan mau memperjuangkan melalui Apeksi, bagaimana nasib honorer kedepan yang kalau di daerah bagaimana, tentunya ada edaran terlebih dahulu, sehingga tidak boleh lagi ada penerimaan honorer,” tandasnya.

    Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten, Nawa Said Dimyati, mengatakan bahwa penghapusan tenaga honorer merupakan permasalahan yang mendasar. Sebab, penghapusan tenaga honorer dapat berimplikasi pada terganggunya pelayanan kepada masyarakat. Sementara mengangkat semuanya menjadi PPPK, tidak mungkin.

    “Penghapusan honorer itu memang akan menjadi problem mendasar, terkait dengan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Berbicara Banten, itu ada 17 ribu orang pegawai honorer. Kalau semuanya diangkat menjadi PPPK, maka tentu APBD tidak akan cukup,” ujarnya.

    Agar tidak terjadi kekacauan dalam pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat, maka pihaknya mendorong kepada Pemprov Banten serta para tenaga honorer yang hendak memperjuangkan nasibnya, untuk dapat mendesak dilakukannya executive review kepada MenpanRB.

    “Kami juga mendorong agar teman-teman mendorong melalui fraksi-fraksi di DPR RI agar melakukan legislative review. Jika keduanya tidak bisa dilakukan, maka mau tidak mau menggunakan mekanisme Judicial Review,” ucapnya.

    Selain itu, pria yang akrab disapa Cak Nawa tersebut juga mendesak kepada Pemprov Banten agar dapat menyediakan skema terbaik, apabila kebijakan penghapusan tenaga honorer itu benar-benar harus dilakukan.

    “Jadi Gubernur harus menyiapkan skema apabila pada 2023 itu harus dieksekusi, bagaimana kita melayani masyarakat khususnya pendidikan dan kesehatan. Kalau yang lain penting juga, tapi bisa dilakukan assesment, dari 17 ribu itu sebenarnya kita butuh berapa,” ucapnya.

    Secara tegas, Cak Nawa meminta agar Pemprov Banten dapat menjadikan persoalan tenaga honorer sebagai persoalan yang harus segera diselesaikan. Jangan sampai menganggap persoalan itu sebagai persoalan yang biasa.

    “Jangan sampai ini dianggap biasa-biasa saja. Ketika dianggap biasa-biasa saja, nanti justru malah menimbulkan problema sosial karena 17 ribu orang harus di-PHK dan problema pelayanan masyarakat,” tegasnya.

    Ketua DPRD  Banten Andra Soni minta pemprov memprioritaskan tenaga honorer kategori satu (K1) menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Diketahui ada sebanyak 367 honorer K1 yang belum diangkat menjadi CPNS dan memperhatikan 17 ribu honorer non karegori.

    “Itu juga harus jelas, mereka kan sudah lolos verifikasi (2012),” kata Andra.

    Dibagian lain, Wakil Ketua DPRD Kota Cilegon, Hasbi Sidik mengingatkan Pemkot Cilegon untuk berhati-hati terhadap langkah yang akan diambil dalam menghapus tenaga honorer di Cilegon. 

    Menurut Hasbi, kehadiran tenaga honorer di semua OPD justru sangat membantu pekerjaan para ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam menyelesaikan pekerjaan. “Wong ASN aja masih mengandalkan tenaga honorer. Kalau gak ada honorer gimana?,” kata Hasbi beberapa waktu lalu.

    Menurut Hasbi, dengan penghapusan tenaga honorer ini tentu sangat berdampak terhadap meningkatkan angka pengangguran di Kota Cilegon. Sebab, angka pengangguran di Cilegon akan kembali bertambah dengan adanya penghapusan tersebut. “Pemkot jangan diam, harus segera merespons keputusan penghapusan honorer ini. Sebab bagaimana pun juga, para honorer selama ini sangat berkontribusi di seluruh OPD,” ujarnya. 

    Oleh karena itu, Politisi Partai Gerinda ini pun meminta agar Pemkot Cilegon dalam hal ini Bagian Organisasi, BKPP segera berkonsultasi akan nasib para tenaga honorer ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB).

    “BKPP (Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan) Kota Cilegon segera datangi KemenPAN RB. Cari tahu seperti apa mekanisme penghapusannya. Lalu buat rencana, apakah ada cara untuk menyelamatkan para honorer dibalik aturan yang sudah disahkan itu,” ujarnya.

    Hasbi berharap jika Pemkot Cilegon tidak diam atau telat menyikapi keputusan pemerintah pusat itu. Sebab saat ini, ribuan honorer di lingkungan Pemkot Cilegon resah menyikapi hal tersebut. 

    “Jangan sampai lengah, apalagi telat merespons. Intinya, harus punya rencana bagaimana para honorer tidak menjadi korban akibat munculnya keputusan itu,” harapnya. 

    Hasbi mengaku akan memanggil OPD terkait. Ini untuk membahas juga mendorong adalah solusi terkait penghapusan honorer. “Nanti BKPP, Sekda, serta pihak-pihak terkait akan kami panggil. Biar persoalan ini bisa diselesaikan bersama-sama,” tandasnya.(DZH/LUK/WDO/DHE/ENK)

     

  • Kepala Daerah Prihatin

    Kepala Daerah Prihatin

    DUA pejabat di dua daerah, Kabupaten Serang dan Cilegon menjadi tersangka dalam kasus pengadaan lahan untuk kebutuhan pengelolaan sampah. Dua kepala daerah di kedua daerah itu mengaku prihatin dan mengingatkan pejabat lain untuk mengemban amanat jabatannya dengan baik.

    Berkaitan dengan penangkapan mantan Kepala Dinas LH, Kabid Sampah dan Taman, Camat Petir dan Kades Nagara Padang, Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, mengaku prihatin. Kendati demikian, pihaknya tetap akan menyerahkan perkara tersebut sepenuhnya kepada aparat penegak hukum (APH).

    “Kami dari jajaran Pemda akan kooperatif apapun yang diminta, untuk penyelesaian terkait dengan ini,” ujarnya kepada awak media.

    Tatu mengatakan, kasus dugaan korupsi pada pengadaan lahan SPA Sampah tersebut harus menjadi pembelajaran bagi para jajaran di Pemkab Serang, khususnya para Kepala Dinas, agar dapat berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.

    “Apalagi selaku Kepala Dinas, harus tahu persis apa yang dilakukan oleh staf di bawahnya. Jadi tidak boleh melepaskan secara total pekerjaan-pekerjaan (dilakukan) oleh bawahan. Kejadian ini pembelajaran yang sangat penting untuk jajaran dinas terutama untuk para Kepala Dinas. Kami berharap kejadian ini tidak terulang lagi di Kabupaten Serang,” terang Tatu.

    Menurutnya, bisa saja suatu hal yang dianggap tidak membahayakan, justru dapat menjadi hal yang sangat berbahaya. Oleh karena itu, Kepala Dinas harus tahu persis apa yang dilakukan oleh bawahannya, sekaligus melakukan pengawasan.

    “Mungkin dianggap tidak membahayakan padahal itu membahayakan, jadi dinas harus tahu persis. Tadi saya juga membahas ini dengan Pak Sekda, dan kami akan mengundang seluruh Kepala OPD di hari Jumat, akan menyampaikan kepada mereka,” jelasnya.

    Tatu mengatakan, untuk para tersangka akan diberikan pendampingan hukum dari Pemkab Serang. Tatu pun berharap para tersangka dapat mengikuti proses hukum sebaik mungkin.

    “Itu pasti, di kami selalu disiapkan bantuan hukum untuk pendampingan mereka. Kami berharap mereka bisa mengikuti proses hukum ini dengan baik dan sehat diberi kekuatan oleh Allah SWT. Nanti dari bagian hukum kami akan mendampingi mereka,” tuturnya.

    Bagi para tersangka yang berstatus ASN, Tatu menuturkan bahwa status mereka tersebut akan dicabut apabila perkara mereka telah mendapatkan vonis dari pengadilan. Sedangkan untuk tersangka Budi, Tatu menuturkan bahwa ia sudah bukan ASN karena telah pensiun.

    “Kalau yang masih belum pensiun itu biasanya kalau sudah ada ketetapan hukum, itu otomatis (dicopot). Padahal berat sekali untuk ASN sekarang ini yang terkena kasus hukum. Diberhentikan dengan tidak hormat aturannya, dan mereka tidak mendapatkan hak pensiun, hak pensiun mereka tidak diberikan,” katanya.

    Bahkan menurut Tatu, pemberhentian secara tidak terhormat tetap akan dijatuhkan kepada para ASN yang telah mendapat putusan inkrah dari pengadilan, tanpa ada batasan waktu hukuman yang dijatuhkan kepada mereka.

    “Sekarang sanksinya semakin berat. Kalau dulu ada batasan tahun, kalau sekarang mau satu bulan pun contohnya ditetapkan hukumnya, langsung diberhentikan dengan tidak hormat, dan itu Kepala Daerah harus menandatangani. Karena memang aturan dari pusat,” ujarnya.

    Tatu mengaku, perkara korupsi yang tengah terjadi merupakan bentuk dari kecerobohan Budi yang pada saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas. Salah satu kecerobohannya ialah memalsukan SK Bupati terkait dengan lokasi SPA sampah.

    “Sekarang apa sulitnya mengganti lokasi, kan lokasi yang ditentukan untuk tempat pengolahan sampah ini lokasi yang ditentukan pertama, itu usul dari DLH. Ditandatangani oleh saya, karena kan berarti sudah survei dan lain sebagainya, ada tahapan-tahapan dan mekanismenya,” ucapnya.

    Dengan segala teknisnya berada di DLH, Tatu mengaku aneh jika untuk pemindahan lokasi tidak dilakukan dengan cara yang sesuai dengan aturan. Padahal jika dijelaskan mengapa lokasi dipindah, Tatu mengaku bahwa SK Bupati akan kembali diterbitkan.

    “Menyampaikan persoalannya apa, mungkin saja dari rencana semula, ketika di lapangan ada perbedaan, ada yang hal yang tidak bisa dilakukan atau dieksekusi. Itu dimungkinkan untuk dipindahkan dan sangat memungkinkan, tinggal duduk lagi bersama. Jelaskan ini (perpindahan) karena tidak bisa dieksekusi atau tidak bisa dibeli karena apa. Nah mekanismenya kita ikuti lagi, tidak bisa langsung pindah langsung belanja, ada mekanismenya,” tegasnya.

    Terpisah, Walikota Cilegon, Helldy Agustian mengaku perihatin atas kasus yang menjerat Ujang Iing dalam pembangunan depo sampah di Lingkungan Kaligandu, Kelurahan/Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon, pada tahun 2019.

    “Saya sangat perihatin, beliau adalah orang baik rekan saya. Tentunya kita menghargai proses hukum dalam hal ini Kejari Cilegon, kita harus tunduk dan patuh terhadap hukum,” kata Helldy kepada awak media saat menghadiri kegiatan Karang Taruna di Aula Kominfo Kota Cilegon, Kamis (2/6).

    Dikatakan Helldy, dalam waktu dekat, dirinya akan mengumpulkan seluruh pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kota Cilegon. Helldy akan meminta kepada pimpinan OPD untuk membentuk tim khusus dalam pelaksanaan kegiatan di masing-masing OPD.

    Menurutnya, upaya tersebut dinilai dapat mencegah terjadinya upaya maling uang rakyat atau korupsi pada saat pelaksanaan kegiatan. Terlebih saat dirinya menjadi Wali Kota Cilegon, sehingga kasus serupa tidak terulang lagi di Kota Cilegon.

    “Kami akan kumpulkan seluruh OPD agar tidak terjadi hal-hal seperti ini. Kasusnya di tahun 2019. Kami minta, di zaman kami tidak terjadi seperti ini,” ujarnya.

    “Tim khususnya nanti, dari mereka masing-masing (OPD, red). Pengguna anggaran kan harusnya care, ngontrol, atau membentuk tim khusus yang notabene bisa mengevaluasi dan melihat hasil pekerjaan,” tandasnya. (LUK/MUF/ENK)

     

  • Pemulung Rupiah di Proyek Sampah

    PENGELOLAAN sampah kerap menjadi polemik di sebuah daerah. Karena pengelolaan sampah bukan sekedar memindahkan sampah dari lingkungan masyarakat ke tempat pembuangan akhir. Hal itu justru melahirkan peluang untuk  mendulang rupiah. Sayangnya ada yang menggunakan cara kotor, termasuk mereka memanfaatkan sampah menjadikan dirinya sebagai ‘pemulung’ anggaran Negara dari proyek-proyek sampah.

    Dalam waktu dua hari berturut-turut, ada dua persoalan hukum yang terkait dengan sampah terjadi di Provinsi Banten. Dua perkara itu diungkap oleh dua institusi berbeda pula.

    Kasus pertama terjadi di lingkungan Pemkab Serang, kasusnya diungkap oleh Polda Banten. 

    Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Serang, Sri Budi Prihasto, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) pengadaan lahan Stasiun Peralihan Akhir (SPA) sampah di Kecamatan Petir oleh Polda Banten.

    Bukan hanya Budi, Polda Banten pun menetapkan tiga orang sebagai tersangka lainnya yakni Kepala Desa Nagara Padang, Toton; Camat Petir, Asep Hedriyana dan Kabid Sampah dan Taman pada DLH Kabupaten Serang, Toto Mujianto.

    Kabid Humas Polda Banten, Kombes. Pol Shinto Silitonga, mengatakan bahwa dugaan Tipikor pada pengadaan lahan SPA Sampah tersebut sudah mulai dibidik oleh Polda Banten sejak akhir Oktober 2021 lalu. Dari hasil pemeriksaan, didapati bahwa perkara tersebut mengarah pada perbuatan Tipikor yang dilakukan secara bersama-sama antara Budi, Toton, Toto dan Asep.

    “Maka telah diinventarisir ditemukan fakta hukum serta modus para pelaku dalam menjalankan aksi Tipikor,” tuturnya saat menggelar press conference di Mapolda Banten, Senin (30/5) lalu.

    Adapun modusnya yakni menggunakan SK Bupati Serang nomor 539 tanggal 11 Mei 2020 tentang pengadaan SPA sampah, yang awalnya ditetapkan di Desa Mekar Baru. Namun karena ada penolakan dari warga, maka lokasi SPA dipindah ke Desa Nagara Padang.

    “Dengan menggunakan SK yang sama. Maka perbuatan melawan hukumnya adalah tidak diubahnya SK, tetapi SK lama ditipeks atau ditimpa dengan mengganti tujuan baru yaitu Desa Nagara Padang,” katanya.

    Sementara menurut Shinto, niat jahat atau mens rea yang dilakukan oleh keempatnya yakni melakukan mark-up anggaran atas harga jual lahan tersebut hingga 300 persen dari harga yang dibayarkan kepada pemilik lahan.

    “Pemilik lahan menerima uang sebesar Rp330 juta dengan luas tanah 2.561 meter persegi. Sementara pelaku ini meminta kepada negara dengan anggaran Rp526.213 per meter persegi,” katanya.

    Sehingga jika dikalikan dengan luas lahan, maka terserap anggaran negara sebesar Rp1.347.632.000 dan menghasilkan disparitas anggaran mencapai Rp1.017.623.000.

    “Itulah kenikmatan yang dinikmati sebagai hasil kejahatan korupsi dari para pelaku korupsi dengan memark up nilai tanah negara,” ucapnya.

    Selain itu, para tersangka juga melakukan modus transfer anggaran tidak langsung kepada pemilik lahan. Namun, anggaran pembebasan lahan yang telah digelembungkan itu dikirimkan ke rekening Toton selaku Kepala Desa Nagara Padang.

    “Ini modus supaya uang tidak dikuasai secara langsung oleh pemilik lahan, tetapi bisa singgah terlebih dahulu di salah satu sindikasi tersangka,” tandasnya.

    Atas perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar pasal berlapis sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 3 jo Pasal 12 huruf i UU 20 tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tipikor, jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP dengan ancaman pidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, serta denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

    Selang tiga hari sejak rilis Polda Banten terkait kasus di Kabupaten Serang, Selasa (31/5), giliran Kejari Cilegon mengungkapkan penetapan tersangka yang terkait dengan proyek sampah. Mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Cilegon, Ujang Iing ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Cilegon. 

    Ujang yang saat ini menjabat sebagai Asda III Setda Kota Cilegon ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan Tipikor pembangunan depo sampah di Kecamatan Purwakarta, Tahun Anggaran (TA) 2019 yang bersumber dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Cilegon pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Cilegon. Bersama Ujang, Kejari juga menetapkan tersangka dari pihak swasta yaitu Direktur PT Bangun Cipta Alam Indo berinisial LH.

    Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Cilegon, Ineke Indraswati menyampaikan, dari hasil penyidikan didapatkan bukti permulaan yang patut untuk menetapkan dua orang tersangka yaitu saudara Ujang Iing selaku Pengguna Anggaran dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Saudara LH selaku Penyedia/Kontraktor dalam kegiatan pembangunan depo sampah di Kecamatan Purwakarta, Kota Cilegon Tahun Anggaran 2019.

    Lebih lanjut ia menjelaskan, kronologi perkara tipikor tersebut yaitu berawal dari adanya anggaran transfer depo Kecamatan Purwakarta Tahun Anggaran 2019 pada Dinas Lingkungan Hidup Kota Cilegon yang berasal dari APBD Kota Cilegon Tahun Anggaran 2019 dengan nilai pagu paket pekerjaan sebesar Rp939.200.000.

    “Setelah dilakukan proses tender, PT Bangun Alam Cipta Indo ditentukan sebagai pemenang tender selanjutnya Tersangka UI selaku PPK melakukan penunjukan penyedia dan memerintahkan PT Bangun Cipta Alam Indo untuk memulai pelaksanaan pekerjaan dengan nilai kontrak sebesar Rp844.056.000,” katanya.

    Akan tetapi, pada faktanya tersangka LH selaku Direktur PT Bangun Alam Cipta Indo secara melawan hukum hanya meminjamkan bendera perusahaannya kepada orang lain untuk mengikuti tender dan melaksanakan pekerjaan konstruksi depo sampah di Kecamatan Purwakarta tersebut.

    “Kemudian Tersangka UI selaku PPK telah secara melawan hukum dan atau menyalahgunakan kewenangannya menyetujui pekerjaan pembangunan transfer depo Kecamatan Purwakarta tersebut dilaksanakan oleh pihak lain atau bukan dilaksanakan oleh PT Bangun Cipta Alam Indo beserta personil yang termuat di dalam kontrak,” tuturnya.

    Atas perbuatan itu, lanjut Ineke, pekerjaan pembangunan transfer depo di Kecamatan Purwakarta tersebut tidak dilaksanakan sesuai gambar rencana, kontrak dan spesifikasi teknis.

    Selain itu, dengan hasil kesimpulan Penilai Ahli Jasa Konstruksi, bangunan Trans Depo itu juga dinilai tidak dapat digunakan sesuai dengan fungsi awalnya atau terjadi kegagalan bangunan.

    “Dikarenakan terhadap Tersangka UI dan Tersangka LH memenuhi syarat alasan objektif dan subjektif penahanan serta demi memperlancar proses penyidikan, maka terhadap dua orang tersangka tersebut dilakukan penahanan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas II B Serang selama 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal 31 Mei 2022 sampai dengan 19 Juni 2022,” pungkas Ineke yang sebelumnya menjabat sebagai Konsul Kejaksaan KJRI Hongkong. 

    Terpisah, pegiat lingkungan yang kerap menyoroti masalah sampah di Provinsi Banten, Mulya Nugraha mengungkapkan bahwa dirinya merasa wajar bial persoalans ampah menjadi lumbung korupsi yang cukup empuk di Provinsi Banten. Karena menurutnya, sampah saat ini tidak bisa dianggap sebagai onggokan barang yang sudah tidak berguna, melainkan komoditas yang banyak dilirik, termasuk menjadi proyek yang cukup basah di pemerintahan.

    Mulya menjelaskan, keberadaan sampah di suatu lingkungan dapat mengakibatkan permasalahan, mulai dari masalah kesehatan hingga masalah estetika suatu wilayah. Bahkan, sampah sudah dianggap sebagai suatu permasalahan yang hingga saat ini masih terus dicari penyelesaiannya.

    Akan tetapi, keberadaan sampah tidak melulu menjadi sebuah petaka. Sebab, ada sejumlah pihak yang justru memandang sampah sebagai cuan. Menurut aktivis yang juga menolak keras penempatan TPSA di Bojongmenteng, Kabupaten Serang itu, terdapat tiga pihak yang mendapat keuntungan dari keberadaan sampah maupun program yang berkaitan dengan sampah.

    Ketiganya yakni masyarakat yang bekerja dalam mengumpulkan dan mengolah sampah, pemerintah daerah yang menetapkan nilai retribusi berdasarkan jumlah sampah yang diangkut dan dikelola, serta oknum-oknum pemain yang memanfaatkan celah program pengelolaan sampah di pemerintahan, untuk mengambil keuntungan pribadi.

    “Kalau berbicara sampah, melihat dari sisi oknum pemain, memang biasanya terlibat dalam hal program pembangunan atau dalam pembebasan lahannya. Karena memang lokasi tempat sampah itu harus berada di dalam,” ujarnya kepada BANPOS, Kamis (2/6).

    Menurutnya, pembebasan lahan menjadi salah satu tahapan yang paling mudah untuk dimainkan dalam program pembangunan tempat sampah. Karena, dipastikan terdapat selisih harga tanah antara harga aslinya dengan pagu anggaran di pemerintahan.

    “Harga pasar itukan lebih murah dari anggaran yang ada di pemerintahan. Disitulah ada celah bermain dari oknum-oknum, ada manipulasi dan hal-hal yang pada akhirnya menjadi permasalahan,” ujarnya.

    Sebagai contoh, dua kasus yang mencuat pada akhir Mei lalu yang membuat dua orang mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) di dua daerah harus mendekam di balik jeruji besi. Keduanya diduga mengambil celah yang ada pada program pembangunan depo dan stasiun sampah itu.

    “Berawal dari pola pikir-pola pikir oknum yah yang melihat bahwa ada nilai lebih dalam pengadaan lahan dan pembangunan tersebut, sehingga terjadi tindakan-tindakan seperti yang kemarin itu. Permainannya dimulai dari program pengadaannya,” ungkap Mulya.

    Menurutnya, permainan yang dilakukan oleh para oknum tersebut sudah pasti merupakan tindakan melawan hukum. Akan tetapi, cuan dari sampah pun bisa didapatkan dengan legal dan sesuai dengan ketentuan hukum.

    “Sampah itu memang bisnis untuk daerah, juga bisnis untuk mereka yang tertarik dengan pengolahan sampah. Seperti model-model pengolahan sampah plastik yang pada akhirnya menjadi daya tarik masyarakat dalam melakukan pengolahan. Ini yang baik,” katanya.

    Cuan sampah yang didapatkan oleh pemerintah, biasanya berasal dari retribusi sampah yang ditarik dari masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah juga bisa melakukan kerja sama, seperti yang dilakukan oleh Pemkot Serang terhadap Pemkot Tangerang Selatan.

    Bahkan menurut Mulya, kerjasama antar daerah dalam pengelolaan sampah pun merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang cukup besar. Karena dalam pengelolaan sampah, dibutuhkan anggaran yang cukup besar juga.

    “Karena sampah itu sebenarnya adalah masalah bagi setiap daerah. Sehingga wajar harga sampah mahal, contohnya Cilowong yang didatangkan sampah dari Tangsel. Nah dari situ kan Pemerintah Daerah dapat PAD dari sampah itu,” ucapnya.

    Ia pun bisa membayangkan ‘aroma’ cuan yang terhirup dari datangnya sampah Tangsel ke Kota Serang. “Sekarang seperti ini, misalkan dari kerja sama Cilowong itu, berapa rupiah yang didapatkan dari setiap ton sampah yang masuk. Sangat lumayan, karena sampah itu akan selalu ada setiap harinya,” kata dia.

    Bahkan setahu dia, Pemkot Serang juga bekerja sama dengan daerah lainnya dalam hal pengelolaan sampah. Salah satunya dengan Pemkab Serang. Ia mengaku, nilai kerjasamanya pun masih dapat diatur oleh masing-masing daerah dalam hal pengelolaan sampahnya.

    “Intinya mah kalau soal itu, kembali lagi kepada masing-masing pemerintah daerah. Sebenarnya untuk berapa nilai setiap sampah ketika masuk ke Cilowong itu, kan sebenarnya sudah ada ketentuannya. Maka itu juga perlu untuk disesuaikan juga,” ucapnya.

    Sejauh ini, pihaknya juga masih menemukan adanya pola pengelolaan sampah yang salah dari pemerintah. Salah satunya di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Cilowong, yang klaimnya menggunakan sanitary landfill, padahal menggunakan metode open dumping.

    “Pemerintah juga kan saat ini masih banyak yang salah dalam pengelolaan sampahnya. Katakan Cilowong, bilangnya sanitary landfill, tapi kan kenyataannya masih dengan open dumping dalam pengelolaannya,” terangnya.

    Padahal, penggunaan metode open dumping sangat berbahaya bagi masyarakat sekitar. Apalagi lokasi Cilowong yang berada di atas bukit, bisa mempengaruhi air pemukiman warga yang berada di bawahnya.

    “Cilowong yang ada di bukit, itu kan open dumping. Sedangkan ketika hujan, dia air lindinya bisa menyebar ke sumber air masyarakat. Sedangkan air lindi ketika dikonsumsi, itu sangat berbahaya,” ungkapnya.

    Permasalahan lainnya yakni dalam pemaksimalan retribusi sampah yang ditarik dari masyarakat. Sejauh ini, ia menuturkan masih banyak temuan pada pendapatan retribusi sampah.

    “Retribusi sampah yang masih ada temuan tentunya perlu juga dilakukan pengawasan. Karena bisa saja ada oknum-oknum yang bermain dengan retribusi sampah tersebut,” katanya. 

     

    Pada bagian lain, Direktur Eksekutif Aliansi Lembaga Independen Peduli Publik (ALIPP) Uday Suhada mendukung langkah aparat penegak hukum (APH) yang sudah melakukan penyidikan kasus dugaan Tipikor terkait dengan sampah di Kabupaten Serang dan Cilegon. Uday juga meminta agar APH juga menelusuri banyaknya proyek-proyek di pemerintah yang meminjam  bendera penrusahaan orang lain dan men sub kontraktor kan paket proyek.

    “Subkon inilah salah satu mata rantai penyebab korupsi. Dan ini memang harus memjadi perhatian kita semua,” kata Uday.

    Oleh karena itu dirinya meminta kepada semua kepala daerah untuk memberangus para kepala dinas yang bermain curang dengan melakukan pengelembungan anggaran dan merekayasa pemenang.  

    “Saya berandai-andai, jika hari ini saya Pj Gubernur atau Bupati/Walikota, saya akan kumpulkan semua kepala dinas, asosiasi pengusaha, APH dan wartawan. Pak APH, jika anak buah saya dan pengusaha ada yang menyimpangkan uang rakyat, jangan ragu, sikat. Para Kadis, gak boleh minta setoran, kalau terdengar, langsung saya ganti. Para pengusaha, silakan tender dengan fair dengan segala dinamikanya, jika hasil tender anda subkon, jangan mimpi tahun depan dapat pekerjaan lagi. Bukan sekedar perusahaannya yang saya blacklist, tapi juga nama anda,” terangnya.

    Uday juga menyampaikan apresiasinya kepada APH yang sudah melalukan penyidikan dugaan proyek di Kabupaten Serang dan Cilegon.

    “Peristiwa ini adalah catatan buruk untuk kesekian kalinya di Banten. Kasus ini adalah bukti bahwa Banten masih menjadi sarang koruptor. Kedua, kami sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan menetapkan  para tersangka,” ungkapnya.

    Dan untuk meminimalisir peristiwa serupa lanjut Uday, penindakan, tuntutan hingga putusan agar lebih maksimal. “Agar menimbulkan efek jera bagi pelaku, bahan renungan bagi par penyelenggara pemerintahan dan melahirkan rasa keadilan bagi masyarakat. Ini menjadi catatan penting untuk APH. Jika itu ditetapkan, saya optimis, akan menekan potensi penyimpanan dan semakin memperkuat kualitas pembangunan,” pungkasnya.(RUS/DZH/ENK)

     

  • Antara Kurang dan Lebih Bayar

    Antara Kurang dan Lebih Bayar

     

    MESKI memperoleh predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Badan Pemeriksa Keuangan tetap memberikan sejumlah catatan kepada Pemkot Cilegon. Karena sejumlah masalah keuangan masih ditemui di entitas pemerintahan pimpinan Helldy AgustianSanuji Pentamerta itu.

    Menanggapi adanya temuan BPK RI Perwakilan Banten khususnya di DPUTR Kota Cilegon Ketua Komisi IV DPRD Kota Cilegon Erik Airlangga menyayangkan kinerja DPUTR Kota Cilegon. Oleh karena itu, persoalan ini menurutnya harus menjadi konsen bersama. 

    “Temuan BPK itu lebih bayar terus juga ada beberapa telat bayar. Itu memang menjadi temuan, konsen juga buat kita,” kata Erik saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPUTR Kota Cilegon di Ruang Rapat DPRD Kota Cilegon, Rabu (25/5).

    Kemudian Politisi Partai Golkar Cilegon ini mempertanyakan persoalan gagal bayar, selain itu juga menjadi pertanyaan para anggota dewan lainnya atas kinerja DPUTR Kota Cilegon. Seharusnya, lanjut Erik, kalau persoalan gagal bayar sendiri sudah dianggarkan di tahun 2022 artinya penganggarannya sendiri sudah direncanakan oleh dinas yang bersangkutan. “Kelebihan bayar nggak disampaikan tadi, kalau yang gagal bayar Rp14 miliar,” pungkasnya.

    Anggota Komisi IV DPRD Kota Cilegon Anugrah Chaerullah meminta, DPUTR untuk menentukan waktu dengan tegas pelunasan gagal bayar kepada kontraktor sebesar Rp14 miliar lebih. “Pak Kadis, tadi bilang dalam waktu dekat akan membereskan gagal bayar. Saya ingin tahu waktunya kapan, jangan sampai ini gagal lagi,” kata Irul sapaan akrabnya saat RDP.

    Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Cilegon ini mengungkapkan ternyata tidak hanya gagal bayar yang menjadi masalah di DPUTR, beberapa kegiatan pada tahun 2022 belum dilaksanakan pada triwulan pertama ini. Lambatnya kinerja DPUTR, kata Irul, berpotensi mempermalukan Walikota Cilegon Helldy Agustian di hadapan masyarakat Kota Cilegon. Karena terus-terusan janji kepada masyarakat untuk melakukan perbaikan jalan, akan tetapi hingga saat ini belum terealisasi. 

    “Sama saja mencoreng nama baik Walikota ini pak Dimas, karena tidak jalan semua kegiatannya. Terus kami juga sebagai anggota dewan ini rasanya tidak dihargai juga oleh pak Kadis karena saya hubungin pak Kadis susah banget,” ungkapnya.

    Hal senada dikatakan oleh Anggota Komisi IV DPRD Kota Cilegon lainnya dari Fraksi Berkarya Dimas Saputra. Dimas menyebut, lagi-lagi insfratruktur tidak berjalan di Kota Cilegon, apalagi DPUTR yang memegang kendali dalam pelaksanaan perbaikan jalan. 

    “Pasti sing ditembak Walikotane (pasti yang ditembak walikota nya, ,red). Coba pak kadis, bagaimana kegiatan itu berjalan, jangan sampai menunggu injuri time lagi,” katanya.

    “Coba dievaluasi lagi, apalagi kegiatan yang proses lelang, karena membutuhkan waktu yang lama,” tambahnya. 

    Selain temuan BPK, DPRD Kota Cilegon menyoroti persoalan lambannya kinerja DPUTR Kota Cilegon yang belum melaksanakan pekerjaan di lima bulan pertama tahun 2022 dari Januari hingga Mei.

    Menanggapi hal ini, Kepala DPUTR Kota Cilegon Heri Mardiana, tak membantah jika dinas yang dipimpinnya itu gagal melakukan pembayaran kepada sejumlah kontraktor yang telah melakukan kegiatan pekerjaan. Namun, Heri mengatakan bahwa pihaknya telah menempuh tahapan untuk pembayaran tersebut. Sementara untuk lebih bayar, lanjut Heri, ada 12 kegiatan sehingga menjadi temuan BPK. Ia juga dengan lapang dada menerima kritikan dari Komisi IV DPRD Kota Cilegon. 

    “Sepakat, kan saya punya komitmen dengan pimpinan dengan Pak Wali dengan menandatangani fakta integritas, itu juga resiko kami sebagai kepala OPD dengan pimpinan kami,” kata Heri saat RDP, Rabu (25/5).

    Heri menegaskan, jika pekerjaan yang dilakukan oleh DPUTR Kota Cilegon sudah terjadwalkan sebelumnya. Saat ini sedang dalam proses di Unit Layanan Pengadaan (ULP). “Terkait dengan tidak pekerjaan kegiatan, Heri mengaku dirinya sudah memiliki scadule untuk melaksanakan kegiatan pada 2022,” ujarnya.

    “Itu juga koreksi dari dewan supaya tidak ada gagal bayar lagi, supaya tidak ada keterlambatan untuk kita, maka dari itu kita akan tindak lanjuti saran-saran dari dewan khususnya pekerjaan, dan sesuai dengan jadwal yang sudah kita buat,” tandasnya.

    Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Cilegon Maman Mauludin pada Rabu (25/5) telah memanggil sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemkot Cilegon yang mendapat catatan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Keuangan Pemkot Cilegon tahun anggaran 2021. Maman juga menekankan kepada OPD agar segera menyelesaikannya adanya temuan dari BPK.

    Dipaparkan Maman dari temuan itu ada kelebihan membayar terhadap pembangunan jalan, kemudian juga ada beberapa di sekretariat dewan (Setwan), ada juga yang kekurangan pajak belum bayar, kemudian yang administratif juga ada masalah penataan aset, kemudian penataan bos sekolah dan yang lainnya. 

    “Ada di dinas DPUTR, Setwan, kemudian masalah aset di BPKAD, kemudian di dinas kesehatan, di dindik, disperindag untuk menata masalah kios pasar, dispora ada kelebihan pembayaran terhadap pembangunan di Stadion Geger Cilegon,” paparnya.

    Maman menegaskan kembali kepada OPD agar segera menyelesaikannya temuan tersebut sesuai dengan waktu yang ditentukan. “Segeralah selesaikan, makanya kami undang OPD itu untuk menyelesaikan semua yang menjadi rekomendasi terhadap laporan hasil pemeriksaan,” tegasnya.

    Sesuai Pasal 20 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004, mengamanatkan pejabat wajib menindaklanjuti atas seluruh rekomendasi LHP. Pejabat wajib memberikan jawaban atau penjelasan kepada BPK terkait tindak lanjut atas rekomendasi LHP selambat-lambatnya 60 hari setelah LHP diterima.

    “Dari hasil LHP BPK atas laporan keuangan tahun anggaran 2021 ada beberapa memang temuan baik itu kepatuhan dan juga SPI nya ya harus segera kita tindak lanjuti karena dari LHP BPK itu kita diberi waktu 60 hari sehingga kita harus menyusun renaksinya bagaimana sebelum 60 hari itu berakhir semuanya selesai dan tidak ada tunggakan temuan hasil daripada pemeriksaan BPK,” kata Maman kepada BANPOS saat ditemui di ruang kerjanya, medio pekan ini.

    Inspektur Kota Cilegon Mahmudin mengatakan, tindak lanjut temuan BPK RI telah disampaikan ke masing-masing OPD yang bersangkutan. “Kita sudah tindak lanjuti, PU itu 12 ruas jalan kelebihan pembayaran ada yang sudah dibayar ada yang belum,” kata Mahmudin.

    “Kami komitmen agar semua temuan BPK, bisa diselesaikan dalam waktu 60 hari. Total kelebihan pembayaran saya tidak hafal, tapi teknis datanya ada di kantor,” tambahnya.

    Lebih lanjut, Mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Cilegon ini menjelaskan, kelebihan pembayaran di DPUTR Kota Cilegon bervariasi, dari 12 paket kegiatan, ada yang temuannya puluhan juta dan ada yang temuannya ratusan juta.

    “Dari 12 paket kegiatan yang jadi temuan, ada yang sudah melakukan pengembalian beberapa kegiatan. Sudah dikembalikan nilainya di atas Rp 1 miliar lebih kok yang dikembalikan, tetapi dari beberapa kegiatan, cuma rinciannya tidak hafal,” tuturnya.

    Kemudian dikatakan Mahmudin, pihaknya belum mengetahui secara rinci 12 paket kegiatan yang menjadi temuan di DPUTR Kota Cilegon. Jika dalam 60 hari tidak dilakukan pengembalian uang ke kas negara atas kelebihan pembayaran maka akan dilaporkan ke Walikota Cilegon Helldy Agustian, kemudian sanksi menunggu arahan pimpinan. Tetapi, Ia berharap dalam waktu 60 hari dapat diperbaiki oleh empat OPD terkait catatan dari BPK RI Perwakilan Banten. 

    “Tahun kemarin (anggaran 2020) juga ada temuan (Gedung Edhi Praja), pengembalian terus dilakukan. Saya optimis, prosentase sudah di atas 90 persen, meski melebihi batas waktu. Ini uang negara, wajib ditindaklanjuti. Saya tidak mau temuan menumpuk, harus diselesaikan,” tegasnya. 

    Mahmudin mengungkapkan, sejak 2007 hingga 2021, ada sekitar 1.000 temuan. Saat ini, sudah 900 temuan lebih yang ditindaklanjuti. “Temuan ini kan setiap tahun diakumulasi, kita sebenarnya cukup baik karena di atas 90 persen. Sekarang terus berproses,” pungkasnya.

    Ia menambahkan, temuan BPK RI terkait Dana BOS hanya penyajian laporan yang tidak sesuai, bukan pengembalian uang negara. Sementara, terkait aset ada yang sudah diserahkan ke Provinsi tetapi peralihannya masih proses, jadi aset soal pencatatannya saja. “Saya sudah koordinasi dengan Kepala BPKAD, dia optimis bisa selesai kok tahun ini,” tandasnya.

    Walikota Cilegon Helldy Agustian mengatakan pihaknya sudah membuat rencana aksi atas adanya temuan-temuan dari BPK terhadap sejumlah OPD. Kemudian terkait banyaknya temuan di DPUTR, Helldy mengatakan pihaknya sudah menempatkan kadis baru untuk meminimalisir temuan-temuan kedepannya.

    “Ya makanya PU sekarang dipegang sama orang hukum, kadang kelemahannya di hukum. Ini kan pelaksana paket pekerjaan tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak itu yang harus diperbaiki. Ini diperkuat dengan kontraknya administrasinya diperlukan orang hukum disitu. Bikin standarisasi pengawasan,” terangnya.

    Terkait dengan temuan sejumlah aset yang menjadi catatan di BPK pihaknya mengaku sedang berproses di BPN. “Aset ini pengelolaan aset tetap dan aset lainnya belum memadai jadi artinya aset itu banyak, lagi dalam proses BPN,” pungkasnya.(LUK/ENK)