Kategori: INDEPTH

  • Menggugat Profesionalitas ASN

    Menggugat Profesionalitas ASN

    KINERJA Aparatur Sipil Negara (ASN) akan sangat menunjang laju kemajuan di suatu daerah. Karenanya, dituntut profesionalitas ASN dalam menjalankan fungsi-fungsinya agar masyarakat bisa merasakan dampak kerja dari pemerintahan di daerahnya. Lalu bagaimana kinerja ASN di Banten?

    Merujuk pada data Badan Kepegawaian Nasional (BKN) Regional III yang diterbitkan pada 2022 lalu, Deputi PATTIRO Banten, Amin Rohani menilai kinerja dan profesionalitas pegawai di lingkungan Pemprov Banten masuk dalam kategori sangat rendah.

    Terang saja, dari sejumlah indikator yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap 9.051 ASN di lingkungan Pemprov Banten, capaian kinerja profesionalitas pegawai pemerintahan Provinsi Banten baru mencapai di angka 31,29 poin atau dengan kata lain, kinerja Pemerintah Provinsi Banten masih tergolong sangat rendah.

    “Banten sendiri memperoleh nilai indeks profesionalitas ASN yang sangat rendah. Dari jumlah PNS 9.051 yang diukur kualifikasinya hanya di angka 15,37. Sementara kompetensinya di 9,55, kinerjanya di 1,38, disiplinnya di 4,98. Dan skor akhirnya di 31,29 ini sangat-sangat rendah,” ungkap Amin kepada BANPOS.

    “Karena untuk nilai rata-rata indeks kategori r`endah saja, skornya berada di angka 51,83. Ini malah jauh di bawah itu,” imbuhnya.

    Rendahnya kinerja pegawai pemerintahan, menurut Amin, tentu akan berdampak pula pada kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Sehingga, jika melihat skor penilaian tersebut maka, menurutnya masyarakat Banten justru akan merasa dirugikan.

    “Nah ini jelas merugikan rakyat Banten yang menerima pelayanan publik dari ASN. Kalau kita melihat nilai ini ya justru secara kualifikasi, kompetensi, kinerja, bahkan disiplin gitu indeksnya sangat rendah,” jelasnya.

    “Kalau melihat dari sini jelas bahwa ASN di Provinsi Banten itu akan merugikan masyarakat Banten itu sendiri. Karena ketika kualifikasi dan kinerjanya rendah maka otomatis pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat Banten tentu akan rendah dan merugikan,” terangnya lagi.

    Penilaian ini sangatlah penting baginya, Karena dengan begitu, maka masyarakat dapat mengukur sejauh mana capaian kinerja para pegawai pemerintahan.

    Tidak hanya itu saja, Amin juga menjelaskan, dengan melihat capaian penilaian indeks kinerja maka masyarakat dapat menilai apakah pemerintah dapat bekerja secara efektif dan efisien atau justru malah sebaliknya.

    “Ketika kinerja ASN di Provinsi Banten itu rendah, atau indeks kinerja profesionalitasnya rendah, maka sudah otomatis untuk mencapai efektivitas dan efisien pelayanan publik tidak mungkin bisa tercapai. Berbicara efektivitas dan efisiensi itu, bicara soal inovasi. Sementara inovasi akan dihasilkan oleh orang-orang yang sudah mampu menjalankan kinerja yang baik,” menurut pemaparannya.

    Oleh karenanya, Amin mendorong BKD (Badan Kepegawaian Daerrah, red) untuk dapat berusaha meningkatkan kembali capaian kinerja para pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten. Sebab, menurutnya BKD merupakan lembaga yang bertanggungjawab atas hasil capaian tersebut.

    “BKD sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap peningkatan kinerja ASN, justru harus melakukan beberapa langkah. Menurut saya, pertama harus ada evaluasi secara menyeluruh dan simultan tentunya, atau berkala terhadap seluruh ASN yang ada di Provinsi Banten,” ujarnya.

    Di samping itu, pegiat PATTIRO Banten itu pun juga menekankan kepada Pemprov Banten, khususnya BKD untuk dapat menempatkan pegawai sesuai dengan bidang kompetensinya. Pasalnya, hal itu juga turut memberikan andil terhadap capaian kinerja di lingkungan Pemerintah Provinsi Banten.

    “Evaluasi kinerja juga harus benar-benar dilakukan secara serius dan tidak seremonial, sehingga BKD mampu memetakan mana yang memiliki kompetensi kinerja dan kualifikasi yang sesuai. Dari hasil evaluasi maka dilakukan pemetaan yang memang benar-benar sesuai. Jangan sampai ada lagi ditemukan seorang ASN yang bertahun-tahun mengurusi masalah pendapatan keuangan misalnya, lalu kemudian ditempatkan pada posisi harus melakukan pemberdayaan masyarakat. Nah tentu ini akan berdampak tidak baik terhadap pelayanan publik,” tandasnya.

    Buakan hanya di Pemrov Banten, di Kota Cilegon juga kinerja ASN-nya ikut disorot. Anggota DPRD Kota Cilegon Erick Rebiin menilai kinerja apparatus sipil di lingkungan Pemkot Cilegon menurun.

    “Kalau saya melihat memang menurunnya kinerja ASN Pemerintah Kota Cilegon. Saya melihat dari fakta yang ada salah satunya adalah kita melihat di beberapa tahun terakhir melihat Silpa daripada APBD Kota Cilegon itu yang lumayan fantastis ini tinggi sekali sejak 2021, 2022 sampai kita melihat di 2023 tidak menutup kemungkinan sangat besar,” tutur Erick kepada BANPOS saat ditemui di Gedung DPRD Kota Cilegon, Kamis (27/7).

    “Artinya disitu kita bisa mengevaluasi bahwa ASN itu secara kinerja tidak maksimal,” tambahnya.

    Hal kedua yang membuat Erick menilai penurunan kinerja ASN di Pemkot Cilegon adalah melambannya laju pembangunan. Menurutnya, sampai dengan akhir Juli pembangunan di Kota Cilegon tak ada pergerakan.

    “Karena salah satu yang belum bergerak adalah apa yang menjadi aspirasi masyarakat yang disampaikan kepada dewan dan sudah mengusulkan di Pemerintahan Kota Cilegon itu belum bergerak sampai saat ini,” sambungnya.

    Erick menuntut kepada Pemkot Cilegon agar segera meningkatkan kinerjanya. Karena, saat ini sudah bulan Juli dan sebentar lagi di bulan Agustus itu akan melaksanakan reses kembali.

    “Jangan sampai nanti anggota dewan menjadi bulan-bulanan masyarakat, kenapa begitu? Karena ketika kita sudah ketemu reses kembali kemarin mereka aspirasi disampaikan kepada kita itu pun belum dilaksanakan oleh Pemerintah kota Cilegon,” ungkapnya.

    “Nah ketika kita hadir lagi agenda yang sama, jangan-jangan nanti kita dilempar batu oleh masyarakat karena kita dianggap hanya membual saja. Ini kan jadi bumerang buat kami di legislatif dan ini menjadi momok yang tidak baik,” tegasnya.

    Politis Partai NasDem ini mengungkapkan para ASN Pemkot Cilegon banyak alasan untuk melakukan suatu pekerjaan. Karena menurutnya pekerjaan tersebut sudah menjadi rutinitas setiap tahunnya.

    Erick mencontohkan dalam sebuah rapat gabungan dengan Organiasai perangkat daerah (OPD) di Pemkot Cilegon, salah satu pejabat berkelit lambannya pembangunan terjadi karena kekurangan personil. Padahal kondisi itu sudah berlangsung dari dulu.

    “Apakah itu bukan pekerjaan yang sudah rutin mereka lakukan? Kenapa harus ada alasan saat ini ketika Pemkot Cilegon sudah berdiri 22 tahun? Saya pikir kinerja ASN Kota Cilegon memang tidak maksimal,” kata Erick.

    Soal penyerapan anggaran yang jadi tolok ukur kinerja ASN juga diamini Wakil Ketua DPRD Kota Serang, Roni Alfanto. Dia mengatakan, penilaian kinerja ASN salah satunya dengan melihat capaian dari apa yang ditargetkan.

    Dirinya menyampaikan, di Kota Serang kinerja ASN yang ada pada setiap OPD bervariasi. Ada yang memiliki kinerja sangat baik dan ada pula yang memiliki kinerja yang menurutnya buruk.

    “Ada beberapa OPD yang realisasinya bagus. Artinya itu berkinerja baik jika dilihat dari tinjauan realisasi pendapatan. Ada juga OPD yang kami anggap kinerjanya buruk,” ucapnya.

    Roni menjelaskan terkait OPD yang memiliki kinerja baik, diantaranya yakni Dinas Kesehatan dengan realisasi pendapatan lebih dari 50 persen. Sedangkan OPD yang hingga semester satu ini memiliki realisasi pendapatan buruk diantaranya yakni Dinas Pertanian dan Perikanan yang realisasi pendapatannya hanya sebesar empat persen.

    “Diantaranya dinas kesehatan, alhamdulilah target semester satu sudah 50 persen lebih. Artinya, enam bulan kedepan itu bisa direalisasikan. Sedangkan OPD yang realisasi pendapatannya buruk diantaranya yaitu Dinas Pertanian dan Perikanan. Dimana, dari target yang ditetapkan senilai Rp2.013.000.000 sekian, realisasi semester satu baru sekitar Rp80 juta. Jadi masih ada Rp1,9 miliar lagi yang belum bisa direalisasikan. Target yang ditetapkan Rp2 miliar, realisasi pendapatannya hanya Rp80 juta, sehingga persentasenya itu baru 4 persen,” jelasnya.

    Menurutnya, OPD-OPD dengan serapan anggaran rendah itu akan dipanggil untuk nantinya dievaluasi. Karena dengan serapan anggaran yang dicapai saat ini, akan sulit memenuhi target realisasi pendapatan hingga 100 persen di akhir tahun.

    “Sedangkan dalam waktu enam bulan lagi, ini sulit sekali untuk mencapai 100 persen. Artinya kita perlu evaluasi. Kita ada ASN yang berprestasi dan bekerja baik serta ada juga yang menurut kami buruk dan perlu dievaluasi. Kita sudah agendakan di rapat APBD perubahan dan kita bersama TAPD sudah sepakat untuk juga menghadirkan dinas-dinas yang realisasi pendapatannya tidak baik diantaranya dinas pertanian,” tandasnya.(MG-01/MG-02/LUK/ENK)

  • Pelayanan Publik Baik, Kinerja ASN Banten Bermasalah

    Pelayanan Publik Baik, Kinerja ASN Banten Bermasalah

    DEKAN Fakultas Hukum Universitas Primagraha, Fathullah mengatakan, sepanjang pelayanan publik yang menjadi tugas pokok kewenangan dari ASN masih dapat terpenuhi maka dalam hal profesionalitas dianggap baik. Akan tetapi, kalau pelayanan publik terganggu, karena ada hal yang diluar ketentuan dan masih terus berjalan, itu berarti pelayanan publik terkait profesionalitas ASN bermasalah.

    “Tentu saat ini, saya melihat bahwa ASN yang ada di Provinsi Banten dan di Kota Serang khususnya, selama mereka masih bekerja sesuai dengan tugas pokoknya, terbilang masih baik. Tetapi kalau diluar itu, ada hal-hal yang kita anggap bermasalah dalam kaitannya dengan pelayanan publik, pelaksanaan program pemerintah ynag tidak sesuai tugas pokok masing-masing, itu bermasalah,” katanya.

    Menurutnya, saat ini sangat penting para ASN untuk dapat meningkatkan profesionalitasnya. Caranya dengan mengikuti pendidikan dan pelatihan karena tugas mereka bukan hanya sekedar menjadi ASN, tetapi juga ada tugas-tugas yang menjadi atensi terkait program yang dicanangkan pemerintah agar bisa terealisasi.

    “Makanya harus dibekali dengan penguatan kapasitas internal dan kapasitas SDM, salah satu caranya dengan melakukan training (pelatihan, red). Kompetensi yang dilakukan ASN sangat penting, karena untuk bisa lebih memperkuat kapasitas internal, juga kaitannya dengan bagaimana menerapkan dan melaksanakan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah,” ujarnya.

    Saat ini, hal yang menjadi tantangan dan hambatan untuk para ASN ialah perkembangan jaman yang semakin kompleks. Seorang ASN yang merupakan pelayan publik harus memiliki kemampuan yang mumpuni.

    “Karena kompleksitas masyarakat yang semakin maju dan perkembangan jaman yang luar biasa, makanya tantangan ini harus diimbangi dengan kemampuan SDM dari masing-masing ASN. Karena ASN merupakan pelayan publik dalam merepresentasikan program pemerintah kepada masyarakat,” ucapnya.

    Fathullah juga menerangkan, bahwa pemerintah daerah pun sangat berpengaruh dalam profesionalitas. Karena pemerintah daerah merupakan pucuk pimpinan dan kepala daerah memiliki peran penting untuk berupaya bagaimana seluruh pegawai ASN di daerahnya mampu memberikan pelayanan terbaik dan melaksanakan program terbaik dari pemerintah untuk masyarakat.

    “Maka kepentingan kepala daerah harus bisa melihat kepentingan ASN sebagai ujung tombak dari pada pelaksana program di daerah, dimana kepala daerah harus betul-betul bisa mengendalikan dan mengawasi para ASN agar pelaksana program pemerintah secara umum dapat tercapai sesuai target yang dicanangkan,” terangnya.

    Dalam penempatan kerja, para ASN pun harus disesuaikan dengan bidang kompetensinya. Supaya dalam melaksanan program yang sudah dicanangkan dapat terealisasikan dengan lebih efektif.

    “Mestinya, kompetensi ASN ditempatkan sesuai dengan kompetensi pendidikan yang dia sandang. Agar lebih efektif dalam pelaksanan program-progam yang ada,” tandasnya.(MG-02/ENK).

  • Menanti Jawaban BBWSC3

    Menanti Jawaban BBWSC3

    SUDAH hampir satu bulan lamanya, dugaan kerusakan Bendungan Sindangheula yang disebut menjadi penyebab banjir bandang Kota Serang mengemuka. Namun, selama itu pula Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau Ciujung Cidurian (BBWSC3) bungkam dan tidak memberikan statemen apapun, terkait dengan hal itu.

    Beberapa kali BANPOS berupaya untuk mengkonfirmasi hal tersebut kepada pihak BBWSC3, sejak edisi Indepth BANPOS yang terbit pada Senin 10 Juli lalu. Namun, tidak ada jawaban dari pihak BBWSC3 mengenai dugaan itu.

    Teranyar, BANPOS mendatangi kantor BBWSC3 yang beralamat di Jalan Ustad Uzair Yahya Nomor 1, Kelurahan Cipare, Kecamatan Serang, Kota Serang pada Kamis (20/7). Sekitar pukul 14.40 WIB, BANPOS tiba di kantor tersebut, dan bertemu dengan pria yang mengaku sebagai Humas BBWSC3.

    Saat mengetahui bahwa wartawan yang datang berasal dari BANPOS, pria itu terdengar marah, dan mengatakan bahwa karena BANPOS, ia dan Sekretaris BBWSC3, Hadian, dimarahi oleh Kepala BBWSC3. Ia mengatakan, seharusnya BANPOS tidak menerbitkan berita tersebut, karena pihak BBWSC3 belum memberikan konfirmasi.

    Menurutnya, persoalan itu sangatlah sensitif sehingga harus menunggu jawaban dari pihaknya sebelum berita diterbitkan. Kecuali menurutnya, berita itu terkait dengan agenda-agenda BBWSC3 seperti senam bersama dan lain-lain. Berita tanpa konfirmasi menurutnya, juga boleh dilakukan hanya untuk berita yang bagus-bagus saja buat BBWSC3. Bahkan, ia sempat menyampaikan bahwa apabila BANPOS tetap menerbitkan berita sebelum pihaknya memberikan konfirmasi, maka BANPOS akan di-blacklist dari BBWSC3, dan dilaporkan. Meskipun tidak disampaikan kemana dirinya akan melapor.

    Wartawan BANPOS sempat menyampaikan bahwa BANPOS sudah beberapa kali berupaya untuk melakukan konfirmasi, namun konfirmasi yang diberikan justru telat diberikan. Selain itu, konfirmasi itu tidak menjawab pertanyaan terkait dengan kerusakan yang berakibat pada banjir bandang di Kota Serang. Kendati telat, jawaban dari pihak BBWSC3 tetap diterbitkan oleh BANPOS pada edisi selanjutnya.

    BANPOS pun menyampaikan bahwa kedatangannya itu, untuk mengonfirmasi terkait dengan dugaan kerusakan, yang juga diperkuat dalam dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK) pekerjaan Bendungan Sindangheula yang tengah dilakukan saat ini.

    Ia pun menghubungi Hadian untuk berkoordinasi terkait dengan itu. Hadian pun mengarahkan untuk berkoordinasi dengan Kepala Bidang PJSA, David Partonggo Oloan Marpaung. Namun sayangnya, David tidak bisa memberikan konfirmasi saat itu, dan meminta dijadwalkan pada pekan depan.

    Untuk diketahui, sebelum edisi Indepth terbit, BANPOS sempat memberikan surat kepada pihak BBWSC3 terkait dengan permohonan konfirmasi. Dalam surat tersebut, BANPOS menuliskan bahwa berita akan ditayangkan pada Jumat 7 Juli. Lantaran tidak mendapatkan konfirmasi, BANPOS sempat menunda penayangan menjadi Senin 10 Juli. Melalui pesan WhatsApp kepada Hadian pun, BANPOS menegaskan bahwa penayangan berita akan dilakukan pada 10 Juli. Akan tetapi, konfirmasi yang seharusnya diberikan maksimal pada Minggu 9 Juli, baru dikirimkan pada 10 Juli. Sementara terkait dengan dugaan kerusakan, tidak dijawab hingga berita ini ditulis.

    Terpisah, Pengurus Daerah (PD) Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Serang menyayangkan sikap bungkamnya BBWSC3, terkait dugaan kerusakan bendungan yang mengakibatkan terjadinya banjir bandang di Kota Serang. Bahkan, mereka mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa, apabila BBWSC3 tidak membuka kebenaran terkait dengan hal itu.

    Ketua Umum PD KAMMI Serang, Roja Rohmatulloh, dalam keterangan tertulis mengatakan bahwa BBWSC3 harus bertanggungjawab jika memang berbohong soal penyebab banjir bandang Kota Serang pada Maret 2022 lalu. Kebohongan yang dimaksud yakni bahwa penyebab banjir bandang adalah murni akibat alam, bukan karena Bendungan Sindangheula.

    “Karena memang ini yang bertanggung jawab adalah BBWSC 3, jadi mereka harus bertanggung jawab seandainya terjadi kebohongan,” ungkap Roja dalam keterangan tertulis.

    Berdasarkan data yang pihaknya miliki, terdapat dokumen yang menyatakan jika terdapat kerusakan pada Bendungan Sindangheula. Salah satunya yaitu kerusakan pada hollow jet valve, yang merupakan pintu air utama bendungan.

    “Kabar yang kami dapat juga menyatakan kalau pintu air itu rusak sebelum banjir bandang terjadi. Artinya meluapnya air bendungan itu diduga kuat karena rusaknya pintu air, bukan seperti klaim BBWSC3 yang menyatakan kalau itu murni peristiwa alam,” tegasnya.

    Roja pun mengatakan, para pihak terkait beserta penegak hukum harus segera melakukan koordinasi, agar kebenaran akan hal ini bisa segera ditemukan, dan dapat segera dipertanggungjawabkan apabila memang terdapat kelalaian yang berakibat pada kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa.

    “Itu kan sudah satu tahun lalu, pada awal tahun 2022, pihak-pihak terkait seperti pemkot terus kemudian penegak hukum harus mencari tahu kebenarannya. Selain itu juga harus mencari jalan untuk pertanggungjawaban atas hal ini,” tegasnya.

    Ia pun mengungkapkan bahwa jika benar adanya kebohongan dari BBWSC3, pihaknya akan mendorong semua yang terlibat hal itu agar segera memberikan klarifikasi dan pertanggungjawaban.

    “Kalau seandainya memang hal itu betul terjadi, karena ini juga cukup besar kerugiannya. KAMMI Serang mendorong agar pihak terkait klarifikasi terhadap tanggapan masyarakat atas kebohongan yang terjadi setahun ini,” ujarnya.

    Terakhir ia pun menegaskan bahwa KAMMI Serang akan segera turun ke jalan jika tidak ada kejelasan dari pihak-pihak terkait, terkhusus BBWSC3 selaku pengelola bendungan. “Jika memang pihak BBWSC3 tidak mau memberikan klarifikasi, maka kami tidak segan untuk turun ke jalan menuntut kebenaran yang diduga telah ditutup selama ini,” tandasnya.

    Sementara itu, usai rapat paripurna, Walikota Serang, Syafrudin, menegaskan bahwa sejak awal dirinya meyakini jika memang ada kejanggalan pada tragedi banjir bandang yang terjadi pada Maret 2022 lalu. Pasalnya, tidak pernah Kota Serang terjadi banjir sampai setinggi 5 meter, sebelum Bendungan Sindangheula berdiri.

    “Saya juga sependapat. Banjir bandang yang terjadi kemarin itu, akibat dari meluapnya Bendungan Sindangheula karena pengaturannya (pengelolaannya) yang tidak diatur sedemikian rupa,” ujarnya di Gedung DPRD Kota Serang.

    Menurut Syafrudin, banjir bandang yang menimpa Kota Serang pada tahun 2022, menjadi gambaran bahwa terjadi kesalahan manajemen dalam pengelolaan bendungan berkapasitas 9 juta meter kubik tersebut. “Ya pastilah. Ini secara teknis penataannya, pengelolaannya kurang bagus,” tegasnya.

    Di waktu yang sama, Wakil Ketua DPRD Kota Serang, Hasan Basri, kembali menegaskan bahwa BBWSC3 harus terbuka berkaitan dengan kebenaran akan isu kerusakan bendungan yang mengakibatkan banjir bandang di Kota Serang. Ia pun menuturkan bahwa pada saat banjir bandang terjadi, memang beredar banyak isu berkaitan dengan dugaan kerusakan di Bendungan Sindangheula.

    “Ada banyak rumor kan termasuk katanya ada terpantau dari CCTV lah macam-macam gitu ya itu, dan kita juga waktu juga rapat di Kantor BPBD kota Serang, terus juga rapat di Forkopimda. Saya mengusulkan ada evaluasi dalam hal pengelolaan Sindangheula itu,” ujarnya.

    Menurut Hasan, bendungan Sindangheula yang merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN), seharusnya memiliki perencanaan pengelolaan yang matang. Apalagi jika terjadi kesalahan dalam pengelolaan, memiliki efek yang sangat berbahaya.

    Ia pun mengaku pada saat banjir bandang terjadi, pihaknya mendatangi bendungan Sindangheula untuk mengecek kabar bahwa bendungan jebol. Namun ternyata, bendungan itu tidak jebol, hanya overload saja. Akan tetapi, dirinya tidak tahu bahwa justru permasalahan bendungan itu ada pada katup pemancarnya.

    “Karena kita juga baru tahu kalau pintu airnya itu kan di bawah, bukan seperti kayak Pamarayan gitu kan. Ya artinya sangat mungkin terjadi tekanan air itu dia sudah tidak bisa dikendalikan karena ada kerusakan pada katup, sehingga overload,” ungkapnya.

    Hasan mengatakan, temuan yang didapati oleh BANPOS perlu kiranya ditindaklanjuti. Pertama, BBWSC3 harus menjawab jujur terkait dengan dugaan kerusakan katup pemancar air. Kedua, aparat penegak hukum (APH) dan pihak-pihak terkait pun bisa turun tangan untuk melakukan penyidikan.

    Apalagi alibi yang disampaikan oleh BBWSC3 atas banjir bandang tersebut, kerap diarahkan untuk menyalahkan masyarakat, yang mendirikan bangunan di bantaran sungai. Meski hal tersebut memang menjadi salah satu faktor, namun faktor utama dalam pengelolaan bendungan itulah yang seharusnya menjadi fokus utama.

    “BBWSC3 harus jujur. Kalau ada temuan yang seperti itu, bukan hanya penyelidikan tapi juga harus penyidikan. Jangan ditutup-tutupi. Ini pelajaran besar bahwa ini proyek nasional, seharusnya perencanaan pengelolaannya matang,” tegasnya.

    Untuk diketahui, dugaan kerusakan di Bendungan Sindangheula mengemuka setelah adanya informasi dari salah satu sumber BANPOS. Berdasarkan keterangan sumber BANPOS, kerusakan yang terjadi di Bendungan Sindangheula, merupakan imbas dari peristiwa banjir bandang tahun lalu. Menurutnya, terdapat kerusakan seperti keretakan, pada bendungan yang mampu menampung air hingga sembilan juta meter kubik.

    “Pekerja di dalam (bendungan) bilang kalau ada kerusakan di bendungan. Memang ini awalnya karena air di bendungan surut, kering tiba-tiba. Akhirnya karena saling bertanya, ada lah pegawai-pegawai yang akhirnya ngasih tahu,” ujarnya kepada BANPOS, beberapa waktu yang lalu.

    Menurut dia, kerusakan yang terjadi bukan hanya pada konstruksi bangunan dari bendungan saja, namun juga pada sistem otomatis dari pintu saluran irigasi. Ia mengatakan, kerusakan yang terjadi mengakibatkan pintu tersebut macet.

    “Kan kalau di sini, pintu saluran irigasi yang mengarah ke sungai Cibanten itu sistemnya otomatis. Enggak kayak di bendungan Pamarayan yang harus manual. Jadi di sini katanya pakai remot, tinggal pencet jadi bisa kebuka dan ketutup. Nah itu rusak sistemnya,” terang dia.

    Hal itulah yang menurutnya, mengakibatkan terjadi banjir bandang di Kota Serang pada Maret 2022 kemarin. Sebab, kerusakan sistem itu sudah terjadi sejak tahun lalu, yang mengakibatkan kontrol pintu saluran irigasi tidak berjalan dengan baik.

    “Ya memang karena tidak berfungsi dengan baik sistemnya, jadilah Kota Serang banjir waktu itu. Memang kan karena kontrol air di sini tidak baik, makanya tumpah semua ke sana,” tuturnya.

    Keterangan sumber BANPOS itu diperkuat oleh pernyataan dari salah satu warga setempat, sebut saja Roni. Kepada BANPOS, Roni yang ditemui di instalasi katup lubang pancar saat hendak mencari ikan mengatakan bahwa pada saat sebelum dan sedang berlangsungnya banjir bandang di Kota Serang, katup tersebut tidak dibuka oleh pihak pengelola bendungan.

    “Saya mah orang awam yah mas, tapi saya tahu dari awal bendungan ini dibangun seperti apa. Nah pada saat kejadian waktu itu, pintu air (katup pemancar) ini kering, enggak dibuka. Iya ditutup, kering ini alirannya,” ujar dia.

    Menurut dia, pada saat para pimpinan daerah datang ke Bendungan Sindangheula pascabanjir bandang, seingat dia tidak ada yang menyampaikan perihal hal tersebut. Para pimpinan yang hadir, yakni Andika Hazrumy yang pada saat itu masih menjabat sebagai Wakil Gubernur, dan Walikota Serang, Syafrudin, datang hanya untuk mengonfirmasi apakah bendungan itu jebol atau tidak.

    “Ramai kan waktu atasan dari provinsi maupun Kota Serang ke sini. Ya kenyataanya gitu, bukan jebol, tapi airnya tumpah ke sana semua (spillway), karena di sini di tutup total. Kering (aliran) ini mah. Tumpah di sana, sampai ngelewatin batas itu,” ungkapnya.

    Namun, ia tidak tahu pasti mengapa katup pemancar air itu tidak dibuka pada saat hujan lebat yang terjadi selama empat hari itu. Akan tetapi ia mengaku bahwa dirinya dan sejumlah warga sempat memberikan saran kepada pihak pengelola, agar tidak menutup katup air tersebut. Sebab apabila terjadi hal yang tidak diinginkan, Kota Serang akan terdampak sangat parah.

    “Gak tau sih, namanya saya mah bukan tugasnya. Tapi padahal kan dari awal sudah saya kasih saran.  Hujan berhari-hari, ini ditutup total (katup pemancar). Bahaya, yang kasiannya itu rumah sakit daerah, karena ada di atas aliran Cibanten. Eh bener aja kejadian. Padahal kalau ini dibuka, aliran di sana (spillway) cuman ngalir biasa aja, paling 1 atau 2 jengkal aja, nggak bakal meluap gitu,” tuturnya. (MG-01/DZH/ENK)

  • Soal Jalan Nasional Rusak, Pemda Cuma Bisa Optimalkan Koordinasi

    Soal Jalan Nasional Rusak, Pemda Cuma Bisa Optimalkan Koordinasi

    PEMERINTAH daerah memang tak memiliki kewenangan atas ruas jalan nasional yang melintas di wilayahnya. Namun, mereka tetap melakukan pemantauan, termasuk membuka saluran pengaduan bila terdapat jalan nasional yang rusak di wilayahnya.

    Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Serang, Yadi Priyadi Rochdian mengatakan, dalam upaya memberikan kenyamanan dan keamanan masyarakat khususnya para pengguna jalan, pihaknya selalu melakukan identifikasi terhada kerusakan jalan nasional yang ada di Kabupaten Serang.

    Pihaknya melaporkan dan mengidentifikasi kerusakan-kerusakan jalan nasional, khususnya yang ada di wilayah Kabupaten Serang. Laporan tersebut biasanya bersumber dari aduan masyarakat dan keluhan dari pengguna jalan yang melintas di Kabupaten Serang.

    “Jadi kita mencatat dan mengidentifikasi ruas mana yang akan diusulkan kepada pemerintah. Karena masyarakat tahunya jalan tersebut milik Pemkab Serang, jadi kita tampung keluhan-keluhan masyarakat tersebut nantinya untuk kita sampaikan ke satker, untuk jalan nasional tersebut untuk dilakukan perbaikan.” katanya.

    Dirinya mengaku, usulan-usulan terkait jalan yang mengalami kerusakan dan perlu adanya perbaikan atau pemeliharaan, setiap tahun selalu diusulkan pihaknya kepada pihak terkait.

    “Tiap tahun kita juga memberikan usulan. Biasanya juga ada di FGD (Forum Group Discussion) Satker, untuk usulan-usulan dari daerah terkait jalan nasional dan lainnya,” ujarnya.

    Hal yang sama disampaikan Kepala Bidang Bina Marga DPUPR Kabupaten Pandeglang, Ade Juliansah, yang dihubungi BANPOS, kemarin. Dalam melakukan evaluasi dan mengidentifikasi jalan nasional yang rusak, pihaknya hanya sebatas menginformasikannya melalui koordinasi.

    “Untuk jalan nasional yang rusak, mungkin kita tidak bisa mengevaluasi atau mengidentifikasi. Karena kewenangan Kementerian PUPR atau Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN), kalaupun ada kerusakan kita hanya melaksanakan koordinasi saja titik ruas jalan atau jembatan nasional yang rusak. Baik melalui WA atau melalui surat permohonan perbaikan ruas jalan atau jembatan yang berada di kewenangan Kementerian PUPR,” Ade Juliansah, Kamis (20/7).

    Ade mengatakan, pihaknya juga sudah pernah melakukan koordinasi dengan BPJN terkait beberapa titik ruas jalan nasional maupun jembatan yang rusak.

    “Sudah, jalan dari titik perbatasan Wates sampai bundaran Cigadung, dari bundaran Cigadung sampai Cipacung dan dari Cipacung sampai Labuan,” terangnya.

    Saat ditanya apakah DPUPR Kabupaten Pandeglang menerima laporan atau aduan dari masyarakat terkait kondisi jalan nasional yang rusak di wilayah Kabupaten Pandeglang, pihaknya pernah mendapatkannya.

    “Ada berupa WA dan langsung diteruskan ke BPJN. Termasuk jalan dan jembatan yang di Saketi yang sudah diperbaiki dan ini sudah dilakukan perbaikan,” jelasnya.

    Sementara itu, Kepala Dinas PUTR Kota Serang, Iwan Sunardi mengatakan bahwa jalan nasional yang masuk di wilayah Kota Serang, tidak mengalami kerusakan yang berat.

    Walaupun demikian, pihak tetap terus berkoordinasi dengan BPJN serta pihak provinsi jika ada aduan atau temuan jalan nasional ataupun provinsi yang mengalami kerusakan.

    “Kalau bicara rusak itu sebetulnya tidak rusak terlalu berat. Tapi kita juga banyak kordinasi juga dengan BPJN, berkaitan dengan jalan nasional. Kemudian jalan provinsi kita kordinasikan dengan pihak provinsi. Untuk jalan kota juga kait benahi karena merupakan kewenangan kita. mudah-mudahan tahun ini optimal bisa diselesaikan,” katanya, Kamis (20/7). (MG-02/DHE/LUK/ENK)

  • Jalan Nasional di Banten Jadi Sorotan

    Jalan Nasional di Banten Jadi Sorotan

    SEJUMLAH ruas jalan nasional yang berada di Provinsi Banten menjadi sorotan sejumlah kelompok masyarakat. Selain banyak yang menganggap kondisinya memprihatinkan, jumlah anggaran yang fantastis juga dinilai tidak sepadan dengan kondisi jalan saat ini.

    Koordinator Koalisi Masyarakat Banten untuk Banten Bersih, Samsul mengatakan, dirinya merasa iri dengan kondisi jalan nasional di provinsi lain. Di Banten, pemeliharaan yang dilakukan diduga kerap mengabaikan perencanaan dan terkesan ditutup-tutupi dari publik.

    “Kondisinya kan ya memperihatinkan lah dengan anggaran mereka ratusan miliar rupiah, ya kondisinya amburadul lah, seperti itu,” kata Samsul membuka pembicaraan dengan BANPOS. via sambungan telepon WhatsApp pada Kamis (20/7).

    “Ada yang timpang tindih dengan APBD provinsi. Nah batasan itu nggak jelas. Kita pertanyakan, mereka gak ada yang mau jawab,” Kata Samsul saat dihubungi oleh BANPOS.

    Keadaan itu juga kemudian didukung dengan kondisi pelaksanaan jalan nasional penghubung Cikande-Rangkasbitung yang dinilainya tidak diberengi dengan perencanaan yang matang. Bukan hanya tidak matang dalam perencanaan, Samsul juga turut menyoroti pelaksanaan pemangunan jalan penghubung itu yang dinilainya tidak transparan.

    “Namanya jalan nasional itu harus sudah steril. Maksudnya dalam kata steril itu ya tunjukanlah kualitasnya karena kan nasional gitu, baik dari konstruksinya, baik tenaga kerjanya. Nah ini kadang-kadang K3 juga acak-acakan. Terus konstruksi pembesian juga kadang ada yang terlihat, ada juga yang tidak. Apakah unsur sengaja apakah memang belum terpasang,” tanya dia.

    “Terus mutu betonnya. Nah ini mutu beton yang mereka pakai itu apakah K300, apa FS45 itu kita kan tidak tahu. Karena mutu beton berapa yang mereka pakai? Diuji di tempat enggak? Kubus betonnya di mana? Uji selamnya di mana? Kita enggak tahu, kita kan menanyakan itu,” tuturnya.

    Melihat sejumlah kejanggalan itu, Samsul bukannya tidak pernah melapor. Ia justru mengaku kerap mengadukan sejumlah temuannya itu kepada pihak Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah Banten, hanya saja upayanya itu kerap berujung tanpa tanggapan dari pihak terkait.

    “Kita sudah berulang kali mempertanyakan, sehubungan mereka masih dalam pelaksanaan, supaya kalau memang kitanya keliru atau pun baik dari mereka (keliru), ya kita bareng-bareng. Kita juga enggak ngapa-ngapain, kita kan ngasih masukan sebenarnya. Tapi terkesan pihak dari balai menghindar,” katanya.

    “Saya sudah melayangkan surat dari forum masyarakat perwakilan Banten Bersih, ya itu, sampai detik ini belum ada respon,” tuturnya.

    Mendapati laporannya kerap diabaikan, Koordinator Koalisi Masyarakat Banten untuk Banten Bersih itu pun mengaku menyayangkan sikap BPJN seperti itu. Padahal menurutnya, aduan dari masyarakat penting untuk diperhatikan, agar dapat menjadi kontrol bersama dalam proses pelaksanaan pembangunan jalan nasional itu.

    “Kita mau mengarahkan mereka ke arah yang benar, kita kasih tahu informasi kita ini. Mereka gak ada tanggapan, gak nanggapin pihak dari balai besar. Sebenarnya, kita ini sangat membantu mereka. Cuma merekanya melihatnya apakah memang berat atau bagaimana?,” ucapnya.

    Di samping itu, Samsul mendesak kepada pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat untuk segera melakukan audit terhadap pelaksanaan pembangunan dan pemeliharaan jalan nasional di Provinsi Banten.

    Tujuannya tentu, agar potensi kecurangan yang terjadi di lapangan dapat diminimalisir semaksimal mungkin.

    “Pemerintah harus segera mengaudit itu, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Batasannya kan jelas, mereka itu. Nah itu harus benar-benar dipantau. Jadi kalau misalnya berkata nasional, batas mereka yang mana? APBD Provinsi yang mana? kadang-kadang ini tumpang tindih,” terangnya.

    “Jadi anggaran dari pusat APBN-nya ada, APBD juga menggelontorkan dana dengan tempat yang sama. Paling ‘aku’ itu padahal mereka nggak ngebangun. Terutama pemeliharaan, itu riskan sekali. Banyak bohongnya menurut saya. Karena mereka kalau ditanya, tidak ada yang memberikan jawaban,” pungkasnya.

    Sementara, berdasar penelusuran BANPOS, pada tahun ini juga tengah dilaksanakan Preservasi Jalan Serang-Cilegon-Merak. Tak main-main, anggaran untuk mendanai preservasi selama dua tahun itu mencapai nyaris Rp200 miliar, tepatnya Rp191,937 miliar, berdasar keterangan di situs LPSE Kementerian PUPR.

    Jumlah anggaran itu terlihat fantastis. Karena dengan anggaran sebesar itu Kementerian PUPR sebenarnya bisa melakukan peningkatan kondisi jalan dengan melakukan pembetonan di ruas jalan Serang Merak, yang selama ini diketahui sering kali rusak dan bergelombang.

    Ketika menelusuri E Katalog milik LKPP, sejumlah perusahaan batching plan diketahui menyediakan ready mix kualitas K350, yang biasa digunakan untuk membeton jalan dengan kisaran harga Rp1,5 juta per kubik.

    Artinya, dengan anggaran sebesar itu bisa disediakan 127 ribu kubik beton yang seharusnya cukup untuk membangun ruas jalan beton sepanjang jalan Serang-Merak.

    Terpisah, Kepala Bidang (Kabid) Bina Marga pada DPUPR Kota Cilegon Retno Anggraini mengaku tak bisa berbuat banyak terkait kerusakan jalan nasional di Kota Cilegon. Di wilayahnya ada dua ruas jalan nasional, yaitu PCI-Merak dan PCI-Anyer.

    “Untuk identifikasi bukan ada di ranah PUPR Kota tapi lebih ke BPJN Banten, kami hanya sebatas memberikan laporan kerusakan dan titik lokasinya dimana,” kata Retno kepada BANPOS melalui pesan WhatsApp, Kamis (20/7).

    Terkait jumlah total jalan nasional yang rusak di kota, pihaknya tidak memiliki data terperinci. Namun, pihaknya tetap menginformasikan titik lokasi kerusakan kepada BPJN Banten.

    Dikatakan Retno untuk mekanisme pengumpulan laporan dan aduan dari masyarakat terkait kondisi jalan nasional yang rusak di Kabupaten/Kota, pihaknya langsung melaporkan kepada pihak terkait.

    “Peranan kami adalah memberikan respon cepat kepada BPJN Banten apabila ada kerusakan jalan yang harus segera di perbaiki dan itu sudah kami lakukan,” terangnya.

    Untuk melibatkan masyarakat dan dukungan publik dalam mendukung upaya pemeliharaan dan perbaikan jalan nasional yang rusak, pihaknya memberikan ruang dengan memfoto atau video titik yang rusak.

    “Kami memberikan ruang kepada masyarakat untuk segera melakukan pelaporan apabila kerusakan jalan terjadi dengan menentukan titik akurat berikut dengan foto atau video. Langsung akan kami teruskan ke BPJN Banten,” tandasnya.

    Sementara itu, BPJN Banten tak merespon konfirmasi yang coba dilakukan BANPOS. Petugas keamanan meminta BANPOS untuk membawa surat permohonan informasi untuk bisa agar bisa dilayani konfirmasinya.

    “Supaya mengajukan permohonan wawancara dulu, karena bapak Kepala balai sibuk. Beliau jarang berada di kantor Serang, karena lebih sering berada di Pattimura (Kantor Kementerian PUPUR, red),” kata petugas keamanan.

    BANPOS juga berusaha mengkonfirmasi salah seorang Pejabat pembuat komitmen di BPJN Banten, yaitu Suratno. Namun, setelah dikirimi pesan dan tiga kali dihubungi melalui telepon Whatsapp, yang bersangkutan tidak merespon. (MG01/LUK/ENK)

  • Bendungan Sindangheula: Monumen Minim Manfaat

    Bendungan Sindangheula: Monumen Minim Manfaat

    BENDUNGAN Sindangheula, salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi andalan pemerintah pusat di Provinsi Banten, saat ini sekadar menjadi monumen saja tanpa adanya kebermanfaatan bagi masyarakat maupun daerah-daerah yang ditarget menerima manfaat, atas bangunan senilai lebih dari Rp480 miliar itu.

    Pasalnya, dari empat manfaat utama yang direncanakan dalam pembangunan bendungan Sindangheula, dinilai hanya satu saja yang terpenuhi. Keempat manfaat tersebut yakni penyedia air irigasi untuk sektor pertanian, penyediaan air baku bagi Kota Serang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon, pengendalian banjir dan pembangkit listrik tenaga air.

    Dari keempat manfaat itu, hanya penyediaan air irigasi saja yang terpenuhi. Itu pun sedang ‘libur’ manfaatnya, karena bendungan Sindangheula tengah dikeringkan sejak bulan Februari kemarin, sehingga air menjadi surut.

    Salah satu manfaat paling besar dari adanya sebuah bendungan ialah ketersediaan air baku. Sindangheula sendiri diproyeksikan dapat memenuhi kebutuhan air baku tiga kota/kabupaten dengan kemampuan 0,80 meter per kubik.

    Pemprov Banten melalui Dinas Perkim pada tahun 2021, menyambut proyeksi manfaat bendungan Sindangheula dalam memenuhi kebutuhan air baku, dengan membangun instalasi Pengelolaan dan Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) lintas Kabupaten/Kota. Anggaran yang digelontorkan mencapai RP17,6 miliar.

    Pemprov Banten pun pada tahun 2019, menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Air Minum. Selain telah memiliki Perda yang mengatur soal SPAM, Pemprov Banten juga rupanya telah menyusun dan menerbitkan sebuah aturan turunan dari Perda tersebut yang mereka sebut sebagai Rencana Induk SPAM.

    Rencana Induk SPAM tertuang di dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 51 Tahun 2022, di dalamnya disebut turut membahas perihal kebijakan strategis perihal pengelolaan air untuk pemenuhan air minum di Banten.

    Bahkan, rencana induk tersebut sudah dilakukan sosialisasi kepada publik dengan dilakukan konsultasi publik oleh Pemprov Banten dengan mengundang sejumlah stakeholder terkait.

    Kendati sudah memiliki seperangkat aturan soal pengelolaan penyediaan air minum, namun hingga saat ini, rupanya Pemprov Banten belum juga melaksanakan program pemanfaatan aliran air di sejumlah bendungan yang ada untuk pemenuhan penyediaan air minum bagi masyarakat.

    Alasannya, karena untuk dapat menyelenggarakan sistem penyediaan air minum, Pemprov Banten menghadapi kendala pembiayaan yang terbilang tidak sedikit jumlahnya. Berdasarkan perhitungan, biaya yang diperlukan mencapai triliunan.

    Untuk dapat menyiasati kendala tersebut, maka pemerintah membuka peluang kerjasama bagi pihak lain melalui skema Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU).

    Kepala Seksi SPAM, Persampahan dan Air Limbah pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Provinsi Banten, Windu Iwan Nugraha, mengatakan bahwa sejak 2018 setidaknya sudah ada sejumlah konsorsium yang telah menyatakan minatnya untuk berperan sebagai pihak pengelola sistem penyediaan air minum.

    “Kerjasama pemerintah itu ada skema KPBU itu bisa, namanya unsolicited dan solicited. Unsolicited itu diprakarsai oleh badan usaha di luar pemerintah. Tahun berapa ya? Saya lupa, tahun 2018 pernah ada pernyataan minat dari konsorsium,” katanya.

    “Seiring berjalannya waktu 2023 ini, barulah mereka menyerahkan pernyataan minat nih ke Provinsi Banten, tadinya mereka ke pusat untuk penyelenggaraan air minum kerjasama. Tapi oleh pusat diserahkan ke Provinsi. Makanya, seiring berjalannya waktu 2018 sampai rentang waktu 2023 ini mereka pernah menyerahkan PRA-FS namanya, PRA FS tentang kerjasama KPBU ini,” terang Windu Iwan Nugraha saat ditemui di ruangannya pada Kamis (6/7).

    Hanya saja meski sudah ada sejumlah investor yang tertarik, namun hingga saat ini, Pemprov Banten belum menentukan siapa nanti yang akan menjadi pihak pengelola, lantaran masih dalam tahap pertimbangan.

    “Lalu 2023 itu, Pra-FS itu ditanggapi oleh Pemerintah Provinsi Banten, ditanggapi dengan banyak revisi-revisi. Mereka nanti akan merevisi Pra-FS itu. Nah itu sudah diserahkan juga. Cuman ini dalam tahap proses evaluasi Pra-FS hasil revisi ini.

    Karena di situ ada skoring-skoring ya, segala macam, kita masih berjalan ini proses identifikasi dan evaluasi Pra-FS nya itu,” ujarnya.

    Tidak hanya itu, belum lama ini, Iwan juga menyebutkan sudah ada pihak lain yang kembali menyatakan minatnya untuk berperan sebagai pihak pengelola sistem penyediaan air minum di Bendungan Sindangheula.

    “Sedangkan di Sindangheula juga ada pernyataan minat baru-baru ini, sekitar bulan Mei kalau tidak salah. Cuman masih kita telaah tanggapannya seperti apa,” imbuhnya.

    Namun yang pasti, ia menyebutkan, setidaknya saat ini sudah ada tiga pihak yang telah mengajukan pernyataan minatnya untuk menjadi pihak penyedia air minum di bendungan Karian dan Sindangheula.

    “Sementara Karian Barat baru satu, Sindangheula itu ada dua kalau gak salah. Kalau yang terakhir saya ikutin sih dari satu yang masuk, ternyata sebelumnya ada lagi katanya satu lagi. Karian Barat satu, di Sindangheula dua kayaknya,” tuturnya.

    Lalu, Iwan juga menjelaskan alasan kenapa skema KPBU yang diambil oleh Pemprov Banten, selain karena menyiasati kendala pembiayaan proyek, juga karena dalam skema tersebut ada pihak yang turut memberikan penjaminan.

    “Nah kenapa KPBU? Karena nanti prosesnya, sebelum terjadi KPBU itu harus ada penjaminan dari pemerintah juga dari pusat terkait dengan penyelenggaraannya itu,” jelasnya.

    Karena saat ini belum ada satupun pihak yang ditunjuk sebagai pihak pengelola dan penyedia air minum, maka juknis yang memuat aturan ketentuan pun juga belum tersedia.

    Oleh karena itu, Iwan mengatakan bahwa saat ini pihaknya tengah fokus menyiapkan segala kebutuhan mengenai proses kerjasama usaha tersebut.

    “Jadi masih dalam tahap persiapan kita ini terkait dengan penyelenggaraan. Karena kalau pun misalkan non KPBU diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi itu dananya luar biasa besar,” katanya.

    Kemudian selain itu, Iwan juga menjelaskan, proses penyelenggaraan kerjasama itu memakan waktu yang cukup lama, lantaran prosedur yang harus ditempuh cukup panjang.

    Namun ia menargetkan proses penentuan pihak penyelenggara program itu akan segera rampung dalam waktu dekat ini, sebab berdasarkan ketentuannya minimal dua tahun proses itu dapat segera rampung.

    “Kita ada, karena proses KPBU itu minimal 2 tahun. Kalau sekarang PRA FS nanti mungkin insya Allah nanti kita pengen kalau sudah ada kelayakan, uji kelayakan dari kita sudah menentukan bahwa ini layak, lari ke FS disitu masih ada proses yang harus kita tempuh untuk menentukan FS itu layak sebagai dokumen,”
    “Nanti maju lagi ke pusat jadi kita juga nanti ada bimbingan lagi dari pusat saling bimbing seperti apa karena untuk menentukan regional itu lumayan bahapannya panjang panjang ya,” ucapnya.

    Oleh karena belum adanya pihak yang ditunjuk sebagai pihak pengelola sistem penyedia air minum baik yang ditangani oleh pemerintah provinsi maupun pusat, maka bendungan yang ada belum bisa digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan air minum bagi masyarakat.

    “Baik pusat maupun provinsi belum ada air yang mengalir, baik dari bendungan Karian dan Sindangheula,” tandasnya.

    Terpisah, Kepala Bidang Sanitasi Dan Air Minum Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Serang, Ronny Natadipradja mengatakan bahwa terkait dengan Bendungan Sindangheula yang saat ini terbangun, menurutnya baru sebagai tampungan air.

    “Jadi belum difungsikan sebagai penyalur untuk kebutuhan air minum maupun air bersin. Karena memang jaringan-jaringanya belum terbangun. Tapi memang beberapa ada rapat membahas hal tersebut, terhadap pengelolaan dari bendungan tersebut,” ujarnya

    Dirinya mengaku untuk kuota yang didapatkan untuk di Kabupaten Serang hanya mendapatkan sebesar 400 liter per detik dari 1200 liter per detik yang dibagikan ke Kota Serang, Kabupaten Serang dan Kota Cilegon.

    “Untuk porsi pembagian, provinsi sudah melakukan pembagiannya. Tapi memang, kita ada rencana untuk mengusulkan permohonan tambahan kuota yg sudah dibuatkan provinsi tersebut. Dari kuota yang saat ini sebanyak 400 liter per detik itu kita meminta penambahan jadi 600 liter per detik. Agar nanti masyarakat serang wilayah utara dapat terpenuhi layanan air bersihnya,” ucapnya.

    Menurutnya, hal tersebut wajar dilakukan oleh pihaknya. Mengingat letak dri bendungan tersebut yang masuk dalam wilayah Kabupaten Serang.

    “Karena pertama, bendungan sindangheula itu posisinya ada di Kabupaten Serang. Jadi wajar kalau kita mendapatkan porsi yang lebih. Kedua, banyak juga masyarakat Kabupaten Serang masih butuh layanan air bersih tersebut,” ungkapnya.

    Dalam hal operasional, dirinya mengatakan bahwasanya yang ia pahami BBWSC3 bekerjasama dengan provinsi untuk pemeliharaannya.

    “Jadi untuk wilayah bendunganya sendiri termasuk operasional pintu-pintunya itu dilakukan oleh balai besar kalau provinsi yang melakukan pemeliharaan di wilayah bendungannya. Sedangkan kita diberikan wilayah pengelolaan di daerah lahan parkir, kemudian di daerah lahan yang sudah dibebaskan. Tapi tidak menjadi bagian badan bendung untuk bisa dipergunakan,” katanya.

    Ia juga menjelaskan, bahwa pemerintah Kabupaten Serang tidak dilibatkan secara langsung terhadap pengelolaan dari bendungan tersebut.

    “Tapi itu juga harus dibuatkan permohonan usulan dan berkoordinasi dengan pihak balai besar. Jadi daerah tidak dilibatkan secara langsung terhadap pengelolaan bendungannya. Karena bendungannya sendiri dibangun dari dana pusat,” jelasnya.

    Sementara itu, salah satu warga setempat mengatakan bahwa secara kebermanfaatan, memang bendungan Sindangheula belum dirasakan sampai saat ini. Kecuali, untuk dijadikan sebagai tempat memancing saja.

    “Kalau untuk irigasi, sawah-sawah yang ada di atas enggak dapet tuh airnya. Terus kalau berbicara kebermanfaatan lainnya seperti pengelolaan air, pipanya aja kan belum ada. Jadi ya kami anggap ini sebenarnya hanya monumen saja tanpa ada manfaat urgen lainnya,” tandas dia.

    Pihak BBWSC3 melalui Hadian, mengaku akan memberikan jawaban secara tertulis terkait dengan beberapa pertanyaan pemanfaatan air baku bendungan Sindangheula yang disampaikan oleh BANPOS. Ia mengaku bahwa jawaban dari Kepala BBWSC3 sudah dikonsep, namun hingga berita ini ditulis jawaban pertanyaan itu tidak kunjung diberikan. (MG-01/CR-01/DZH)

  • Menguak Tabir Bendungan Sindangheula

    Menguak Tabir Bendungan Sindangheula

    INGATAN akan tragedi banjir bandang yang melanda Kota Serang pada Maret 2022 kemarin, masih terekam jelas pada memori masyarakat. Peristiwa yang mengakibatkan ribuan rumah rusak, hancurnya sarana dan prasarana masyarakat, hingga menelan sejumlah korban jiwa itu menjadi sejarah tersendiri bagi Kota Serang, karena banjir itu merupakan yang terparah dalam 20 tahun terakhir.

    Bendungan Sindangheula sempat menjadi bulan-bulanan masyarakat, atas terjadinya banjir bandang itu. Pasalnya, banjir bandang tersebut baru terjadi setelah bendungan yang menjadi proyek mercusuar pemerintah pusat itu berdiri.

    Namun, tudingan tersebut dibantah oleh Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Cidanau-Cidurian-Ciujung (BBWSC3), I Ketut Jayada. Menurutnya, justru Bendungan Sindangheula menjadi faktor banjir yang terjadi di Kota Serang, tidak lebih parah.

    Kini, kurang lebih setahun tiga bulan terlewati pascabanjir bandang terjadi. Isu miring terkait dengan penyebab banjir bandang Kota Serang kembali berhembus. Pusat isunya, tetap pada keberadaan Bendungan Sindangheula.

    Isu tersebut kembali mengemuka setelah bendungan Sindangheula dikeringkan, sejak awal tahun 2023. Masyarakat yang ‘kepo’ dengan keringnya bendungan Sindangheula, saling kasak-kusuk antar sesama. Hingga akhirnya, terjadi ‘kebocoran’ informasi dari pekerja bendungan Sindangheula. Kabarnya, terjadi kerusakan pada bendungan senilai Rp480 miliaran tersebut.

    Kondisi bendungan Sindangheula yang surut. Diduga akibat adanya kerusakan pada bendungan tersebu. (Muflikhah/BantenPos)

    Tindakan pengeringan bendungan dilakukan, agar kerusakan tidak semakin parah, dan agar perbaikan dapat segera dilakukan. Betul saja, beberapa waktu kemudian, pekerjaan konstruksi kembali dilakukan di bendungan tersebut. Mulai dari pengiriman bebatuan, hingga kendaraan eskavator.

    Berdasarkan keterangan sumber BANPOS, kerusakan yang terjadi di bendungan Sindangheula, merupakan imbas dari peristiwa banjir bandang tahun lalu. Menurutnya, terdapat kerusakan seperti keretakan, pada bendungan yang mampu menampung air hingga 9 juta meter kubik.

    “Pekerja di dalam (bendungan) bilang kalau ada kerusakan di bendungan. Memang ini awalnya karena air di bendungan surut, kering tiba-tiba. Akhirnya karena saling bertanya, ada lah pegawai-pegawai yang akhirnya ngasih tahu,” ujarnya kepada BANPOS, beberapa waktu yang lalu.

    Menurut dia, kerusakan yang terjadi bukan hanya pada konstruksi bangunan dari bendungan saja, namun juga pada sistem otomatis dari pintu saluran irigasi. Ia mengatakan, kerusakan yang terjadi mengakibatkan pintu tersebut macet.

    “Kan kalau di sini, pintu saluran irigasi yang mengarah ke sungai Cibanten itu sistemnya otomatis. Enggak kayak di bendungan Pamarayan yang harus manual. Jadi di sini katanya pakai remot, tinggal pencet jadi bisa kebuka dan ketutup. Nah itu rusak sistemnya,” terang dia.

    Hal itulah yang menurutnya, mengakibatkan terjadi banjir bandang di Kota Serang pada Maret 2022 kemarin. Sebab, kerusakan sistem itu sudah terjadi sejak tahun lalu, yang mengakibatkan kontrol pintu saluran irigasi tidak berjalan dengan baik.

    “Ya memang karena tidak berfungsi dengan baik sistemnya, jadilah Kota Serang banjir waktu itu. Memang kan karena kontrol air di sini tidak baik, makanya tumpah semua ke sana,” tuturnya.

  • Pemerintah Siap Sokong, Warga Minta Pengakuan

    Pemerintah Siap Sokong, Warga Minta Pengakuan

     

    PEMERINTAH Kabupaten Serang maupun Pemprov Banten mengaku siap untuk menyokong masyarakat apabila ingin mengelola secara mandiri Pulau Sangiang, jika nantinya PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) tidak mendapatkan restu perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) mereka. Sokongan tersebut bisa dengan dibentuknya Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pulau Sangiang.

    Berdasarkan dokumen Ringkasan Eksekutif Taman Wisata Alam Pulau Sangiang yang dikeluarkan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Banten tahun 2018, Pulau Sangiang memiliki segudang potensi wisata, baik itu darat maupun laut, ataupun alam dan budaya.

    Untuk wisata darat, Pulau Sangiang memiliki sejumlah objek wisata seperti lintas alam, pendakian gunung, berkemah hingga melihat panorama alam saat matahari terbit dan terbenam. Selain wisata alam, di darat pun Pulau Sangiang dapat menyediakan wisata budaya lantaran terdapat peninggalan-peninggalan zaman penjajahan Jepang seperti benteng, meriam dan goa-goa.

    Sementara wisata bahari atau laut, setidaknya terdapat 23 spot strategis yang dapat dikelola dengan maksimal meliputi wisata menyelam atau scuba diving, snorkling, Jetski, berenang, memancing hingga berjemur di pasir pantai putih.

    Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Serang, Anas Dwi Satya P, mengatakan bahwa sangat mungkin apabila nanti HGB PT PKP tidak diperpanjang oleh pusat, maka pemerintah daerah mengambil alih dalam pengelolaannya. Meskipun menurutnya, hal itu tidak secara langsung dilakukan oleh pemerintah daerah, melainkan dengan membentuk Pokdarwis.

    “Kita ada Pokdarwis, kelompok sadar wisata, masyarakat yang sadar wisata. Artinya nanti kelompok tersebut bisa saja yang mengelola bagaimana pulau itu dijadikan sebagai desa wisata,” ujarnya kepada BANPOS, Senin (19/6).

    Ia menuturkan, apabila Pulau Sangiang nantinya dapat dikelola langsung oleh masyarakat melalui Pokdarwis dan pembentukan desa wisata, kebermanfaatan atas berbagai potensi yang ada di Pulau Sangiang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

    “Bisa saja dengan dijadikan desa wisata sehingga memang kebermanfaatannya lebih untuk masyarakat. Setuju saya juga tuh, sangat setuju kalau misalnya seperti itu,” ungkap Anas.

    Senada disampaikan oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Al Hamidi. Menurutnya, pengelolaan Pulau Sangiang secara langsung oleh masyarakat melalui pembentukan Pokdarwis, akan memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan adanya Pokdarwis pun, potensi-potensi wisata yang ada di Pulau Sangiang dapat lebih maksimal.

    “Selain itu dengan dikelolanya langsung Pulau Sangiang oleh masyarakat, berarti kan ada pengangguran yang berkurang, bekerja di sana, di tempat itu. Saat ini kita sudah ada lebih dari 2.000 Pokdarwis yang terbentuk di Provinsi Banten di tahun 2023. Berarti yang menganggur dari sektor wisata sudah berkurang banyak,” terangnya.

    Sementara Sofyan Sahuri, mengatakan bahwa pihaknya tidak mau dukungan yang disampaikan oleh pemerintah cuma sebatas gimik belaka. Sebab, mayoritas dari kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah cenderung berpihak kepada investor.

    “Jangan sampai ini hanya omongan di depan saja. Karena pemerintah saat ini cenderung lebih memilih investor gitu kan. Kadang mereka mengesampingkan apabila pengelolaan wisata dilakukan langsung oleh masyarakat,” ujarnya.

    Meski demikian, Ustad Pian mengaku bahwa sebetulnya masyarakat tidak menolak keberadaan investor di Pulau Sangiang. Namun yang perlu ditegaskan bahwa investor tersebut, tidak boleh memiliki keinginan untuk menguasai secara keseluruhan Pulau Sangiang.

    “Karena jika memang mau ada investor, kan bisa berdampingan. Masyarakat diberdayakan, tidak diusir-usir begitu. Kami tidak menolak investor, cuma tidak boleh seperti saat ini,” ungkapnya.

    Selain itu ia menegaskan, apabila pemerintah daerah memang mendukung pengelolaan Pulau Sangiang secara langsung oleh masyarakat, maka eksistensi masyarakat di Pulau Sangiang harus benar-benar diakui terlebih dahulu.

    “Karena yang terjadi saat ini adalah ketika kami melakukan penolakan, selalu ditanya ‘siapa yang menolak? Masyarakat mana?’ Artinya keberadaan kami ini kan tidak diakui. Selain itu, sudah banyak masyarakat kami yang akhirnya menyerah dan pergi ke Cikoneng, maka pengakuan dari pemerintah sangat penting bagi kami,” tandasnya.(MUF/DZH)

  • Pertarungan Tak Berujung, Dugaan Kriminalisasi Hingga Babi Hutan

    Pertarungan Tak Berujung, Dugaan Kriminalisasi Hingga Babi Hutan

    TIDAK henti-hentinya selama hampir 30 tahun, Pulau Sangiang dilanda berbagai persoalan. Pertarungan antara penduduk asli pulau dengan PT PKP selaku penerima Hak Guna Bangunan (HGB) dalam pengelolaan Taman Wisata Alam (TWA) Pulau Sangiang, melibatkan banyak pihak. Mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, bahkan hingga babi-babi hutan.

    Riwayat konflik tersebut bermula saat PT PKP mendapatkan mandat dari pemerintah pusat pada tahun 1993, untuk melakukan pengusahaan wisata alam Pulau Sangiang. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 66/Kpts-II/1993 tertanggal 26 Desember 1993, pemerintah memberikan PT PKP untuk mengelola lahan seluas 591,65 hektare.

    SK Menteri Kehutanan pada saat itu, ditindaklanjuti dengan permohonan PT PKP untuk mendapatkan hak atas tanah berupa HGB, kepada Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Jawa Barat, pada saat itu Provinsi Banten belum berdiri. Permohonan penerbitan HGB disetujui dengan keluarnya Surat Keputusan Kepala Kanwil BPN Provinsi Banten nomor 745/HGB/KWBPN/1994 seluas 122.000 meter persegi (HGB 21), 746/HGB/KWBPN/1994 seluas 435.900 meter persegi (HGB 23), 747/HGB/KWBPN/1994 seluas 24.500 meter persegi (HGB 22) dan 748/HGB/KWBPN/1994 seluas 1.896.000 meter persegi (HGB 24). Secara akumulatif, luas tanah keempat HGB tersebut yakni 2.478.400 meter persegi.

    Berdasarkan pengakuan dari PT PKP dalam risalah putusan Nomor: 13/G/2012/PTUN-SRG, perusahaan yang berbasis di Jakarta tersebut mengklaim telah melakukan pembebasan tanah-tanah hak milik dan hukum adat, dari masyarakat Pulau Sangiang. Tanah-tanah yang diklaim dibebaskan ialah tanah milik masyarakat, yang masuk ke dalam batas HGB PT PKP, tepatnya HGB 24.

    “…dalam upaya merealisasikan usahanya tersebut terhitung sejak tahun 1993 (PT PKP) telah mulai melakukan pembebasan atas tanah-tanah Hak Milik dan Hak Milik Adat dari Penduduk/Pemilik Asal Tanah yang berlokasi di Pulau Sangiang, Desa Cikoneng, Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang,” demikian kutipan pernyataan PT PKP dalam amar putusan PTUN Serang.

    Klaim pembebasan lahan itu dibantah oleh Ustad Pian. Menurutnya, yang terjadi adalah pengusiran yang dilakukan pada awal pemberian hak pengusahaan Pulau Sangiang kepada PT PKP. Pun dengan klaim pembebasan tanah tersebut, justru dilakukan di bawah tangan dan tidak melibatkan masyarakat Pulau Sangiang.

    “Kalau kami melihatnya ada rekayasa untuk melakukan apa yang mereka lakukan pembebasan. Pada tahun 1993, masyarakat Cikoneng (daratan) secara tidak sadar sudah dipersiapkan untuk dijadikan alat untuk pembebasan tanah itu. Karena saat itu tiba-tiba sudah ada SPPT dan pembagian-pembagian lainnya, dan sudah dipersiapkan formulir untuk diisi pernyataan seolah-olah punya tanah di Pulau Sangiang. Lalu formulir itu dijual ke investor, sehingga jadilah yang tanah HGB itu,” tuturnya.

    Pertarungan antara masyarakat Pulau Sangiang dengan PT PKP tak surut dimakan zaman. Bak makanan sehari-hari, konflik itu terus berkelanjutan tanpa henti setiap tahunnya. Tercatat pada kisaran tahun 2018, terungkap bahwa masyarakat Pulau Sangiang dihadapkan pada persoalan babi hutan dan hewan hama lainnya, yang meneror aktivitas mereka. Masyarakat yang mayoritas bekerja dengan bercocok tanam, terganggu akibat hama babi hutan yang diduga sengaja disebar oleh PT PKP.

    “Padahal di sini bukan habitat babi hutan. Mulai munculnya babi hutan itu sejak tahun 2005 memang. Selain babi hutan, ada juga tupai, rusa dan bekicot darat. Semuanya mengganggu penghidupan masyarakat Pulau Sangiang seperti tupai yang sering mengambil kelapa, rusa yang sering memakan tanaman kami, juga bekicot darat,” ungkapnya.

    Menurut Ustad Pian, PT PKP mengakui jika mereka membawa sejumlah rusa untuk dipelihara di lahan yang mereka kelola. Rusa tersebut awalnya berada dalam kandang, namun suatu waktu, kandang tersebut rusak dan menjadi liar di Pulau Sangiang. Ia menduga, hewan-hewan itu sengaja dilepaskan oleh PT PKP untuk melakukan intimidasi kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak betah dan segera hengkang dari pulau.

    “Rusa itu sudah beranak pinak sehingga banyak sekarang. Sering juga masuk ke wilayah pemukiman masyarakat. Rusa itu kan makannya malam, dan sering memakan tanaman kami. Secara aturan juga ada rusa yang dilindungi, jadi kami menduga ini sengaja dilepasliarkan, sehingga jika ada warga yang membunuh rusa tersebut, bisa terkena kriminalisasi,” tuturnya.

    Pertarungan antara PT PKP dengan masyarakat Pulau Sangiang juga terjadi pada tahun 2019. Saat itu, masyarakat Pulau Sangiang dihadapkan pada dugaan kriminalisasi warga. Tiga orang warga Pulau Sangiang yakni Masrijan, Lukman dan Mardaka yang dituding telah menggunakan lahan HGB PT PKP, untuk mendulang keuntungan sendiri. Ketiganya dituduh demikian karena menyewakan rumah milik mereka kepada wisatawan, dengan tarif sebesar Rp500 ribu per hari. Ketiganya divonis bersalah dengan hukuman empat bulan penjara tanpa penahanan.

    Salah satu pihak yang getol menyuarakan pembebasan Pulau Sangiang ialah Pena Masyarakat. Di bawah kepemimpinan Mad Haer Effendi, Pena Masyarakat konsisten melakukan advokasi hingga saat ini. Perlahan tapi pasti, Mad Haer dan kawan-kawan menunggu momentum habisnya masa HGB PT PKP, untuk melakukan tekanan kepada pemerintah, agar tidak memperpanjang kondisi yang mereka sebut sebagai penjajahan terhadap Pulau Sangiang.

    Pria yang akrab disapa Aeng ini saat ditemui di Basecamp Pena Masyarakat, menegaskan bahwa persoalan Pulau Sangiang bukan hanya persoalan tanah semata, melainkan juga eksistensi terhadap keberadaan masyarakat Pulau Sangiang, yang telah turun temurun menempati pulau yang sejarahnya merupakan pemberian Kesultanan Lampung.

    Persoalan eksistensi itu muncul lantaran pada saat persidangan tiga warga Pulau Sangiang, pihak Perhutani yang dihadirkan sebagai saksi, menegasikan keberadaan masyarakat di Pulau Sangiang. Mereka hanya mengakui keberadaan Perhutani, TNI AL dan PT PKP saja.

    “Jadi harus ada pengakuan bahwa di Pulau Sangiang itu ada masyarakat. Juga harus ada pengakuan bahwa di sana ada kehidupan, kehidupan warga Negara Republik Indonesia yang kebetulan tinggal di Pulau Sangiang,” ujarnya kepada BANPOS.

    Ia menuturkan, klaim keberadaan PT PKP di Pulau Sangiang, adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal itu juga disebutkan oleh PT PKP dalam risalah persidangan PTUN sebelumnya. Namun ternyata, Aeng menegaskan bahwa tidak ada dampak apapun yang dirasakan oleh masyarakat, apalagi masyarakat Pulau Sangiang. “Malah yang ada justru mereka menunggak bayar Pajak Bumi dan Bangunan sejak 1997 kan,” tuturnya.

    Aeng mengungkapkan, alih-alih memberikan kesejahteraan, PT PKP justru malah melakukan tindakan pengusiran terhadap masyarakat. Terbukti dari yang awalnya terdapat 122 keluarga yang tinggal di Pulau Sangiang, terus menyusut hingga hanya tersisa 14 keluarga saja. Hal itu akibat gangguan hama yang diduga sengaja dilepaskan oleh PT PKP, dilanjutkan dengan bujuk rayu uang agar masyarakat hengkang dari sana.

    “PT PKP sedari awal memang mau menguasai penuh Pulau Sangiang. Mereka tidak mau berbagi dengan masyarakat asli pulau. Padahal masyarakat sudah ada sejak sebelum adanya PT PKP, bahkan sebelum negara menetapkan Pulau Sangiang sebagai kepemilikan negara,” tegasnya.

    Selain berbuat ‘onar’ dengan masyarakat Pulau Sangiang, PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) juga beberapa kali berhadapan dengan hukum, baik itu pidana, perdata maupun pajak, selama menguasai pulau. Pada tahun 2005, Direktur PT PKP, Dewanto Kurniawan, diseret ke meja hijau lantaran diduga telah melakukan perusakan terhadap Pulau Sangiang.

    Kasus yang bermula dari laporan masyarakat itu, ditindaklanjuti oleh Polda Banten. Dewanto pun ditetapkan sebagai tersangka, dan berkas perkara dilimpahkan ke Kejati Banten untuk didakwa. Seiring perjalanan persidangan, dilansir dari Hukum Online, Dewanto divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri (PN) Serang, Husni Rizal.

    Vonis bebas tersebut lantaran JPU saat itu, Asnawi, enggan membacakan tuntutan, sebelum Majelis Hakim diganti. Keinginan JPU untuk mengganti Majelis Hakim, karena diduga Majelis Hakim telah menerima fasilitas dari terdakwa di Pulau Sangiang, sebelum persidangan dilakukan. Hal ini dikhawatirkan menimbulkan ketidakindependenan hakim dalam memutus perkara.

    Namun Majelis Hakim tidak menghiraukan permintaan pergantian tersebut, dan tetap menjalankan persidangan. Hingga tiga kali persidangan, JPU keukeh tidak mau membacakan tuntutan, hingga akhirnya dakwaan awal dari JPU dimentahkan oleh Majelis Hakim. Dewanto dibebaskan dari dakwaan. Dari hasil penelusuran online BANPOS, tidak ada tindaklanjut atas perkara itu, meskipun JPU mengklaim telah mengajukan verzet atau perlawanan terhadap putusan hakim.

    Perkara selanjutnya yakni dicabutnya tiga HGB PT PKP oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dicabutnya HGB tersebut lantaran diduga tanah yang disertifikati HGB itu telah ditelantarkan oleh PT PKP. Pihak perusahaan menggugat putusan tersebut ke PTUN Serang, dan memenangkan persidangan. Kemenangan tersebut terjadi lantaran BPN diduga melakukan cacat administrasi dalam pelaksanaan penetapan tanah terlantar itu. Upaya banding dari pihak BPN pun tetap kalah, meskipun tidak ada bantahan terkait dengan status penelantaran tanah yang dimaksud oleh BPN.

    Terakhir yakni menunggaknya pajak bumi dan bangunan (PBB) PT PKP kepada Pemkab Serang. Perusahaan itu telah menunggak pajak sejak 1997, dan baru dilunasi pada tahun 2022 dengan besaran Rp6,8 miliar tanpa denda. Berdasarkan perhitungan, apabila PT PKP tetap membayar pajak dengan dibebankan denda, maka seharusnya pemasukan yang diterima oleh Pemkab Serang sebesar Rp9.875.692.287, dengan nilai denda sebesar Rp3.075.692.301 dengan asumsi denda 2 persen per bulan maksimal selama 24 bulan.(DZH/ENK)

  • Berebut Warisan Sultan di Pulau Sangiang

    Berebut Warisan Sultan di Pulau Sangiang

    DALAM hitungan bulan, Hak Guna Bangunan (HGB) yang merupakan landasan PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) dalam menguasai Pulau Sangiang akan habis. Sebanyak empat sertifikat HGB yang dipegang oleh perusahaan itu akan habis tepat pada 9 Maret 2024. Namun, PT PKP masih memiliki kesempatan untuk memperpanjang penguasaannya terhadap pulau yang berada di antara Pulau Jawa dan Sumatera itu, maksimal selama 20 tahun ke depan. Lalu, apakah Pulau Sangiang akan kembali di bawah kekuasaan PT PKP, atau akan bebas dan kembali kepada negara dan masyarakat?

    Pada Rabu (21/6) malam di Jakarta, tokoh masyarakat adat Cikoneng, termasuk mereka yang tinggal di Pulau Sangiang, melakukan pertemuan. Pertemuan tersebut membahas terkait dengan nasib Pulau Sangiang, dan momentum habisnya HGB PT PKP pada 9 Maret 2024 mendatang, yang dapat menjadi titik pembebasan pulau hibah Kesultanan Lampung kepada masyarakat Cikoneng pada abad ke-19.

    Sofyan Sahuri, salah satu tokoh masyarakat dan pemimpin perlawanan masyarakat Pulau Sangiang, turut andil dalam pertemuan itu. Ustad Pian, panggilan akrabnya, mengatakan bahwa pertemuan yang dilakukan oleh para tokoh adat Cikoneng itu mengharapkan agar Pulau Sangiang dapat kembali lagi ke pangkuan masyarakat.

    “Karena Pulau Sangiang itu berdasarkan sejarahnya, adalah pulau pemberian dari Kesultanan Banten kepada Kesultanan Lampung, yang dihibahkan kepada masyarakat Lampung yang tinggal di Banten atau di Cikoneng. Jadi Pulau Sangiang ini adalah tanah ulayat, tanah adat kami,” ujarnya kepada BANPOS.

    Sejarah masyarakat yang tinggal di Pulau Sangiang pun tidaklah singkat. Ia menuturkan, masyarakat Pulau Sangiang telah mengalami banyak pahit getirnya kehidupan selama menempati pulau tersebut. Pertama kali menempati pulau itu sejak tahun 1930-an, masyarakat Pulau Sangiang pernah mengalami kerja paksa oleh tentara penjajahan Jepang.

    “Kami sejarahnya pernah merasakan Romusa (kerja paksa) oleh Jepang, karena Pulau Sangiang pernah diduduki oleh tentara Jepang untuk menjadi markas pertahanan laut mereka. Di sini juga masih ada benteng Jepang. Hingga akhirnya pulau ini kembali ke masyarakat pada tahun 1950-an. Tapi ternyata pada tahun 1993, pulau kami ‘dibebaskan’ untuk dikuasai oleh PT PKP dan Perhutani,” ucapnya.

    Selama masa ‘pendudukan’ PT PKP, masyarakat yang tinggal di sana perlahan-lahan mengalami pengusiran paksa. Mulai dari yang kasar, hingga menggunakan cara-cara halus. Banyak dari masyarakat Pulau Sangiang pun yang terpaksa hengkang dari pulau, dan pergi ke daratan, sebutan untuk wilayah di Pulau Jawa.

    “Kalau zaman orde baru, pengusirannya dilakukan dengan cara yang keras. Makin ke sini makin halus, diiming-imingi uang yang sebenarnya tidak seberapa, sambil ditakut-takuti terkait dengan masalah hukum dan legalitas,” terangnya.

    Menurut Ustad Pian, pemerintah saat ini tidak boleh menutup mata atas permasalahan Pulau Sangiang, dan memberikan restu perpanjangan HGB kepada PT PKP. Pasalnya, hampir 30 tahun PT PKP menguasai Pulau Sangiang, tidak memberikan dampak apapun kepada masyarakat. Yang ada menurut dia, malah merugikan masyarakat.

    “Kami sudah 30 tahun itu menunggu-nunggu masa habisnya HGB PT PKP di Pulau Sangiang. Karena selama 30 tahun ini, mereka tidak membangun apa-apa di Pulau Sangiang. Adapun yang dibangun di persil HGB 23 menurut kami hanyalah kedok saja untuk menutupi kekurangan mereka yang tidak melakukan apa-apa. Paling berapa unit yang dibangun, itu juga karena ada teguran dari pemerintah,” tuturnya.

    Oleh karena itu, Ustad Pian menegaskan bahwa seharusnya perpanjangan HGB milik PT PKP tidak perlu diperpanjang. Apalagi selain menelantarkan pulau, PT PKP juga tidak memberikan dampak kesejahteraan kepada masyarakat, seperti yang sebelumnya dijanjikan, maupun memberikan pemasukan tambahan bagi pemerintah daerah.

    “Cuma ya itulah hebatnya si perusahaan melakukan lobi di pusat, sampai sekarang meskipun tidak memberikan manfaat apa-apa dan sering membuat kegaduhan aja, tidak ada sanksi yang diberikan kepada mereka,” ungkapnya.

    Ustad Pian pun memastikan bahwa tidak ada pembangunan apapun yang dilakukan oleh PT PKP pada lahan HGB 21 dan 24, yang luasnya mencapai hampir dua juta meter persegi. PT PKP hanya membangun pada lahan HGB 22 dan 23, itu pun menurutnya hanya sebagian kecil lahan saja yang dibangun. “Jadi kami sangat yakin kalau pembangunan di lahan HGB 22 dan 23 itu sebenarnya hanya kedok saja supaya tidak ditetapkan sebagai tanah terlantar,” tegasnya.

    Berdasarkan informasi yang didapat BANPOS, PT PKP tengah berupaya melakukan perpanjangan sertifikat HGB yang mereka miliki, atas empat bidang tanah di Pulau Sangiang. Keempatnya yakni HGB 21, HGB 22, HGB 23 dan HGB 24. Sumber BANPOS lainnya mengutarakan jika pemerintah tengah bingung apakah akan memperpanjang HGB PT PKP atau tidak, karena terjadi konflik dengan masyarakat.

    PT PKP saat hendak dikonfirmasi BANPOS melalui sambungan telepon kantor dengan nomor 0215805777 dan nomor kantor 0215809855 yang tersebar di internet, tidak mendapatkan respon. Beberapa kali BANPOS melakukan panggilan telepon ke dua nomor tersebut, namun tidak ada yang mengangkat panggilan BANPOS.

    Sementara Kantor Wilayah (Kanwil) BPN Provinsi Banten saat dikonfirmasi terkait dengan proses perpanjangan sertifikat HGB PT PKP di Pulau Sangiang, menuturkan bahwa pihaknya tidak bisa memberikan keterangan lantaran bukan kewenangannya. Kewenangan yang dimaksud yakni luas tanah yang tercatat dalam sertifikat HGB, hanya masuk ke dalam kewenangan Kantor Pertanahan Kabupaten Serang, dan BPN pusat.

    Namun berdasarkan Permen ATR/KBPN RI Nomor 16 tahun 2022, kewenangan HGB untuk Badan Hukum yang dimiliki oleh Kanwil BPN ialah di atas 30 ribu meter persegi, hingga 250 ribu meter persegi. Salah satu HGB yang dimiliki oleh PT PKP yakni HGB 21 dengan luas 122 ribu meter persegi, seharusnya masih masuk ke dalam kewenangan mereka.

    Sementara saat BANPOS hendak mengonfirmasi pihak Kantah Kabupaten Serang pada Kamis (22/6), BANPOS dipertemukan dengan manajer loket yang bertugas saat itu yakni Rika. Dia menolak memberikan kesempatan kepada BANPOS untuk mengonfirmasi pejabat yang berwenang terkait dengan HGB, dengan alasan harus memberikan surat resmi terlebih dahulu.

    Saat dijelaskan bahwa kehadiran BANPOS untuk mengonfirmasi pemberitaan dan bukan untuk permohonan informasi, Rika tetap bersikeras bahwa kebijakan yang ada pada Kantah Kabupaten Serang ialah harus melampirkan surat resmi terlebih dahulu. Namun saat ditanya terkait dengan kebijakan yang dimaksud mengacu pada ketentuan apa, ia enggan menjawab.

    Akan tetapi pada hari sebelumnya yakni Rabu (22/6), manajer loket yang bertugas pada saat itu menyatakan bahwa sampai saat ini, belum ada surat yang masuk dari PT PKP, terkait dengan perpanjangan sertifikat HGB. Akan tetapi, ia tidak bisa memberikan informasi lebih, karena terbatas kewenangan.

    Untuk diketahui, PT PKP dalam melakukan pengusahaan wisata Pulau Sangiang, juga mengantongi beberapa berkas perizinan. Diantaranya yakni Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang No: 648/1795/TIB tanggal 1 Juli 1994 perihal Persetujuan prinsip pembangunan hotel, cottages dan jasa rekreasi (lapangan Golf, taman wisata alam) serta pembangunan perumahan seluas 780 hektare dan Surat Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Serang Nomor: 460 ––SK – 1994 Tanggal 19 Juli 1994 tentang Perubahan Ijin Lokasi Untuk Keperluan Pembangunan Jasa Akomodasi (Hotel) Jasa Rekreasi dan Hiburan, Lapangan Golf dan Taman Wisata Alam serta Pembangunan Rumah Peristirahatan (Villa) seluas 7.800.000 meter persegi.

    Berdasarkan pantauan citra satelit, video internal PT PKP dan penuturan masyarakat, dari perencanaan pembangunan yang hendak dilakukan oleh PT PKP melalui persetujuan prinsip dan izin lokasi tersebut, yang terealisasi hanyalah pembangunan rumah peristirahatan saja. Itu pun hanya terdapat empat cottages di tepi laut, dan bangunan lainnya di lahan HGB 22. Sementara seperti lapangan golf dan lain-lainnya, tidak terbangun hingga saat ini. Bahkan, HGB 24 yang memiliki luas terbesar, tidak tersentuh pembangunan bangunan apapun.

    Praktisi hukum sekaligus akademisi Universitas Bina Bangsa (Uniba), Wahyudi, kepada BANPOS mengatakan bahwa akar dari Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan hak-hak lainnya dalam penguasaan dan pengelolaan tanah, mengacu pada Undang-undang Pokok Agraria. Salah satu aturan turunan dari Undang-undang tersebut ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar.

    “Pada PP tersebut sudah ditegaskan pada Pasal 7 ayat (3), ketika si pemegang HGB tidak melakukan pembangunan sesuai dengan apa yang direncanakan selama dua tahun, sudah layak dicabut itu seharusnya, karena terlantar. Artinya ketika pengajuan itu mau buat resort, lapangan golf, taman dan lain sebagainya, ketika tidak dilakukan maka berdasarkan PP tersebut maka sudah layak dicabut,” ujarnya.

    Ia menuturkan, apabila perizinan untuk melakukan pembangunan sudah keluar sejak tahun 1990-an namun hingga saat ini tidak ada progres pembangunan sama sekali, maka sudah berlalu lebih dari 20 tahun. Sehingga menurutnya, jika mengacu pada peraturan perundang-undangan, HGB yang dimiliki oleh PT PKP sangat layak untuk dicabut.

    “Jadi kalau menurut saya, atas nama Undang-undang, itu harus dicabut. Atau minimal diperingatkan lah. Kalau kita lihat dalam PP Nomor 18 tahun 2021, di situ dijelaskan bagaimana cara mendapatkan, cara memperpanjang dan bagaimana hilangnya hak atas tanah. Dia bisa memperpanjang sampai 20 tahun lagi, tetapi jika merunut pada 30 tahun sebelumnya, rasanya wajar lah kalau disebut terlantar,” ucapnya.

    Menurutnya, apabila masyarakat Pulau Sangiang melakukan penuntutan saat ini atas ditelantarkannya jutaan meter persegi tanah HGB di sana, maka seharusnya pemerintah dapat mengabulkannya.

    “Saya pastikan kalau ada warga yang menggugat, sangat bisa menang. Karena jelas kan, lebih dari 2 tahun tidak digunakan sesuai dengan apa yang menjadi haknya selaku pemegang HGB, maka itu bisa dicabut,” tegasnya.

    Sebagaimana dugaan dari Ustad Pian, Wahyudi pun menduga pembangunan yang difokuskan oleh PT PKP hanya pada dua lahan HGB, hanyalah untuk membangun eksistensi saja supaya terlihat lahan tersebut telah diusahakan.

    “Namun kan ada beberapa titik yang tidak digunakan sama sekali. HGB itu kan hak untuk mendirikan bangunan, maka harus ada eksistensi bangunannya dulu. Kalau HGB dimanfaatkan untuk misalkan pariwisata saja tanpa ada pembangunan, ya diubah lah jangan HGB, karena kan HGB itu harus ada bangunannya,” tutur dia.
    Maka dari itu, Wahyudi menuturkan bahwa tidak berlebihan apabila masyarakat menuntut agar HGB untuk PT PKP tidak diperpanjang, karena tidak memberikan dampak positif apapun selama hampir 30 tahun penguasaannya.(DZH/ENK)