Kategori: INDEPTH

  • Membaca Nuansa Politis di Kasus Masker

    Membaca Nuansa Politis di Kasus Masker

    KETIDAKHADIRAN Kejati Banten sebagai pihak termohon pada gugatan praperadilan kasus dugaan korupsi pengadaan masker dinilai sebagai pengabaian hak tersangka, dalam mendapatkan keadilan dalam kasus tersebut. Apalagi akibat dari ketidakhadiran Kejati Banten, sidang sempat ditunda hingga satu minggu, yang disebut memberikan kesempatan kepada Kejati Banten untuk mendapatkan jadwal sidang perkara pokok, yang dapat membatalkan gugatan praperadilan.

    Dosen Fakultas Sosial dan Politik Universitas Mathlaul Anwar (UNMA), Eko Supriatno, mengaku bahwa sejak awal dirinya melihat kasus tersebut sangat kuat bernuansa politis. “Dari awal saya melihat kasus masker ini nuansa politiknya sangat kuat pada kasus dugaan korupsi ini,” ujarnya.

    Menurutnya, praperadilan terdiri atas dua kata yaitu pra dan peradilan. Pra berarti sebelum, sedangkan peradilan berarti suatu proses pemeriksaaan perkara di depan pengadilan. Sehingga, dari namanya pun jelas bahwa praperadilan dilaksanakan sebelum peradilan pokok mulai disidangkan.

    “Dengan demikian dapat dikatakan bahwa praperadilan adalah suatu proses pemeriksaan sebelum pemeriksaan terhadap pokok perkara berlangsung di pengadilan. Gugatan praperadilan dimaksudkan juga dan dapat dijadikan pelajaran agar Kejaksaan tidak gegabah dalam menuntut seseorang, gegabah atau terlalu tergesa-gesa di dalam menetapkan seorang menjadi tersangka. Untuk itu, kita semua mengharapkan agar para penyidik dan penuntut umum lebih mampu bersikap profesional,” katanya.

    Eko menjelaskan, ide praperadilan berasal dari hak habeas corpus dalam sistem hukum Anglo Saxon yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia. Hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku, maupun jaminan hak-hak asasi manusia.

    “Apakah penetapan praperadilan yang menyatakan suatu penyidikan tidak sah merupakan akhir dari proses penanganan suatu tindak pidana? Apakah penyidik dapat melakukan Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali atau mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan baru? Putusan praperadilan pada dasarnya tidak dapat dimintakan banding, kecuali atas putusan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan. Pasal 83 ayat (1) berbunyi ‘Terhadap putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding’,” jelasnya.

    Dengan kata lain, ia menuturkan bahwa praperadilan sebenarnya merupakan forum perbaikan terhadap proses penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, untuk dapat menghormati hak asasi manusia dan putusan praperadilan bukan akhir perjuangan penyidik untuk membuktikan terjadinya suatu peristiwa pidana.

    Eko menuturkan bahwa terdapat tiga hal yang mendasari perlunya mekanisme seperti praperadilan. Pertama yakni rights protection by the state. Menurutnya, upaya dari aparat penegak hukum yang dilakukan terkadang dapat melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka. Dalam rangka mengembalikan hak yang sudah dilanggar, maka diperlukan suatu mekanisme pengujian perolehan alat bukti apakah sudah diambil secara sah.

    “Kedua, deterrence (disciplining the police). Pengesampingan atau pengecualian alat bukti yang diambil atau diperoleh secara tidak sah, akan mencegah atau menghalangi para penegak hukum mengulangi kembali kesalahan mereka di masa mendatang. Ketiga, the legitimacy of the verdict. Dalam proses acara pidana diperlukan suatu sistem yang dapat dipercaya sehingga masyarakat yakin terhadap sistem hukum atau sistem peradilannya,” terang Eko.

    Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa seharusnya Kejati Banten benar-benar menghormati gugatan praperadilan dari tersangka kasus dugaan korupsi yakni LS. Sebab, hal tersebut telah melanggar hak dari tersangka.

    “Atas kejadian ini apabila ditengarai ada upaya mengulur waktu pemeriksaan baik atau oleh siapapun untuk pengadilan. Bisa menduga juga ada permainan oleh pihak tertentu dengan mengulur-ulur waktu pemeriksaan dalam proses penyidikan. Saya meminta Kejati Banten tidak terjebak dalam permainan ini. Penyidik, juga harus menghitung waktu pemeriksaan agar efisien,” tegasnya.

    Sementara, Dekan Fakultas Hukum Untirta, Agus Prihartono Permana Sidiq, mengatakan bahwa praperadilan memang kerap kali digunakan oleh para tersangka, untuk bisa lolos dari jeratan hukum. Baik itu pada perkara pidana khusus, maupun pidana umum.

    Ia menuturkan bahwa terdapat alasan mengapa terdapat praperadilan dalam persidangan hukum. Pertama, ia menuturkan bahwa praperadilan digelar untuk membuktikan sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka, keluarga atau pihak lain atas kuasa tersangka.

    “Kedua, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, Ketiga permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan,” ujarnya kepada BANPOS.

    Pada prinsipnya, Agus menuturkan bahwa praperadilan merupakan pemeriksaan administrasi dari suatu perkara pidana tanpa menyentuh pokok perkara yang disangkakan. Sementara pemeriksaan pokok perkara di Pengadilan Negeri, sesuai dengan namanya yakni untuk memeriksa pokok perkara yang disangkakan atau didakwakan kepada terdakwa.

    “Mengenai tata cara pemeriksaan, sidang praperadilan diatur dalam Pasal 82 serta pasal berikutnya. Selama prosedur dijalankan sesuai dengan regulasi yang ada, maka (praperadilan) memiliki kekuatan hukum,” ucapnya.

    Agus mengaku bahwa dirinya tidak bisa menduga apakah ketidakhadiran Kejati Banten selaku pihak termohon dalam sidang praperadilan tersebut merupakan upaya untuk mengulur waktu hingga pengadilan pokok mulai dilaksanakan.

    Sebab bisa saja meskipun pejabat yang berwenang selaku pihak termohon tidak hadir, sidang tetap dilanjutkan.
    “Tetapi dalam praperadilan, terdapat ketidakseragaman interpretasi itu terkait dengan frasa ‘…hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang…’ pada pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP,” ucapnya.

    Namun Agus menuturkan bahwa selama ini dalam praktik persidangan praperadilan, penafsiran dari pasal tersebut jamaknya diakui kalau kedua belah pihak wajib hadir dalam persidangan. Bahkan menurutnya, apabila salah satu pihak tidak hadir dalam persidangan, praperadilan bukan saja bisa ditunda melainkan juga bisa dibatalkan.

    “Akibat dari penafsiran yang sudah jamak ini, pejabat yang berwenang sebagai termohon praperadilan, setelah dipanggil secara patut dan layak oleh pengadilan untuk hadir dalam sidang yang dibuka pertama kali, (namun) tidak menghadiri persidangan praperadilan tanpa alasan yang cukup jelas, sehingga (mengakibatkan) praperadilan tidak dapat dimulai dan bahkan dapat mengakibatkan permohonan praperadilan gugur,” terangnya.

    Terpisah, akademisi Fakultas Hukum Universitas Bina Bangsa, Iron Fajrul Aslami, mengatakan bahwa berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) adalah bagian dari suatu proses untuk menguji secara administratif pekerjaan dari Penyidik Kepolisian dan Penuntut Umum dari Kejaksaan yang bekerja berdasarkan UU, baik KUHAP maupun UU terkait yang didakwakan.

    “Pengujian hanya berupa tertib administrasinya Penyidik dalam proses Penyidikan dan Penuntutan dalam melakukan koordinasi Penyidikan hingga terdaftar Surat Perkaranya ke Pengadilan,” ujarnya.

    Iron menjelaskan bahwa praperadilan bisa saja dilakukan oleh tersangka setelah adanya penetapan tersangka karena dianggap oleh penyidik telah terdapat minimal dua alat bukti yang kuat dan bisa dilakukan penahanan.

    “Kemudian pihak tersangka melakukan upaya praperadilan. Dalam Hukum Acara Pidana saat ini, belum diatur secara formal, Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan tidak tertulis harus dan wajib hadir saat sidang praperadilan. Karena sifatnya Administratif,” terangnya.

    Menurutnya, jika ketidakhadiran Kejati Banten dalam beberapa sidang merupakan tindakan yang disengaja, Iron mengaku bahwa hal tersebut merupakan hal yang tidak melawan hukum. Namun tetap, itu menjadi dilema atas urgensinya pelaksanaan praperadilan.

    “Memang menjadi dilema urgensi adanya praperadilan bila para Pelaksana UU Pidana tidak memenuhi panggilan pengadilan. Namun dalih bahwa surat perkara sudah didaftarkan ke pengadilan untuk tidak menghadiri praperadilan juga bisa dikatakan tidak melawan hukum yang ada,” jelasnya.

    Sedangkan terkait dengan alasan adanya PPKM Darurat sehingga Kejati Banten tidak hadir dalam persidangan, pun tidak bisa disalahkan karena kondisi memaksa demikian. Akan tetapi, ketidakhadiran Kejati Banten dalam pengadilan dapat dinilai sebagai tindakan tidak menghormati persidangan yang digelar oleh pengadilan.

    “Dalam proses praperadilan, tentunya setiap orang harus menghormati pengadilan. Maka pengunduran yang dilakukan oleh Kejaksaan hanya dapat dinilai oleh Hakim Pemeriksa Praperadilan untuk dapat menghadirkan para pihak. Kondisi PPKM dalam ranah hukum bisa dikatakan sebagai Force Majoer. Apabila hakim pemeriksa tidak mempermasalahkan, tentunya itu dianggap tidak menjadi permasalahan selama proses sidang praperadilan,” tegasnya.

    Iron pun menuturkan bahwa terdapat upaya lain yang bisa dilakukan oleh tersangka, apabila dirasa terdapat hal yang janggal dalam proses pemeriksaan dan penetapan dirinya sebagai tersangka. Upaya tersebut yakni melaporkan secara resmi ke bagian pengawasan pada institusi penegak hukum tersebut.

    “Kepolisian misalnya pada Pengawas Penyidikan (Wasidik) atau Bagian Pengawas Kejaksaan secara bertingkat ke atas. Sehingga adanya tekanan internal dan nama baik lembaga bisa jadi menjadi faktor untuk para penegak hukum tidak bermain-main dengan hukum dan nasib seseorang,” ucapnya.(DZH/ENK)

  • PCM yang Tak Transparan

    PCM yang Tak Transparan

    ANGGOTA Komisi III DPRD Kota Cilegon Edison Sitorus mempersoalkan tidak transparannya PT PCM dalam kendala pengadaan tug boat. Karenanya, dia menilai wajar bila kemudian berkembang istilah tug boat gaib.

    “Saya sebagai Komisi III nanya bolak-balik tapi tidak ada jawaban yang benar. Masalah di PCM sendiri nggak terbuka juga dengan permasalahan ini,” kata Edison, saat dikonfirmasi belum lama ini.

    Ketua Fraksi PAN DPRD Kota Cilegon ini menerangkan agar isu ini tidak berkembang semakin liar yang akhirnya menimbulkan dugaan-dugaan, dirinya meminta tim auditor dilibatkan untuk mengaudit keuangan PT PCM sehingga semuanya menjadi jelas tanpa menimbulkan prasangka.

    Wakil rakyat dari Dapil Cibeber-Cilegon ini juga menyayangkan pernyataan Wakil Walikota Cilegon Sanuji Pentamarta yang menyebut permasalahan tersebut merupakan tanggung jawab pemimpin sebelumnya.

    “Kalau pemimpin itu harus tanggung jawab juga terhadap pemimpin sebelumnya. Nggak bisa menyalahkan itu salah yang lalu. Kalau dia bilang itu salah yang lalu ya ada konsekuensinya lah,” pungkasnya.

    Hal senada dikatakan anggota Komisi III DPRD Kota Cilegon lainnya, Babay Suhaemi. Menurutnya pemerintah harus segera mengambil langkah cepat agar tidak menimbulkan kesan membiarkan isu ini berkembang liar.

    “Pemerintah sekarang harus cepat ambil langkah biar tidak punya kesan dibiarkan. Lakukan audit yang transparan dan independen. Menurut saya stepnya sederhana saja. Ngga usah ribet,” katanya.

    Menurut, politisi partai Gerindra ini dengan visi pemerintah sekarang yaitu baru, modern dan bermartabat maka sudah seharusnya eksekutif membuat langkah baru dengan melakukan audit terhadap PT PCM.

    Namun sepengetahuannya, yang terjadi di PT PCM tersebut bukan pengadaan fiktif namun terjadinya wanprestasi (ingkar janji) dari kesepakatan antara PT PCM dengan PT Am Indo Tek.

    “Katanya mau baru, ya lakukanlah (audit). Bisanya jangan ngecat doang, bocah TK juga bisa gitu mah,” kata Babay melalui pesan singkat.(LUK/ENK)

  • Ingkar Janji Tug Boat Gaib

    Ingkar Janji Tug Boat Gaib

    PENGADAAN tug boat gaib yang belakangan jadi perhatian masyarakat Kota Cilegon, akhirnya menemui titik terang. Perusahaan yang betanggung jawab sebagai penyedia tug boat, PT AM Indo Tek ternyata gagal menyediakan tug boat yang dimaksud. Perusahaan itu kemudian divonis oleh pengadilan untuk membayar ganti rugi kepada PT PCM karena dinyatakan ingkar janji.

    Berdasarkan penelusuran BANPOS di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) yang diunggah di situs resmi Pengadilan Negeri (PN) Serang, diketahui gugatan PT PCM atas PT AM Indo Tek teregister pada 20 Januari 2021.

    Perkara terdaftar dengan nomor 8/PDT.G/2021/PN Srg dengan majelis hakim terdiri dari Emy Tjahjani Widiastoeti sebagai Hakim ketua, serta Slamet Widodo dan Atep Sopandi sebagai hakim anggota.

    Setelah teregister, perkara itu kemudian mulai disidang pada 18 Februari 2021. Dalam persidangan, PT PCM meminta hakim memutuskan PT AM Indo Tek telah melakukan tindakan wanprestasi dalam proyek pengadaan tug boat. Karena perbuatannya, PT PCM menuntut ganti rugi sebesar Rp33 miliar lebih untuk kerugian materiil yang diderita. Selain itu, PT AM Indo Tek juga diminta menanggung kerugian immateriil sebesar Rp50 miliar.

    Kemudian, selama sidang berjalan, majelis hakim menyelenggarakan dua kali mediasi antara tergugat dan penggugat. Mediasi diketahui digelar pada 23 Maret 2021 dan 15 April 2021. Namun, dalam mediasi terakhir disepakati mediasi tak menemui titik temu, sehingga persidangan dilanjutkan.

    Akhirnya pada 21 Juni 2021, majelis hakim membaca putusan terkait gugatan PT PCM kepada PT AM Indo Tek. Dalam putusan itu dinyatakan, majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian. Menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan Wanprestasi (cidera janji).

    “Menghukum Tergugat untuk membayar kepada Penggugat secara tunai dan lunas, kerugian materiil sejumlah Rp24.025.198.000. Menolak gugatan selain dan selebihnya. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp595 ribu,” kata putusan yang tercantum dalam SIPP PN Serang itu.

    Ketika dikonfirmasi, Humas PN Serang Uli Purmana mengaku belum bisa dikonfirmasi karena masih menjalani Work From Home (WFH) sampai masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat berakhir.

    “Maaf kantor PN Serang sedang melaksanakan WFH sampai tanggal 20 Juli 2021. Nanti kalau sudah kembali normal saya akan infokan,” kata Uli melalui aplikasi perpesanan.

    Sementara, Direktur PT. AM Indo Tek, RM Aryo Maulana menyatakan menerima sekaligus menghormati vonis yang ditetapkan PN Serang. Dia menyatakan akan bertanggung jawab atas segala yang sudah diputuskan tersebut.

    “Kami sangat menghormati keputusan tersebut. Kami juga berterima kasih atas perhatian dari semua pihak yang sudah berkomentar,” kata saat melalui aplikasi perpesanan, akhir pekan lalu.

    Meski demikian, Aryo juga meluruskan tudingan banyak pihak yang menyebut pengadaan tug boat di PT PCM adalah fiktif. Dia mengklaim telah menjalani proses pengadaan, termasuk melakukan survey barang dan lain-lain.

    “Kalo fiktif itu nggak akan ada survey dan lain-lain, ini kan murni karena adanya krisis ekonomi global akibat adanya pandemi Covid 19,” kata Aryo.

    Aryo melanjutkan, dalam pengadaan tug boat, PT AM Indo Tek menjalin kerja sama pembiayaan dengan perusahaan asal Singapura. Namun, seiring pandemi Covid-19 yang juga melanda negeri singa itu, investor tersebut tiba-tiba membatalkan kesepakatan untuk membiayai pengadaan tug boat PT PCM.

    “PT AM Indo Tek juga sudah mengeluarkan biaya-biaya operasional untuk pengadaan tug boat ini. Saya juga sudah mencicil pengembalian uang yang sudah dibayarkan kepada PT PCM. Karenanya saya kaget ketika PT. PCM menggugat perusahaan saya,” kata Aryo.

    “Sekali lagi kami sampaikan bahwa kami sangat menghormati putusan kekalahan ini. Namun perlu disampaikan bahwa harga kapal Tug Boat itu sebenarnya Rp69 milliar, pihak AM Indo Tek mencarikan sisanya. Tapi pihak di Singapura karena krisis global tidak jadi membiayai,” tegasnya menambahkan.

    Dirinya sempat mengutip putusan Presiden Republik Indonesia nomor 12 tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran virus corona disease 2019 (covid 19 ) sebagai bencana nasional, sehingga dirinya berharap Majelis Hakim yang terhormat dapat memahami kesulitan yang dihadapi berbagai perusahaan di Indonesia untuk melakukan penetapan janji atau komitmen kontrak.

    “Terima kasih kepada semua pihak yang sudah peduli, saat ini saya lagi fokus melaksanakan dan menghormati keputusan kekalahan di Pengadilan Negeri Serang,” tandasnya.

    Terpisah, Ketua LSM Jaringan Masyarakat Banten Anti Korupsi dan Kekerasan (Jambakk), Feriyana, menanggapi hal ini mengajak semua pihak untuk menghormati dan mengawal apapun keputusan yang ditetapkan pengadilan.

    “Saat ini pihak PT AM Indo Tek sebagai tergugat sudah menerima putusan itu, kita harus hargai juga. Selanjutnya yang akan kita kawal adalah pelaksanaan dari putusannya tersebut. Dan patut kita ketahui bersama juga, berdasarkan fakta dan riset-riset yang dilakukan lembaga-lembaga dunia yang profesional dan independen telah menyatakan bahwa adanya Pandemi Covid 19 sejak awal itu sangat berpengaruh yang luar biasa terhadap munculnya resesi global ekonomi bukan hanya Indonesia saja tetapi hampir seluruh negara di dunia,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Wakil Walikota Cilegon Sanuji Pentamarta meminta inspektorat untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi terkait persoalan pengadaan tug boat di PT PCM. “Tugboat harus terang benderang lah, harus diperjelas jangan jadi berita yang liar. Saya kira nanti kita akan menugaskan inspektorat untuk mendalami dan menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi,” kata Sanuji kepada BANPOS saat ditemui di Gedung DPRD Cilegon usai menghadiri Paripurna penyampaian RPJMD 2021-2026, pekan lalu.

    Sanuji juga meminta penegak hukum untuk turun tangan menyelesaikan masalah persoalan tugboat gaib tersebut.

    “Dari sisi hukum kewenangannya aparat hukum untuk membuktikan kemana alirannya, apa masalah sebenarnya itu kan tanggung jawab pemerintah yang kemarin yah, orang per orang yang terlibat harus ditanya. Iya jangan sampai liar harus diperjelas diselesaikan dituntaskan supaya jelas,” terang Politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.(LUK/ENK)

  • Infrastruktur Bikin Susah Tidur

    Infrastruktur Bikin Susah Tidur

    BEBERAPA tahun terakhir, pembangunan infrastruktur selalu menjadi primadona dan program prioritas, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Prioritas pembangunan infrastruktur ini, pada akhirnya menyebabkan alokasi anggaran negara banyak tersedot ke program tersebut.

    Namun, dalam pelaksanaannya sektor ini membuat banyak pihak susah tidur. Gelontoran anggaran triliunan rupiah terlihat belum signifikan dan tidak jelas petanya, apalagi hasilnya. Seperti pada pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan maupun pendidikan, masih banyak jalan tak tersentuh pembangunan, demikian juga fasilitas sekolah yang rusak dan bahkan roboh.

    Selain itu, permasalahan infrastruktur ketahanan pangan. Jaringan irigasi sebagai infrastruktur ketahanan air terlihat tidak jelas pemeliharaan dan pembangunannya. Masih banyak terdapat sawah kekeringan dan kebanjiran akibat tidak berfungsinya irigasi tersebut.

    Persoalan infrastruktur jalan, menjadi salah satu ‘jualan utama’ para kandidat dalam Pilkada Serentak 2020 yang juga diselenggarakan di Kabupaten Pandeglang. Jalan rusak, bahkan jalan yang tak tersentuh pembangunan dinilai banyak terdapat di wilayah ini.

    Andri, seorang warga Kecamatan Labuan mengakui buruknya kondisi infrastruktur wilayah itu. Bahkan, menurutnya sejumlah ruas jalan di wilayah pesisir itu sudah tak layak disebut jalan, karena kondisinya yang sudah sangat memprihatinkan.

    “Sebut saja wilayah Lantera hingga Laba yang puluhan tahun tak tersentuh perbaikan. Belum lagi ruas jalan lain yang kondisinya lebih buruk. Itu banyak ditemui, ketika kita masuk ke wilayah seperti Panimbang, Sobang, Cibaliung sampai ke Sumur,” kata Andri.

    Sementara, sumber BANPOS yang merupakan seorang guru di Kecamatan Saketi, mengaku prihatin terhadap minimnya perhatian Pemkab Pandeglang terhadap infrastruktur pendidikan. Karena, menurut dia selama ini Pemkab Pandeglang tak pernah secara khusus mengalokasikan anggaran untuk pembangunan sekolah.

    “Kebanyakan pembangunan maupun perbaikan sekolah bersumber dari DAK (dana Alokasi Khusus, red) yang notabene adalah pemberian pemerintah pusat. Tak ada inisiatif Pemkab Pandeglang untuk mengalokasikanny dari APBD murni,” kata sumber seraya mewanti-wanti agar namanya tidak dikorankan.

    Buruknya kondisi infrastruktur diakui anggota DPRD Pandeglang, Yadi Rusmiadi. Dia membenarkan masih banyaknya jalan di Kabupaten Pandeglang yang belum tersentuh pembangunan. Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu menilai bahwa infrastruktur tersebut sangat tidak layak digunakan oleh masyarakat.

    “Infrastruktur sangat hancur, buktinya banyak yang viral, apalagi daerah selatan seperti Cimanggu, Cibaliung, Cibitung, Cigeulis, dan masih banyak lagi yang belum terjamah oleh batu pembangunannya, apalagi diaspal. Masih tanah dari dulu juga,” ucap Yadi melalui seluler kepada BANPOS, Minggu (29/11).

    Yadi juga berharap, agar Bupati Kabupaten Pandeglang mendahulukan pembangunan infrastruktur. Karena dinilai lebih penting dibandingkan yang lain.

    “Harapan kami kepada Bupati, dahulukan dulu infrastrukturnya dibandingkan yang lain, karena infrastruktur sangat penting. Setelah infrastruktur, kesehatan. Karena masih banyak masyatakat yang mengeluh soal pembayaran pengobatan,” kata Yadi.

    Namun, soal infrastruktur pendidikan, Yadi menilai sejauh ini Kabupaten Pandeglang sudah cukup baik. Kalaupun ada, satu, dua, tiga saja yang bangunannya jelek.

    “Jadi prosentasenya mungkin hanya 15 persen saja yang bangunan sekolahnya jelek,” ungkapnya.

    Hal senada juga dikatakan oleh anggota dewan dari Fraksi PKB, Ade Muamar. Dirinya menyebutkan bahwa, infrastruktur di Kabupaten Pandeglang masih sangat perlu untuk dibangun.

    “Kalau infrastruktur, masih jauh dari kata bagus atau layak untuk dipergunakan oleh masyarakat. Karena masih banyak sekali jalan-jalan yang hancur, dan itu fakta,” terangnya.

    Ade berharap bahwa untuk pemimpin Pandeglang nanti, harus mendahulukan infrastruktur. Karena pembangunannya sangat dinantikan, oleh seluruh masyarakat Kabupaten Pandeglang.

    “Siapapun pemimpin Pandeglang kedepan, harus memperhatikan infrastruktur. Karena Pandeglang itu masih menyisakan pekerjaan rumah tentang infrastruktur,” imbuh Ade.

    Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Pandeglang, Asep Rahmat juga mengakui banyaknya infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi yang belum tertangani. Penyebabnya dalah kemampuan APBD Kabupaten Pandeglang yang sangat terbatas, tak sebanding dengan masalah yang harus diselesaikan.

    “Sehingga penanganannya dilakukan secara bertahap dengan skala prioritas. Namun demikian kami tetap berupaya semaksimal mungkin agar capaian penanganan infrastruktur jalan, jembatan dan irigasi sesuai target yang tertuang dalam Renstra sebagai turunan dari RPJMD,” kata Asep kepada BANPOS melalui seluler, Jum’at (27/11).

    “Bentuk upaya tersebut kami lakukan dengan cara berkoordinasi, baik ke Pemerintah Provinsi Banten dan Pemerintah Pusat, sehingga capaian kinerja infrastruktur dari tahun 2016 sampai dengan 2019 melebihi target kinerja. Hal tersebut dibuktikan dengan pembangunan jalan, dari target 150 kilometer, realisasi justru mencapai 230 kilometer. Serta jembatan, dari target 120 meter, realisasinya 379 meter. Kemudian dari sektor irigasi, target kita 31 DI (Daerah (Irigasi) dan sudah terealisasi 298 DI,” jelas Asep.

    Dirinya menuturkan bahwa pembangunan di Kabupaten Pandeglang tidak mengalami hambatan meskipun diterjang bencana tsunami pada tahun 2018.

    “Walaupun pada tanggal 22 Desember 2018 terjadi bencana alam tsunami, hal tersebut sangat berpengaruh pada APBD tahun 2019. Namun Pemkab Pandeglang tetap menjaga komitmen dalam pembangunan infrastruktur, sehingga pembangunan infrastruktur melebihi target,” ungkapnya.

    Pihaknya berharap kepada seluruh masyarakat, agar menjaga fasilitas infrastuktur yang telah dibangun.

    “Saat ini ekspektasi masyarakat terhadap infrastruktur jalan sangat besar, dan kami juga menyadari bahwa masih adanya infrastruktur jalan yang perlu penanganan. Oleh karena itu, kami mohon kepada masyarakat agar bersabar dan kami juga berharap kepada masyarakat agar memelihara infrastruktur yang sudah dibangun,” terang Asep.

    Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang, Taufik Hidayat mengatakan, jumlah anggaran pembengunan dan pemeliharaan gedung sekolah tahun 2020, mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Sekolah Dasar, dan Sekolah Menengah Pertama, mencapai Rp 29 miliar.

    “Anggaran Pembangunan/Rehab Sekolah pada tahun 2019 itu mencapai Rp29 miliar, yang terdiri dari PAUD Rp900 juta, SD Rp18,5 miliar, dan SMP Rp9,6 miliar,” kata Taufik.

    Taufik juga menerangkan bahwa Penurunan jumlah siswa di SMPN mengakibatkan pembiaran kerusakan ruang kelas, menghambat capaian kinerja karena tercatat sebagai ruang kelas rusak berat dari tahun ke tahun.

    “Sekolah dengan ruang kondisi layak pakai 84,85 persen, rusak sedang 8,25 persen, dan rusak Berat 6,9 persen,” jelasnya.

    Taufik juga menerangkan bahwa, dalam mengerjakan pembangunan dan pemeliharaan soklah-sekolah, pihaknya menghadapi kendala.

    “Kendala yang kita hadapi pada saat pembangunan gedung dan pemeliharaan gedung sekolah itu, yang pertama kesiapan lahan, terus daerahnya yang rawan bencana, serta kami hanya mengandalkan DAK,” tutup Taufik.

    Selain di Pandeglang, di Kabupaten Serang infrastruktur juga dinilai belum bisa dinikmati secara maksimal oleh masyarakat. Dinilai, yang jadi penyebabnya adalah penganggaran infrastruktur masih belum maksimal dikelola.

    “Saya lihat dari secara pembiayaan, masih bergantung kepada pusat. Saya berharapnya, pembiayaan itu dimaksimalkan dari PAD. Jadi bupati baru nantinya harus memaksimalkan PAD Kabupaten Serang,” ujar Anggota DPRD Kabupaten Serang Fraksi Gerindra Ahmad Suja’i.

    Menurutnya, selain itu terlihat masih lemahnya pembangunan infrastruktur sekolah. Karena terlihat berdasarkan data-data yang ada bahwa kualitas pembangunan bidang fisik sekolah di Kabupaten Serang belum maksimal.

    “Secara 20 persen sudah terpenuhi, namun jika dimasukkan dengan pembangunan fisik masih kurang anggarannya. Sebab itu, kembali lagi, PAD harus ditingkatkan,” jelasnya.
    Sebab itu, dengan kurangnya anggaran yang ada. Alokasi untuk pembangunan fisik menjadi minim dan akhirnya terbengkalai.

    “Harapan kita, bupati selanjutnya harus mendapatkan pemasukan sebanyak-banyaknya untuk pembangunan infrastruktur terutama pembangunan sekolah, agar tidak ada lagi sekolah rusak,” tandasnya

    Terpisah, Kepala DPUPR Kabupaten Serang, Okeu Oktaviana menyebutkan alokasi anggaran pembangunan infrastruktur sepanjang tahun 2017-2020 konsisten. Sebab, pihaknya sudah memiliki Perda percepatan infrastruktur, Perda nomor 3 tahun 2017, dimana di dalam Perda tersebut ditargetkan setiap tahunnya PUPR harus membangun 100 kilometer.

    “Sehingga untuk target 601 kilometer jalan Kabupaten Serang bisa dinyatakan mantap. Dari 100 kilometer, dinas PU rata-rata menganggarkan Rp300 miliar, itu sudah wajib dianggarkan,” ujarnya.

    Sejak tahun 2017, sudah berjalan sampai saat ini. Tetapi untuk tahun ini, dikarenakan ada Covid-19 maka pihaknya melakukan refocusing.

    “Sehingga untuk tahun 2017-2020 sudah konsisten, karena amanah Perda,” ucapnya.

    Ia mengungkapkan bahwa anggaran pembangunan infrastruktur jalan dalam RPJMD sudah ditarget 601 Kilometer harus sudah terbangun dan sudah dalam kondisi mantap. Sehingga kondisi infrastruktur jalan di Kabupaten Serang saat ini tersisa 40,3 Kilometer.

    “Harusnya di tahun 2021 itu sudah tuntas, jadi sudah sesuai dengan RPJMD. Karena di tahun ini harusnya terbangun kurang lebih 585 Kilometer dan sisanya tinggal 16 kilometer harusnya. Tetapi sekarang masih 40,3 kilometer, karena beberapa sumber dana dari Pemda, dari Gubernur, dan APBD juga disalurkan untuk Covid-19,” ujarnya.

    Hal itu menjadi salah satu penyebab tidak tercapainya RPJMD. Namun pihaknya rasa seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia mengalami keadaan yang sama, semua tidak akan tercapai RPJMD, terkait dengan pembangunan fisik.

    “Karena memang seluruh anggarannya dialihkan untuk penanganan Covid-19,” katanya.

    Untuk alokasi APBD infrastruktur selain jalan, juga meliputi diantaranya yaitu jembatan, irigasi, drainase, jalan desa, jalan lingkungan, perpipaan dan lainnya berada di dinas PU dan Perkim. Jadi untuk keseluruhan APBD, ia mengaku tidak mempunyai data detailnya.

    “Kami dan Dinas Perkim mempunyai target yang harus tercapai sesuai dengan RPJMD,” katanya.

    Penanganan tanggul-tanggul penahan banjir, itupun dilakukan oleh PUPR. Oke mengatakan, kebetulan sungai itu sebagian besar penanganannya ada di balai.

    “Kami hanya yang bagian ketiga yang kami tangani. Karena itu warga kabupaten, maka ketika ada pendangkalan atau ada permohonan yang harusnya ke Balai tetapi ada juga yang kesini (PUPR) dan kami rekap dan kami teruskan ke Balai,” katanya.

    Contohnya, beberapa waktu yang lalu, pihaknya mengusulkan lumayan banyak normalisasi sungai ke Balai. Hanya saja, untuk disetujui atau tidak, balai juga memiliki mekanisme sendiri.

    “Tetapi saya yakin dua atau tiga sungai akan disetujui,” ucapnya.

    Saat ditanyai terkait dengan peluang dalam keberhasilan mencapai RPJMD, pihaknya tetap berupaya mengusulkan program-program andalan kepada Pemerintah pusat melalui dana, dan termasuk ke Pemprov juga. Mudah-mudahan, di 2020 ini sekitar 30 kilometer jalan target PUPR akan terbangun.

    “Karena DAK sudah ada tanda-tanda menyetujui dan keuangan juga sudah mulai ada tanda-tanda (pengalokasian anggaran kembali),” terangnya.

    Terkait ketahanan air, Okeu menyuguhkan data hingga tahun 2018 dalam buku saku DPUPR Kabupaten Serang, diantaranya untuk jaringan irigasi yang baik disebutkan sebanyak 97,3 persen. Selanjutnya, untuk kondisi jaringan irigasi rusak ringan dan sedang sebanyak 1,5 persen dan untuk irigasi dengan kondisi rusak parah yaitu sebanuak 1,3 persen.

    “Kami memiliki 282 Daerah irigasi (DI), yang terletak di 15 Kecamatan dan luas areal 18,919 hektare,” katanya.

    Ia mengungkapkan, alokasi anggaran untuk irigasi sekitar Rp17 miliar pertahun. Biasanya, mencapai Rp20 miliar, akan tetapi sekarang karena pendapatan daerah juga berkurang, ditambah penanganan Covid-19, jadi hanya sekitar Rp17 miliar.

    “Alhamdulillah untuk DAK irigasi yang tadinya dicoret oleh pusat melalui Perpres 72, tetapi di pertengahan tahun dimunculkan lagi. Jadi tahun ini ada dua paket (datanya ada di ULP),” tandasnya.(CR-02/MUF/PBN/ENK)

  • Biarkan Mereka Memilih…

    Biarkan Mereka Memilih…

    ISU penghapusan kawasan Baduy sebagai obyek wisata memang sudah dibantah para sesepuh adat Baduy. Namun, keprihatinan banyak pihak soal dampak wisata bagi kelestarian budaya dan kelestarian alam di kawasan itu, tetap menjadikan catatan tentang perlunya perlindungan bagi kominiiytas adat tersebut agar mereka dapat hidup sesuai dengan cara hidup yang mereka inginkan.

    Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kabupaten Lebak, Yeni Mulyani kepada BANPOS mengatakan, di satu sisi pemerintah memang sedang giat mengembangkan dunia pariwisata demi mendongkrak ekonomi lokal. Meski demikian, dengan beragam kekhasan yang dimiliki oleh komunitas adat Baduy, pengembangan wisata di kawasan tersebut sebaiknya diserahkan kepada masyarakat Baduy itu sendiri.

    “Ya, kalaupun itu benar, itu hak warga Baduy untuk minta dihapus. Kita juga bisa tetap melihat Baduy, untuk melihat Baduy kan tidak mesti harus datang ke sana. Tapi yang saya tau pernyataan itu sudah dibantah lagi,” ujarnya, Minggu malam (12/7).

    Menanggapi polemik yang sempat muncul, dalam hal ini jajaran Pokdarwis bersama Disbudpar Lebak ke depan akan lebih ketat dan selektif bagi pengunjung wisata ke lingkungan Baduy, terutama terhadap pengunjung wisata travel.

    “Nanti kita akan selektif, mereka harus dapat ijin Pokdarwis dan Disbudpar. Dan juga harus membawa guide dari Pokdarwis. Soal ini akan segera kita rapatkan,” ungkap Yeni.

    Dijelaskan, pihaknya juga prihatin dengan banyaknya keluhan soal banyak wisatawan ke Baduy yang membuang sampah sembarangan. Karena itu dianggap mencoreng destinasi wisata itu sendiri. 

    “Kawasan Baduy itu justru harus dijaga kelestarian alam dan budayanya. Nanti mah pengunjung dilarang membawa jajanan dari produk luar daerah yang berbagan plastik, kita harapkan mereka wajib membeli produk lokal yang ramah lingkungan,” tandasnya.

    Sementara soal keberadaan masyarakat adat Baduy yang hingga kini masih teguh menpertahankan tradisi leluhurnya, juga ditanggapi peneliti dari Jaringan Kerja (Jangkar) Ecovillage, Juandi Bin Itja Djuhia. Ecovillage adalah sebuah jaringan yang konsen dengan pengembangan kampung berbudaya lingkungan.
    Kepada BANPOS Juandi menuturkan, masyarakat adat Baduy itu sebagai pemegang wasiat sejarah leluhurnya dalam hal menjaga lingkungan alam yang terhubung pada akar budaya yang hingga kini masih bertahan. 

    “Keberadaan destinasi wisata di lingkungan Baduy secara jangka pendeknya bisa juga membantu pengembangan ekonomi warga Baduy sendiri, dan mereka juga bisa terdidik mengikuti pola bisnis modern, namun jangka panjangnya mungkin bisa berdampak pada kerusakan tatanan kultur dan alam di sana, ini juga harus dipertimbangkan,” kata Juandi.

    Menurutnya, pihak yang berada di luar perlu memahami masyarakat Baduy. Seperti soal adanya destinasi pariwisata di Baduy, apa indikator manfaat yang dirasakan mereka baik secara langsung atau tidak?

    “Melihat Baduy itu kan tidak perlu harus datang ke sana,” ucapnya.

    Menurut Juandi, keberadaan kelestarian alam dan ketentraman mereka itu justru oleh pemerintah daerah dan pusat harus didukung tetapi bukan dengan cara dijadikan eksploitasi jualan wisata.

    “Dengan adanya wisata itu apa manfaat yang dirasakan masyarakat Baduy? Masyarakat adat Baduy itu adalah masyarakat sejarah, mereka memiliki akar filosofi kuat yang harus dijadikan pelajaran kehidupan dan tentunya harus kita hormati. Dalam pola hidup, justru masyarakat Baduy itu memiliki aturan kehidupan yang tertib, kalau kita resapi justru lebih maju dari kultur modern di luar,” ungkapnya.

    Kata dia, mereka mencintai alam lingkungan dan pola budaya hidup secara mandiri dengan menjaga lingkungan kelestarian alam.

    “Jadi, keberadaan dalam menjalankan falsafah hidup dan kebudayaan, menjaga sejarah dan menjaga tatanan lingkungan alam agar tidak rusak, dan apa yang mereka jalani seperti itu jangan dieksplotasi untuk tujuan lain dan kepentingan lain, mereka bukan destinasi tontonan indah, tapi justru layaknya jadi renungan komparasi edukatif bagi kita,” tutur Juandi.(WDO/ENK)

  • Karena Baduy Bukan Obyek

    Karena Baduy Bukan Obyek

    Masyarakat suku Baduy, dikenal karena keteguhannya menjaga kelestarian adatnya. Ketika merasa terancam, masyarakat Baduy merasa perlu untuk membela diri. Tujuannya adalah agar eksistensi mereka sebagai sebuah komunitas adat tetap lestari, sekaligus keberadaan mereka sebagai bagian dari umat manusia juga dihargai.

    Selasa, 7 Juli 2020 lalu, masyarakat Indonesia dibuat kaget oleh sebuah surat terbuka yang dilayangkan kepada Presiden RI, Joko Widodo. Surat itu berasal dari sebuah komunitas adat yang bernama Suku Baduy.

    “Agar bapak presiden melalui perangkat birokrasinya, berkenan membuat dan menetapkan sebuah kebijakan, supaya wilayah adat Baduy tidak lagi dicantumkan sebagai lokasi objek wisata. Dengan kata lain, kami memohon agar pemerintah bisa menghapus wilayah Adat Baduy dari peta wisata Indonesia,” demikian petikan surat tersebut.

    Surat itu dicap jempol oleh tiga jaro atau kepala desa, yakni Jaro Saidi sebagai Tanggungan Jaro 12, Jaro Aja sebagai Jaro Dangka Cipari, dan Jaro Madali sebagai Pusat Jaro 7.

    Empat orang mengaku menerima mandat dari sesepuh adat Baduy untuk mempublikasikan surat itu. Mereka adalah pegiat internet Heru Nugroho, pegiat seni dan budaya Henri Nurcahyo, pegiat sosial dan lingkungan Anton Nugroho, dan pegiat seni Fajar Yugaswara.

    Salah satu dari empat orang yang mengaku mendapatkan mandat dari Lembaga Adat Baduy, Heru Nugroho, mengatakan bahwa dirinya membawa mandat dari Lembaga Adat Baduy, meskipun melalui tahapan yang salah. Surat itu muncul karena adanya kekhawatiran mendasar dari para tokoh masyarakat.

    Kekhawatiran pertama adalah tercemarnya lingkungan mereka. Sebab, banyaknya pengunjung yang datang ke wilayah Baduy beberapa telah mencemari keasrian alam mereka. Lalu, tercemarnya tatanan adat masyarakat Baduy juga terjadi akibat banyaknya pengunjung yang mengambil foto, yang seharusnya dilarang.

    “Ketiga, generasi muda mereka itu sudah mulai terjadi pergeseran budaya. Banyak dari generasi mudanya itu mulai memiliki akun medsos. Handphone sudah bolak balik dirazia, karena pengaruh orang yang datang. Bukan menjaga budaya, malah mempengaruhi. Pergeseran budaya yang ekstrim memang terjadi pada masyarakat Baduy dalam,” jelasnya.

    Selain itu, ia juga mengatakan bahwa masyarakat Baduy tidak ingin mereka hanya dijadikan sebagai bahan tontonan bagi mereka yang berkunjung saja. Sebab, mereka bukanlah objek wisata yang dikunjungi hanya untuk ditonton. “Jadi mereka itu bukan untuk ditonton, tapi silaturahmi,” katanya.

    Terkait adanya pergeseran budaya yang ekstrem tersebut, Heru menegaskan bahwa keinginan masyarakat Baduy untuk jauh dari teknologi merupakan jalan hidup mereka. Jadi, jangan menganggap bahwa penolakan mereka terhadap teknologi karena mereka bodoh.

    “Orang memilih jalan hidup untuk tinggal di gunung, jauh dari teknologi, itu kan karena keinginan mereka. Bukan karena mereka bodoh, itu adalah pilihan. Mereka kan menghargai pilihan kita, maka kita harus hargai pilihan mereka. Yah realistis aja, yang hidupnya tenteram kan justru mereka,” ungkapnya tertawa.

    Ketika dikonfirmasi, Jaro Pamarentah atau Kepala Desa Kanekes, Jaro Saija mengatakan, pihaknya juga telah menggelar  Musyawarah Besar dengan para tetua adat lainnya  di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, pada Jum’at (10/7) lalu. Dalam musyawarah tersebut para tetua adat membuat pernyataan bahwa mereka tidak memberikan mandat kepada Heru Nugroho cs perihal surat yang meminta Jokowi menghapuskan Baduy dari peta destinasi wisata, dan tetap akan membuka Baduy untuk para wisatawan.

    “Kami dari lembaga suku adat Baduy tidak pernah memberikan mandat kepada Heru terkait hal tersebut,” terangnya.

    Saija menegaskan, Baduy sendiri tidak memiliki lembaga adat ataupun perwakilan di luar kawasan suku adat baduy.

    “Dan untuk surat yang dibubuhi cap jempol tersebut oleh Jaro Tangungan 12 Saidi Putra, Jaro Warega Jaro Madali, Jaro Dangka Cipantik Jaro aja tidak benar isinya dan para Jaro juga tidak mengetahui isi dari surat tersebut,” tegasnya.

    Meski demikian, Saija tetap meminta kepada wisatawan yang hendak mengunjungi Baduy agar taat pada aturan adat Baduy dan menjaga kelestarian alam dengan tidak membuang sampah sembarangan.

    “Tetap akan dibuka, namun harus taat aturan adat. Terus, tengah pandemi Covid-19 ini, wisatawan juga harus bawa surat kesehatan,” katanya.

    Terpisah, pendamping saba budaya Baduy, Uday Suhada, mengatakan bahwa polemik yang muncul terkait masyarakat Baduy tersebut sebenarnya hanya keinginan masyarakat Baduy agar merubah istilah destinasi wisata, menjadi saba budaya.

    “Mereka inginnya merubah istilah. Sekarang itu kan disebutnya wisata, mereka tidak mau dianggap sebagai objek ketika menggunakan istilah pariwisata. Maka mereka inginnya merubah selutuh istilah wisata Baduy dirubah menjadi saba budaya,” ujarnya.

    Uday menegaskan bahwa penggunaan istilah destinasi wisata membuat mereka seolah-olah bukanlah manusia. Namun perubahan istilah tersebut bukan berarti mereka tidak ingin dikunjungi oleh orang luar, karena bagi mereka menolak tamu merupakan hal yang pantang dilakukan.

    “Orang baduy itu dalam sejarahnya tidak mungkin menolak tamu. Itu pantangan bagi mereka ketika ada tamu tapi ditolak. Sehingga tidak mungkin ada penutupan kunjungan. Namanya juga saba, silaturahmi, maka itu berarti mereka membuka silaturahmi. Mereka tidak mau menutup silaturahmi,” terangnya.

    Selain itu, ia menuturkan bahwa memang ada kekhawatiran terkait rusaknya alam dan budaya. Namun untuk mengantisipasi hal tersebut, beberapa pihak termasuk dirinya sudah mengusulkan langkah yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hal tersebut.

    “Bagaimana untuk mengurai kunjungan, kami mengusulkan salah satunya dengan membuat institusi diluar Lembaga Adat untuk jadi pusat informasi budaya Baduy. Bayangkan dalam sehari 1.000 lebih pengunjung ke Baduy,” jelasnya.

    Selain itu, ia menjelaskan bahwa terdapat Perdes No. 1 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Kanekes (Baduy). Dalam Perdes itu, terdapat beberapa ketentuan apabila masyarakat ingin melakukan Saba Budaya ke masyarakat Baduy.

    “Namun sayangnya, Perdes tersebut ternyata belum tersosialisasi dengan baik. Pemerintahan daerah kurang membantu dalam menyosialisasikan perdes itu. Bahkan Dinas Pariwisata baru tahu bahwa ada perdes itu,” jelasnya.

    Ia pun mengatakan bahwa terkait tuntutan agar merubah segala istilah dan nomenklatur wisata Baduy dan menggantinya menjadi Saba Budaya, dirasa dapat direalisasikan oleh pemerintah. Sebab menurutnya, tuntutan tersebut adalah keinginan masyarakat Baduy agar dapat dimanusiakan, tidak dianggap sebagai objek wisata.

    “Saya optimis bahwa pemerintah akan menerima konsepan itu. Kalau tidak menerima, berarti pemerintah tidak mau menanusiakan manusia. Tapi saya yakin pusat atau daerah pasti akan menerima itu,” tegasnya.

    Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Tabrani, mengaku hingga saat ini masih belum mengetahui perkembangan polemik tersebut. Karena, dari Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak belum melaporkan perkembangannya.

    “Kami dari Dinas Pariwisata Banten menunggu hasil musyawarah para tokoh adat Baduy yang katanya kemarin sudah dilakukan. Namun memang informasinya masih belum kami terima,” ujarnya saat dihubungi melalui sambungan telepon.

    Untuk keinginan dari masyarakat Baduy, Tabrani mengatakan bahwa pihaknya akan mendiskusikan hal tersebut kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak. Karena, yang lebih mengetahui terkait masyarakat Baduy adalah Pemkab Lebak dan masyarakat Baduy sendiri.

    “Jadi apapun hasil keputusan dari musyawarah tokoh masyarakat Baduy, kami akan melakukan diskusi bersama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Lebak,” katanya.

    Terkait pendapatan dari Saba Budaya Baduy selama ini untuk Pemprov Banten, dirinya mengatakan tidak ada. Sebab, untuk retribusi wisata hanya pemerintah kota dan kabupaten saja yang mengelola. Sedangkan yang digelontorkan oleh Pemprov Banten untuk pengembangan masyarakat Baduy, Tabrani mengaku tidak tahu karena dirinya baru sebagai pelaksana tugas (Plt).

    “Saya masuk di Dinas Pariwisata sebagai Plt itu di pertengahan Maret. Jadi saya harus mengecek dulu apakah ada anggaran untuk masyarakat Baduy. Yang saya tahu sih kalau untuk Saba Baduy itu ada kerjasama antara DIndik dengan Dinas Pariwisata. Nanti saya tanyakan kepada bidang terkait,” tandasnya.

    Pada bagian lain, Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Lebak, Imam Rismahayadin bahwa masyarakat adat Baduy tidak pernah memberikan mandat kepada siapapun.

    “Masyarakat adat Baduy saat melakukan musyawarah besar lembaga adat yang dihadiri oleh para olot yang menghasilkan beberapa poin penting,” kata kepada BANPOS melalui selulernya, Minggu (12/7).

    Terkait dengan anggaran yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak untuk membangun daerah wisata Baduy, Imam mengatakan bahwa pemerintah tidak pernah memberikan bantuan untuk pembangunan.

    “Tidak ada, Baduy mah tidak bisa dibangun. Jangankan untuk dibangun, untuk diberikan bantuan saja ditolak,” ujarnya.

    Untuk sumbangan pendapatan daerah dari destinasi wisata Baduy, Imam menjelaskan bahwa sejak tahun 2019, pemerintah daerah sudah menghilangkan retribusi.

    “Kalau  Baduy dari tahun 2019 sudah dihilangkan, tidak ada retribusi dari destinasi Baduy,” terangnya.

    Untuk permohonan yang dikirim kepada Presiden, lanjut Imam, pihaknya tidak bisa memberikan solusi karena masyarakat adat Baduy mempunyai aturan dan norma sendiri, sehingga pihaknya hanya bisa mengikuti sesuai dengan aturan adat Baduy.

    “Bukan kita memberikan solusi, justru karena masyarakat mempunyai aturan dan norma sendiri dan kita akan mengikuti aturan mereka dan ternyata mereka punya Perdes nomor 1 tahun 2007 yang menyebutkan bukan wisata Baduy bukan destinasi wisata. Akan tetapi saba budaya Baduy, namun secara media, wisatawan  menyebutnya wisata Baduy. Makanya poin yang diminta Lembaga adat Baduy, tolong istilah destinasi wisata Baduy dijadikan saba budaya Baduy,” ungkapnya.(DHE/DZH/ENK)

  • Masyarakat Pesisir Jangan Dimarjinalkan

    Masyarakat Pesisir Jangan Dimarjinalkan

    FRAKSI-fraksi di DPRD Banten menyoroti Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Banten. Mereka meminta regulasi yang disusun berpihak pada masyarakat dan tidak membuat mereka termarjinalkan.

    Dalam rapat paripurna penyampaian pendapat fraksi-fraksi DPRD Banten terhadap usulan Raperda RZWP3K, dikenal juga dengan sebutan Raperda Zona Pesisir, Juru bicara Fraksi Kebangkitan Bangsa DPRD Banten, Rahmat Abdul Gani, meminta pemprov melakukan kajian lingkungan hidup strategis. Dia berpendapat, Raperda RZWP3K ini kedepannya sangat berpengaruh terhadap kehidupan nelayan tradisional dan nelayan kecil.

    Senada disampaikan Fraksi PKS DPRD Banten. Menurut juru bicaranya, Hilmi Fuad, Raperda Zona Pesisir harus memperhatikan kearifan lokal dan mengedepankan kepentingan masyarakat pesisir yang selama ini mengantungkan hidupnya dari laut.

    “Kepentingan masyarakat harus diprioritaskan, sehingga mereka tidak menjadi masyarakat yang termarjinalkan,” harapnya.

    Sementara itu, Fraksi PAN DPRD Banten, melalui juru bicaranya Achmad Farisi mempertanyakan Raperda RZWP3K usul WH  yang sebelumnya tidak masuk dalam Prolegda 2020, tiba-tiba muncul.

    “RZWP3K adalah kebijakan  strategis yang tinggi bagi pembangunan Provinsi Banten. Kenapa tidak masuk dalam Prolegda, dan atas dasar apa harus masuk di pertengahan tahun anggaran melalui revisi Prolegda tahun 2020. Mohon penjelasan saudara gubernur,” tambahnya.

    Menurutnya RZWP3K adalah menyangkut hajat hidup orang banyak. Berdampak pada aktifitas masyarakat kecil.

    “PAN tidak berharap di kemudian hari menemukan persoalan yang diakibatkan kelalaian terhadap peraturan perundang-undangan. Adapun surat dari dua menteri, kelautan dan dalam negeri, Fraksi PAN juga meminta agar surat tersebut dimasukan dalam konsideran menimbang atau mengingat. Itupun kalau dibenarkan oleh Undang-undang,” terang dia.(RUS/ENK)

  • Simalakama Raperda Zona Pesisir

    Simalakama Raperda Zona Pesisir

    SERANG, BANPOS – Demi menghindari celah hukum , Gubernur Banten dan DPRD Banten melanjutkan pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Banten. Dua Kementerian, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Dalam Negeri mengultimatum Pemprov agar segera mengesahkan Raperda ini menjadi Perda. Namun, arus penolakan terhadap Raperda yang dikebal dengan sebutan Raperda Zona Pesisir ini tetap kencang. Simalakama buat Gubernur Banten?

    Berdasarkan informasi dihimpun, DPRD serta Pemprov Banten sepakat membahas Raperda Zona Pesisir untuk menghindari jeratan hukum yang akan berakibat kepada Gubernur Banten Wahidin Halim (WH). Karena akan banyak kerugian negara jika dua Raperda ini tidak segera disahkan.

    Untuk Raperda RZWP3K, akan berpotensi pada tindakan pembiaran terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya laut seperti tambang pasir.

    Surat Mentri KKP Edy Prabowo dikeluarkan awal tahun lalu dengan nomor B-16/MEN-KP/I/2020 prihal Tindaklanjut RZWP3K Provinsi Banten, dan surat dari Dirjen Bina Pembangunan Daerah, Muhammad Hudori atas nama Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, bernomor 523/1479/Bangda Perihal, Percepatan Penetapan Raperda tentang RZWP3K Provinsi Banten.

    Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Banten Madsuri, beberapa waktu yang lalu mengatakan, setelah mendapat tembusan surat peringatan tersebut, dirinya langsung berkoordinasi dengan tim serta OPD terkait untuk melakukan kelanjutan pembahasannya.

    “Ini kan program yang dibahas oleh Pansus pada periode dewan sebelumnya yang belum selesai. Oleh karena itu, kemarin kami sudah melakukan koordinasi dengan OPD terkait untuk mengevaluasi kembali, sudah sejauh mana pembahasan Raperda ini,” katanya.

    Dari hasil koordinasi tersebut, lanjutnya, pembahasan masalah ini ternyata sudah hampir selesai semua, baik itu tahapan naskah Akademis, kajian akademis maupun penentuan titik koordinatnya. Sehingga, kini prosesnya sudah ada di Badan Musyawarah (Bamus) DPRD Banten.

    “Bapemperda hanya fasilitasi saja antara dewan dengan Pemprov. Untuk masalah teknis lanjutannya ada di Bamus dan Pimpinan,” ujarnya.

    Wakil Ketua DPRD Banten, Nawa Said Dimyati mengaku pembahasan Raperda Zona Pesisir dikebut bersama Raperda penambahan modal Bank Banten karena adanya pembatasan waktu dari pusat, serta untuk mengejar target di APBD perubahan untuk penambahan penyertaan modal Bank Banten.

    Untuk Raperda RZWP3K, lanjut Cak Nawa, harus dipercepat karena ada batas waktu dari Kementerian KKP sampai awal tahun 2021. Jika dalam waktu itu tidak bisa selesai, maka konsekuensinya Pemprov Banten harus mengulangnya dari awal lagi.

    Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Banten Muhtarom mengatakan, pihaknya sudah menyelesaikan terkait seluruh aspek teknis maupun administratif berkenaan dengan Raperda RZWP3K ini. Namun karena pembahasan di dewannya tidak sampai selesai, untuk itu pihaknya harus menunggu kelanjutan pembahasan pada anggota dewan yang baru ini.

    “Sudah. Sudah selesai semua. Termasuk titik koordinat dan batasan-batasan wilayahnya,” katanya.

    Terpisah, kelanjutan pembahasan Raperda Zona Pesisir juga kembali memantik penolakan. Saat Raperda ini dibahas oleh anggota DPRD Banten periode sebelumnya, gelombang aksi unjuk rasa dari aktivis lingkungan hidup dan kelompok masyarakat pesisir terus mengepung DPRD Banten untuk menyuarakan penolakan raperda tersebut.

    Ketika pembahasan raperda dibuka kembali, Aliansi Masyarakat Untuk keadilan (AMUK) Bahari Banten, dengan melayangkan surat protes yang disampaikan kepada Ketua DPRD Provinsi Banten serta seluruh ketua fraksi.

    Dalam surat tersebut, AMUK Bahari Banten menilai bahwa Gubernur Banten tidak menjalankan pasal 96 UU nomor 11 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam mengusulkan Raperda RZWP3K.

    Selain itu, mereka menilai bahwa Raperda RZWP3K akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan nelayan tradisional dan nelayan kecil yang berada di seluruh pesisir Provinsi Banten. AMUK Bahari Banten pun menolak penyampaian nota Gubernur atas usulan Raperda yang disampaikan pada Sabtu (11/7).

    Koordinator AMUK Bahari Banten, Aeng, mengatakan bahwa selama ini draft Raperda tersebut masih berisi perampasan ruang hidup masyarakat bahari. Apalagi dalam penyusunannya, Gubernur sebagai pengusul Raperda tidak melibatkan masyarakat pesisir untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan.

    “Gubernur dalam menyusun draf tersebut tidak melibatkan masyarakat nelayan untuk memberikan masukan baik lisan maupun tulisan. Padahal hal tersebut diatur pada pasal 96 ayat 1 sampai dengan ayat 4 UU No 11 tahun 2012 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” ujarnya.

    Aeng juga menegaskan bahwa Raperda tersebut sangat sulit untuk diakses oleh masyarakat nelayan dan komunitas-komunitas nelayan. Bahkan hingga saat ini pun, Aeng mengatakan bahwa Pemprov Banten belum pernah menggelar rapat dengar pendapat dengan masyarakat pesisir.

    “Gubernur Banten melalui Pemprov Banten belum pernah melakukan rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, sosialisasi dan atau seminar, lokakarya dan atau diskusi terkait rancangan peraturan daerah ini kepada masyarakat nelayan dan komunitas-komunitas nelayan sebagai masyarakat terdampak,” katanya.

    Pihaknya pun menjabarkan fakta-fakta yang bisa dijadikan pertimbangan dan alasan kenapa dan mengapa mereka memprotes rencana penyampaian nota Gubernur Banten atas usulan Raperda RZWP3K.
    Petama, ia menjelaskan bahwa dalam dinamika konstitusi dan rencana strategis pembangunan baik nasional maupun daerah terkait RZWP3K, tidak melibatkan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil dalam penyusunannya.

    “Rencana zonasi merupakan rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin,” ucapnya.

    Kedua, ia mengatakan bahwa usulan Raperda RZWP3K Provinsi Banten patut dipertanyakan apakah akan memberikan ruang yang adil untuk pemukiman nelayan. Padahal, provinsi ini memiliki rumah tangga nelayan tradisional sebanyak 9.235, yang terdiri dari 8.676 keluarga nelayan tangkap dan 559 keluarga nelayan budidaya. “Inilah bentuk ketidakadilan sekaligus bentuk perampasan ruang yang akan dilegalkan melalui Perda,” jelasnya.

    Yang ketiga yakni alokasi ruang untuk perikanan tangkap berada di titik-titik terjauh yang kecil kemungkinan tidak dapat diakses oleh nelayan tradisional, dengan menggunakan kapal di bawah 10 Gross Tonnage (GT).

    Dengan memperhatikan informasi alokasi ruang tersebut, ia mengatakan bahwa sangat terlihat arah pembangunan laut di provinsi Banten yang berorientasi pembangunan infrastruktur melalui Kawasan Strategis Nasional (KSN), sekaligus pembangunan ekstraktif-ekspolitatif melalui proyek pertambangan. Belum lagi alokasi ruang untuk proyek reklamasi yang berada di 54 kawasan pesisir Banten.

    “Proyek-proyek ini dipastikan akan menggusur ruang hidup masyarakat pesisir. Kami menolak RZWP3K disampaikan dalam Nota Gubernur. Kami meminta DPRD Banten sebagai reprentasi rakyat yang bekerja melakukan fungsi pengawasan dan legislalasi untuk menolak penyampaian nota Gubernur terkait Raperda RZWP3K tersebut, sebagai bentuk melindungi rakyat nelayan dari upaya perampasan ruang laut sebagai ruang hidup milik nelayan,” tegasnya.

    Ia juga menegaskan bahwa Raperda RZWP3K pernah diajukan Gubernur Banten sebelumnya pada DPRD Banten periode 2014-2019, dianggap cacat yuridis oleh pihaknya karena tidak menyertakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yang diamanatkan dalam peraturan menteri Kelautan dan perikanan.

    “Selain itu, Gubernur juga tidak melakukan konsultasi publik sebagaimana diatur dalam Pasal 49 huruf (e) dan Pasal 50 ayat (6) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 34/Permen-Kp/2014 Tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil,” ujarnya.

    Ia pun menuding bahwa Raperda RZWP3K didorong hanya untuk melegalisasi investasi yang terlanjur ada dan berkonflik dengan masyarakat. Usulan Gubernur Banten atas Raperda RZWP3K Provinsi Banten seyogyanya ditolak DPRD karena bertentangan dengan Undang-Undang lainnya.

    “Seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Ketiadaan ruang untuk pemukiman nelayan yang bertentangan dengan UU No. 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, UU No. 32 tahun 2009, Putusan MK No. 3 Tahun 2010, serta UU nomor 1 tahun 2014 yang melarang penambangan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” terangnya.

    Menurutnya, Negara pun seharusnya menjamin implementasi putusan MK No. 3 Tahun 2010 yang mengakui Hak Konstitusi Masyarakat Bahari. Mulai dari hak melintas dan mengakses laut, hak untuk mendapatkan perairan bersih dan sehat, hak untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan serta hak untuk mempraktikkan adat istiadat dalam mengelola laut yang telah dilakukan secara turun-menurun.

    “Negara harus menghentikan segala bentuk proyek yang ekstraktif dan eksploitatif di pesisir dan pulau-pulau kecil, serta menjamin penuh kedaulatan masyarakat bahari. Negara juga harus menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap masyarakat,” katanya.

    Dengan demikian, ia meminta kepada pimpinan DPRD Provinsi Banten dan seluruh ketua Fraksi-fraksi yang ada di DPRD Banten, untuk bersama-sama rakyat menolak Nota Gubernur Banten, atas inisiasi Raperda RZWP3K yang dinilai dapat meminggirkan hidup nelayan dalam haknya mengelola ruang laut sebagai ruang hidup milik nelayan.

    Terpisah, Gubernur Banten, Wahidin Halim (WH), dalam penyampaian nota pengantar mengungkapkan bahwa Raperda RZWP3K merupakan amanat pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa provinsi diberi kewenangan untuk mengelola sumber daya laut yang ada di wilayahnya.

    “Serta, amanat Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 pasal 7 ayat (3) tentang Pengelolalaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014. Pemerintah daerah wajib menyusun rencana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil paling jauh 12 (duabelas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan,” ujarnya.

    Dijelaskan WH, RZWP3K berfungsi sebagai dokumen formal perencanaan daerah, kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, memiliki keterkaitan dengan kebijakan perencanaan pembangunan nasional dan kebijakan penataan ruang, untuk memberikan kekuatan hukum dalam pemanfaatan ruang laut, alat sinergitas pemanfaatan spasial, acuan pemberian izin pemanfaatan ruang, rujukan konflik ruang laut, serta perisai legitimasi peruntukan ruang laut.

    Pemprov Banten, kata WH, dalam penyusunan Raperda ini mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan perikanan Nomor 23 Tahun 2016 dan surat Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B-16/Men-KP/I/2020 tentang Tindak Lanjut Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Banten.

    “Penyelesaian Raperda ini juga mendapatkan atensi dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 523/1479/BANGDA, perihal percepatan penetapan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Proviinsi Banten,” tandasnya. (DZH/ENK)

  • SK Gubernur Banten Digugat

    SK Gubernur Banten Digugat

    SERANG, BANPOS – Pemprov Banten dalam pelaksanaan seleksi Komisi Informasi (KI) Banten disebut tidak mengikuti tahapan yang telah diatur dalam Peraturan Komisi Informasi (PerKI) nomor 4 tahun 2016. Dalam seleksi itu, Pemprov Banten tidak menjalankan tahapan uji publik bagi 15 calon Komisioner KI.

    Karenanya, Gubernur Banten, Wahidin Halim, selaku pihak yang mengeluarkan SK Gubernur nomor 491.05/Kep.348-huk/2019 yang mengesahkan struktur KI periode 2019-2023 digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena SK itu dianggap tidak sah.

    Diketahui, gugatan tersebut dilakukan oleh salah satu pegiat informasi Banten, Moch Ojat Sudrajat. Saat ini proses persidangan di PTUN tersebut akan memasuki tahap pembacaan replik dari penggugat atas jawaban eksepsi yang disampaikan oleh tergugat.

    Kepala Bidang Aplikasi Informatika dan Komunikasi Publik pada Diskominfo Provinsi Banten, Amal Herawan Budhi, membenarkan bahwa terdapat gugatan terhadap Gubernur Banten dengan objek gugatan SK Gubernur nomor 491.05/Kep.348-huk/2019.

    “Itu masih berproses yah, replik dan duplik. Baru hari Rabu kemarin ada sidang. Jadwalnya sampai Agustus nanti,” ujar Amal Herawan Budhi saat dikonfirmasi BANPOS melalui sambungan telepon, Kamis (7/6).

    Menurutnya, gugatan tersebut karena disebutkan ada tahapan yang tidak dilakukan dalam seleksi Komisioner KI Banten, yakni uji publik.

    “Kalau lihat substansinya itu kan ada yang terlewatkan yah. Karena kebetulan produk SK Gubernur yang keluar itu merupakan subtansi dari langkah yang tidak dilakukan oleh DPRD pada saat uji publik. Jadi gugatannya itu dalam seleksi tidak meminta pendapat dari publik,” katanya.

    Namun berdasarkan hasil komunikasi dengan DPRD Provinsi Banten, Amal menerangkan bahwa pihak DPRD mengatakan telah melakukan uji publik dengan meminta pendapat dari para konstituennya.

    “Jadi pak Ojat selaku penggugat menganggap bahwa DPRD tidak melaksanakan tahapan uji publik. Tapi kami konfirmasi kepada Komisi I mereka menyatakan bahwa mereka kan punya konstituen. Mereka ada yang menanggapi itu. Jadi di iklan koran tidak disebutkan klausul itu,” ucapnya.

    Oleh karena itu, DPRD Provinsi Banten langsung melakukan tahapan uji kelayakan dan kepatutan kepada 15 calon Komisioner KI tersebut dan menghasilkan 5 nama Komisioner KI yang akhirnya disahkan melalui SK Gubernur, yang saat ini menjadi objek gugatan.

    Menurutnya, gugatan tersebut lebih mengarah pada personal komisionernya, bukan pada instansi Komisi Informasinya. Bahkan ia mengatakan bahwa seharusnya yang menjadi tergugat dua merupakan DPRD Provinsi Banten, bukan KI Banten.

    “Dari sisi gugatannya juga disitu yang tergugat dua malah KI yah. Seharusnya kalau menurut saya sih yang ikut tergugat adalah DPRD yah,” terangnya.

    Namun menurutnya, apabila PTUN memutuskan bahwa gugatan yang dilakukan oleh penggugat diputuskan menang, maka Pemprov Banten akan mengikuti segala keputusan hukum yang ditetapkan.

    “Itu harus keputusan hukum ketika selesai gugatan. Kalau kami kan akan mengikuti saja keputusannya seperti apa,” ucapnya.

    Terpisah, Ojat Sudrajat selaku penggugat mengatakan bahwa gugatan yang ia lakukan merupakan langkah hukum atas adanya tahapan seleksi yang tidak dilakukan oleh Pemprov Banten. Tahapan itu yakni uji publik.

    “Tahapan yang diduga tidak dilakukan yaitu uji publik yang seharusnya dilakukan sebelum fit and proper test. Hal itu diatur dalam PerKI Pusat nomor 4 tahun 2016 tentang pedoman pelaksanaan seleksi dan penetapan Komisi Informasi pasal 19 ayat 3,” ujarnya kepada BANPOS, Sabtu (7/6).

    Ojat menilai, DPRD Provinsi Banten tidak melakukan tahapan uji publik karena Gubernur Banten dalam surat yang disampaikan kepada Ketua DPRD Provinsi Banten dengan nomor 555/3779-Diskominfo/2019, hanya meminta DPRD melakukan uji kepatutan dan kelayakan saja.

    “Kalau saya melihatnya kenapa DPRD Provinsi Banten tidak melakukan tahapan uji publik, karena surat dari Gubernur pada tanggal 5 November 2019 hanya meminta uji kepatutan dan kelayakan kepada DPRD Provinsi Banten, tidak meminta uji publik kepada dewan,” terangnya.

    Terkait pernyataan dari pihak Diskominfo Provinsi Banten yang mengatakan bahwa DPRD telah melakukan uji publik melalui konstituennya, Ojat mengaku hal itu sah-sah saja. Akan tetapi, ia meminta agar segala pernyataan dapat berlandaskan aturan yang.

    “Gini ya, syarat melakukan uji publik itu pada pasal 19 ayat 3 berbunyi paling lambat tiga hari setelah diterimanya nama-nama calon Komisioner KI yang diajukan oleh Presiden/Gubernur/Walikota/Bupati, DPR atau DPRD mengumumkan nama-nama tersebut pada dua surat kabar nasional dan/ local untuk dua kali terbit dan dua media massa elektronik selama tiga hari berturut-turut, untuk mendapatkan masukan atau penilaian dari setiap orang,” jelasnya.

    Dalam jawaban eksepsi tergugat, Ojat mengatakan tergugat melampirkan bukti bahwa mereka telah mempublikasikan hal tersebut kepada media massa. Akan tetapi, Ojat menegaskan hal tersebut tidak sesuai dengan aturan. Sebab, tanggal yang tertera dalam publikasi telah melewati waktu yang ditentukan yakni tiga hari setelah diterima nama-nama calon KI.

    “Begini aja, ini surat tanggal 5 November. Diterimanya tanggal 8 November. Seharusnya kalau memang mereka mengikuti aturan, paling lambat dalam mempublikasikannya yaitu tanggal 11 November. Tapi bukti yang dilampirkan justru publikasi pada tanggal 1 hingga 3 Desember,” terangnya.

    Selain itu, publikasi yang dilampirkan dalam jawaban eksepsi pun menurut Ojat, bukanlah publikasi 15 nama calon Komisioner KI. Akan tetapi, publikasi bahwa akan dilakukannya uji kepatutan dan kelayakan oleh DPRD Provinsi Banten. Menurutnya hal tersebut tidak sesuai dengan aturan.

    “Nah sekarang kalau mereka berargumentasi bahwa dewan memiliki konstituen, lalu bagaimana dengan masyarakat yang dianggap bukan konstituennya bagaimana. Artinya itu sudah mulai mengotak-ngotakkan masyarakat. Padahal uji publik itu bisa siapa saja,” tegasnya.

    Mengenai gugatan yang dianggap tidak tepat sasaran karena menjadikan KI sebagai pihak yang tergugat, Ojat mengaku itu merupakan hal yang keliru. Sebab, ia sama sekali tidak menggugat KI Banten, akan tetapi menggugat Pemprov Banten dalam hal ini Gubernur Banten selaku pihak yang mengeluarkan SK.

    “KI tidak saya gugat, yang saya gugat adalah Pemprov dalam hal ini pak Gubernur karena yang mengeluarkan SK adalah beliau. Saya juga tidak menggugat dewan, karena dewan tidak mengeluarkan SK tersebut. Kecuali memang dewan yang mengeluarkan SK. Adapun KI menjadi tergugat intervensi dua, itu bukan saya yang menentukan. Dewan pun menjadi tergugat intervensi satu, namun memang tidak mengambil haknya untuk memberikan jawaban,” ungkapnya.

    Ojat menerangkan, akhir dari gugatan yang ia inginkan sudah pasti sama dengan yang tertera dalam petitumnya. Yakni agar pengadilan dapat mengabulkan gugatan secara sepenuhnya, menyatakan batal atau tidak sahnya SK Gubernur, mewajibkan tergugat untuk mencabut SK dan tergugat membayar biaya perkara.

    “Apabila gugatan dimenangkan, maka masalah strukturalnya dirubah atau diulang seleksinya, itu kembali kepada hak prerogratif pak Gubernur. Namun secara otomatis kepengurusan yang sekarang ini batal,” ucapnya.

    Selain itu, apabila memang gugatan yang ia sampaikan dimenangkan oleh PTUN, maka dalam petitum kedua yang ia sampaikan adalah agar dilakukan penundaan keputusan.

    “Kenapa? Karena ternyata saya melihat DPA KI yang bermasalah. Dalam DPA mereka itu disahkan tanggal 27 Desember 2019. Tapi mereka menggunakan standar satuan harga (SSH) yang justru Pergubnya baru disahkan pada 30 Desember 2019,” katanya.

    Menurutnya, hal tersebut memiliki potensi adanya kerugian keuangan daerah pada kejadian tersebut. Oleh karena itu, berlandaskan UU nomor 30 tahun 2014 pasal 65, ia meminta agar dilakukan penundaan keputusan.

    “Jadi ketika ada penundaan, maka apabila mereka meminta banding, ini tidak bisa berjalan seperti biasa. Artinya, kegiatan normatifnya tidak akan bisa dilakukan,” tandasnya. (DZH/ENK)

  • Salat Id di Rumah, Tapi Boleh Berkumpul di Mall

    Salat Id di Rumah, Tapi Boleh Berkumpul di Mall

    KONTRADIKSI kebijakan terjadi di Kota Cilegon terkait situasi menjelang dan pada saat perayaan Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah. Walikota mengimbau masyarakat untuk melaksanakan Salat Id di rumah masing-masing, tetapi justru membiarkan warga mengabaikan social distancing dengan berkumpul di pusat-pusat perbelanjaan.

    Warga Cilegon diimbau melaksanakan Idul Fitri di rumah. Imbauan itu disampaikan terkait adanya wabah Korona yang sudah masuk Cilegon. Imbauan datang dari Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Cilegon. Unsur Forkopimda terdiri atas Wali Kota, Kapolres, Dandim, Kajari, dan jajaran lembaga setingkat kota.

    “Betul, ini aturan pemerintah. Jadi saya akan mengeluarkan (Surat Edaran Wali Kota Cilegon) bahwa sudah (masyarakat), salat di rumah saja,” kata Walikota Cilegon Edi Ariadi.

    Edi mengatakan Pemkot Cilegon akan mengeluarkan surat edaran sesuai dengan edaran Menteri Agama untuk melaksanakan salat Tarawih dan Idul Fitri di rumah.

    Sementara itu, Kapolres Cilegon AKBP Yudhis Wibisana mengatakan selama ini sosialisasi sudah dilakuakan untuk menyamakan persepsi dengan tokoh agama di Kota Cilegon.

    Polisi berharap ulama, kiai, ustaz, dan tokoh masyarakat mensosialisasikan edaran pemerintah tersebut kepada masyarakat.

    “Jangan sampai nanti petugas di lapangan tidak didukung oleh para ulama, kiai, dan Ketua MUI. Justru mereka nanti harus kita kedepankan untuk menjelaskan, makanya kita sampaikan. Kalau bisa, beliau ini jadi duta Korona-lah,” katanya.

    Meski mengimbau agar masyarakat tidak berkumpul untuk melaksanakan Salat Id berjamaah di tempat umum, situasi berbeda terjadi menjelang hari Raya Idul Fitri. Sejumlah paar dan Mall di Kota Cilegon justru disesaki warga yang berbelanja kebutuhan lebaran.

    Meski pemerintah menganjurkan untuk membatasi aktivitas, berdasarkan pantauan BANPOS pada Selasa (19/5), mulai dari tempat parkir kemacetan tak bisa dihindarkan di Pasar Kranggot, kota Cilegon. Bahkan ketika memasuki pasar banyak pengunjung yang tidak menjalankan sosial distancing dan tidak mengenakan masker.

    Anita (27) salah seorang pengunjung mengaku jika ia akan membeli pakaian dan yang lainnya untuk kebutuhan Lebaran. Meski mengaku khawatir akan virus Korona. Namun ada beberapa barang sangat dibutuhkan menjelang Lebaran.

    “Sebenarnya sih takut sama virus Korona, tapi kan mau gimana lagi banyak keperluan yang mau dibeli,” katanya.

    Ia menambahkan, jika dirinya sudah berusaha untuk menjalankan protokol kesehatan, karena ia sudah memprediksi jika kondisi pasar sedang ramai.

    “Agar tidak tertular saya memakai masker, dan agak jaga jarak dengan pengunjung yang lainnya,” ucapnya.

    Sementara itu, salah seorang pedagang yang tidak mau disebutkan namanya mengaku jika sebenarnya takut sama virus Korona.

    “Takut sih takut, cuma kalau gak jualan mau makan apa. Sekarang aja penghasilannya tidak seramai tahun-tahun kemaren, karena ramai-ramainya baru sekarang-sekarang ini,” tandasnya.

    Ditempat berbeda imbauan juga tidak berlaku untuk warga Kota Cilegon yang sedang berkunjung di Citimall Cilegon, Minggu (17/5).

    Pantauan di lokasi sejumlah tenant begitu ramai pengunjung salah satunya di tenant Matahari antrian begitu panjang, tidak menerapkan psycal distancing atau arahan dari pemerintah sesuai dengan protokol Covid-19. Sejumlah masyarakat beraktivitas seperti biasa di mal tersebut.

    Euis Murniati (23) satu di antara pengunjung Citimall mengatakan dirinya merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Waspada boleh, tapi tidak perlu khawatir berlebihan,” ujarnya.

    Euis juga mengatakan walaupun di Kota Cilegon sudah ada yang terjangkit virus Korona, namun itu tertular dari luar daerah Cilegon.

    “Cilegon masih aman kok, belum seperti di Jakarta, yang penting tetap bisa jaga kebersihan diri mulai cuci tangan dan lain-lain,” ujarnya.

    Di tempat yang sama Ahmad Afandi pengunjung lainnya juga tanpa ada rasa khawatir penyebaran virus Korona.

    “Kebetulan ini hari libur, dan sebentar lagi lebaran, jadi saya belanja kesini. Tidak usah khawatir berlebihan banyakin berdoa saja, semoga kita semua dijauhkan,” ujarnya.

    Ahmad mengatakan selagi tidak ada perintah dari pemerintah untuk menutup tempat jadi lokasi itu masih aman.

    “Menurut saya santai saja, yang penting kita bisa jaga diri untuk tidak sakit,” pungkasnya.

    Sementara itu pihak management Citimall dan Matahari ketika dimintai keterangan perihal pengawasan protokol Covid-19 masih kurang. Pihaknya enggan memberikan keterangan dengan dalih harus dari pusat yang memberikan keterangan secara resmi.

    Di bagian lain, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Cilegon Ahmad Aziz Setia Ade Putera hanya bisa mengimbau karena itu merupakan kewenangan Walikota Cilegon Edi Ariadi.

    “Saya berharap walaupun mall itu sudah boleh dibuka tapi tetap harus melaksanakan protokol pelaksanaan Covid-19. Psycal distancing, dari segi pengelola mall juga harus ekstra ketat menerapkan protokol itu mulai pertama masuk di cek suhu tubuh, cuci tangan dulu. Didalam mall nya harus psycal distancing,” tandasnya.(LUK/ENK)