Kategori: INDEPTH

  • Peliknya Angka Putus Sekolah

    Peliknya Angka Putus Sekolah

    SELAIN masalah infrastruktur, masalah pelik dunia pendidikan di Banten adalah soal tingginya angka putus sekolah. Banyak anak yang terpaksa tak menuntaskan pendidikan dasar karena beragam persoalan.

    Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Kota Serang Tubagus Suherman menyampaikan bahwa masih terdapat anak yang putus sekolah di Kota Serang. Menurutnya Kota Serang masih memiliki angka putus sekolah tahun 2023 sekitar 7,5 persen.

    Suherman mengungkapkan bahwa angka putus sekolah yang terjadi di Kota Serang pada tahun 2023 dari total enam kecamatan di Kota Serang ada di tiga kecamatan yang menjadi kecamatan terbanyak angka putus sekolah, yaitu Kasemen, Walantaka dan di Curug.

    Suherman juga menyampaikan bahwa instansinya saat ini telah berupaya menjalankan beberapa program untuk menghentikan angka putus sekolah yang terjadi di Kota Serang.

    “Untuk meningkatkan partisipasi sekolah di Kota Serang makin tinggi dan mereka tidak putus belajar, maka pemerintah Kota Serang juga sudah membebaskan biaya belajar, terutama dari Dana BOS,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Suherman juga menjelaskan bahwa pada program dana BOS tersebut dibagi menjadi tiga dana, yaitu Dana Operasional, Dana Personal, dan Dana Investasi. Mengenai Dana Investasi dan Dana Operasional, seluruhnya ditanggung Pemerintahan akan tetapi Dana Personal tidak semuanya ditanggung pemerintah.

    “Nah, Dana Investasi kemudian Dana Operasional itu seluruhnya ditanggung oleh pemerintah sedangkan Dana Personal itu sebagian tidak tercover oleh dana BOS,” tambahnya.

    Wakil Walikota Serang, Subadri Ushuludin dalam wawancaranya menekankan kepada Kepala Dinas Pendidikan dan kebudayaan (Dindikbud) Kota Serang, terkait angka putus sekolah yang mencapai angka 10 persen tersebut, untuk mencarikan solusi dan inovasi agar tidak ada lagi anak yang putus sekolah di Kota Serang.

    “Kepala OPD harus mencarikan solusi dan inovasi, untuk menekan angka putus sekolah. Saya maunya angka putus sekolah di Kota Serang ini 0 persen, teknisnya ada di kepala OPD,” ujarnya.

    Subadri juga memberikan amanat kepada para anak-anak yang saat ini sedang mengenyam pendidikan agar serius dalam belajar agar kedepannya bisa menjadi orang sukses.

    “Dalam rangka mencerdaskan anak bangsa, sehingga siapapun kita sekarang, kalau dulunya tidak dididik, kalau dulunya tidak mengenyam pendidikan, mungkin tidak jadi seperti sekarang, atau bukan siapa-siapa,” tandasnya.

    Sekretaris Dinas pendidikan Kota Serang, Tb Agus Suryadin menyampaikan bahwa instansinya dalam upaya menurunkan angka putus sekolah saat ini tengah digalakan sesuai arahan Walikota Serang.


    “Kita memang sudah ada arahan dari bapak walikota tentang wajib belajar sembilan tahun,” ungkapnya.

    Dirinya berharap dalam upaya menurunkan potensi putus sekolah yang masih ada di Kota Serang perlu adanya kerjasama dari semua pihak, baik dari guru sampai dengan tokoh masyarakat.

    “Kita upayakan, tapi memang perlu dukungan juga dari guru, orang tua, bahkan tokoh masyarakat untuk memberikan pengertian kepada anak-anak supaya jangan sampai putus sekolah,” ujarnya.

    Sementara itu, Kasi Kurikulum SD Dinas Pendidikan Kabupaten Lebak, Suhaedi mengatakan, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP di Lebak mencapai 99,07 persen. Sedangkan untuk Angka Partisipasi Murni (APM) untuk SD berada di angka 99,88 persen dan APM untuk SMP mencapai 86,81 persen.

    “Alhamdulillah dalam beberapa tahun terakhir memang angka partisipasi itu meningkat. Meskipun tidak terlalu signifikan, namun tentu selalu ada peningkatan,” kata Suhaedi kepada BANPOS saat ditemui di ruang kerjanya.

    Suhaedi menjelaskan, Lebak sempat mengalami krisis Angka Partisipasi Sekolah pada masa Pandemi Covid-19. Menurutnya, keberpengaruhan masa pandemi mengakibatkan banyak anak enggan untuk melanjutkan sekolah. Bahkan, banyak orang tua yang memilih menunda memasukkan anaknya ke sekolah karena pandemi tersebut.

    “Sewaktu pandemi kemarin berpengaruh sekali. Misalnya, saat si anak terlalu banyak pembelajaran daring, si anak malas untuk sekolah,” jelasnya.

    Sementara, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Pandeglang, saat ini tengah melakukan pembenahan dalam menangani siswa putus sekolah baik di tingkat SD maupun tingkat SMP di Kabupaten Pandeglang.   

    Sekretaris Disdikpora Kabupaten Pandeglang, Sutoto mengatakan, untuk saat ini angka putus sekolah sebanyak 0,25 persen di tingkat SMP. Namun pihaknya angka menekan angka tersebut agar bisa berkurang dengan membentuk tim penanganan terpadu penuntasan wajib belajar.

    “Angka tersebut bisa kita tekan di posisi 0,1 persen, karena itu masih ada margin error di sistem ketika ada yang mutasi atau keluar tidak dimasukan dan saya sedang memperbaiki itu,” kata Sutoto seraya menyampaikan, angka putus sekolah tak mungkin dinihilkan. Karena adanya masalah sosial budaya, penyebabnya karena adanya keretakan rumah tangga. 

    Dijelaskannya, untuk tingkat SD angka siswa putus sekolah saat ini sudah di posisi 0,17 persen. Salah satu faktor yang menjadi penyebab anak putus sekolah sekaligus menjadi perhatian khusus Disdikpora Pandeglang adalah kekerasan terhadap anak.

    “Ada pembullyan dan adanya dampak kasus kekerasan terhadap anak serta pelecehan seksual, itu yang membuat anak menjadi tidak mau sekolah. Makanya dalam penerapannya itu harus bersanding antara undang-undang sistem Pendidikan dengan undang-undang hak asasi manusia dan undang-undang perlindungan anak,” katanya.

     

    Untuk terus menekan angka putus sekolah, lanjut Sutoto, strategi Disidikpora Pandeglang di tahun 2023 masuk ke 2024 adalah membentuk Tim Penanganan Terpadu Penuntasan Wajib Belajar. Misalkan ada anak usia sekolah yang tidak sekolah itu harus ada laporan dari RT, RW dan Kepala Desa (Kades) dan nantinya akan ditangani oleh tim.

    “Nanti akan ditangani oleh tim, baik dari sisi ekonomi maupun dari sisi problem orang tua dan kita akan mencarikan bapak angkat untuk anak sekolah tersebut dan harapannya itu di Pandeglang Pendidikan itu bisa melindungi anak terkait hak asasi manusia dan jaminan hak pendidikan dalam perlindungan anak,” ucapnya.(CR-O1/dhe/MY/ENK)

  • Asal Bukan Al

    Asal Bukan Al

    KEPEMIMPINAN Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar, akan segera habis kurang dari dua bulan ke depan. Namun dalam era hampir sebelas bulan kepemimpinannya itu, disebut oleh sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis, terlalu banyak kontroversi. Bahkan sampai muncul tagline ‘Asal Bukan Al’.

    Salah satu sorotan datang dari tokoh Banten yang juga mantan Bupati Lebak dua periode, Mulyadi Jayabaya. Menurut pria yang akrab disapa JB ini, tidak ada yang bisa dirasakan dari kehadiran Al Muktabar saat menduduki jabatan Penjabat. Dalam hal ini JB menyebut, Al Muktabar dinilainya banyak meninggalkan pekerjaan yang belum selesai.

    “Saya menilai keberadaan Al Muktabar sebagai Penjabat Gubernur tak ada yang dirasakan, malah justru semakin mundur. Banyak yang tidak diselesaikan oleh dia mulai dari infrastruktur, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Semua terkesan mandek dan tak ada yang terealisasi dengan baik,” ungkap JB kepada BANPOS, Kamis malam (30/03).

    Ayahanda dari Bupati Lebak Iti Octavia ini pun menambahkan, dalam waktu dekat ini jabatan penjabat gubernur itu akan segera habis. Maka dari itu, pihaknya meminta kepada DPRD Provinsi Banten untuk pandai dalam memilih figur yang pas untuk diajukan sebagai calon Penjabat Gubernur selanjutnya.

    “Jangan sampai DPRD mengajukan atau memilih figur yang kurang mampu membawa perubahan yang baik untuk Banten. Sebentar lagi pada Bulan Mei jabatan Al Muktabar akan berakhir, jadi harus segera dicari sosok yang pas. Jangan sampai kepemimpinan Banten dipegang oleh figur yang tidak menghasilkan dampak baik seperti Al Muktabar,” tegasnya.

    Ketika ditanya BANPOS tentang siapa figur yang pas untuk menjadi Pj lanjutan pengganti Al Muktabar, JB tidak menyebut sosok manapun. Namun ia mengharapkan Penjabat Gubernur Banten sebaiknya dipegang orang Banten yang terbaik.

    “Itu silakan DPRD Banten memilah dan memilih figur, tapi jangan asal pilih juga. Kalau bisa mah dari orang Banten. Kan banyak orang Banten yang duduk di jabatan eselon di pemerintah pusat, dari situ bisa dicari figur yang pas. Namun intinya yang bisa membawa perubahan baik untuk Banten,” harapnya mengakhiri obrolan.

    Hal yang sama dilontarkan oleh Ketua Laskar Pasundan Indonesia (LPI), Rohmat Hidayat. Ia menilai bahwa banyak kebobrokan yang terjadi selama kepemimpinan Al Muktabar.

    “Menurut Saya kepemimpinan Al Muktabar sangatlah jauh dari kata bagus, karena pada hari kita banyak menyaksikan kebobrokan Pemprov Banten yang diduga disebabkan keegoisan dari Pj dengan berbagai kontroversi yang ada,” katanya.

    Menurut Rohmat, hal itu terlihat mulai dari penentuan pejabat di lingkungan Pemprov Banten, sampai beragam polemik lain yang terjadi. Apalagi jika dilihat dari sisi penggunaan anggaran di tahun 2022, Al Muktabar terkesan ugal ugalan.

    “Dan itu semua terbukti mulai dari beberapa proyek yang diduga keras bermasalah dan lain-lain. Birokrasi di Banten mengalami jatuh terjun bebas, yang dihimpit berbagai conflict of interest. Dia sosok yang tidak bisa menampung aspirasi, terlalu semau dewek,” ungkap Rohmat.

    Label ‘sekarep dewek’ (semaunya sendiri, red) yang melekat pada diri Al Muktabar, memang sudah menjadi rahasia umum. Hal itu dapat dinilai dari kepemimpinannya selama kurang lebih 10 bulan ini yang benar-benar tidak mendengarkan masukan dan usulan dari berbagai pihak.

    “Lihat saja, saat mengangkat Plh Sekda sekarang, dia sudah tidak lagi mengindahkan aturan dengan besar dugaan tiga job jabatan strategis yang diemban Virgojanti. Ini diduga keras berlawanan dengan aturan, maka dari itu kebijakan Al dalam beberapa kesempatan pun menuai polemik, sampai mengakibatkan penurunan untuk sistem birokrasi yang baik untuk Banten dan slogan yang diusung Banten berintegritas itu nol besar,” ucapnya.

    Ia menegaskan bahwa konsep reformasi birokrasi yang Al Muktabar bawa pun terkesan ugal-ugalan. “Jadi banyak aspek aji mumpung yang dilakukannya. Salah satu contoh dinaikannya target pendapatan pada tahun 2022, namun tidak dipikirkan pola pengeluarannya dan pola pengawasannya,” katanya.

    Di akhir, aktivis asal Lebak ini pun berharap ke depan Penjabat Gubernur Banten dapat dijabat oleh sosok yang benar-benar memiliki kemampuan dan kapasitas untuk membawa Provinsi Banten ke arah yang baik.

    “DPRD Banten dan pemerintah pusat pun harus bisa membaca kehendak rakyat Banten pada figur yang akan mimpin. Saya harap, Pj Gubernur selanjutnya yang bisa amanah dalam pekerjaannya dan tidak mengedepankan kepentingan politiknya, melainkan lebih memperhatikan kepentingan masyarakat Banten. Pj yang baru nanti tidak anti kritik dan mau mendengar aspirasi masyarakat dari berbagai elemen, tidak hanya dari tubuh birokrasi atau pun orang orang yang memang memiliki kepentingan saja,” paparnya.

    Koordinator Presidium KMSB, Uday Suhada, mengatakan bahwa pihaknya menilai Al Muktabar telah gagal dalam mengemban amanah sebagai Penjabat Gubernur Banten. Sejak akhir 2022, pihaknya terus melakukan kajian, dan menghasilkan kesimpulan bahwa Al Muktabar telah gagal.

    “Bagi kami, kepemimpinan Al telah gagal. Gaya kepemimpinannya one man show. Saya tidak membenci Pak Al, tapi saya lebih sayang kepada orang-orang di sekelilingnya,” tegasnya.

    Uday pun menegaskan jika KMSB tidak memiliki kandidat yang berpotensi diusulkan sebagai calon Penjabat Gubernur Banten selanjutnya. Menurut Uday, siapapun penjabat selanjutnya akan pihaknya dukung, selama benar-benar menjalankan amanat yang diberikan.

    “Saya dan kawan-kawan di KMSB tidak memiliki kandidat, apalagi kami tidak mengenal para pejabat setingkat Eselon I di lingkungan Kemendagri. Siapapun yang menjadi Penjabat Gubernur Banten setahun kedepan, akan kita dukung, asal bukan Al. Sebab berbagai masukan yang disampaikan selalu dipatahkan atas kehendak pribadinya.  Penggantinya, sepanjang mau mendengar aspirasi berbagai komponen Banten, dan tidak semau gue dalam mengambil kebijakan,” tegasnya.  

    Tak hanya di kalangan tokoh dan aktivis, sejumlah pemerintah daerah juga mengeluhkan era kepemimpinan al. Salah satunya adalah Wakil Walikota Cilegon, Sanuji Pentamarta. 

    Sanuji mengatakan bahwa sebagai pimpinan dari Kota Cilegon, dirinya menginginkan agar Pemerintah Provinsi Banten dapat bertindak sebagai kakak dan juga ayah bagi pemerintah kota/kabupaten. Semangat yang dibawa yakni mengayomi dan melayani pemerintahan setingkat di bawahnya.

    Namun akhir-akhir ini, ia menilai bahwa Pemprov Banten justru menjadi kabupaten/kota ke-9 di Provinsi Banten. Padahal, tugas dari Pemprov Banten adalah menyambungkan aspirasi kota/kabupaten ke pusat, dan menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat.

    “Jadi ke depan pemerintah provinsi jangan menjadi kabupaten kota ke-9. Tugas mereka adalah melaksanakan perintah dari pusat dan menjadi pelayan bagi pemerintah daerah, jadi mendukung kesuksesan pemerintah daerah,” ujarnya kepada BANPOS, Kamis (30/3).

    Sanuji mengatakan, secara prinsip pihaknya selaku Pemerintah Kota Cilegon, akan mengikuti arahan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Namun ia mengingatkan, pemerintah provinsi juga harus mengasuh dan mengayomi daerah.

    “Pada prinsip kita akan ikut arahan pusat dan provinsi. Tapi provinsi juga harus ngasuh ke daerah gitu. Jadi kesulitan Cilegon apa nih, apa yang bisa kami bantu, apa yang bisa kami dukung. Selalu diperbaiki yang seperti itu, sehingga kita merasa diperhatikan,” katanya.

    Menurut Sanuji, sebetulnya Pemprov Banten di bawah kepemimpinan Al Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten, sudah berjalan seperti yang ia mau. Namun menurut dia, ke depannya Penjabat Gubernur Banten harus lebih dari tahun ini.

    “Selama ini masih kurang, ke depan harus lebih ditingkatkan komunikasi, kesadaran ngomong dari pemerintah provinsi kepada kabupaten kota,” tegasnya.

    Oleh karena itu, ia berharap Penjabat Gubernur Banten selanjutnya, harus bisa lebih baik lain dalam membantu pembangunan di kota/kabupaten yang ada di Provinsi Banten. Jangan sampai sibuk sendiri dengan pemerintahannya.

    “Pemerintah provinsi harus bisa mengayomi kabupaten kota, jadi jangan sibuk dengan pemerintahan sendiri. Harus juga berbagi waktu untuk datang ke pemerintahan kota, tanyakan kepada pemerintahan kabupaten kota, apa yang bisa kami dukung,” tegasnya.

    Senada disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD Kota Serang, Hasan Basri. Kepada BANPOS, Hasan mengaku bahwa sejujurnya ia tidak paham arah yang dituju oleh Al Muktabar, terutama dalam menyokong pembangunan di Kota Serang.

    “Misalnya persoalan status ibukota, soal pembangunan Kota Serang sebagai ibukota. Apa peran dari Penjabat Gubernur untuk pembangunan Kota Serang? Nah aset saja kita belum selesai. Padahal dalam Undang-undang pembentukan Kota Serang, Gubernur itu harusnya bisa berperan aktif,” ujarnya melalui sambungan telepon.

    Ia mengatakan bahwa Pemprov Banten yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, harus dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan dari kota/kabupaten. Kehadirannya untuk menjadi jembatan antaran kota/kabupaten dengan pemerintah pusat.

    “Permasalahan-permasalahan yang ada di kota/kabupaten harus dijembatani. Karena dia kepanjangan tangan mewakili pemerintah pusat di daerah. Jadi kepentingan pemerintah pusat harus ditunaikan di kota/kabupaten yang ada di Provinsi Banten, pun kebutuhan kota/kabupaten di Provinsi Banten ini harus ditunaikan, menjadi fokus,” katanya.

    Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan bahwa secara subjektif, kriteria untuk Penjabat Gubernur ke depannya haruslah sosok yang memahami Provinsi Banten secara keseluruhan. Dia pun harus mengerti betul keinginan dan kebutuhan dari kota/kabupaten yang ada di Provinsi Banten.

    “Dari sisi kultural Banten dia juga harus paham. Karena ini nanti berkaitan dengan kebutuhan yang betul-betul dirasakan oleh pemerintah kota/kabupaten, yang pastinya berbeda-beda kebutuhan sendiri pada 8 kota/kabupaten ini,” ucapnya.

    Hasan pun menegaskan bahwa sosok Penjabat Gubernur Banten selanjutnya haruslah orang yang mengerti bahwa tugas dirinya yakni sebagai wakil pemerintah pusat yang ada di daerah, sehingga dapat menjembatani kepentingan-kepentingan pemerintah pusat yang harus ditunaikan di daerah-daerah.

    “Sosok itu jangan membuat Pemprov Banten seakan-akan berdiri sendiri dan tidak peduli dengan kota/kabupaten yang ada di bawahnya. Dia harus lebih memerankan fungsi koordinatif yang mencerminkan tugas-tugas Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah,” tandasnya.(WDO/MUF/DZH)

     

  • Menggugat Nurani DPRD Banten

    MASA jabatan Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar, tinggal tersisa beberapa pekan lagi. Menjabat sejak 12 Mei 2022, Al Muktabar akan habis masa jabatannya pada tanggal yang sama sesuai dengan Pasal 201 Ayat (9) Undang-undang Nomor 10 tahun 2016. Al Muktabar dapat kembali ditunjuk sebagai Penjabat Gubernur Banten, apabila Presiden Joko Widodo berkenan.

    Berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini Kemendagri membuka pintu partisipasi dari setiap daerah, untuk dapat mengusulkan nama calon Penjabat Gubernur, yang nanti akan ditunjuk oleh Presiden sebagai Kepala Daerah sementara selama satu tahun. Kesempatan untuk berpartisipasi itu diberikan kepada DPRD selaku lembaga perwakilan rakyat di daerah.

    Diketahui, penunjukkan Penjabat Gubernur oleh Kemendagri tahun lalu, membuat cukup banyak tentangan hingga gugatan. Gugatan yang dilakukan oleh sejumlah kelompok sipil itu mulai dari gugatan Tata Usaha Negara, hingga gugatan ke Ombudsman RI.

    Di Banten tahun lalu, organisasi Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Banten melakukan gugatan ke PTUN Serang, terkait dengan pengangkatan Penjabat Gubernur yang dinilai tidak demokratis dan tidak transparan.

    Sementara Ombudsman RI menerima laporan dari tiga organisasi yakni Perludem, KontraS dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Sebelumnya, ketiga organisasi itu menilai bahwa penunjukan Penjabat Gubernur tidak dilaksanakan dengan melibatkan publik dan tidak transparan. Ombudsman menilai terdapat maladministrasi dalam pelaksanaan pengangkatan itu.

    Saat ini, daerah mendapat kesempatan untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan siapa Penjabat Gubernur selanjutnya. Bola panas itu berada di DPRD Provinsi Banten. Banyak pihak pun berbondong-bondong mengingatkan kepada DPRD, untuk dapat memegang integritas dan objektif dalam mengusulkan nama-nama calon Penjabat Gubernur Banten.

    Ketua Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT) Banten, Ucu Nur Arief Jauhar, mengatakan bahwa diberikannya ruang bagi DPRD Provinsi Banten untuk mengusulkan tiga nama untuk dipertimbangkan sebagai calon Penjabat Gubernur Banten, merupakan bukti bahwa pemerintah pusat mendengarkan aspirasi masyarakat.

    “Ini bukti bahwa pusat memberikan ruang kepada daerah untuk berpartisipasi dalam pemilihan Penjabat Gubernur. Hal ini agar legalitas dari Penjabat Gubernur yang dipilih benar-benar kuat, bahwa dia tidak ujuk-ujuk dipilih. Sehingga kalau sudah dipilih, gak ada lagi tuh perdebatan,” ujarnya, Rabu (29/3) malam.

    Ucu mengatakan, kesempatan yang diberikan oleh pusat harus benar-benar dimaksimalkan. Sebab, opini yang terbangun saat ini hanya mengerucut pada satu nama saja, yakni Al Muktabar. Dalih yang dibangun adalah karena Al Muktabar saja yang memiliki persyaratan untuk diusulkan sebagai calon Penjabat Gubernur, yakni memiliki jabatan Eselon I.

    Namun menurut Ucu hal itu sangatlah aneh. Karena dalam klausul surat yang disampaikan oleh Kemendagri, tidak membatasi nama-nama yang akan diusulkan ke Kemendagri haruslah berasal dari Pemprov Banten. Maka dari itu, slot tiga nama yang dapat diusulkan ke Kemendagri, haruslah dimaksimalkan.

    “Memang dari tiga nama yang diusulkan itu, tidak serta merta menjadi bagian yang akan dipilih sebagai Penjabat Gubernur, karena Kemendagri pun pasti juga memiliki nama. Namun paling tidak, kita sebagai masyarakat Banten juga harus terlibat. Karena kalau cuma satu nama saja, ya lucu, jadinya aneh lah,” tegasnya.

    Menurutnya, jabatan Penjabat Gubernur merupakan hal yang sangat prestisius bagi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN). Maka dari itu, seorang ASN pasti akan berupaya semaksimal mungkin untuk dapat mengemban amanah tersebut, sebagai bagian dari jenjang karir.

    “Ini jabatan prestisius bagi seorang ASN. Kalau dulu mungkin Sekda, sekarang ada momentum untuk menjadi Penjabat Kepala Daerah. ASN yang memenuhi kriteria pasti akan berupaya maksimal untuk mendapatkannya. Jadi sangat aneh jika DPRD tidak menemukan sosok lain. Apalagi putra asli Banten pun ada yang menjabat sebagai Eselon I di kementerian,” jelasnya.

    Ucu pun menegaskan bahwa posisi saat ini membuat integritas DPRD Provinsi Banten dipertaruhkan. Nurani para anggota legislatif ditantang untuk membuktikan keperpihakannya kepada rakyat Banten. Pasalnya, DPRD harus mengusulkan nama secara obyektif dan membuktikan kepada masyarakat bahwa keputusan yang mereka ambil, demi kemaslahatan masyarakat Banten.

    “Saat ini pertaruhannya adalah integritas dari lembaga DPRD. Kalau nantinya hanya ada satu nama saja yang diusulkan yaitu Al Muktabar, maka publik akan berburuk sangka, ada apa sebenarnya? Kok dari tiga jatah nama yang diusulkan, hanya satu saja yang diberikan. Setidaknya, saya yang akan berburuk sangka, mengingat kekuasaan APBD saat ini ada pada Penjabat Gubernur yang sekarang,” ucapnya.

    Dia pun memberikan simulasi, dengan memposisikan diri sebagai Penjabat Gubernur yang menghadapi momentum pemilihan ulang seperti saat ini. Menurutnya untuk bisa mengamankan kelangsungan jabatan tersebut, dirinya hanya tinggal memberikan ‘jaminan’ saja kepada para anggota dewan, bahwa masing-masing bisa mendapatkan porsi ‘kue pembangunan’ dari APBD Provinsi Banten yang senilai kurang lebih Rp12 triliun.

    “Ini mah kita berkhayal aja, kalau saya yang jadi Penjabat Gubernur, kita bagi-bagi saja proyeknya. Itu sudah aman. Asalkan nama yang disampaikan itu hanya saya saja, jadi kan seolah-olah memiliki legitimasi dari masyarakat bahwa cuma saya yang diinginkan. Kalau seperti itu, maka integritas dari DPRD yang patut dipertanyakan,” tuturnya.

    Apalagi jika melihat setahun kepemimpinan Al Muktabar, Ucu menuturkan bahwa seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi DPRD untuk tidak memasukkan nama Al Muktabar sebagai calon yang diusulkan DPRD. Sebab, banyak sekali kekisruhan yang terjadi dalam satu tahun ke belakang.

    “Kita lihat aja seperti persoalan pengangkatan pejabat-pejabat Pelaksana Tugas yang ternyata tidak punya jabatan definitif. Ini kan se-Indonesia hanya terjadi di Provinsi Banten. Maka kita harus memastikan bahwa APBD tahun 2023 ini tidak digadaikan untuk memuluskan hasrat kekuasaan,” ucapnya.

    Koordinator Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Banten (KMSB), Uday Suhada, mengatakan bahwa surat yang dilayangkan Mendagri Tito Karnavian ke DPRD Provinsi Banten pada 27 Maret lalu, merupakan ruang yang diberikan oleh Pemerintah Pusat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Penjabat Gubernur Banten saat ini.

    “Ini adalah kesempatan bagi DPRD untuk melihat secara objektif tentang kebijakan Al Muktabar selama 10 bulan terakhir. Begitu juga dengan dinamika yang terjadi di tengah masyarakat terkait kepemimpinan Al,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima BANPOS.

    Uday menegaskan bahwa DPRD Provinsi Banten tidak boleh main-main dalam melakukan penilaian terhadap kinerja Penjabat Gubernur Al Muktabar. Karena penilaian tersebut yang akan menjadi landasan objektivitas DPRD, dalam mengusulkan nama-nama calon Penjabat Gubernur periode kedua. Terlebih, persoalan itu juga menyangkut nasib belasan juta masyarakat Banten dalam setahun ke depan.

    “Sebagai masyarakat sipil, saya tentu mengapresiasi langkah Mendagri. Meskipun menjadi hak prerogatif Presiden, namun juga mempertimbangkan aspirasi dari daerah dengan memberikan ruang tersebut kepada DPRD,” katanya.

    Oleh karena itu, Uday yang juga merupakan Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP) menegaskan bahwa dalam penentuan tiga nama yang akan diusulkan ke Kemendagri, tidak boleh melibatkan praktik-praktik transaksional.

    “Sekarang bola ada di tangan Fraksi-fraksi di DPRD. Karena itu pesan saya, hindari hal-hal yang tidak terpuji dalam proses pengusulan tiga nama calon Penjabat Gubernur. Sebab dalam proses pencarian nama-nama, ada potensi terjadinya praktik transaksional,” ucapnya.

    Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Informasi Regional (Pattiro) Banten, Bahari, mengatakan bahwa DPRD harus belajar dari pengalaman sebelumnya, dimana pemilihan Penjabat Gubernur terkesan tertutup dan tidak terbuka ruang masukan dari publik.

    “Kinerja Penjabat Gubernur Banten harus dinilai secara objektif dan proporsional. Apakah target-target RPD yang ada sudah tercapai. Saat ini yang terlihat lebih banyak bermain di isu inflasi saja, belum ke permasalahan pembangunan lainnya,” ujarnya.

    Selain itu, ia menuturkan bahwa beberapa kebijakan Penjabat Gubernur Banten yang terkesan kontroversi seperti pengangkatan Pelaksana Tugas yang rangkap jabatan, juga harus menjadi bahan penilaian dari DPRD.

    “Apakah hal tersebut berdampak kepada pencapaian target pembangunan? Ataukah malah membuat proses pembangunan menjadi tidak jelas arahnya dikarenakan muncul pro kontra,” ungkapnya.

    DPRD diminta untuk jeli dalam hal aturan pengangkatan Penjabat Gubernur ini. Pasalnya, terdapat klausul yang harus dipastikan definisinya. “Apakah memang benar ada klausul perpanjangan? Ataukah dapat diangkat kembali. Karena hal ini akan berpengaruh terhadap status Al Muktabar,” tandasnya.

    Akademisi Untirta Serang, Ikhsan Ahmad, menegaskan bahwa surat dari pemerintah pusat yang mengingatkan DPRD Banten agar segera mengusulkan nama-nama pengganti Al Muktabar merupakan langkah tepat dan strategis demi pembangunan lebih baik lagi. “Surat tersebut harus disifati dengan semangat untuk terus membangun perubahan yang lebih baik untuk Banten,” kata Ikhsan dalam pesan tertulisnya.

    Ia berharap DPRD benar-benar melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam menentukan siapa saja pengganti Al Muktabar. Dan dilakukan secara transparan. “Oleh karena itu DPRD harus terbuka dengan memberikan kriteria atas nama-nama calon yang dibutuhkan untuk mengganti Pj (Al Muktabar) yang saat ini,” ujarnya.

    Adapun kandidat pengganti Al Muktabar yang disampaikan oleh DPRD Banten paling lambat pada bulan April mendatang masih menurut Ikhsan, adalah sosok yang mampu menjawab keresahan masyarakat. “Kriteria tersebut adalah kriteria yang dapat menjawab kebutuhan, persoalan dan tantangan Banten 1 tahun kedepan,” tuturnya.

    Adanya dugaan transaksional yang selama ini dikhawatirkan dalam pengisian jabatan strategis, harus ditunjukan oleh DPRD bahwa hal tersebut tidak ada. Caranya keterbukaan dan mendengar apa yang dikehendaki oleh masyarakat, dalam melakukan seleksi nama-nama pengganti Al Muktabar.

    “Selanjutnya DPRD harus terbuka kepada masyarakat dalam melakukan seleksi dalam tahapan, penilaian dan pengumuman 3 nama yang diminta. Tidak boleh main umpet umpetan (sembunyi-sembunyi, red) atau menjadikan pengajuan nama pengganti Pj bagian dari transaksional dalam kepentingan politik 2024,” ucapnya.

    “Semua elemen kritis masyarakat harus ikut mengawal pengajuan 3 nama jangan sampai menjadi korban tipu muslihat para elit politik dengan mengangkangi politik pemilu untuk kekuasaan semata,” lanjut Ikhsan.

    Sedangkan adanya dugaan peranan partai politik dalam penentuan pengganti Al Muktabar diakuinya tidak bisa dilepaskan. Yang terpenting, partai harus mengedepankan kepentingan hajat hidup orang banyak, bukan kelompok tertentu.

    “Dugaan itu menurut saya kemungkinan benarnya adalah besar. Di Satu sisi mengakumulasi agenda politik untuk kepentingan politik sah-sah saja, selama tidak mengorbankan kepentingan rakyat,” jelasnya.

    Ikhsan juga berharap kedepan DPRD Banten dapat memainkan perannya secara maksimal dan lebih baik lagi, sesuai dengan fungsinya. Mengingat selama ini, banyak kegaduhan terjadi di Provinsi Banten.

    “Kalau melihat bagaimana kegaduhan satu tahun ke belakang terjadi dan DPRD lebih banyak diam daripada memainkan fungsi kontrolnya, bisa jadi ini menjadi indikasi ketidakmampuan dewan untuk memperbesar ruang-ruang kepentingan masyarakat, kendati demikian kita mesti tetap optimis, bahwa dewan adalah lembaga resmi yang mewadahi kepanjangan tangan rakyat, karenanya mesti dikawal,” tegasnya. (RUS/DZH)

  • DPRD Bingung, Masyarakat Sipil Beri Jalan

    KESEMPATAN yang diberikan oleh Kemendagri kepada daerah-daerah termasuk Provinsi Banten, untuk dapat mengusulkan tiga nama pilihan yang akan dipilih menjadi Penjabat Gubernur, diminta untuk dapat dijadikan sebagai momentum pemilihan calon penjabat secara demokratis. Meskipun tidak seperti Pemilihan Umum (Pemilu) yang melibatkan masyarakat sebagai pemilihnya.
    Hal itu sebagai respon dari kebingungan DPRD Provinsi Banten, dalam menentukan mekanisme pemilihan tiga nama yang akan diusulkan ke Kemendagri, sebagai calon Penjabat Gubernur Banten usulan daerah asal. Kebingungan itu secara tersirat disampaikan oleh Ketua DPRD Provinsi Banten, Andra Soni, usai rapat pimpinan menindaklanjuti surat yang disampaikan oleh Mendagri.
    Kepada awak media, Andra mengatakan bahwa rapat pimpinan yang digelar pada Rabu (29/3) kemarin belum mencapai pembahasan siapa saja yang akan diusulkan sebagai Penjabat Gubernur Banten. Mereka masih berkutat pada mekanisme hingga kepastian apakah usulan tersebut akan dipertimbangkan atau tidak.
    “Tadi diskusi kita terkait mekanisme apakah ini harus melalui paripurna, apakah melalui fit and proper test. Kemudian pertanyaan apakah usulan ini akan dipilih salah satunya? Atau jangan-jangan kita ngusulin, tiga-tiganya enggak ada yang diterima, ya kita juga harus menjaga marwah lembaga juga kan,” tegasnya.
    Menjawab kebingungan tersebut, Gerakan Pemuda Kota Serang (GPKS) menyampaikan rekomendasi mekanisme penentuan nama-nama yang akan diusulkan kepada Kemendagri. GPKS mengusulkan DPRD memberlakukan sistem pengusulan nama-nama secara terbuka oleh fraksi, dan dilanjutkan dengan pemilihan tertutup oleh masing-masing 85 orang anggota dewan.
    Ketua Presidium GPKS, Ahmad Fauzan, menjelaskan secara rinci mekanisme yang dia usulkan. Pertama, setiap fraksi mengusulkan satu orang nama yang memenuhi persyaratan dari Kemendagri, untuk dijadikan sebagai bakal calon Penjabat Gubernur.
    “Sehingga kalau setiap fraksi mengusulkan satu nama, maka akan ada sebanyak 9 nama yang menjadi bakal calon Penjabat Gubernur. Tentu idealnya setiap fraksi mengusulkan nama-nama yang berbeda dari fraksi lainnya,” ujar Fauzan.
    Selanjutnya, dari nama-nama yang telah diusulkan oleh setiap fraksi, akan dipilih oleh 85 orang anggota DPRD Provinsi Banten secara voting tertutup. Voting tertutup dilakukan agar ketika ada anggota fraksi yang memilih tidak seperti pilihan fraksi, tidak terancam untuk diberikan sanksi seperti Pergantian Antara Waktu (PAW).
    “Hal ini agar pemilihan berlangsung secara fair. Kalau dilaksanakan voting terbuka, akan ketahuan siapa anggota fraksi yang tidak satu pilihan dengan fraksi, dan berpotensi diberikan sanksi. Padahal setiap anggota memiliki hak suara yang sama,” ungkapnya.
    Dari hasil pemilihan tersebut, tiga nama terbanyak dipilih akan diajukan sebagai calon Penjabat Gubernur Banten dari DPRD. Menurutnya, hal itu lebih demokratis ketimbang DPRD mengusulkan nama secara sepihak tanpa adanya pemilihan secara demokratis.
    “Tentu selama pelaksanaannya, partisipasi publik dilibatkan. Dalam artian setiap fraksi kan bisa berkonsultasi dengan tokoh masyarakat, konstituen, untuk mendiskusikan nama yang akan diusulkan oleh fraksi tersebut,” ucapnya.
    Fauzan mengatakan, pihaknya tengah menyusun surat rekomendasi mekanisme pemilihan Penjabat Gubernur Banten tersebut, dan akan dikirimkan ke DPRD Provinsi Banten sebagai masukan. Selain itu, pihaknya juga akan menggalang dukungan dari organisasi lain guna bersama-sama mendorong pemilihan calon Penjabat Gubernur yang demokratis.
    “Insyaallah nanti akan berkomunikasi dengan beberapa elemen kritis masyarakat, agar bersama-sama mendorong ini. Karena saya kira tidak ada lagi cara yang demokratis dalam pelaksanaan pemilihan calon Penjabat Gubernur Banten ini,” katanya.
    Usulan tersebut mendapat dukungan dari Ketua Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT) Banten, Ucu Nur Arief Jauhar. Ucu mengatakan, sistem bak kongres pemilihan ketua organisasi itu lebih demokratis ketimbang DPRD mengusulkan nama yang bahkan tidak masuk kriteria masyarakat.
    “Kita buat saja sekalian bentuknya kongres. Setiap fraksi mengirimkan nama-nama untuk nanti dipilih kembali oleh anggota DPRD, atau jika perlu libatkan juga Kepala Daerah dari kota/kabupaten yang ada di Provinsi Banten,” ujarnya.
    Menurut Ucu, setiap fraksi tentu memiliki kenalan pejabat Eselon I di kementerian maupun lembaga lainnya, untuk dapat diusulkan sebagai Penjabat Gubernur Banten. Karena jika tidak, maka jaringan dan relasi dari anggota DPRD Provinsi Banten patut dipertanyakan.
    “Kan mereka sering kunjungan kerja dan lain sebagainya. Masa sih enggak kenal satu pun dengan pejabat Eselon I selain Sekda Provinsi Banten? Usulkan dong nama-nama tersebut, buka komunikasi terkait dengan visi mereka ke depannya jika memimpin Banten,” ucapnya.
    Mantan aktivis HMI Cabang Serang, Adityawarman, juga sepakat dengan usulan tersebut. Menurutnya, pembentukan Provinsi Banten melibatkan aktivis mahasiswa yang sudah pasti sangat mengerti dan erat dengan pelaksanaan musyawarah, kongres dan sebagainya.
    “Kalau bingung bagaimana mekanisme pengusulan nama, ya sudah bener itu kita laksanakan mekanisme kongres saja. Biar tiga nama yang paling banyak mendapatkan suara yang kita usulkan ke Kemendagri sebagai pertimbangan calon Penjabat Gubernur selanjutnya,” tutur Adit.
    Ia mengatakan, mekanisme seperti itu akan lebih hidup dan penuh dinamika yang membangun, ketimbang DPRD melakukan pengusulan nama sendiri secara diam-diam. Setidaknya, masyarakat ikut mengawal bagaimana tiga orang nama yang diusulkan itu dipilih oleh DPRD Provinsi Banten.
    “Demokrasi kita akan semakin hidup sih. Ya meskipun yang memilih itu anggota dewan doang, tapi masyarakat jadi tahu bagaimana tiga nama itu bisa terpilih. Pemilihannya juga harus dilaksanakan di Paripurna yang terbuka untuk umum, siarkan secara langsung. Karena ini persoalan Banten setahun ke depan,” tegasnya.
    Ketua DPRD Provinsi Banten, Andra Soni, mengatakan bahwa bisa saja usulan tersebut dilaksanakan oleh pihaknya dalam memberikan usulan tiga nama calon Penjabat Gubernur Banten. Akan tetapi, pihaknya hanya diberikan waktu yang sedikit untuk bisa mengusulkan tiga nama itu.
    “Bisa saja sih, cuma kan waktu kita untuk mengusulkan itu dibatasi sampai tanggal 6 April saja,” ujar Andra Soni saat dikonfirmasi BANPOS melalui sambungan telepon, Kamis (30/3).
    Andra mengatakan, pihaknya tidak melihat ada celah untuk bernegosiasi terkait dengan batas waktu pengusulan nama calon Penjabat Gubernur Banten, jika merujuk pada surat yang dikirimkan oleh Kemendagri. Bahkan menurutnya, surat tersebut tidak mengharuskan DPRD untuk mengusulkan nama.
    “Ini kan dasar kita mengusulkan lebih mengacu pada surat Kemendagri. Surat dari Kemendagri itu hanya menyampaikan jika DPRD dapat mengusulkan tiga nama, boleh nama yang sedang menjabat atau yang baru. Jadi itu bahasanya tidak meminta ya,” katanya.
    Politisi Partai Gerindra itu mengaku jika sebetulnya cukup banyak pihak yang sangsi dengan surat Kemendagri itu. Terlebih, pada saat terpilihnya Al Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten, sama sekali tidak ada keterlibatan DPRD Provinsi Banten dalam prosesnya.
    “Jadi kalimat dapat mengusulkan itu membuat beberapa orang berpendapat, ini sebetulnya benar enggak sih (dilibatkan dalam penentuan Penjabat Gubernur). Toh setahun yang lalu, penetapan Penjabat tidak melalui DPRD, dengan dasar yang sama yakni Undang-undang Nomor 10 tahun 2016,” terangnya.
    Terkait dengan nama-nama yang akan diusulkan ke Kemendagri, Andra Soni menuturkan bahwa pihaknya telah melaksanakan Rapat Pimpinan dengan para pimpinan Fraksi pada Rabu kemarin. Hasilnya, surat yang dikirimkan oleh Kemendagri akan didisposisikan ke masing-masing fraksi, agar setiap fraksi dapat mengusulkan nama-nama bakal calon Penjabat Gubernur Banten.
    “Jadi setiap fraksi silakan mengirimkan nama-namanya. Bahkan setiap fraksi dapat mengusulkan tiga nama. Nanti dari nama-nama tersebut akan kita godok bersama-sama, apakah nanti melalui rapat Badan Musyawarah ataupun nanti dilaksanakan dalam forum rapat Paripurna. Nanti produknya adalah surat resmi dari DPRD,” tuturnya.
    Andra mengatakan, hasil dari penggodokan nama-nama calon Penjabat Gubernur itu, diharapkan dapat benar-benar menjadi bahan pertimbangan Kemendagri dan Presiden, dalam menentukan siapa yang akan memimpin pemerintahan transisi Banten setahun ke depan.
    “Nah yang menjadi permasalahannya, siapa nama-nama yang akan diusulkan itu? Apakah kami harus hunting ke pemerintah pusat untuk mencari nama-nama tersebut? Sedangkan waktu yang diberikan itu cukup singkat,” jelasnya.
    Menurut Andra, bisa saja pihaknya tidak mengirimkan nama sama sekali kepada Kemendagri. Pasalnya, mengirimkan tiga nama calon Penjabat Gubernur usulan DPRD, tidak wajib untuk dilakukan berdasarkan redaksi surat yang dikirimkan Kemendagri.
    “Bisa saja, tapi kalau kita tidak mengirimkan nama artinya kita sudah dimintai masukan oleh pusat, tapi tidak mengirimkan masukannya. Itulah mengapa kami meminta kepada fraksi untuk mengirimkan nama-nama. Kalau setiap fraksi mengirim tiga nama kan, berarti ada sebanyak 27 nama tuh yang muncul,” terangnya.
    Di sisi lain, pihaknya juga mencermati pendapat-pendapat dari masyarakat melalui media sosial maupun media massa, untuk dapat menjadi masukan dalam proses pengusulan tiga nama itu. Salah satunya yakni usulan dari tokoh masyarakat Lebak, Mulyadi Jayabaya.
    “Masukan dari pak Jayabaya adalah kalau bisa putra daerah yang saat ini sedang berkarir di Kementerian dan sudah Eselon I. Makanya masukan-masukan tersebut perlu kita tindaklanjuti dalam proses pengusulan nama ini,” tandasnya.(DZH/ENK)

  • Kala Al Terjebak Lumpur Feodalistis

    REFORMASI Birokrasi menjadi hal yang sangat spesial bagi Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar. Agenda Reformasi Birokrasi selalu diucap berkali-kali oleh Al Muktabar, selama hampir setahun dirinya menjabat sebagai Penjabat Gubernur Banten. Memang, Reformasi Birokrasi merupakan salah satu tugas yang dimandatkan oleh Presiden RI, Joko Widodo kepada Al selaku Gubernur transisi.

    Reformasi Birokrasi sendiri merupakan proses penataan ulang birokrasi pemerintah yang meliputi organisasi, tatalaksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, dan pelayanan publik, serta pola pikir dan budaya kerja aparatur. Gebrakan yang tengah dilakukan oleh Al pada pelaksanaan Reformasi Birokrasi, adalah perampingan SOTK.

    Al sejak awal bersikukuh untuk melakukan perampingan SOTK, meski banyak pihak yang menolaknya. Al kerap kali berlindung di balik Permenpan-RB Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyederhanaan Struktur Organisasi pada Instansi Pemerintah untuk Penyederhanaan Birokrasi, dalam setiap kesempatan pembahasan perampingan itu.

    “Sejak tahun 2021 Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan yang lebih tegas terkait penyederhanaan birokrasi, yang ditandai dengan dikeluarkannya Permenpan-RB Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyederhanaan Struktur Organisasi Pada Instansi Pemerintah Untuk Penyederhanaan Birokrasi,” ujar Al usai Penyampaian Nota Pengantar Gubernur Mengenai Raperda Usul Gubernur tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Banten, November lalu.

    Pada berbagai kesempatan, Al juga mengatakan jika Permenpan-RB Nomor 25 tahun 2021 itu mengatur terkait dengan tiga tahapan penyederhanaan. Ketiganya yakni penyederhanaan struktur organisasi, penyetaraan jabatan administrasi ke dalam jabatan fungsional dan penyesuaian sistem kerja. Dari tiga hal itu menurut Al, Pemprov Banten masih belum melaksanakan tahap penyederhanaan struktur organisasi. Makanya ia ngebet untuk melaksanakannya di masa dirinya menjabat.

    Keinginan Al untuk segera melakukan perampingan SOTK, berkali-kali mendapatkan penolakan. Sejumlah organisasi masyarakat maupun mahasiswa, kerap melangsungkan aksi unjuk rasa di depan KP3B, guna menolak rencana perampingan SOTK itu. Bahkan, ruang rapat paripurna DPRD Provinsi Banten, sempat memanas akibat dari keinginan Al untuk merampingkan SOTK.

    Kala itu, rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPRD Provinsi Banten, Nawa Said Dimyati atau Cak Nawa, beragendakan pembacaan jawaban Pj Gubernur Banten, atas pemandangan umum fraksi-fraksi. Dalam pelaksanaannya, Fraksi Partai Golkar diwakili oleh Fitron Nur Iksan, menginterupsi jalannya persidangan.

    Fitron menegaskan bahwa kebijakan perampingan SOTK yang diinisiasi oleh Penjabat Gubernur Banten kurang tepat. Pasalnya, Al Muktabar selaku Penjabat Gubernur Banten, harusnya berfokus pada perapihan birokrasi, alih-alih perampingan birokrasi. Hal itu karena banyak persoalan birokrasi yang harus segera diselesaikan. Apalagi menurut Fitron, Al hanya rezim peralihan saja.

    “Jangan sampai pemerintahan sementara ini, yang hanya peralihan, membuat keputusan terburu-buru dan akhirnya membuat pemerintahan definitif nanti jadi sulit. Mereka akan punya RPJMD, mereka akan punya visi-misi, mereka akan punya janji politik. Kalau ini dilakukan dan tidak sesuai, akan ada perubahan lagi. Jadi lebih baik fokus pada persoalan birokrasi yang memang ada saat ini,” ujarnya pada saat itu.

    Koordinator Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Banten (KMSB), Uday Suhada, juga berpendapat demikian. Menurut dia, Al seharusnya tidak perlu repot-repot merombak SOTK yang ada di Pemprov Banten, karena tugas utama dari Penjabat Gubernur adalah menjalankan Rencana Pembangunan Daerah (RPD) yang telah diberikan oleh Kemendagri.

    “Ya jelas, urusan perampingan SOTK itu bukan urusan Penjabat Gubernur. Ibarat rumah, posisi kursi, ruang tamu, dapur, kamar tidur itu bukan diacak-acak oleh seorang Penjabat dengan sekehendak selera sendiri. Tugas Penjabat Gubernur itu menjalankan RPD Transisi yang sudah given dari Kemendagri. Itu mestinya yang harus jadi pijakan Al Muktabar,” ujarnya kepada BANPOS, Kamis (16/3).

    Menurut Uday, tidak ada yang salah dengan rencana perampingan SOTK yang digagas oleh Al Muktabar. Namun, waktu pelaksanaannya yang menurut Uday tidak tepat. Apalagi jika dilakukan di tengah pelaksanaan APBD yang telah berjalan sesuai dengan putusan rapat paripurna akhir tahun 2022 lalu.

    “Sebagaimana saya sering singgung, saya setuju dengan prinsip efisiensi anggaran dan perampingan SOTK. Tapi timing-nya tidak tepat. Sebab APBD 2023 sudah diketok menjadi Perda pada Desember 2022. Demikian pula DPA-nya sudah dibagikan kepada seluruh OPD,” tutur Uday.

    Ketua Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT), Ucu Nur Arief Jauhar, mengatakan bahwa ngebetnya Al Muktabar untuk melakukan perampingan SOTK, merupakan hasil dari tafsir mandiri Al Muktabar, atas mandatori yang diberikan oleh pusat kepada dirinya.

    “Penjabat Gubernur hanya memikirkan pencapaian target-target mandatori tafsirannya sendiri dan peningkatan signifikan kinerja/reformasi birokrasi tafsirannya sendiri. Padahal jelas-jelas negara kita itu negara hukum, bukan negara tafsiran sendiri-sendiri,” ujarnya kepada BANPOS.

    Ucu menegaskan bahwa dalam melaksanakan kebijakan, Penjabat Gubernur Banten harus memahami dan membaca aturan-aturan tersebut sesuai dengan kaidah hukum yang ada, bukan menggunakan tafsir dan bahasa sendiri.

    “Semua yang dilakukan Pemprov Banten, termasuk Penjabat Gubernur, harus sesuai dengan peraturan perundangan yang dibaca sesuai kaidah Bahasa Indonesia dan kaidah hukum, bukan dibaca sesuai kaidah Tata Boga,” tegasnya.

    Menurut Ucu, semua sudah jelas apabila dalam melaksanakan tugas kepemerintahan, Penjabat Gubernur Banten mengacu pada aturan yang ada. Bahkan untuk membantu meringankan mandatori yang diberikan, terdapat organisasi perangkat daerah (OPD) yang seharusnya dapat dimaksimalkan keberadaannya.

    “Bagaimana menangani tugas-tugas mandatori, sudah ada aturannya. Bahkan punya organ struktural sendiri di Pemprov Banten. Tapi tidak diaktifkan. Malah organ struktural daerah diobrak-abrik untuk menanggung beban mandatori. Terus buat apa ada otonomi daerah?” tanya Ucu.

    Ucu bahkan menilai, Al Muktabar saat ini lebih genit berpolitik ketimbang menjalankan tugas mandatorinya selaku Penjabat Gubernur. Padahal, jabatan yang dia emban saat ini, bukanlah jabatan politis, melainkan jabatan yang diberikan oleh pemerintah pusat untuk sementara waktu. Bahkan, Al dalam membangun komunikasi untuk menjalankan tugasnya, sangat kurang.

    “Penjabat Gubernur tidak mampu membangun komunikasi yang baik dengan elemen-elemen lainnya. Termasuk bawahannya. Yang diperlihatkan hanya citra atau imej bahwa ia dekat dengan elemen-elemen masyarakat,” ungkapnya.

    Untuk diketahui, Ucu yang juga merupakan Koordinator Komunitas Relawan Jokowi (KRJ) Banten telah melakukan aduan kepada Kantor Staf Presiden (KSP), terkait dengan sejumlah polemik yang terjadi di bawah kepemimpinan Al Muktabar. Tujuannya yakni mengadukan kinerja Al kepada Presiden, yang memberikan mandat sebagai Penjabat Gubernur.

    Adapun untuk permasalahan yang diadukan oleh Ucu yakni tiga persoalan yang disampaikan ke KSP. Persoalan pertama yakni terkait penetapan lima Pergub tentang SOTK, padahal Raperda SOTK-nya masih digodok oleh DPRD Banten. “Kedua, terkait soal status hukum Plt yang diangkat per 2 Januari 2023 yang diduga maladministrasi. Ketiga, soal adanya diskresi dalam batang tubuh kelima Pergub tersebut,” tutur Ucu.

    Pengamat politik, Ikhsan Ahmad, mengatakan bahwa Al Muktabar sebetulnya terjebak dalam permainan politiknya sendiri. Al menurutnya, tengah terombang-ambing di antara arus kekuatan politik yang membawanya menjadi seorang Penjabat Gubernur.

    “Penjabat sendiri sebenarnya terjebak dalam permainannya sendiri. Mengawali keterpilihan dirinya dengan menundukkan diri pada kekuatan politik tertentu, tetapi bingung dengan arus kekuatan politik yang dibawa oleh kekuatan politik tersebut,” katanya.

    Terombang-ambingnya Al Muktabar diantara arus kekuatan politik itu, tercermin dalam setiap kebijakannya yang disebut kurang jelas dan tidak terlihat arahnya. Hal itu karena minimnya pendirian dari seorang Al Muktabar, sebagai seorang Penjabat Gubernur.

    “Sehingga menciptakan sosok figur pemimpin yang sulit ditebak. Bukan karena memiliki strategi, tetapi lebih banyak menghitung modal trust atau kepercayaan yang nyaris bangkrut dalam harmonisasi dan akselerasi birokrasi terhadap diri dan pelayanannya,” ucapnya.

    Ia bahkan sangat yakin jika perjalanan birokrasi di bawah kepemimpinan Penjabat Gubernur Al Muktabar, itu berjalan mundur. Bahkan, Reformasi Birokrasi yang sejatinya pembaharuan menuju good and clean governance, justru dibawa oleh Al terbenam ke dalam lumpur feodalisme.

    “Dinamika perjalanan birokrasi dalam kepemimpinan Penjabat Gubernur, sebetulnya berjalan mundur ke belakang, bukan saja jalan ditempat, yakni kondisi dimana birokrasi yang merasa dirinya sudah berjalan ke arah reformasi, tetapi sesungguhnya masih terbenam dalam lumpur feodalisme,” tandasnya.(MUF/DZH/ENK) 

  • Arogansi Penyintas Konflik Sekda Banten

    Arogansi Penyintas Konflik Sekda Banten

    MASA jabatan Al Muktabar sebagai Penjabat Gubernur Banten dalam dua bulan ke depan akan genap setahun. Sejumlah catatan menghiasi perjalanan rezim transisi yang dipimpin oleh pria yang sebetulnya merupakan Sekretaris Daerah definitif Provinsi Banten itu. Deskripsi kata yang paling nyaring disebut untuk menggambarkan kepemimpinan Al Muktabar adalah: Arogan.

    Sebelumnya, BANPOS telah berupaya untuk mengonfirmasi Al Muktabar terkait dengan tulisan berikut. Sayangnya, BANPOS tidak berhasil mendapatkan tanggapan dari Al Muktabar, lantaran dirinya tengah berada di luar kota. Upaya konfirmasi BANPOS melalui pesan WhatsApp dan sambungan telepon pun tidak mendapatkan respon.

    Sejumlah pihak menilai Al Muktabar arogan dalam memimpin Pemprov Banten, lantaran ia lebih sering bertindak semaunya, dan enggan mendengarkan masukan-masukan dari berbagai pihak. Gaya kepemimpinan ‘semau gue’ yang ditunjukkan oleh Al, juga diperlihatkan dengan ‘One Man Show’-nya Al Muktabar dalam memimpin Pemprov Banten. Hal itu disebut wajar, mengingat Al Muktabar merupakan ‘penyintas’ polemik jabatan Sekda, dan berhasil mendapat berkah langsung dari Istana untuk menjadi penjaga sementara singgasana Banten.

    Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arogan memiliki makna secara psikologi sebagai mempunyai perasaan superioritas yang dimanifestasikan dalam sikap suka memaksa atau pongah. Sebagai sebuah contoh, Koordinator Presidium Koalisi Masyarakat Sipil Banten (KMSB), Uday Suhada, menyodorkan persoalan pengabaian jabatan Eselon II yang kosong di lingkungan Pemprov Banten.

    Uday mengatakan, Al Muktabar sebetulnya pintar, namun arogan dalam memimpin. Dilantik sebagai Penjabat Gubernur pada 12 Mei 2022, Uday menuturkan bahwa seharusnya Al Muktabar sudah mengetahui, jabatan Eselon II mana saja yang akan kosong dalam waktu dekat.

    “Kemudian ambil langkah yang normal, yakni seleksi terbuka melalui mekanisme open bidding. Dari awal saya rewel urusan Reformasi Birokrasi ini. Tapi ternyata Al ‘one man show’. Jangankan melakukan reformasi, yang terjadi justru makin amburadul. Jadi komitmen Al terhadap reformasi birokrasi hanyalah ‘lips service’ belaka,” tuturnya.

    Ia mengatakan, Al terlalu merasa superior dalam pengambilan kebijakan, sehingga banyak masukan-masukan yang disampaikan kepadanya, yang pada akhirnya tidak didengar. Hal itulah yang saat ini menjadikan Pemprov Banten sebagai gudangnya Pelaksana Tugas, rangkap jabatan, dan penuh tekanan.

    “Belum lagi penunjukan seratus lebih pejabat Kepala biro, Kabag di semua OPD di-Plt-kan. Ini sangat berpengaruh secara serius terhadap kinerja para pejabat di tiap OPD. Apalagi dirangkap jabatan. Jangankan untuk memberikan pelayanan prima, yang ada mereka bekerja di bawah tekanan dan dalam keresahan. Ini nyata, sebab begitu banyak para Plt yang mengeluhkan kepada saya,” katanya.

    Uday menuturkan, tidak berlebihan jika ia menyebut Al sebagai One Man Show dalam memimpin Provinsi Banten. Sebab, jangankan untuk hal-hal yang sifatnya kompleks, untuk yang sederhana seperti penunjukkan orang kepercayaan untuk menjadi jembatan kepentingan antar pihak saja, ia tidak ada.

    “Istilah yang saya sebut ‘Al One man show’, siapa yang bisa membantah? Tunjukkan pada saya, siapa yang dipercaya Al untuk menjadi semacam LO (Liaison Officer) yang akan menjadi jembatan kepentingan internal birokrasi maupun dengan stakeholders lainnya di provinsi ini,” ungkap Direktur Eksekutif Aliansi Independen Peduli Publik (ALIPP) itu.

    Situasi tersebut kata Uday, sudah berjalan hampir setahun. Meskipun buruk, namun tidak ada upaya apapun yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sebagai pemberi mandat Penjabat Gubernur, untuk melakukan perbaikan.

    “Anehnya situasi buruk ini didiamkan oleh pihak Kemendagri. Masa iya harus dengan cara people power untuk merubahnya? Ingat loh, yang dipertaruhkan ini belasan juta jiwa rakyat Banten,” tegasnya.

    Senada disampaikan oleh pengamat politik, Ikhsan Ahmad. Ia menyebut bahwa Al Muktabar merupakan seorang pemimpin yang cerdas dan cekatan dalam berwacana, namun memiliki resistensi dan kelemahan mendasar dalam menentukan dan mengimplementasikan kebijakan.

    “Al Muktabar lemah dalam menempatkan kepentingan strategis yang berpihak pada keberlanjutan kebijakan ke depan dan kepentingan masyarakat,” ujar Ikhsan.

    Ikhsan mengatakan, Al Muktabar terkesan arogan lantaran dirinya terbelenggu dengan kelompok-kelompok tertentu. Sehingga, dalam setiap pengambilan keputusan, akan dilakukan dengan pendekatan kehati-hatian.

    “Pendekatan kehati-hatian atas dasar pertimbangan kelompok politik tertentu menjadi semakin nampak dan tidak menjadikan arti apapun pendekatan prosedural dan normatif yang dianggap lurus, malah sebaliknya menjadi lamban,” tuturnya.

    Sikap arogan dari Al pun seperti halnya yang disampaikan oleh Uday, ditunjukkan dengan One Man Show seolah-olah semua hal bisa dilakukan oleh diri Al Muktabar sendiri. Sikap itu menjadi pertunjukkan kelemahan pembentukkan tatanan birokrasi, menuju tahun politik yang sejatinya akan menghasilkan pemimpin definitif.

    “Sikap over leadership yang kompleks, yakni merasa Banten dapat diurus seorang sendiri. Kepemimpinan seperti ini secara mendasar menunjukkan kelemahan pada upaya pembentukkan tatanan birokrasi yang dibutuhkan menuju tahun politik 2024, bahkan akan terus mengalami defisit kepercayaan elemen-elemen kritis yang berperan dalam memberikan input kepada pemerintah,” katanya.

    Karut marut rezim transisi Al Muktabar pun diperparah dengan buruknya para pembisik utama sang Penjabat Gubernur, dalam melihat kelemahan. Selain itu, mereka pun dinilai gagap untuk bisa kritis terhadap Penjabat Gubernur Banten.

    “Di sisi lain, OPD-OPD yang ada tampaknya juga gagal dalam membangun sinergi positif dengan atasannya (Penjabat Gubernur), karena beberapa faktor. Diantaranya, sikap pragmatisme OPD dan ketidakmampuan Penjabat dan mengonsolidasikan OPD dalam irama yang sama,” terangnya.

    Ikhsan juga menyoroti terkait dengan pengangkatan Virgojanti sebagai Pelaksana Harian Sekda Banten. Ia menegaskan, penempatan Virgojanti sebagai Pelaksana Harian Sekda menunjukan ketidakprofesionalan Al Muktabar.

    “Dipilihnya Ibu Virgo menjadi Plh Sekda, membuktikan bahwa Penjabat Gubernur, mengalami krisis kepercayaan kepada pejabat lain, sehingga tumpuan pengganti sekda kembali kepada orang itu-itu saja,” katanya.

    Ikhsan mengungkapkan, sebelum mendapatkan surat perintah sebagai Pelaksana Harian Sekda Banten, Virgojanti yang sebelumnya merupakan pejabat dari Kabupaten Lebak terpilih sebagai Kepala (DPMPTSP) Banten, kemudian merangkap sebagai Plt Kepala DPMD dan juga Komisaris Bank Banten.

    “Sebenarnya krisis kepercayaan tersebut sekaligus menjadi krisis kepemimpinan di dalam diri Penjabat (Al Muktabar) karena pada akhirnya membuktikan bahwa Penjabat Gubernur tidak mampu membangun perspektif positif dalam membangun soliditas kerja yang komprehensif dan profesional karena sebelumnya ibu virgo juga menjadi tumpuan beberapa jabatan,” ungkapnya.

    Adapun mengenai adanya tiga usulan nama calon pengganti Pj Sekda Banten Moch Tranggono ke Kemendagri yang sebelumnya ramai dibicarakan di kalangan pemprov, Ikhsan mengaku ketiga nama tersebut tidak masuk dalam kriteria Al Muktabar.

    “Kalau memang itu yang diusulkan, saya sedari awal tidak percaya bahwa Pj akan memilih salah satu diantara mereka. Alasannya Pj tidak pernah memberikan indikasi menggunakan pertimbangan sistem merit dalam promosi dan mutasi tetapi memakai pertimbangan pendekatan spoil system atau loyalitasnya tidak diragukan untuk mengabdi kepada pribadi-pribadi atau patron klien, hal ini tentu saja sangat merusak tatanan birokrasi yang diharapkan sehat, profesional dan moderen,” ujarnya.

    Sedangkan penunjukan Virgojanti sebagai Plh Sekda Banten banyak yang kontra atau menolak hal tersebut sudah dipastikan terjadi. Disamping sebagai pendatang baru di pemprov, Virgojanti juga golongannya baru IV B dan pengalamanya masih jauh dengan ASN yang memang berkarir sejak Pemprov Banten terbentuk, termasuk jenjang pendidikan dan pelatihan (Diklat).

    “Sudah sewajarnya penolakan akan terjadi karena keputusan ini tidak mencerminkan kebutuhan kualitas tuntutan pemecahan persoalan dan tantangan Banten hari ini. Terlalu kentara Pj Gubernur memainkan politik kepentingannya, dan saya pikir ASN juga nggak perlu kecewa banget karena mereka toh nggak pernah berani untuk menyatakan apa yang salah dan apa yang benar dalam membentuk birokrasi yang handal. Selalu berlindung karena taat atasan kendati ada yang salah,” ungkapnya.

    Berbagai kondisi tersebut menurut Ikhsan, akan menjadi wajar apabila Al Muktabar menunjukkan arogansinya dalam memimpin Pemprov Banten. Terlebih, Al Muktabar pun merupakan sosok yang pernah disingkirkan, dan berhasil kembali hingga disematkan status Steward oleh Pemerintah Pusat, untuk menghangatkan singgasana Banten.

    “Dari kondisi tersebut diatas maka arogansi jabatan menjadi pilihan yang tidak bisa ditolak. Penjabat Gubernur menjadi inti patron klien yang merasa menang setelah disingkirkan dan merasa dekat dengan istana. Di sisi lain ASN yang merasa terancam atau kedekatannya belum membuahkan hasil, menjadi beban birokrasi sekaligus beban masyarakat,” ungkapnya.

    Arogansi Al Muktabar bahkan disampaikan oleh mantan pimpinannya sendiri, Wahidin Halim. Pria yang tengah menjadi warga biasa Cipinang Kota Tangerang itu menilai bahwa gerak-gerik Al Muktabar dalam memimpin Banten, terkesan terlalu diatur dan ditekan oleh Partai Politik tertentu.

    “Bertindak (Al Muktabar) atas pesanan seseorang dan Banten flashback seperti 20 tahun yang lalu. Pj (Al Muktabar) dalam tekanan politik dan mengangkat seseorang berdasarkan pesanan. Akhirnya dipaksa berbuat sewenang-wenang,” ujarnya melalui pesan singkat.

    Dan yang lebih ironis sekali menurut Wahidin, Al Muktabar dalam menjalankan roda pemerintahan menganggap para bawahannya pada struktur OPD bukan sebagai mitra, melainkan musuh politik. “Pj juga berpolitik dengan memandang dan memperlakukan bawahan sebagai lawan politik,” kata pria yang akrab disapa WH.

    Pengangkatan Virgojanti sebagai Pelaksana Harian Sekda pun dinilai olehnya tidak dilakukan berdasarkan putusan atas dasar kompetisi yang adil. “Saya tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju terhadap Bu Virgo. Tapi harusnya ada kontes. Ambil dari tiga birokrat terbaik,” tandasnya.(DZH/ENK) 

  • Pemilu Ditunda, Ekonomi Terganggu

    Pemilu Ditunda, Ekonomi Terganggu

     

    AKADEMISI Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Hady Sutjipto menyoroti dua hal krusial dari sisi ekonomi bilamana Pemilu 2024 ditunda. Yaitu akan menghilangkan peluang perputaran ekonomi yang kedua memiliki ketidakpastian bagi investor dalam berinvestasi di Indonesia.

    “Yang pertama saya melihat bahwa namanya Pemilu kan perencanaan yang cukup panjang baik dari sisi persiapan dan sisi anggaran terutama dan tentu bagi partai politik ini juga sudah akan menyiapkan anggaran,” kata Hady kepada BANPOS saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Kamis (9/3).

    Menurutnya, dalam rangkaian Pemilu lima tahunan itu akan menggerakkan berbagai macam jenis usaha.

    “Karena biasanya bicara soal Pemilu itu kan ada caleg masing-masing dari nasional ke daerah, paling tidak akan menggerakkan beberapa sektor misalnya sektor percetakan, transportasi dan yang lainnya. Karena ini agenda lima tahunan dan perputaran uangnya cukup besar yah,” ujarnya.

    Dikatakan Hady, apabila Pemilu benar-benar ditunda akan menghilangkan perputaran ekonomi bagi pelaku usaha dan merugikan banyak pihak.

    “Kalau satu caleg menyiapkan 1000 kaos saja untuk dapil provinsi atau nasional itu berapa. Itu untuk kaos saja belum bicara jenis-jenis akrilik kampanye seperti baliho, spanduk dan sebagainya,” katanya.

    “Itu artinya akan menghilangkan peluang perputaran uang atau perekonomian itu sendiri. Baik caleg maupun partai sudah menyiapkan diri untuk belanja politiknya ke partner-partner atau mitra-mitra sektor tadi. Kemudian (mitra) sudah ancang-ancang paling tidak dia akan menambah produksi atau bahkan sudah mulai investasi sudah mulai pinjam duit ke bank, menyerap tenaga kerja itu yang dikhawatirkan jadi dibatalkan itu jadi kerugian,” paparnya.

    Dikatakan akademisi yang bergelar doktor ini, selain itu akan berdampak pada melambatnya sektor perekonomian untuk menggerakkan investasi kemudian akan mempengaruhi ketidakpastian untuk para investor kedepan.

    “Yang kedua yang lebih kacau lagi adalah perekonomian untuk menggerakkan investasi itu akan mempengaruhi ketidakpastian berkaitan dengan siapa yang akan menjadi pemimpin itu tidak pasti nih otomatis biasanya janji pemimpin di pemerintahan itu terkait dengan kebijakan ekonominya. Itu artinya investor membutuhkan kepastian siapa sebetulnya yang akan menjadi pemimpin. Jadi kalau mereka (investor) untuk prospek pengembangan bisnis kedepan. Ketika ada ketidakpastian ya akan mengurangi dan melambatnya investasi-investasi di Indonesia,” tandasnya.(LUK/ENK)

     

  • PRIMA Siap Cabut Gugatan? 

    PRIMA Siap Cabut Gugatan? 

    WAKIL Ketua Umum Partai PRIMA, Alif Kamal, angkat bicara terkait dengan isu bahwa pihaknya merupakan ‘agen’ untuk memuluskan keinginan dari penguasa, untuk melakukan penundaan Pemilu. Menurutnya, isu tersebut konyol. Karena, gugatan yang dilakukan oleh pihaknya justru agar mereka bisa turut berpartisipasi dalam Pemilu 2024.

    “Kami di partai politik itu ingin ikut Pemilu, bukan untuk menunda Pemilu. Mana mungkin kami bikin partai politik untuk menunda Pemilu, itu kan aneh. Bisa dicek, Partai PRIMA itu sudah menyampaikan ke publik bahwa kami menolak wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan. Silakan dicek,” ujarnya kepada BANPOS melalui sambungan telepon.

    Kendati demikian, Alif mengakui jika dalam petitum gugatan yang pihaknya sampaikan, terdapat tuntutan untuk menghentikan tahapan Pemilu dan mengulang tahapan Pemilu, sebagaimana yang diterima oleh PN Jakarta Pusat yakni selama dua tahun, 4 bulan dan 7 hari. Hal itu mengacu pada hilangnya hak dari Partai PRIMA, dalam mengikuti tahapan Pemilu.

    “Kenapa kemudian kami masukkan petitum itu, agar hak kami yang telah dihilangkan oleh KPU sejak November kemarin itu, bisa masuk kembali dalam tahap Pemilu ini. Karena secara normal Undang-undang Kepemiluan, memang sudah tertolak, sudah tidak ada lagi jalan. Sehingga agar hak kami bisa tersalurkan untuk ikut serta Pemilu, maka sisa tahapan Pemilu 2024 itu dihentikan dan kita mulai dari awal tahapan dua tahun 4 bulan 7 hari,” jelasnya.

    Akan tetapi, Alif menegaskan bahwa tujuan mula Partai PRIMA mengajukan gugatan ke PN Jakarta Pusat, adalah untuk mencari keadilan. Pasalnya, pihaknya sudah mencari keadilan ke berbagai tempat, seperti ke Bawaslu RI sebanyak dua kali dan PTUN sebanyak dua kali, namun tetap saja hak mereka tidak dipenuhi dengan ditetapkannya Partai PRIMA berstatus Tidak Memenuhi Syarat (TMS).

    “Nah kami cari celah, kemudian mendapatkan Undang-undang yang namanya Undang-undang nomor 12 tahun 2005 terkait perlindungan hak sosial politik yang sudah diratifikasi dari konvensi internasional,” tuturnya.

    Menurut Alif, pihaknya menggunakan Undang-undang tersebut untuk melakukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh KPU, ke PN Jakarta Pusat. Sehingga, dirinya menegaskan bahwa gugatan yang dilakukan oleh pihaknya bukanlah gugatan sengketa Pemilu, seperti yang disebut-sebut oleh berbagai pihak.

    “Tapi tentang perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh KPU. Nah gugatan kami itu dalam rangka mencari keadilan, karena ada beberapa hal yang kami rasa dalam proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU di bulan November kemarin, itu janggal dan aneh buat kami. Dan kami melihatnya ada ketidakadilan, ketidakjujuran, dalam verifikasi administrasi kemarin itu. Makanya kami melakukan gugatan ke PN Jakarta Pusat dengan dalih sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Jadi bukan sengketa Pemilu,” tegasnya.

    Menurutnya, dari hasil pencarian keadilan yang pihaknya lakukan itu, Partai PRIMA mendapatkannya dari PN Jakarta Pusat. Dengan petitum tuntutan yang didasarkan pada Undang-undang Nomor 12 tahun 2005, PN Jakarta Pusat mengabulkan tuntutan Partai PRIMA, dan menyatakan KPU RI kalah.

    “Syukur alhamdulillahnya hakim PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan kami secara keseluruhan, dan amar putusannya salah satunya yaitu bahwa sisa tahapan Pemilu 2024 itu tidak dilanjutkan dan kita mulai dari awal lagi selama dua tahun 4 bulan 7 hari,” ungkapnya.

    Alif pun menuturkan bahwa terdapat jalan tengah dalam polemik yang saat ini memanas di publik. Jalan tengahnya yakni pulihkan hak politik dari Partai PRIMA, maka pihaknya akan mencabut gugatan tersebut. Menurut Alif, hal itu karena tujuan utama dari gugatan itu adalah mendapatkan kembali hak mereka untuk berkontes pada Pemilu 2024.

    “Kalau kemudian ada itikad baik dari KPU untuk mengembalikan hak kami, ya sudah kami cabut gugatan. Tapi kembalikan dulu hak politik kami untuk ikut dalam pemilu 2024, maka kami akan cabut gugatan. Jadi Pemilu 2024 tetap berjalan. Karena tujuan kami adalah bagaimana kami bisa mendapatkan hak kami untuk berkontestasi dalam Pemilu 2024,” katanya.

    Ia juga menyampaikan kepada publik bahwa sebetulnya, petitum untuk mengulang tahapan Pemilu karena adanya kerugian fatal yang diterima Partai PRIMA, lantaran keputusan KPU untuk menetapkan partai tersebut Tidak Memenuhi Syarat. Kerugian itu yakni hilangnya sejumlah kekuatan dari Partai PRIMA di beberapa kabupaten/kota.

    “Perlu kami sampaikan kepada publik, karena kami dibuat TMS oleh KPU, kami dirugikan secara immaterial oleh KPU karena beberapa struktur kami di kabupaten/kota, berpindah ke partai lain. Ini merupakan kerugian kami juga agar KPU dapat mempertimbangkan hal tersebut,” tandasnya.(MUF/DZH/ENK) 

  • Abaikan Atau Ikuti?

    Abaikan Atau Ikuti?

    PUTUSAN dari Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat membuat publik heboh. Pasalnya, dalam putusan pengadilan tingkat satu itu, menghukum Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI untuk menghentikan tahapan Pemilu, dan mengulang tahapan Pemilu selama dua tahun 4 bulan 7 hari. Hal itu berdampak terhadap berbagai hal, mulai dari anggaran untuk pelaksanaan Pemilu hingga pada masa jabatan Presiden, Wakil Presiden serta para anggota legislatif.

    Banyak pihak yang menegaskan bahwa putusan PN Jakarta Pusat terkait penundan Pemilu batal demi hukum. Sebab, putusan tersebut telah bertentangan dengan Undang-undang yang telah memutuskan jika Pemilu dan Pemilihan serentak akan dilaksanakan pada tahun 2024. Bahkan banyak pihak yang mengajak untuk mengabaikan putusan PN Jakarta Pusat itu.

    Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Bina Bangsa (Uniba), M. Nassir Agustiawan juga menilai vonis penundaan pemilu, salah kaprah. Artinya masa KPU divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. “Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut,” katanya.

    Nassir lantas membeberkan alasan hukum dibalik keyakinannya. Pertama, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di PN.

    Nassir bilang, sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses administrasi yang memutus harus Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke PTUN.

    “Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya,” ujarnya.

    “Tak ada kompetensinya pengadilan umum. Perbuatan melawan hukum secara perdata tidak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu,” lanjutnya.

    Nassir menjelaskan hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.

    Menurut UU, lanjut dia, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia. Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan.

    “Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu,” ujarnya.

    Menurut Nassir, vonis PN tersebut tak bisa dimintakan eksekusi. Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekusi. “Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU,” katanya.

    Nassir yang juga Kaprodi Fakultas Hukum Uniba ini pun mengingatkan kalau penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertentangan dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.

    “Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” pungkasnya.

    Terpisah, praktisi hukum Raden Elang Yayan Mulyana justru menegaskan bahwa semua pihak harus menghormati putusan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Pusat. Ia menuturkan bahwa pendapat dari berbagai pihak dan ahli yang menyebut PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk mengadili perkara gugatan Partai PRIMA, merupakan pendapat yang keliru. Pasalnya, PN Jakarta Pusat memutus perkara yang dalam pokoknya, berdasarkan pada dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh KPU RI.

    “Dasarnya adalah pasal 1365 KUH Perdata. Dengan ketidakprofesionalan KPU, dengan tidak melakukan verifikasi administrasi secara profesional terhadap Partai PRIMA, mengakibatkan Partai PRIMA tidak lolos sebagai partai peserta pemilu, itu yang menjadi kerugiannya. Sehingga keputusan tersebut jelas berpengaruh pada seluruh tahapan Pemilu,” katanya.

    Yayan menuturkan bahwa ia yakin jika sebetulnya, Partai PRIMA tidak menargetkan untuk melakukan penundaan Pemilu. Akan tetapi berdasarkan fakta yang muncul dalam persidangan, membuat Majelis Hakim memutuskan untuk menghukum KPU RI, untuk menghentikan tahapan Pemilu dan mengulang selama lebih dari dua tahun.

    Selain itu, Yayan juga menyoroti masih dilanjutkannya tahapan Pemilu oleh KPU, baik pusat maupun daerah. Padahal dalam amar putusannya, PN Jakarta Pusat memerintahkan untuk melaksanakan putusan itu terlebih dahulu secara serta merta atau uitvoerbaar bij voorraad.

     “Putusan serta merta itu dalam konteks hukum perdata pengertiannya untuk dilaksanakan terlebih dahulu putusan tersebut. Dengan istilah bahasa Belanda itu disebut dengan uitvoerbaar bij voorraad. Jadi menyatakan putusan perkara itu agar dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta-merta, walaupun pihak tergugat mengambil langkah hukum lain,” jelasnya.

    Ia menjelaskan, putusan dari PN Jakarta Pusat harus dijalankan, meskipun KPU RI mengambil langkah banding, kasasi maupun peninjauan kembali (PK). Hal itu dikarenakan putusan tersebut telah mengikat, sejak diucapkan oleh Majelis Hakim.

    “Karena kalau tidak dilaksanakan, berarti KPU telah melakukan pembangkangan terhadap hukum. Tidak menghormati putusan pengadilan. Karena sifat dari putusan pengadilan itu sama nilainya dengan Undang-undang. Sifatnya memaksa, harus dilaksanakan ketika dia sudah melakukan kesalahan. Dalam hal ini Pasal 195 HIR dalam perkara Perdata, karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya,” bebernya.

    “Maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh Undang-undang, untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan memaksa orang yang dihukum, maka peradilan akan tidak ada gunanya,” imbuh Yayan.

    Menurutnya, apabila KPU tidak terima dengan putusan tersebut, maka yang harus dilakukan adalah mengambil langkah hukum seperti banding, kasasi dan peninjauan kembali. Namun, KPU tidak boleh mengabaikan putusan dengan tetap melanjutkan tahapan Pemilu.

    “Karena nanti bisa dipertanyakan kekuatan hukum dari tahapan yang dilakukan setelah putusan. Meskipun memang KPU juga menjalankan perintah Undang-undang, namun putusan pengadilan juga sama-sama mengikatnya dengan Undang-undang. Yang bisa membatalkannya adalah upaya hukum banding yang dilakukan oleh KPU,” tegasnya.

     (MUF/DZH/LUK/ENK)

  • Bola Panas Penundaan Pemilu

    Bola Panas Penundaan Pemilu

     

    PENUNDAAN Pemilu sebagai dampak dari gugatan Partai PRIMA, dianggap oleh sebagian pihak merupakan upaya dari penguasa yang disebut sejak lama menginginkan agar Pemilu ditunda. Terlebih beberapa waktu sebelumnya, banyak tokoh di lingkungan kekuasaan yang menghembuskan isu penundaan Pemilu.

    Mereka yang sebelumnya menyebut-nyebut soal penundaan Pemilu antara lain Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia; Ketum PKB, Muhaimin Iskandar; Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto; Ketum PAN, Zulkifli Hasan dan Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan. Alasan mereka mulai dari pemulihan ekonomi pasca pandemi, hingga diklaim sebagai keinginan dari mayoritas masyarakat Indonesia.

    Misalkan Bahlil. Pada awal Januari 2022, dia menyebut bahwa perekonomian baru saja mulai stabil pasca pandemi. Bahlil mengklaim banyak investor yang menginginkan agar Pemilu ditunda, karena mereka tidak sanggup jika pasca dihantam pandemi, mereka dihantam dengan konstelasi politik nasional.

    Sebetulnya alasan itu sama juga dengan yang disampaikan oleh Muhaimin, Airlangga dan Luhut. Bedanya, Muhaimin mengklaim usulan tersebut berasal dari pelaku UMKM, Airlangga dari para petani dan Luhut dari hasil big data media sosial. Zulkifli memiliki alasan yang lebih elit, karena mendasari usulannya berdasarkan hasil bacaan peta konflik global.

    Wacana penundaaan pemilu itu itu akhirnya mengkristal. Partai Prima yang diputuskan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk mengikuti Pemilu 2024, mengugat keputusan itu. Hasilnya, hakin mengabulkan gugatan Partai PRIMA sekaligus memberi vonis penundaan pemilu. Putusan itu dianggap salah kaprah, karena melewati garis kewenangan dari Pengadilan Negeri.

    Praktisi hukum konstitusi, Raden Elang Yayan Mulyana, amar putusan PN Jakarta Pusat terkait dengan apa yang disebut ‘penundaan Pemilu’, akan menjadi bola panas yang berdampak pada seluruh daerah. Karena seluruh tahapan Pemilu saat ini, akan dipengaruhi oleh putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

    Yayan menuturkan bahwa atas putusan dari PN Jakarta Pusat, membuktikan adanya celah hukum dalam Undang-undang Pemilu. Pasalnya, dalam Undang-undang tersebut, hanya mengatur dua hal terkait dengan penundaan Pemilu, yang diatur dengan frasa ‘Pemilu lanjutan’ dan ‘Pemilu susulan’.

    Pemilu lanjutan adalah pemilu yang melanjutkan tahapan yang dihentikan dan/atau tidak bisa dilaksanakan. Pemilu ini terjadi karena adanya gangguan ‘pada sebagian tahapan’ dalam penyelenggaraan Pemilu. Pemilu lanjutan diatur pada Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Pasal 431 ayat (1).

    “Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan,” bunyi Pasal 431 ayat (1) tersebut. Ayat selanjutnya menegaskan bahwa tahapan dilanjutkan pada saat tahapan terhenti.

    Sementara Pemilu susulan adalah pemilu untuk melaksanakan seluruh tahapan pemilu yang tidak dapat dilaksanakan. Pemilu ini terjadi karena adanya gangguan ‘pada seluruh tahapan’ dalam penyelengaraan Pemilu. Pemilu susulan diatur pada Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 Pasal 432 ayat (1).

    “Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan,” bunyi pasal 432 ayat (1).

    Menurut Yayan, tidak ada ketentuan yang mengatur terkait dengan penundaan Pemilu lantaran adanya putusan PN Jakarta Pusat, sebagaimana yang terjadi saat ini. Sehingga, perlu dilakukan upaya-upaya guna menutup kekosongan hukum tersebut.

    “DPR harus merumuskan judicial review Undang-undang Pemilu untuk dibuat lagi perubahannya, terkait dengan syarat penundaan dan lain-lainnya. Karena kan belum dijabarkan apabila adanya gugatan dari salah satu partai Pemilu dan mempengaruhi terjadinya perubahan Pemilu, ini kan jadi ada kekosongan hukum,” terangnya.

    Sementara itu, pengamat Politik dan akademisi Untirta, Leo Agustino, mengatakan bahwa apabila rangkaian Pemilu 2024 ditunda, maka dugaan bahwa Presiden dan kelompoknya yang menghendaki penundaan Pemilu menjadi benar. Menurutnya, hal itu membuktikan bahwa penundaan Pemilu tersebut benar merupakan pesanan dari kekuatan besar.

    “Presiden dan wakil Presiden akan habis masa jabatan pada 2024; dan ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Meski solusinya bisa diselesaikan melalui lembaga perwakilan,” ujarnya kepada BANPOS melalui pesan WhatsApp.

    Meski demikian, Leo menuturkan bahwa yang saat ini menjadi persoalan ialah para anggota legislatif, yang juga akan habis masa jabatannya pada tahun 2024. Penundaan Pemilu akan membuat lembaga legislatif menjadi kosong.

    “Yang justru rumit adalah habisnya masa jabatan anggota dewan. Karena anggota dewan tidak bisa dipilih oleh Presiden atau pun dipilih rakyat, sehingga legitimasi anggota dewan yang tetap menambah masa jabatan menjadi tidak sah,” katanya.

    Penundaan itu pun menurutnya, sangat berpotensi menimbulkan gejolak politik. Menurutnya, gejolak politik yang akan terjadi apabila skenario penundaan Pemilu terjadi, adalah sama dengan peristiwa tahun 1998.

    Pengamat Politik, Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Eko Supriatno memandang, putusan PN Jakpus yang menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 menunjukkan bahwa operasi untuk menunda pemilu masih berjalan. Jalur yudisial dijadikan jalan untuk menunda pemilu ketika situasi politik nasional tidak memihak pada wacana menunda Pemilu 2024. 

    “Dengan kedok independensi kehakiman, pihak-pihak yang ingin menunda pemilu dapat memaksa aktor politik dan demokrasi untuk menuruti kepentingannya,” kata Eko kepada BANPOS, Kamis (9/3).

    “Upaya tersebut tercermin dari beragam narasi yang muncul selama ini, mulai dari perpanjangan masa jabatan presiden, tiga periode jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan kepala desa, hingga perubahan sistem proporsional terbuka menjadi tertutup. Publik sudah lebih kritis dalam mencermati pihak-pihak yang terlibat dalam wacana menunda pemilu,” sambung Eko yang juga peneliti pada Kadaka Research and Consulting, dan Pembina Future Leader for Anti Corruption (FLAC) Regional Banten itu.

    Secara UUD ataupun UU dalam menghadapi kondisi tersebut, lanjut Eko, bahwa jika berbicara UU, jelas melawan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945, melawan sebuah aturan negara yang sebetulnya sudah harus disepakati semua.

    Secara tegas, Eko menilai salah satunya yang paling penting dilanggar oleh PN Jakpus itu adalah Pasal 10, Pasal 11 dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019. Keputusan paling dahsyat ialah putusan majelis hakim tersebut juga melanggar UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah menyatakan pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. 

    “Hakim PN Jakpus yang memutus penundaan Pemilu 2024 bersikap terlalu berani dan menempatkan pemerintah sebagai tertuduh. Penundaan Pemilu 2024, merupakan tindak yang tidak benar karena melawan undang-undang,” terangnya.

    Saat ditanya apakah hal ini akan mengarah kepada kondisi yang mirip dengan demokrasi terpimpin. Eko mengatakan bukan, karena pilihan demokrasi saat ini masih demokrasi yang terbaik. Banyak kemajuan sesudah era reformasi.

    “Sistem demokrasi yang berubah-ubah sejak era Presiden pertama RI Soekarno, hingga Presiden ketujuh RI, Joko Widodo, telah mengalami perbaikan yang diakui oleh dunia. Ketika Indonesia didirikan pada tahun 1945, seluruh elemen masyarakat bersepakat memilih sistem demokrasi. Bahkan bukan hanya sistemnya, tetapi juga memilih dasar sistem dan mekanisme demokrasi sebagai pedoman tata kelola bernegara dan berpemeritahan yang dianggap terbaik,” katanya.

    Eko menjelaskan, ada tahun 1955, lahir Demokrasi Parlementer. Pada tahun 1959 karena demokrasi parlementer bermasalah, lahir Demokrasi Terpimpin. Kemudian, pada 1966 lahir Demokrasi Pancasila.

    “Salah satu contoh konkretnya, perbaikan pola demokrasi dalam memilih pemimpin. Dimana rakyat bisa memilih Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur, Bupati, hingga Walikota secara langsung. Beda dengan jaman sebelumnya ketika sudah ada calon presiden sebelum Pemilu. Sekarang, orang mencalonkan diri sendiri boleh, lewat partai boleh, mencalonkan orang lain boleh, tidak ada yang menghalangi dan ini suatu kemajuan,” ucapnya.

    Terkait akan seperti apa UUD dan UU mengatur skema transisi parlemen, Eko menjelaskan bahwa tahun 2024 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Karena pemilihan umum serentak dilaksanakan untuk kedua kalinya.

    Skema pemilu serentak ini, kata dia, baik di level nasional dan lokal (provinsi dan kabupaten/kota) menyelenggarakan pemilihan anggota legislatif (DPR/D dan DPD) bersamaan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden. Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2017. Penyelenggaraan Pemilihan Umum bertujuan untuk menciptakan pemerintahan presidensial yang stabil dan efektif.

    “Dimana dengan berlakunya coattail effect (efek ekor jas), pemilih cenderung memilih partai politik yang mendukung calon presiden pilihannya, pemerintahan yang terbelah (divided government) dapat dicegah. Kemudian juga untuk memberikan ruang bagi pemilih untuk memutuskan pilihannya secara cerdas,” katanya.

    Menurutnya, berdasarkan evaluasi dirinya melihat bahwa skema pemilu serentak lima kotak yang diterapkan dalam Pemilu 2024 harus berhasil mencapai tujuan yang melatarbelakangi pelaksanaan pemilu serentak.

    Yang pertama, coattail effect pemilihan presiden (pilpres) terhadap pemilihan anggota legislatif (pileg) relatif terbatas. Terbatasnya efek ekor jas diakibatkan oleh komplikasi pemilu serentak yang dikombinasikan dengan sistem perwakilan proporsional daftar terbuka. 

    “Hal ini didukung juga dengan besaran daerah pemilihan (district magnitude) yang relatif besar. Dengan kata lain, Pemilu 2019 belum memberikan insentif yang signifikan bagi pemilih untuk menjadikan pilihan Pileg dan Pilpres mereka sebagai satu paket (straight ticket voting) sebagaimana yang menjadi tujuan awal pelaksanaan pemilu serentak,” jelasnya.

    Yang kedua, kata Eko, Naskah Akademik UU Pemilu meyakini bahwa pemilu serentak akan mendorong pemilih untuk memutuskan pilihan dengan lebih cerdas, juga tidak tercapai. Survei Kadaka memperlihatkan bahwa mayoritas responden (74 persen) merasa kesulitan karena harus mencoblos lima surat suara. Lebih jauh, keserentakan pemilu dengan kombinasi daftar terbuka dan daerah pemilihan yang besar telah memaksa pemilih kita dalam kategori pemilih dengan low information. 

    “Dengan kata lain, tujuan agar pemilih bisa dengan cerdas memilih juga tidak tercapai,” katanya.

    Oleh karena itu, kata Eko, dirinya merekomendasikan tiga hal, yang pertama, skema pemilu serentak dengan lima jenis pemilihan sebagaimana yang dilakukan dalam Pemilu Serentak 2019 mendesak untuk diubah. Skema pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal merupakan alternatif terbaik yang penting untuk dipertimbangkan.

    “Kedua, perubahan skema pemilu harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan perbaikan sistem pemilu, yang mencakup isu ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, besaran daerah pemilihan dan sebagainya. Ketiga,  Pemilu itu harus diiringi dengan penguatan partisipasi masyarakat sipil untuk mendorong konsolidasi demokrasi substansial, ini PR-nya,” tegasnya.

    Terpisah, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik, Harits Hijrah Wicaksana mengatakan, harusnya jika dirasa bersalah atau harus dikenakan sanksi itu cukuplah KPU saja. Bukan malah berbicara pada penundaan Pemilu. 

    Menurutnya, kedua hal tersebut berbeda konteks ketika yang dirasa melakukan kesalahan adalah KPU malah yang menjadi sasaran seluruhnya adalah penundaan Pemilu dengan alasan waktu dan sebagainya.

    “Saya rasa pemerintah sudah mulai serius dengan kasus ini, salah satunya Menpolhukam yang dimana telah meminta KPU untuk naik banding ke Pengadilan Tinggi terkait putusan tersebut,” kata Harits saat dihubungi BANPOS melalui panggilan telepon, Kamis (9/3).

    Harits menjelaskan, jangan sampai penundaan pemilu ini dilakukan hanya karena satu dua hal yang bersifat tidak terlalu subtantif. Ketika merujuk kepada Undang-undang Dasar dan undang-undang sudah jelas bahwa Pemilu harus dilakukan lima tahun sekali sesuai dengan amanat tersebut yang juga telah mengatur masa  jabatan Presiden dan lainnya.

    “Kalau kita merujuk pada hal tersebut, secara otomatis kita melanggar ketentuan dari Undang-undang Dasar tersebut,” jelasnya.

    Ia menerangkan, terkait undang-undang pelaksanaan pemilu, jika memang penundaan Pemilu harus dilakukan, maka yang harus dirubah yaitu mekanismenya melalui perubahan undang-undang.

    “Harus direvisi undang-undangnya, bukan mengikuti hasil keputusan Pengadilan Negeri,” terangnya.

    “Kalau tidak salah sudah banyak disampaikan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji kembali terkait UU Pemilu,” lanjutnya.

    Terkait Pengadilan Negeri, ini baru satu langkah proses hukum bisa diajukan lagi untuk maju pada tingkat yang lebih tinggi jika putusannya dirasa tidak sesuai.

    Ia memaparkan, kondisi saat ini sangat jauh ketika disandingkan dengan kondisi demokrasi terpimpin pada tahun 1950. Lanjutnya, Demokrasi Terpimpin yang dibuat oleh Sukarno, Saat itu Dia (Sukarno) menyebut bahwa dia adalah ‘presiden seumur hidup’ dan pembentukan kabinet dilakukan oleh sistem parlementer atau oleh perdana Menteri yang ditunjuk untuk merumuskan kabinet.

    “Ini kan jauh berbeda dengan sekarang, sejak era orde baru, reformasi hingga saat ini. Saya melihat hari ini demokrasi berjalan dengan sangat baik,” papar Harits.

    “Kalau Demokrasi Terpimpin hari ini dilakukan berarti terjadi kemunduran dalam Demokrasi di Indonesia,” lanjutnya.

    Ketua STISIP Setia Budhi ini menyampaikan, dengan dilakukannya UU Pemilu saat ini yaitu dilaksanakan secara langsung dan serentak. Terdapat beberapa daerah yang seharusnya melakukan pemilihan kepala daerah, di tunjuklah pejabat sementara atau biasa disebut PJ baik Gubernur atau Bupati/Walikota.

    “Kalau di pusat kan belum diputuskan ditunda atau tidaknya. Maka tidak masuk pada masa transisi,” tandasnya.(muf/dzh/dhe/cr-01/enk)