Kategori: INDEPTH

  • Gugatan PRIMA Berujung Penundaan Pemilu

    Kondisi politik di Indonesia makin memanas dan terlihat carut marut. Berbagai manuver dilakukan menjelang pemilu ke 6 pasca-reformasi ini. Mulai dari dorongan penambahan periode bagi presiden, kemudian merubah sistem pemilu menjadi proporsional tertutup, bahkan terdapat gerakan untuk penundaan pemilu. Khusus untuk poin terakhir, sepertinya terlihat ada indikasi menguatnya penundaan pemilu berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).

    Sebagaimana diketahui, PN Jakpus memutuskan untuk memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda tahapan Pemilu 2024 hingga Juli 2025. Keputusan ini dilakukan setelah adanya gugatan dari pengurus Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) dan gugatan itu diterima.

    “Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya,” bunyi diktum pertama amar putusan tersebut.

    Putusan PN Jakpus itu memerintahkan KPU menghentikan tahapan pemilu terhitung sejak putusan dibacakan pada, Kamis (2/3), selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari.

    Dengan perhitungan tersebut, maka Majelis Hakim PN Jakpus memerintahkan penundaan pemilu hingga 9 Juli 2025. Sedianya, tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan sejak pertengahan Juni tahun lalu. Pemungutan suara dijadwalkan digelar serentak pada 14 Februari 2024.

    “Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari,” bunyi diktum kelima amar putusan.

    Berikut bunyi putusan lengkap PN Jakpus atas gugatan 757/Pdt.G/2022 Dalam eksepsi:

    1. Menolak Eksepsi Tergugat tentang Gugatan Penggugat Kabur/Tidak Jelas (Obscuur Libel);Dalam Pokok Perkara. Menerima Gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
    2. Menyatakan Penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh Tergugat;
    3. Menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum;
    4. Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) kepada Penggugat;
    5. Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari
    6. Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad);
    7. Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada Tergugat sebesar Rp.410.000,00 (empat ratus sepuluh ribu rupiah)

    Kepada BANPOS, Ketua Umum Partai PRIMA, Agus Jabo Priyono, mengatakan bahwa pihaknya telah mendapatkan salinan putusan dari PN Jakarta Pusat, yang telah mengabulkan seluruh gugatan yang diajukan pihaknya terhadap KPU RI.

    “Gugatan terhadap KPU dilayangkan karena terdapat perbuatan melawan hukum yang dilakukan KPU yaitu menghilangkan hak PRIMA sebagai peserta pemilu dan hak untuk dipilih, yang mana merupakan hak konstitusi dan hak asasi yang diatur oleh hukum nasional maupun internasional,” ujarnya.

    Agus menyampaikan bahwa pada tahapan verifikasi administrasi, Partai PRIMA dinyatakan tidak memenuhi syarat keanggotaan, sehingga PRIMA tidak dapat mengikuti proses verifikasi. Padahal menurutnya, keanggotaan PRIMA telah memenuhi syarat.

    “PRIMA sudah memperjuangkan keadilan melalui gugatan ke pelbagai institusi seperti Bawaslu dan PTUN. Hasilnya, gugatan tersebut tidak diterima karena PTUN merasa tidak memiliki kewenangan untuk mengadili gugatan PRIMA. Hal ini terjadi akibat KPU yang membatasi hak politik partai PRIMA sehingga PRIMA tidak memiliki legal standing di PTUN,” tuturnya.

    Karena berbagai upaya yang dilakukan oleh pihaknya tidak mendapatkan kejelasan, Agus pun mengaku mengambil langkah untuk menggugat melalui PN Jakarta Pusat. Menurut Agus Jabo, langkah itu merupakan upaya dari pihaknya mencari keadilan.

    “Karena gugatan tidak diterima oleh PTUN, kami selanjutnya menuntut keadilan atas hak politik ke PN Jakarta Pusat. Sebagai warga negara, kami memiliki hak untuk ikut menjadi peserta pemilu dan hak untuk dipilih. PRIMA menilai KPU sebagai penyelenggara pemilu telah melanggar hukum dan mengebiri hak politik rakyat,” tegasnya.

    Sejak awal, Agus Jabo mengaku jika Partai PRIMA sudah mendesak agar tahapan proses Pemilu dihentikan sementara, dan KPU agar segera diaudit. Pihaknya menilai jika penyelenggaraan Pemilu 2024 terdapat banyak masalah.

    ‘Kami berharap semua pihak menghormati putusan Pengadilan Negeri tersebut. Kedaulatan berada di tangan rakyat. Ini adalah kemenangan rakyat biasa,” tegasnya.

    Sementara itu, dengan adanya keputusan tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menyatakan akan mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU sebagai pihak tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024.

    “KPU akan upaya hukum banding,” kata Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari kepada wartawan, di Jakarta.

    Sementara itu, Komisioner KPU Idham Kholik memastikan, Pemilu 2024 tetap terlaksana sesuai waktunya. Kata Idham, pihaknya sedang melaksanakan tahapan Pemilu sebagaimana diatur dalam Peraturan KPU Nomor 3/2022.

    “Sampai saat ini penyelenggaraan tahapan demi tahapan Pemilu berjalan lancar. Tidak ada masalah,” kata Idham

    Saat ini, KPU sedang melakukan proses pemutakhiran daftar pemilih, yang berlangsung sampai 14 Maret 2022. “KPU juga saat ini sedang melangsungkan proses verifikasi faktual dukungan pemilih untuk calon perseorangan,” tambahnya.

    Dia berharap, sejumlah tahapan hingga pencoblosan Pemilu berjalan lancar. “Rencananya, sebagai diatur dalam Pasal 247 Ayat (2), paling lambat 9 bulan sebelum hari pemungutan suara, KPU sudah menerima pendaftaran calon anggota legislatif,” kata dia.

    Hal senada disampaikan, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan, Masudi, mengatakan bahwa pihaknya tidak terpengaruh dengan putusan dari PN Jakarta Pusat, berkaitan dengan gugatan Partai PRIMA. Menurutnya, hal itu merupakan gugatan yang melibatkan KPU RI.

    “Sebenarnya yang lebih tepat menjawab ini adalah KPU RI, karena yang digugat itu KPU RI bukan KPU Provinsi Banten. Sehingga yang lebih tepat memberikan respon terhadap putusan itu adalah KPU RI. Tapi dari berita yang saya baca, KPU RI tentu akan melakukan upaya hukum lanjutan, banding,” ujarnya.

    Oleh karena itu, pihaknya akan tetap menjalankan tahapan Pemilu di Provinsi Banten, meskipun salah satu putusan Majelis Hakim adalah tidak melaksanakan sisa Pemilu 2024, dan mengulang tahapan Pemilu sejak awal. Selain itu, putusan tersebut dijalankan terlebih dahulu secara serta merta.

    “Kalau kami di provinsi tentu akan mengikuti apa keputusan yang dibuat oleh KPU RI, sepanjang KPU RI belum mencabut peraturan tentang jadwal dan tahapan, maka kami akan mengikuti aturan itu. Sepanjang PKPU itu berlaku, belum dicabut, belum diubah atau apapun itu, maka kami di daerah akan mengikuti itu. Jadi besok dan seterusnya kita akan tetap melakukan tahapan itu kecuali ada kebijakan baru atau peraturan baru yang dikeluarkan,” tandasnya.(DZH/PBN/RMID)

  • Rektor Untirta ‘Nyap-nyap’ di Momentum HPN, Bantah ‘Menghilang’, Sebut Berita Orderan untuk Menganiaya

    Rektor Untirta ‘Nyap-nyap’ di Momentum HPN, Bantah ‘Menghilang’, Sebut Berita Orderan untuk Menganiaya

    DALAM momentum perayaan Hari Pers Nasional yang diselenggarakan oleh Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Rektor Untirta, Fatah Sulaiman, ‘nyap-nyap’ terkait dengan pemberitaan dirinya pada saat menjadi saksi perkara suap penerimaan mahasiswa baru (PMB) Universitas Lampung (Unila) dengan terdakwa Karomani.

    Fatah tidak terima diberitakan seolah-olah bersalah dalam hal titip mahasiswa ke Fakultas Kedokteran Unila, hingga menyebut media yang memberitakan tidak presisi. Ia pun merasa dihakimi seolah-olah sudah menjadi terdakwa dalam perkara titip menitip mahasiswa Unila tersebut.

    Menurutnya, berita yang telah tayang berkaitan dengan persidangan, sangat berbeda jauh dengan yang terjadi pada saat persidangan berlangsung. Ia bahkan sampai mengecap berita-berita yang dinilainya tendensius terhadap dirinya itu, sebagai berita orderan untuk sengaja menganiaya dirinya.

    Hal itu diungkapkan oleh Fatah pada saat memberikan sambutan kegiatan Coffee Morning antara awak media dengan jajaran pimpinan Untirta, dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional pada Kamis (9/2) pagi. Hadir dalam kegiatan itu, para pimpinan Rektorat Untirta, kecuali Wakil Rektor III, pejabat di lingkungan Untirta dan sejumlah media yang disebut sebagai mitra Untirta. Kegiatan itu juga disiarkan langsung melalui kanal YouTube Untirta Official.

    Dalam sambutannya, Fatah mengatakan bahwa pers maupun akademisi merupakan manusia, yang merupakan tempatnya salah dan lupa. Sehingga, saling mengingatkan antara satu dengan yang lainnya merupakan sebuah keharusan.

    “Maka tentu karena ini kaitan erat dengan program-program kita, kami mohon juga insan pers untuk profesional, presisi dan akurat dalam melakukan pemberitaan. Maka insyaallah ini karena bagian dari keluarga, apalagi pers adalah pilar demokrasi, ini menjadi sesuatu yang penting untuk kita sepakati dalam pemberitaan,” ujar Fatah.

    Menurutnya, hal itu diungkapkan olehnya lantaran adanya pemberitaan dari BANPOS Edisi Kamis 9 Februari 2023, meskipun tidak disebutkan secara langsung, yang berjudul ‘Rektor Untirta ‘Menghilang’, Terkait Nepotisme Unila’. Berita tersebut berdasarkan upaya konfirmasi dari BANPOS, yang menemui jalan buntu lantaran informasi keberadaan Rektor Untirta tidak jelas hingga pukul 17.00 WIB.

    “Sebagai contoh misalkan, saya kemarin Alhamdulillah hadir dari pagi di sini, rapat koordinasi dengan DJP keuangan, rapat koordinasi dengan bidang akademik, kemudian rapat koordinasi dengan berbagai unsur lembaga, menandatangani ijazah sampai jam 5. Tapi saya kaget baca berita hari ini, Rektor Untirta hilang. Kan bingung ya,” tuturnya.

    Dalam kesempatan sambutan itu, Fatah juga menjabarkan kisahnya saat memberikan keterangan sebagai saksi terhadap terdakwa Karomani, di PN Tanjungkarang, Bandarlampung. Keterangan tersebut dijabarkan oleh BANPOS secara terpisah.

    Usai menjabarkan kisahnya saat bersaksi di persidangan, Fatah mengaku baru diizinkan pulang cukup malam. Ia saat hendak menyeberangi Selat Sunda, menghadapi ombak yang cukup tinggi, sehingga harus bersandar terlebih dahulu. Pada saat itu, ia mendapatkan tautan berita online persidangan dirinya, yang dia nilai berbeda antara bumi dan langit. Berita itu sudah tersebar di grup-grup Untirta.

    “Korannya besok saat ke kantor, ada koran, dari perspektif atau sudut pandang si wartawan, oknum lah saya sebut, saya yakin kalau institusinya enggak demikian, karena ingin presisi, bermartabat dan demokratis. Nah ini bagian dari koreksi apa yang, mungkin yang lain banyak,” katanya merujuk pada pemberitaan BANPOS.

    Ia mengatakan, dampak dari pemberitaan itu sangat luar biasa. Rekan-rekan dirinya banyak yang menelepon, termasuk yang berada di Australia. Ia pun menjelaskan bahwa isi dari berita, tidak sesuai dengan apa yang berlangsung dalam persidangan. Ia juga merasa ‘divonis jalanan’ oleh pers.

    “Jadi jangan saksi ini divonis jalanan oleh pers, ini kan seperti vonis jalanan. Saya ini taat asas, ikuti proses. Sebagai pimpinan perguruan tinggi, memberikan contoh teladan buat semua. Masalah nanti risikonya apapun siap saya hadapi urusan dunia ini. Enggak ada takut saya, saya ceritakan apa adanya,” jelasnya.

    Menurut dia, kekagetannya juga tidak berhenti saat berita terkait dengan ‘Rektor Untirta Menghilang’ nongol di ruang kerjanya. Padahal menurut dia, pada hari yang sama BANPOS mencoba mengonfirmasi, dirinya ada di kampus hingga pukul 17.30 WIB. Lebih setengah jam dari klaim dirinya di awal sambutan.

    “Sekarang berita nongol lagi, Rektor Untirta menghilang, nepotisme, saya kemarin sampai setengah enam di sini. Banyak agenda rapat, online dengan keuangan, dengan WR I, dengan ketua lembaga, sampai sore. Gak ada insan pers,” katanya.

    Di pertengahan, ia mengucapkan terima kasih kepada Humas Untirta dan Wakil Rektor IV, yang telah menginisiasi pelaksanaan Coffee Morning bersama dengan insan pers tersebut. Menurutnya, pers memang harus merdeka, tapi jangan sampai bebas seenaknya dalam mengartikan merdeka. “Harus yang bermartabat tadi, demokratis, tentu ini sebagai kecintaan saya kepada dunia pers,” ucapnya.

    Menurut Fatah, awak media jangan sampai hanya ingin mengejar kesenangan di dunia saja, merujuk pada karya jurnalistik, namun juga harus mengharapkan selamat dunia akhirat. Menurutnya, dengan pemberitaan seperti yang dia yakini tidak sesuai itu, merupakan bentuk penganiayaan.

    “Jangan ingin senang di dunia saja, tapi nganiaya orang itu catatan keburukannya terus berjalan. Dipertanggungjawabkan, apalagi berdampak terhadap banyak orang. Opininya diamini oleh banyak orang yang sama-sama salah, tidak presisi,” ujarnya.

    Fatah mengklaim bahwa dirinya sudah berdiskusi dengan rekan medianya, dan meminta masukan bagaimana untuk menghadapi berita-berita yang menurutnya tidak tepat itu. Hasilnya, Fatah mengaku akan menggelar kumpulan awak media lebih rutin, agar awak media yang dia sebut sebagai oknum, bisa belajar lebih baik dalam membuat tulisan, tidak seperti yang dia sebut tidak tepat.

    “Ya saya tanya, gimana, mohon masukannya. Apakah saya punya hak jawab, atau supaya sama-sama bermusyawarah lewat Dewan Pers. Pesannya nanti harus sering diajak kumpul tuh yang oknum-oknum wartawan yang mungkin belum cukup wawasan dalam mengambil perspektif, sehingga kelihatan tidak presisi dan tidak objektif, harus sering dilatih setiap bulan. Enggak apa-apa tempatnya di sini, bareng-bareng latihan,” kata dia.

    Ia pun mengaku kasihan dengan mereka yang disebut oknum wartawan itu. Karena, hidup di dunia hanya sementara, dan apa yang diperbuat harus dipertanggungjawabkan. Jika mereka yang Fatah sebut sebagai oknum wartawan itu senang melihat orang teraniaya, maka nanti akan ada balasannya.

    “Kasihan, kita ini hidup terbatas di sini, ada tanggung jawab moral nanti. Dipertanggungjawabkan. Ya kita misalkan senang melihat orang teraniaya, ada balasannya. Itu yang saya ingatkan kepada insan pers. Karena dampaknya apalagi digital sekarang, saya di kapal masih terombang-ambing, sudah di share-share berita yang sangat jauh judulnya. Dua rektor hanya dipisahkan oleh jembatan Selat Sunda, ber kongkalingkong melakukan titipan,” jelasnya.

    Ia pun meminta doa kepada para peserta Coffee Morning, agar persoalan tersebut dapat segera selesai, dan tidak ada ‘tindaklanjut’. Ia pun meminta agar tidak ada lagi perspektif-perspektif lainnya, yang disebut oleh Fatah sebagai perspektif yang salah.

    “Saya akan memberikan hak jawab, supaya memberikan pelajaran hikmah, bukannya marah. Namanya manusia enggak ada yang sempurna. Pers itu bukan malaikat, jadi jangan posisikan diri yang paling benar. Dan saya pesan juga, jangan jadi hakim jalanan. Kasian teman-teman yang dalam proses taat sebagai warga negara dan proses sebagai saksi, sudah diposisikan sebagai terdakwa oleh pers,” tuturnya.

    Fatah juga mengatakan bahwa banyak rekannya yang merupakan insan pers, meninggal di usia muda. Sehingga diharapkan para insan pers dapat ‘mengisi’ kehidupan dengan hal-hal yang baik, dan tidak mengambil apa yang dia sebut sebagai berita orderan untuk menganiaya orang.

    “Jangan dikira enggak ada dampaknya, banyak teman-teman saya pers yang meninggal muda. Jadi kalau kita enggak cukup umur, kita harus siap kita bahwa semua isinya kebaikan. Biar halal yang kita makan, bukan karena kita dapat duit, dapat orderan untuk menganiaya orang,” tandasnya.(DZH/ENK)

     

  • Pers Masih Dibayangi Ancaman

    Pers Masih Dibayangi Ancaman

    HARI Pers Nasional (HPN) tahun 2023 mengangkat tema Pers Merdeka, Demokrasi Bermartabat. Tema tersebut diangkat mengacu pada cita-cita iklim pers yang merdeka sembari menyongsong tahun politik 2024. Pers Merdeka tentunya menjadi satu hal yang sangat disorot. Frasa itu diharap bukan hanya sebagai formalitas tema seremonial HPN saja, melainkan benar-benar dapat dipraktikkan di dunia nyata.

    Mengacu pada Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) 2022 yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, dalam lima tahun terakhir terjadi tren peningkatan IKP secara nasional. Tahun 2022, IKP nasional berada di angka 77,88 poin. Nilai itu meningkat sebesar 1,86 poin daripada IKP tahun 2021.

    Meski meningkat secara kumulatif, terdapat dua indikator yang mengalami penurunan. Keduanya yakni indikator kebebasan media alternatif dan kebebasan mempraktikkan jurnalisme, yang mengalami penurunan masing-masing turun -2,05 poin dan -0,08 poin. Selain itu, peningkatan IKP di tahun 2022 pun tetap meninggalkan catatan adanya kasus-kasus kekerasan dan intimidasi terhadap pers yang masih saja terjadi di beberapa daerah.

    Untuk Provinsi Banten, berdasarkan penilaian kumulatif pada laporan IKP 2022, menempati posisi empat terendah IKP. Provinsi Banten tercatat mendapatkan nilai IKP sebesar 74,50 poin. Nilai tersebut berada di bawah IKP nasional, dengan selisih angka 3,38 poin. Nilai IKP Provinsi Banten di tahun 2022 pun mengalami penurunan sebesar 0,44 persen dari tahun sebelumnya yang memiliki nilai 74,94 poin.

    Dalam penilaian IKP, terdapat tiga indikator lingkungan bidang, yakni fisik dan politik, ekonomi dan hukum. Lingkungan bidang fisik dan politik terdiri atas sejumlah hal seperti kebebasan berserikat bagi wartawan, kebebasan dari intervensi, kebebasan dari kekerasan hingga kesetaraan akses bagi kelompok rentan.

    Untuk lingkungan bidang ekonomi diantaranya berkaitan dengan independensi dari kelompok kepentingan yang kuat, keragaman kepemilikan hingga tata kelola perusahaan yang baik. Sementara lingkungan bidang hukum diantaranya terkait dengan independensi dan kepastian hukum lembaga peradilan, kebebasan mempraktikkan jurnalisme hingga kriminalisasi dan intimidasi pers.

    Dari tiga indikator lingkungan bidang tersebut, Provinsi Banten tercatat berada pada posisi 30 untuk bidang lingkungan hukum dan 31 pada lingkungan bidang fisik dan politik, dengan masing-masing nilai 72,63 poin dan 75,5 poin. Peringkat yang cukup baik didapatkan oleh Provinsi Banten pada bidang ekonomi dengan menempati peringkat 27 dengan poin sebesar 74,42.

    Berfokus pada bidang hukum serta bidang fisik dan politik, mengacu pada Catatan Akhir Tahun 2022 Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), pers sampai saat ini masih berada di bawah ancaman kekerasan, kriminalisasi dan pembungkaman.

    Pada tahun 2022, tercatat cukup banyak serangan digital terhadap media-media siber di Indonesia. Salah satunya serangan kepada situs Narasi. Selain serangan DDoS kepada situsnya, serangan juga terjadi kepada akun media sosial personel Narasi TV. Serangan serupa juga dialami oleh Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sasmito Madrim. Media sosial dan WhatsApp miliknya diretas dan digunakan untuk mempublikasikan hal-hal hoaks.

    Selain serangan siber, ‘serangan’ terhadap pers melalui jalur hukum pun terjadi di Makassar, dimana enam media Makassar mendapat gugatan perdata oleh seseorang, hingga menuntut ganti rugi sebesar Rp100 triliun. Gugatan tersebut diklaim lantaran pemberitaan yang dilakukan oleh enam media itu, telah merugikan si penuntut, padahal upaya klarifikasi sudah dilakukan oleh media-media itu. Pengadilan memutus gugatan tidak dapat diterima, karena mekanismenya tidak sesuai dengan Undang-undang Pers.

    Selain itu, jurnalis Sultra Raya, Muhammad Irvan S, juga terkena kriminalisasi menggunakan pasal karet pada Undang-undang ITE. Irvan dikriminalisasi menggunakan Undang-undang ITE setelah memberitakan dugaan pengapalan ilegal seseorang. Meski sudah menempuh jalur Dewan Pers, pihak yang diberitakan tidak puas dan membawa persoalan itu ke ranah pidana.

    Padahal menurut laporan KKJ, penggunaan Pasal 27 ayat 3 (pencemaran nama baik) UU ITE Jo Pasal 45 ayat (3) tidak bisa dikenakan pada karya jurnalistik yang memuat kepentingan publik. Selain itu, penyidikan terhadap dua kasus di atas juga melanggar isi Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pedoman kriteria implementasi UU ITE yang ditandatangani oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bersama Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.

    Dalam Pedoman SKB tersebut telah disebutkan, bahwa karya jurnalistik dikecualikan dalam pengenaan Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang berbunyi: Untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi Pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan UU 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan UU Pers sebagai lex specialis, bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

    Akademisi Untirta sekaligus praktisi jurnalistik, Ikhsan Ahmad, menjadi salah satu contoh korban pembredelan pers di Provinsi Banten. Ikhsan dibungkam lantaran mengangkat sesi wawancara dengan salah satu calon pengawas sekolah pada saat itu, melalui kanal YouTube Banten Podcast. Karena hal tersebut, Ikhsan dilaporkan ke Polda Banten karena dituding melanggar Pasal 32 ayat 2 Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang ITE.

    Kepada BANPOS, Ikhsan lebih berfokus bagaimana mewujudkan kemerdekaan pers yang sebenarnya. Ia mengatakan bahwa dirinya mengartikan kemerdekaan bukan sebagai kebebasan. Namun, berangkat dari definisi kemerdekaan atas penjajah, maka kemerdekaan yang ia yakini dalam hal dunia pers, adalah penyelenggaraan pers yang diperuntukkan untuk masyarakat, termasuk dalam pengawalan pembangunan dan penyaluran aspirasi dan kepentingan masyarakat.

    “Kalau bebas itu kan tidak ada batasan,” ujarnya saat diwawancara BANPOS melalui sambungan telepon, Kamis (9/20.

    Menurutnya, kemerdekaan pers di Banten pun belum terealisasi. Sebab, penyelenggaraan persnya belum sepenuhnya mengarah pada upaya membangun kepentingan masyarakat. Namun menurutnya, hal itu bukan karena insan pers yang tidak berupaya untuk mengarah ke sana, namun karena sistem feodal pemerintahan, yang menjadi batasan tersendiri bagi insan pers untuk bertindak merdeka.

    “Karena feodalisme dalam penyelenggaraan pemerintah bisa menjadi hambatan-hambatan terhadap kerja-kerja pers untuk menyampaikan informasi yang objektif dan akurat. Kemudian tidak dipungkiri juga bahwa ada pers yang memang berorientasi pada transaksi dan kekuasaan,” tutur Ikhsan.

    Ikhsan menegaskan bahwa pers pun harus independen. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers pun harus menjadi second opinion atas informasi-informasi yang disampaikan pemerintah, yang mungkin saja terdapat hal-hal yang ‘tersendat’.

    “Untuk ke depan, walaupun sulit untuk diwujudkan, pers harus independen. Kemudian menjadi jembatan komunikasi pemerintah dengan masyarakat, menjadi ujung tombak perjuangan masyarakat. Dan yang terpenting adalah pers mengedepankan informasi-informasi yang memang dibutuhkan oleh masyarakat, atau dianggap tersendat dalam pemerintahan sehingga diketahui oleh masyarakat,” ucapnya.

    Menurut laporan, KKJ juga menilai bahwa KUHP yang baru menjadi salah satu potensi ancaman bagi pers di masa yang akan datang. Pasalnya, terdapat sejumlah pasal yang ada pada KUHP, yang dapat menjadi alat membredel kemerdekaan pers.

    Adapun pasal-pasal tersebut yakni Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Pasal 218, Pasal 219, dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.

    Selanjutnya, Pasal 264 yang mengatur tindak pidana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap, Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan, Pasal 300, Pasal 301, dan Pasal 302 yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan, Pasal 436 yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan, Pasal 433 mengatur tindak pidana pencemaran, Pasal 439 mengatur tindak pidana pencemaran orang mati, dan Pasal 594 dan Pasal 595 mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.

    Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Banten, Rian Nopandra, mengatakan bahwa PWI sebagai konstituen pada Dewan pers, menegaskan bahwa KUHP yang baru memang menjadi ancaman bagi kemerdekaan pers. Menurutnya, KUHP itu akan meningkatkan potensi jurnalis dipenjara karena produk jurnalistik, bahkan dengan ancaman hingga enam tahun penjara.

    Ia pun mengatakan bahwa untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap jurnalis, Dewan Pers telah menandatangani nota kesepahaman bersama dengan Mabes Polri, guna melindungi jurnalis dari ancaman pidana akibat sengketa jurnalistik.

    “Dan ini juga didorong ke daerah bahwa ketika itu produk jurnalistik, maka kewenangannya di Dewan Pers. Tapi kalau sudah bukan produk jurnalistik, baru pidana ke pihak Kepolisian. Hal ini juga menjadi salah satu antisipasi untuk menghadapi KUHP terbaru,” ujarnya yang saat ini tengah berada di Medan dalam rangka perayaan Hari Pers Nasional.

    Pria yang akrab disapa Opan ini juga menuturkan bahwa nota kesepahaman itu pun untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, terjadi kepada jurnalis. Apalagi di lapangan, jurnalis akan sering bersinggungan dengan permasalahan, yang juga membuat jurnalis semakin tinggi potensi bersinggungan dengan Aparat Penegak Hukum.

    “Makanya rencananya kita dari PWI Banten akan melakukan audiensi dengan Kapolda, karena kita harus penegasan itu bahwa PWI punya tugas sebagai salah satu konstituen Dewan Pers, untuk mensosialisasikan MoU itu. Intinya untuk menjaga teman-teman juga di lapangan,” ucapnya.

    Sementara terkait dengan kondisi pers di Provinsi Banten, Opan menuturkan bahwa saat ini dalam kondisi yang tidak baik, seperti halnya yang terjadi secara nasional. Hal itu merujuk pada ‘peperangan’ yang harus dilakukan oleh pers, dalam melawan informasi-informasi hoaks dan sesat.

    “Harapannya bagaimana media sebagai arus utama informasi, terutama media mainstream itu menjadi semacam rumah penjernih untuk informasi-informasi yang bersifat hoaks. Kemudian media mainstream maupun media arus utama diminta untuk menyajikan berita yang sudah terverifikasi,” tuturnya.

    Ia mengatakan, persoalan hoaks memang menjadi tantangan tersendiri di era digital dan bebas seperti saat ini. Orang-orang dapat dengan mudahnya mengunggah informasi ke media sosial, tanpa melakukan penyaringan terlebih dahulu. “Maka sekarang media mainstream dan media arus utama yang harus mengambil peranan itu,” katanya.

    Ia pun berharap, pers saat ini dapat lebih kreatif, terutama dalam memaksimalkan teknologi, agar tidak terlalu berketergantungan dengan anggaran pemerintah. Dengan kreativitas tersebut, insan pers dapat menciptakan konten yang bisa menjadi penopang keuangan perusahaan.

    “Manfaatkanlah kemajuan media diimbangi dengan kecanggihan teknologi yang sekarang, bagaimana media itu harus bisa menyajikan berita dalam multiplatform. Jadi tidak hanya cetak saja, ada online, radio, video dan lainnya,” tegas dia.

    Sementara Ketua Umum SMSI, Firdaus, saat dikonfirmasi terkait dengan iklim pers di Provinsi Banten, mengaku sudah terjadi peningkatan. Bahkan, kekerasan terhadap pers pun sudah sangat jarang terdengar, karena kesadaran masyarakat akan peran pers sudah membaik.

    “Kesadaran masyarakat Banten dalam memahami fungsi media semakin baik. Di tiga tahun terahir ini, tidak ada laporan kekerasan terhadap masyarakat pers. Kalaupun ada, beberapa waktu yang lalu di Tangerang ada rumor kekerasan terhadap pers, hal tersebut hingga kini belum terkonfirmasi,” tandasnya.(DZH/ENK) 

  • Dewan: Penjabat Walikota Serang Harus Orang Berorientasi Solusi

    Dewan: Penjabat Walikota Serang Harus Orang Berorientasi Solusi

    RENCANA Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Serang yang disusun di masa kepemimpinan Syafrudin-Subadri akan berakhir tahun ini. Untuk mengisi kekosongan dokumen perencanaan, Pemkot Serang harus menyusun Rencana Pembangunan Daerah (RPD) atau kerap disebut RPJMD transisi, karena keberadaannya bersamaan dengan kosongnya jabatan kepala daerah definitif.

    RPD nantinya akan berlaku selama dua tahun, mulai tahun 2024 hingga tahun 2025. Maka dari itu, penyusunan RPD tidak boleh sembarangan. Pun hasilnya, RPD harus bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada di Kota Serang, khususnya yang belum dapat diselesaikan melalui RPJMD 2018-2023.

    Selain persoalan RPD, persoalan Penjabat Walikota pun juga disorot. Pasalnya, di masa kekosongan jabatan itu, Penjabat Walikota sebagai eksekutor sementara waktu, harus memahami betul medan yang ada di Kota Serang. Dia harus mengetahui, apa yang menjadi masalah dan bagaimana menyelesaikan masalahnya. Jangan sampai hanya sebatas penjabat ‘pajangan’.

    Hal itu disampaikan oleh Ketua Fraksi PKS pada DPRD Kota Serang, Tb. Ridwan Akhmad. Ridwan mengatakan bahwa calon Penjabat Walikota Serang yang akan mengisi kekosongan jabatan itu, haruslah orang yang berasal dari lingkungan Pemkot Serang. Karena, Penjabat Walikota Serang harus memahami dan mengetahui solusi permasalahan di Kota Serang.

    Karena menurut Ridwan, percuma saja jika Penjabat Walikota Serang yang memimpin nanti, merupakan orang yang tidak tahu apa-apa dengan masalah yang ada di Kota Serang, apalagi cara untuk menyelesaikan masalah tersebut. Jika demikian, penjabat itu hanya merupakan penjabat formalitas tanpa bisa menyelesaikan masalah apapun.

    “Harus orang yang Take Action and Solution Oriented, jangan hanya sekadar tau masalah tapi tidak tahu bagaimana menyelesaikan masalahnya. Jangan sampai nanti Penjabat itu hanya sekadar jabatan formalitas transisi doang, tapi orangnya gak ngerti apa-apa, gak tau apa permasalahan Kota Serang, apa yang diinginkan oleh warga Kota Serang. Jadi orangnya itu harus yang benar-benar paham betul dengan Kota Serang, dan tau solusinya,” tegasnya.

    Sementara berkaitan dengan RPD, ia mengatakan bahwa RPJMD era Syafrudin-Subadri akan selesai tahun ini. Namun, hal itu bukan berarti pembangunan di Kota Serang akan berhenti. Apalagi penyusunan APBD pun mengacu pada dokumen perencanaan yang ada.

    “Makanya ada RPJMD transisi atau RPD. Nah RPD ini kan berlaku sampai ada definitif. Ketika Pemkot Serang menyusun APBD 2024 kan harus ada acuannya, enggak mungkin dong mengacu pada RPJMD 2018-2023, karena sudah tidak berlaku. Maka RPD ini akan menjadi acuan untuk penyusunan APBD 2024 dan 2025,” ujarnya.

    Menurut Ridwan, ada sejumlah catatan yang pihaknya berikan kepada Pemkot Serang, dalam penyusunan RPD. Pertama, Ridwan mengatakan bahwa sudah pasti RPD ini harus disusun sesuai dengan aturan Perundang-undangan yang berlaku. RPD harus melalui uji publik, sehingga menerima masukan dari masyarakat sekaligus mengikuti arahan dari pusat.

    “Kemudian yang kedua, RPD ini harus menjawab dua hal. Pertama, utang pembangunan dari pemerintahan sebelumnya. Utang pembangunan ini harus diselesaikan melalui RPD, jadi harus dievaluasi,” tuturnya.

    Maka dari itu, RPD harus bisa memperhitungkan mana saja program-program pembangunan dari RPJMD, yang masih belum tuntas. Dengan begitu, RPD dapat menjadi acuan bagi pemerintahan transisi, dalam menutup lubang-lubang utang pembangunan pemerintahan sebelumnya.

    “Kan nanti ada Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) akhir jabatan pak Walikota, kita lihat nih infrastruktur target-target yang sudah selesai berapa, sisanya berapa. Lalu kesehatan, berapa rakyat miskin yang belum tercover BPJS, berapa sisanya. Lalu di pendidikan, dari target pembangunan RKB, berapa yang masih tersisa. Itu kan menjadi utang pembangunan,” jelasnya.

    Selanjutnya, Ridwan mengatakan bahwa RPD tidak boleh disusun hanya sekadar menjalankan roda pemerintahan yang mendasar saja. Sebab, RPD juga harus menjawab adanya peningkatan pembangunan di Kota Serang.

    “Tidak boleh RPD ini hanya sebagai dokumen formalitas yang ujungnya hanya stagnasi pembangunan. Jadi misalkan saat ini kita PAD masih di angka Rp250 miliar, bisa gak kalau RPD ini menargetkan PAD sebesar Rp350 miliar misalnya. Jadi RPD ini harus lebih baik dari dokumen RPJMD sebelumnya,” tegasnya.

    Selain itu, RPD pun harus bisa memastikan bahwa tidak ada kesenjangan antara pembangunan dengan perencanaan. Sebab, percuma jika RPD memasang target yang tinggi, namun dalam pelaksanaannya pun tidak dapat dilakukan dan tidak mencapai target.

    “Berdasarkan pengalaman kami, adanya gap antara realisasi pembangunan dan perencanaan pembangunan. Misalkan dari sisi target retribusi, itu kan terlalu jauh antara target retribusi dengan realisasi retribusi, tercapai 40 sampai 50 persen saja,” tuturnya.

    Oleh karena itu, dalam menyusun RPD, harus dilakukan secara matang. Jika tidak, dokumen RPD yang disusun akan sulit untuk direalisasikan, juga akan sulit untuk diimbangi oleh Penjabat Walikota Serang yang menjabat selama masa transisi.

    “Kami berharap dengan disusunnya RPD yang disusun bersama-sama antara eksekutif dan legislatif, harus meminimalisir kesenjangan antara perencanaan dengan realisasinya. Jangan sampai perencanaannya yang tinggi, tapi pelaksanaannya rendah. Ini antara salah perencanaan, atau memang kinerjanya yang kendor kan,” tandasnya.(DZH/PBN)

  • Penjabat Walikota Serang Jangan Banyak Improvisasi

    Penjabat Walikota Serang Jangan Banyak Improvisasi

    TAHUN ini masa kepemimpinan duet Aje Kendor akan selesai. Di akhir kepemimpinannya, Aje Kendor mengebut sejumlah program pembangunan yang telah dituangkan melalui RPJMD 2018-2023, sehingga tidak terlalu banyak meninggalkan Pekerjaan Rumah (PR) untuk pemerintahan transisi, yang akan dijabat oleh Penjabat Walikota Serang.

    Dengan berakhirnya masa jabatan Aje Kendor, tentu juga menandakan berakhirnya RPJMD tahun 2018-2023, yang merupakan dokumen perencanaan hasil pengejawantahan visi-misi Syafrudin-Subadri. Untuk menutupi kekosongan perencanaan itu, maka Pemkot Serang tengah menyusun dokumen Rencana Pembangunan Daerah (RPD), yang akan berlaku selama dua tahun.

    RPD ini akan menggantikan RPJMD untuk sementara waktu, dan berisikan sejumlah program-program yang akan dilaksanakan selama masa transisi pemerintahan di tahun 2024, hingga awal tahun 2025 nanti.

    Meski tidak berdasarkan visi-misi Aje Kendor, RPD yang akan dijadikan pedoman pembangunan hingga tahun 2025 ini tetap akan disusun untuk menopang pembangunan yang telah dilakukan oleh duet itu. Bahkan, Walikota Serang menegaskan bahwa Penjabat Walikota yang nanti akan ‘dititipkan’ jabatan di masa transisi, jangan banyak membuat ‘ide’ program sendiri, yang nantinya berpotensi membuat masalah baru.

    Walikota Serang, Syafrudin, saat diwawancara BANPOS di ruang kerjanya mengatakan bahwa dokumen RPD ini dipastikan akan tetap mengacu pada dokumen RPJMD di masa kepemimpinannya. Karena, dia tidak ingin kerja-kerja di masa kepemimpinannya, tidak dilanjutkan oleh Penjabat Walikota Serang di masa transisi.

    “Artinya kalau ada hal-hal yang belum selesai, harus diselesaikan. Jangan sampai loncat, karena akan membuat permasalahan baru. Kan jadi percuma. Kalau program saya kan saat ini hotmix jalan. Untuk jalan poros itu 2024 saya ingin dibetonisasi. Jadi berkelanjutan, termasuk penyelesaian stunting, gizi buruk dan lainnya. Jangan ada program baru,” ujarnya, Kamis (26/1).

    Menurutnya, meskipun RPJMD yang pihaknya susun sudah hampir rampung, dan dipastikan rampung di tahun ini, namun program-program yang sudah pihaknya lakukan, tetap harus ada kelanjutannya. Syafrudin menegaskan bahwa RPD tetap harus selaras dengan RPJMD yang pihaknya susun.

    “Nanti akan diturunkan juga kepada RPD. Kan ada pengentasan banjir yang masih belum tuntas, daerah kumuh juga belum ada penyelesaian. Memang sudah selesai di RPJMD, tapi kan harus berkelanjutan,” tuturnya

    Ia pun menegaskan bahwa Penjabat Walikota Serang nanti jangan terlalu banyak membuat ide baru terkait dengan program-program yang akan dilakukan selama masa transisi. Menurutnya, Penjabat Walikota harus mengikuti saja apa yang telah direncanakan melalui RPD.

    “Itu mah enggak bisa lah (bikin program-program sendiri), kan sudah matang. Kalau sudah Desember itu kan APBD 2024 juga sudah diketok, sudah matang oleh kami, bukan oleh Penjabat. Penjabat mah hanya melaksanakan saja. Jadi ini berlanjut, RPJMD ke RPD dan ke RPJMD lagi saat saya dua periode,” ungkap Syafrudin.

    Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Serang, Nanang Saefudin, kepada BANPOS mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan konsultasi publik terkait dengan rancangan RPD Kota Serang tahun 2024-2025. Menurutnya, penyusunan RPD ini merupakan keharusan dalam mengisi kekosongan dalam perencanaan, usai habisnya masa perencanaan RPJMD 2018-2023.

    “Kita akan ada masa transisi karena Pilkada akan dilakukan pada tahun 2024. Itu ada kekosongan di dalam perencanaan. Nah dalam masa transisi itu, Bappeda selaku leading sector konsultasi kepada masyarakat, masukan-masukan apa untuk masa transisi ini. Nanti akan dilaksanakan oleh Pejabat Walikota,” ujarnya.

    Menurut Nanang, penyusunan RPD ini merupakan upaya agar dalam melaksanakan pembangunan, Penjabat Walikota Serang nantinya tetap memiliki pedoman, apa saja yang harus dilakukan selama dititipkan jabatan orang nomor satu itu.

    “Karena Penjabat nanti akan bingung juga bekerjanya, karena tidak ada dokumen perencanaannya. Sehingga dengan dibuatnya RPD ini, Penjabat nanti tidak sekehendaknya saja dalam menjalankan pemerintahan, harus mengacu kepada RPD,” tuturnya.

    Nanang mengatakan, apa saja yang akan dimasukkan ke dalam RPD merupakan hal-hal yang klasik, yang biasa ditemukan dalam perencanaan tahunan pemerintahan. Hal tersebut berkaitan dengan pelayanan dasar masyarakat.

    “Sebenarnya sih sangat klasik yah, setiap daerah itu pasti memasukkan masalah pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Nah Kota Serang ini kan kita sedang fokus pada infrastruktur, meskipun sebenarnya berdasarkan RPJMD itu sudah selesai, tapi kan tentu ada kesinambungan dengan kepemimpinan pak Wali dan pak Wakil yang berakhir pada 2023, dan akan dilanjutkan oleh Penjabat di tahun 2024,” katanya.

    Akan tetapi, Nanang menuturkan bahwa RPD bukan hanya sekadar dokumen yang dijadikan sebagai hal formalitas, untuk menjalankan roda pemerintahan saja. Karena dalam RPD, juga terdapat hal-hal yang sama ketatnya dengan RPJMD.

    “Tidak, tidak (hanya sekadar untuk menjalankan pemerintahan secara dasar). Ini kan mekanismenya sama seperti menyusun RPJMD juga. Dan bukan hanya Kota Serang saja, seluruh Indonesia yang daerahnya akan habis masa jabatannya di tahun 2023, itu akan mengalami hal yang sama. Itu arahan dari Kementerian,” terangnya.

    Dalam menyusun RPJMD pun menurut Nanang, harus selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan RPD yang sudah disusun oleh Pemprov Banten, yang juga saat ini dijalankan oleh Kepala Daerah transisi.

    “RPD ini harus berkesinambungan dengan RPJMN dan RPJMD yang dari provinsi. Harus berkolaborasi. Misalkan ada proyek strategis nasional, pusat membangun apa, provinsi membangun apa, kota membangun apa. Tetap harus bersama-sama. Jadi RPD ini bukan hanya milik Kota Serang saja,” jelasnya.

    Sementara itu, Kepala Bappeda Kota Serang, M. Ridwan, mengatakan bahwa RPD yang disusun saat ini masih mengacu pada arahan Walikota Serang, Syafrudin. Dalam arahannya, Syafrudin meminta agar RPD memasukkan sejumlah program pembangunan, khususnya infrastruktur jalan.

    “Arahannya dari Pak Walikota agar tetap dia menginginkan infrastruktur yang baik di Kota Serang. Nah untuk infrastruktur yang baik pun kita tetap akan melihat hasil evaluasi RPJMD, mana yang perlu kita mantapkan dari capaian-capaian kinerja yang sudah pak wali capai sampai akhir tahun 2023 ini,” ujarnya di Puspemkot Serang.

    Ia menuturkan, RPD pun akan melihat hasil dari evaluasi RPJMD yang disusun oleh duet Aje Kendor. Sehingga, RPD dapat melanjutkan program-program yang nantinya akan semakin memperbaiki kinerja di masa kepemimpinan Syafrudin-Subadri.

    Selain program-program wajib pelayanan dasar, Ridwan mengatakan bahwa RPD pun akan mencakup sejumlah proyek strategis baik daerah maupun nasional, yang pelaksanaannya mengharuskan Kota Serang terlibat secara aktif, sehingga mesti direncanakan.

    “Ada ada beberapa sudah disampaikan bahwa ada proyek-proyek strategis yang harus muncul di RPD yang akan kita susun, diantaranya tetap untuk penanganan banjir, ada pembangunan gedung terpadu. Kemudian frontage, kemudian ada infrastruktur dan itu yang harus disempurnakan dan dibangun di RPD meskipun bertahap,” katanya.

    Mengacu pada persoalan yang terjadi di Pemprov Banten, beberapa program yang ada pada RPD ternyata tidak masuk sebagai program yang prioritas. BANPOS pun bertanya, apakah Pemkot Serang telah mempertimbangkan program-program yang menjadi prioritas dan layak masuk RPD Kota Serang tahun 2024-2025.

    “Di dalam perjalanan penyusunan RPD itu, seperti kemarin kan uji publik, untuk melihat sejauh mana kecenderungan kegiatan-kegiatan prioritas versi dari masyarakat. Kemudian nanti juga ada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan provinsi dan pemerintah pusat. Nah itu nanti di mana, dan hal itu nanti akan dievaluasi oleh pemerintah provinsi,” ucapnya.

    Evaluasi tersebut menurut Ridwan, untuk memastikan bahwa program-program yang ditargetkan pada RPD nanti, dapat seirama dan satu tujuan dengan program-program yang termaktub dalam RPD Provinsi Banten dan RPJMN pusat.

    “Sehingga keterkaitan program antara pusat, provinsi dan daerah itu bisa kelihatan di situ. Lalu juga mungkin dari sisi kegiatan-kegiatan yang memang harus mendukung program pembangunan di wilayah Kota Serang dari sisi keamanan. Itu mungkin itu nanti akan direview oleh APIP atau oleh inspektorat Nah dokumen-dokumen itulah nanti yang akan menjadi pembahasan di tingkat provinsi untuk memberikan rekomendasinya seperti apa,” tandasnya.(DZH/PBN)

  • Nepotisme Rekrutmen, Panwascam Setali Tiga Uang

    Nepotisme Rekrutmen, Panwascam Setali Tiga Uang

    TAK hanya Panitia Pemungitan Suara (PPS), perekrutan Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) di Kabupaten Lebak pun terbukti bermasalah. Lima anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lebak dinyatakan telah melanggar kode etik dalam perekrutan anggota Panitia Pengawas Kecamatan (Panwascam) yang rangkap jabatan dan tidak dibenarkan oleh aturan.

    Hal tersebut terungkap dalam amar putusan Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Rabu (25/01).

    Anggota DKPP RI, J Kristiadi mengatakan, Bawaslu Lebak tidak melakukan klarifikasi dan verifikasi keabsahan dari surat cuti dan surat pengunduran diri anggota Panwascam yang memiliki pekerjaan ganda.

    “Terungkap fakta dalam sidang pemeriksaan para teradu tidak melakukan klarifikasi dan verifikasi pada saat menerima kelengkapan dokumen syarat administrasi mengenai keabsahan surat izin, dan pengunduran diri anggota Panwascam dari profesi sebelumnya kepada instansi yang menerbitkan,” ungkap J Kristiadi.

    J Kristiadi menyebut, jika Bawaslu Lebak terbukti melanggar Pasal 6 ayat (2) huruf D, Pasal 6 ayat (3) huruf F dan Pasal 15 Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Perilaku Penyelenggara Pemilu.

    “Dalam hasil sidang ini, Ketua DKPP memutuskan untuk memberikan sanksi peringatan kepada Ketua Bawaslu Lebak sebagai pihak Teradu I dan enam orang anggotanya,” ujarnya.

    Anggota DPRD Lebak Musa Weliansyah saat dikonfirmasi BANPOS menjelaskan, jika dirinya merasa banyak kejanggalan terkait surat pernyataan pengunduran diri dan surat izin cuti dari atasan seperti P3K, guru honorer, dan TPP yang diduga penuh dengan rekayasa.

    “Ini semua terungkap dari beberapa data diantaranya, SK TPP Nomor 5 tahun 2023 yang dikeluarkan oleh Kemendes yang didalamnya SK tersebut masih tercatat beberapa nama anggota Panwascam yang masih menerima gaji seperti biasanya, begitupula dengan guru honorer dari Dinas Pendidikan Provinsi Banten dan juga P3K,” ungkap Musa, Kamis (26/01).

    Dalam hal ini, Musa mengaku akan melaporkannya persoalan ini kepada Aparat Penegak Hukum (APH) karena adanya dugaan unsur pidana. Jika mereka (anggota Panwascam rangkap jabatan-red) mengundurkan diri atau cuti, berarti sudah tidak menerima gaji dari tempat kerjanya.

    “Faktanya Panwascam yang diduga double job tersebut pada bulan November, Desember 2022 dan Januari 2023 kemarin masih menerima gaji atau honor dari instansi tempat mereka bekerja. Itu jelas hanya akal-akalan mereka,” katanya.

    Politisi PPP Lebak ini menambahkan, seharusnya setelah adanya putusan dari DKPP RI, Bawaslu Lebak jangan main-main, harus tegas dengan memberhentikan Panwascam yang double job, kecuali panwascam tersebut telah mengundurkan diri atau cuti dari pekerjaan sebelumnya dan bisa dibuktikan secara objektif.

    “Harusnya Bawaslu Lebak melakukan konfirmasi dan klarifikasi terhadap instansi yang berwenang, harus secara jelas menerima surat pengunduran diri atau mengeluarkan izin cuti. Dan itu harus dipastikan mereka sudah tidak menerima gajih atau honor,” tandas Musa.

    Oleh karena itu, kata Musa, dalam waktu dekat pihaknya akan melaporkan persoalan tersebut ke BPK RI perwakilan provinsi Banten agar BPK melakukan klarifikasi dan pemeriksaan terhadap para Panwascam yang rangkap jabatan.

    “Sampai saat ini masih ada 9 orang Panwascam yang rangkap jabatan dan namanya belum masuk dalam laporan DKPP RI, mereka diantaranya pegawai non ASN dilingkungan Pemkab Lebak seperti guru honor SD, SMP, BPBD dan lain-lain,” tegasnya.

    Sementara, Ketua Bawaslu Lebak, Odong Hudori kepada BANPOS menyebut, jika pihaknya siap menerima segala putusan dari sidang DKPP RI tersebut

    “Iya kita sudah tau keputusan itu, sidang putusannya kemarin kan,” ujar Odong.

    Hanya saja, Terang Ketua Bawaslu Lebak ini, bahwa terkait awal mereka para pendaftar Panwascam yang rangkap jabatan itu, saat mendaftar sudah melampirkan bukti pengunduran diri dan ijin dari instansi mereka bekerja.

    “Kita tahunya mereka saat daftar sudah mendapat ijin dan juga ada yang mengundurkan diri. Namun pada kenyataan mereka masih tetap bekerja seperti yang dilaporkan pengadu, itu sebenarnya itu bukan urusan kami. Karena Bawaslu tidak punya kewenangan melakukan verifikasi atau penelusuran data mereka ke instansinya,” jelas Odong.

    Pada bagian lain Odong menjelaskan, soal sanksi peringatan itu pihaknya akan menindaklanjuti dan mempersiapkan apa yang harus dilakukan.

    “Kita akan tindak lanjut soal putusan ini dalam waktu tujuh hari ini ke depan. Hanya saja kita hingga saat ini belum menerima surat resmi dari DKPP tentang apa yang harus dilakukan Bawaslu Lebak. Jadi intinya, Bawalu Lebak tidak akan mangkir dari putusan DKPP hanya kami belum mendapat petunjuk berikutnya,” papar Ketua Bawaslu Lebak.

    Terpisah, kuasa hukum pengadu, Raden Elang Yayan Mulyana mengatakan bahwa sidang putusan atas dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu akhirnya dikabulkan. Ia menyebut, sanksi peringatan dari DKPP terhadap Bawaslu Lebak itu harus segera ditindaklanjuti oleh pihak Bawaslu Lebak.

    “Dalam hal ini putusan sudah jatuh, yaitu peringatan. Sanksi peringatan ini bisa bersifat ringan atau keras terkait pelanggaran kode etik. Bawaslu Lebak harus melakukan sesuai perintah putusan tersebut, jika tidak mereka akan kena sanksi yang lebih berat,” kata Elang.

    Menurut Elang, sebagai penyelenggara Pemilu itu harus memiliki Intergritas dan adil dalam melakukan kinerja. Karena, jika tidak dilaksanakan dengan sebenarnya hasilnya akan berdampak ke ranah yang lain.

    “Jika sejak awal penyelenggara pemilu tidak adil maka jangan harap ke depan akan menghasilkan pemimpin yang baik. Kami berharap Pemilu 2024 ini bersih dari praktek kolusi dan nepotisme jujur bersih adil,” terang Elang.

    Adapun soal pihak Bawaslu Lebak belum menerima surat resmi dari DKPP, terang Elang, itu harusnya pihak teradu yakni Bawaslu Lebak bisa membaca yang dimaksud.

    “Kalau alasan belum menerima surat resmi dan perintah yang harus dilakukan, itu bukan alasan untuk tidak melakukan apa yang diminta dari hasil sidang DKPP. Jaman sekarang kita bisa download apa saja perintah putusan itu. Diantaranya pelanggaran kode etik mereka karena telah mengangkat komisioner Panwascam yang dobel job, dan mereka hingga saat ini belum mundur dan masih bekerja di tempat asal, itu saja tingga di PAW. Dan untuk verifikasi komisioner yang lain yang masih dobel job, agar Pekerjaan Pemilu tidak terganggu oleh job yang lain. Karena penyelenggara Pemilu itu harus bekerja penuh waktu,” terangnya menandaskan.(WDO/ENK)

  • Aroma Nepotisme Pesta Demokrasi

    Aroma Nepotisme Pesta Demokrasi

    TAHAPAN pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) di Kabupaten Lebak bukan sekedar pesta demokrasi biasa. Diduga, pesta demokrasi lima tahunan itu menjadi pesta kolusi dan nepotisme yang mengancam kemurnian suara rakyat. Penyelenggara dan Pengawas dalam pemilu disorot karena serampangan merekrut personel.

    Desas-desus adanya titip-menitip hingga double job tentang pembentukan Badan Ad Hoc di Kabupaten Lebak telah meluas hingga ke masyarakat. Perekrutan Panitia Pemungutan Suaara hingga Pengawas pemilu diduga jadi ajang nepotisme.

    Hal tersebut dilandasi oleh banyaknya elemen masyarakat yang menyoroti tentang keganjilan saat proses rekrutmen baik Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) maupun Panitia Pemungutan Suara (PPS) yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lebak.

    Pelantikan PPS se-Indonesia dilaksanakan serentak pada Selasa 24 Januari 2023 lalu. Di Kabupaten Lebak, Pelantikan dilaksanakan di Hall Latansa Mashiro, Rangkasbitung.

    Berdasarkan informasi, sebanyak 1.035 anggota PPS yang lolos seleksi dari 340 Desa dan 5 Kelurahan di Kabupaten Lebak dilantik secara langsung oleh KPU Lebak.

    Ketua KPU Lebak, Nikmatullah mengatakan, pelantikan ini dilakukan setelah terpilihnya anggota yang lolos seleksi berdasarkan mekanisme perekrutan di masing-masing wilayah. Perekrutan tersebut dilaksanakan oleh PPK sebagai bagian dari badan Ad Hock juga.

    “Iya alhamdulilah kita dapat melaksanakan Pelantikan anggota PPS dengan lancar. Semoga kedepannya persiapan pemilu 2024 akan berjalan baik tanpa hambatan,” kata Nikmatullah kepada BANPOS.

    Nikmatullah menjelaskan, pasca pelantikan tersebut, Anggota PPS akan segera melakukan beberapa pekerjaan untuk mempersiapkan pagelaran pemilu 2024, salah satunya melakukan verifikasi data pemilih di masing-masing daerahnya.

    “Kita harus berkomitmen dan bergerak cepat untuk mempersiapkan pemilu. namun, jangan lupakan integritas juga,” jelasnya.

    Ia menerangkan, baik KPU, PPK, PPS dan pihak-pihak terkait lainnya harus bisa satu komando dalam menjalankan tugas guna mewujudkan Pemilu yang jujur , bersih serta demokratis.

    “Kita harus tetap kompak dalam satu jalur, hadapi dan selesaikan masalah yang ada dengan penuh rasa tanggung jawab,” tandasnya.

    Salah seorang anggota PPS terlantik, Imam Ubaidillah mengatakan, dirinya merasa bangga telah menerima tanggung jawab besar sebagai bagian yang ikut serta mempersiapkan pemilu. Menurutnya, ini merupakan langkah awal seluruh anggota untuk mewujudkan negara demokratis yang sesungguhnya.

    “Untuk mensukseskan pemilu tentunya merupakan kewajiban seluruh warga negara. Namun, saya bangga bisa berkontribusi lebih untuk pagelaran pemilu tersebut,” kata Imam.

    Sebelum pelantikan digelar, desas-desus soal maraknya orang-orang yang dititipkan untuk menjadi PPS sudah santer terdengar di wilayah Lebak.

    Salah seorang peserta PPS , Kecamatan Cibadak, Adit mengatakan, pengumuman hasil test wawancara tidak transparan. Ia menduga adanya setingan dalam penerimaan PPS di wilayahnya.

    “Hasil penilaian wawancara pun saya tidak tau, berbeda saat tes CAT peserta tahu nilainya berapa sedangkan diwawancara penilainya tidak diumumkan,” kata Adit.

    Adit yang merupakan aktivis HMI MPO Lebak menganggap penilaian wawancara terlalu subjektif, karena saat proses wawancara itu semua peserta masuk, dan jawaban yang dikeluarkan oleh para peserta sangat normatif.

    “Saat wawancara itu bareng, nah hampir sama semua jawaban yang dikeluarkan oleh para peserta itu sama. Saya jadi bingung bagaimana mereka menilai kalau seperti itu, sedangkan tadi saya saja ga tau nilainya berapa,” ujar Adit.

    Menurutnya, Ketua KPU Lebak harus punya peran andil yang besar dalam perhelatan dan perekrutan Kepanitiaan Badan Ad Hoc yang nantinya secara jangka waktu yang panjang membantu persoalan pemilu ini.

    “Karena KPU Lebak memiliki garis intruksi yang tajam ke bawah tentu dengan dibantu hasil musyawarah anggotanya,” tandasnya.

    Peserta PPS Desa Rangkasbitung Timur, Kecamatan Rangkasbitung , Tubagus Muhamad Tri Aprilyandi Mengatakan, dalam proses perekrutan yang ia alami diduga adanya rekayasa dalam penerimaan PPS di wilayahnya.

    “Saya menduga penerimaan PPS ini sudah diatur. Proses penilaian wawancara pun kita tidak tahu, berbeda saat melakukan tes CAT kita tau nilainya berapa sedangkan diwawancara penilainya terlalu subjektif tidak objektif,” kata Tubagus kepada BANPOS, Senin (23/1).

    Tubagus menjelaskan, setelah melihat hasil pengumuman seleksi, hanya orang-orang yang memiliki rekomendasi saja yang bisa lolos menjadi PPS. ia pun sangat menyayangkan keputusan PPK ataupun KPU Lebak tanpa mempertimbangkan skor yang diperoleh saat tes CAT.

    “Memiliki skor yang tinggi saat CAT sangat tidak berpengaruh ketika sudah masuk kedalam tahapan wawancara. Hanya orang-orang yang dekat dengan PPK seperti terjamin lolos,” jelas Tubagus.

    Aktivis HMI-MPO Lebak ini pun mengaku dirinya mendapatkan pengakuan dari salah satu anggota PPK bahwa hasil pleno tersebut merupakan orang-orang titipan dari KPU.

    “Salah satu anggota PPK menyebutkan bahwa orang-orang yang masuk ke dalam PPS merupakan titipan dari KPU Lebak. Tentu kalau memang itu benar adanya secara tidak langsung Tim KPU Lebak telah melakukan tindakan nepotisme,” ujarnya.

    Tubagus menerangkan, ia sangat menyayangkan orang yang lolos di wilayahnya bukanlah asli daerah tersebut melainkan orang-orang yang berdomisili. Padahal, dalam penilaiannya ada tanggapan masyarakat yang masuk kedalam kategori penilaian wawancara.

    Menurutnya, jika hal tersebut dilakukan, banyak masyarakat yang tidak mengenal orang-orang yang hanya berdomisili apalagi baru setahun dua tahun tetapi mereka bisa lolos menjadi PPS.

    “Dalam penilaian wawancara ada tanggapan masyarakat yang bisa menjadi nilai tambah untuk lolos menjadi anggota PPS, logikanya ketika orang-orang yang hanya berdomisili itu lolos sedangkan putra asli daerahnya tidak lolos tentu ini sangat mengganjilkan. Bagaimana masyarakat bisa memberikan tanggapan yang positif sedangkan mereka baru berdomisili di wilayah tersebut,” tandasnya.

    Sementara itu, Anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) DPRD Lebak Musa Weliansyah menuding bahwa ada permainan atau sistem yang diatur oleh penyelenggara Pemilu lainnya.

    “Nilai tes CAT tidak digubris, yang mereka sukai itulah yang mereka loloskan dalam tes wawancara. Tentu ini menimbulkan dugaan permainan didalamnya,” kata Musa.

    Musa menjelaskan, dirinya akan membuat laporan terkait dengan ratusan anggota PPS yang double job. Laporan itu merupakan laporan ke tiga yang dirinya lontarkan setelah laporan anggota PPK dan Panwaslu double job.

    “Akan kami laporkan, tentunya ini untuk menjaga dan membersihkan pagelaran demokrasi,” tandasnya.
    BANPOS kemudian mendapatkan informasi dari narasumber yang meminta identitasnya dirahasiakan. Ia mengaku sebagai salah satu peserta rekrutmen badan AdHock di Lebak, mulai dari PPK hingga PPS.

    Ia mengatakan, saat dirinya mengikuti rekrutmen PPK, awalnya dia tidak mempercayai terhadap titipan ataupun kedekatan yang dimiliki oleh peserta dengan pihak-pihak penyelenggara dapat meloloskan diri dalam tahapan seleksi. Namun, ketika pengumuman dikeluarkan dirinya mengaku kecewa dan mulai mencurigai adanya kecurangan pada proses seleksi.

    Ia kemudian mendaftarkan diri menjadi peserta PPS saat rekrutmen dibuka. Ia mengaku mulai mendapatkan arahan untuk mendekati beberapa anggota PPK terpilih di daerahnya untuk mendapatkan rekomendasi agar dirinya lolos.

    “Ketika saya lolos CAT dengan nilai yang terbilang tinggi, saya mendapat saran dari beberapa kenalan saya agar meminta rekomendasi ke panitia,” katanya.

    Dia menjelaskan, saat berkomunikasi dengan beberapa anggota PPK, dirinya mendapatkan jawaban bahwa diwilayahnya merupakan wilayah yang berat karena merupakan daerah vital. Menurutnya, beberapa orang yang ia kenal juga mengaku telah mendapatkan rekomendasi dari salah satu orang yang dirasa memiliki jabatan tinggi.

    “Saya nggak begitu mengerti sih dengan penilaiannya, cuma ya mengecewakan aja rasanya kalau memang benar yang lolos itu titipan, sia-sia kami yang benar-benar ingin ikut,” jelasnya.

    Ia menerangkan, dirinya bahkan mendengar kabar bahwa disalah satu wilayah, sebelum test wawancara dimulai PPK telah mem-plot nama-nama yang akan diloloskan menjadi anggota PPS.

    “Ini kan nggak adil, kalo sebelumnya sudah dipetakan seperti itu namanya bukan pemilu yang bersih dong,” terangnya.

    “Saya hanya tidak ingin orang yang masuk di panitia persiapan pemilu itu orang yang tidak jujur, karena akan berdampak pada kontestasi politik yang tak adil nantinya,” tandasnya.

    Sebelumnya, tokoh pemuda Kecamatan Panggarangan Kabupaten Lebak, Azis Hakim juga mengendus ada praktik kotor dalam pelaksanaan rekrutmen PPS di wilayahnya. Aziz menduga ada oknum anggota PPK di Kabupaten Lebak, yang berbuat tak selayaknya berkaitan dengan lolosnya sejumlah anggota PPS.

    “Kami sangat menyayangkan, adanya dugaan informasi yang beredar di masyarakat, bahwa sudah menyetorkan sejumlah uang pada oknum anggota PPK untuk bisa diloloskan menjadi PPS di desa yang ditentukan,” ungkap Azis, Jumat (20/1) lalu.

    Lanjut Azis, adanya praktek transaksional yang dugaan dilakukan oleh oknum PPK, cukup memprihatinkan. Menurutnya, semestinya panitia penyelenggara pemilu tingkat kecamatan di Kabupaten Lebak bersikap netral dan independen.

    “Sekarang telah rusak tercemar nama baiknya oleh oknum yang tak bertanggungjawab,” ujarnya.
    Disampaikan Azis, sebagai masyarakat dirinya menyesalkan adanya persoalan dugaan praktek kotor tersebut.

    “Bagaimana penyelenggara Pemilu mau bersikap netral, sedangkan dalam proses awalnya pun sudah berbau transaksional,” tandasnya.

    Azis meminta, KPU Kabupaten segera menyikapi, informasi dugaan praktek yang tak patut dilakukan tersebut. Dia khawatir, proses perekrutan yang transaksional akan memicu proses transaksional saat pelaksanaan pemilu. Azis juga meminta untuk KPU Kabupaten Lebak, segera mengevaluasi kembali, atau menjadwalkan ulang rekruitmen PPS

    “Sekaligus usut tuntas persoalan dugaan transaksional yang ramai menjadi perbincangan masyarakat,” imbuhnya.

    Sementara itu, Relawan Kampung Demokrasi, Ratu Nisya mengatakan, dirinya menemukan terdapat Kepala Desa yang ikut intervensi dalam hal titip-menitip, sehingga banyak peserta yang lolos ini adalah dorongan dari desa itu sendiri.

    “Ini kan jadinya tafsir liar, bolanya bisa terlempar kemana-mana kalau tidak segera disikapi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lebak dalam hal ini yang mempunyai wewenang penuh dalam perekrutan PPS ataupun PPK itu sendiri. Karena terlihat jelas yang punya kedekatan dengan PPK saja yang bisa lolos dalam hal ini,” kata Ratu saat ditemui BANPOS.

    Ratu menjelaskan, Ini adalah waktunya masyarakat yang harus peka akan ketimpangan dan kebenaran untuk bagaimana bisa memberikan pandangan terkait keputusan yang memang menurutnya masih perlu diperbaiki.

    “Kalau PPS dalam hal ini banyak yang merangkap, banyak indikasi yang akan terjadi kedepan entah ketidakmaksimalan kinerja atau bisa jadi yang lebih mengerikan keberpihakan terhadap suatu unsur atau golongan,” tandasnya.

    Senada dengan Tubagus, Seorang Relawan Demokrasi di kampung demokrasi Lebak, Ratu Nisya Yulianti mengatakan, pembentukan Badan Ad Hock Kabupaten Lebak diduga terdapat indikasi ketimpangan pemilihan yang dalam hal ini bersifat subjektif.

    “Sebelumnya ada pemilihan PPK, sekarang PPS yang dimana dalam peroses pemilihannya dilaksanakan oleh PPK yang kemarin,” kata Ratu kepada BANPOS.

    Ratu menjelaskan, dari pengumuman kelolosan PPS, dirinya menduga hasil tersebut telah diakomodir sebelumnya. Menurutnya, hanya orang-orang yang memiliki rekomendasi saja yang bisa lolos menjadi PPS. Bahkan, dilansir dari hasil pengumuman test banyak nama yang memang merangkap sebagai ASN (Aparatur Sipil Negara), Perangkat Desa bahkan digembosnya banyak Kepala Desa yang ikut intervensi dalam hal ini sehingga banyak peserta yang lolos ini adalah dorongan dari Desa itu sendiri.

    “Proses penilaian wawancara pun kita tidak tau yang dalam hal ini dilaksanakan oleh PPK, kalau saat melakukan tes CAT kita jelas tau nilainya sedangkan diwawancara penilainya terlalu subjektif tidak objektif,” jelas Ratu.

    Ia menerangkan, hasil pengumuman kelolosan wawancara pun terlihat senyap tidak disebar di beberapa platform resmi baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu sendiri maupun PPK yang dalam hal ini ikut serta sebagai penyeleksi dari PPS.

    “Ketua KPU Lebak harus punya peran andil yang besar dalam perhelatan dan perekrutan Kepanitiaan Badan Ad Hoc yang nantinya secara jangka waktu yang panjang membantu persoalan pemilu ini, karena KPU Lebak memiliki garis intruksi yang tajam ke bawah tentu dengan dibantu hasil musyawarah anggotanya,” tandasnya yang juga mantan Ketum Kohati STKIP Setia Budhi.

    Salah seorang warga Lebak, Ari mengatakan, Pemilihan Umum (Pemilu) haruslah dilakukan dengan jujur dan adil, baik ketika penyelenggaraan pencoblosan maupun pada saat tahapan-tahapan persiapan. Menurutnya, jika hal itu memang terbukti benar adanya kecurangan, maka KPU Lebak telah dengan sengaja menciderai bentuk Demokrasi.

    “Saya tau persolan ini dari membaca beberapa berita dan juga berdiskusi dengan aktivis. Saya tidak mau menuduh, tapi kalau memang benar kenyataannya seperti itu ini adalah sesuatu hal yang sangat fatal,” kata Ari kepada BANPOS, Kamis (26/1).

    Ari menjelaskan, Demokrasi harus tetap diutamakan dalam hal ini menyamaratakan hak setiap warga negara untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Apalagi dalam proses rekrutmen Badan AdHock yang dimanan nantinya ini akan mencerminkan wujud identitas negara demokrasi khususnya di Kabupaten Lebak.

    “Ini sempat menjadi kegaduhan di tengah masyarakat. KPU harus bertanggungjawab untuk meyakinkan masyarakat terhadap integritasnya,” tandasnya.

    BANPOS kemudian mencoba menemui Ketua KPU Lebak, Nikmatullah, untuk mengkonfirmasi kabar yang beredar di lingkungan masyarakat terkait hal diatas. Di ruang kerjanya, Nikmatullah enggan berkomentar banyak terkait isu tersebut. Menurutnya pihaknya tidak ingin mengambil pusing kabar yang beredar.

    Nikmatullah mengatakan, ia beserta jajarannya sedang fokus menyelesaikan persiapan tahapan demi tahapan untuk suksesnya penyelenggaraan Pemilu serentak 2024.

    “Setelah ini masih banyak tahapan yang kami proses dan harus di selesaikan secara teliti. Terkait isu yang beredar, kami menyatakan bahwa kami telah bekerja sesuai dengan peraturan yang berlaku,” tandasnya. (CR-01/PBN)

  • Dugaan Korupsi Untirta, Pekerti Tak ‘Berbudi’

    Dugaan Korupsi Untirta, Pekerti Tak ‘Berbudi’

    PELATIHAN Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (Pekerti) menjadi pelatihan yang ditunggu-tunggu oleh para dosen. Bagaimana tidak, pelatihan yang berfokus pada peningkatan keterampilan pedagogis dan pengajaran para dosen itu, juga menjadi salah satu syarat untuk bisa mengikuti sertifikasi dosen (Serdos).
    Serdos juga menjadi hal yang diidam-idamkan oleh para dosen. Selain mengukuhkan status sebagai dosen yang telah tersertifikasi, Serdos juga dapat memberikan tambahan nilai ekonomi bagi para dosen. Sebab, dosen yang telah tersertifikasi melalui proses Serdos, berhak mendapatkan tunjangan setiap bulannya, senilai satu bulan gaji pokok.
    Tidak semua perguruan tinggi bisa melaksanakan pelatihan Pekerti. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Sumber Daya Dikti pada Kemendikbudristek Nomor: 1955/E4/KK.01.01/2021 perihal Hasil Seleksi Penyelenggara Pelatihan Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (Pekerti) dan Applied Approach (AA), hanya ada 57 perguruan tinggi saja yang boleh melaksanakan Pekerti, salah satunya Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
    Pada tahun 2021, Untirta melalui Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) melaksanakan kegiatan Pekerti setidaknya sebanyak sembilan kali. Dari seluruh pelaksanaan kegiatan Pekerti itu, berdasarkan dokumen yang BANPOS miliki, sebanyak 1.276 dosen telah menjadi peserta pelatihannya.
    Akan tetapi, ‘pekerti’ yang memiliki makna akhlak, tabiat, watak berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), justru dinilai tidak ‘berbudi’ oleh Mahasiswa Banten Berintegritas. Pasalnya, aliansi yang mengklaim berasal dari berbagai universitas itu, melaporkan program Pekerti ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada sejumlah pejabat yang diduga terlibat di dalamnya.
    Berdasarkan rilis yang diterima BANPOS, Mahasiswa Banten Berintegritas menyebut bahwa pelaporan sejumlah pejabat Untirta ke KPK RI dilakukan pada Jumat (6/1) kemarin, melalui sistem whistleblowing WhatsApp KPK RI. Rilis itu diterima BANPOS mulanya secara anonim, dan dikirimkan melalui nomor WhatsApp luar negeri.
    Pada laporan yang diberikan kepada KPK itu, Mahasiswa Banten Berintegritas menyebutkan bahwa telah terjadi dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) berupa penggunaan uang negara, yang dilakukan tanpa melalui aturan dan mekanisme yang diatur peraturan Perundang-undangan.
    “Uang itu berasal dari masyarakat atau dalam lembaga berstatus Badan Layanan Umum (BLU) disebut sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PNBP,” kata pelapor dalam rilis tertulisnya yang diterima BANPOS pada Selasa (10/1).
    Sang pelapor yang mulanya anonim, mulai berani membuka jati diri mereka. Di hari berikutnya dengan nomor luar negeri yang berbeda, sang pelapor menobatkan dirinya sebagai Mahasiswa Banten Berintegritas. Dalam rilis kedua, mereka lebih blak-blakan dalam mempublikasikan data.
    Memperjelas rilis sebelumnya, Mahasiswa Banten Berintegritas mengatakan bahwa dalam laporan itu, pihaknya menduga negara mengalami kerugian sebesar Rp2.846.572.260. Kerugian itu timbul akibat pelaksanaan program Pelatihan Teknik Instruksional (Pekerti) tahun 2021.
    Program Pekerti itu merupakan program yang dilaksanakan oleh Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) Untirta. Program itu dilaksanakan sebanyak sembilan kali kegiatan dalam kurun waktu 2021.
    “Ketua pelaksana Pekerti, PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) LP3M dan Bendahara LP3M Untirta diduga terlibat dalam dugaan korupsi Pekerti. Pekerti 2021 dilaksanakan online dan offline, dengan biaya Rp1,750 juta dan Rp1.4 juta,” tulis Mahasiswa Banten Berintegritas dalam rilisnya, Rabu (11/1).
    Mereka mengatakan bahwa modus dilakukannya dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) itu dengan cara mengajukan pencairan anggaran kegiatan pekerti, dengan tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) Untirta.
    “Ketua pelaksana meminta kepada PPK LP3M untuk mengajukan pencairan dana kegiatan Pekerti, tapi tidak disertakan rencana penggunaan anggaran biaya (RAB dan TOR) per kegiatan sesuai dengan SOP yang ditetapkan Peraturan Rektor Nomor: 006/UN43/KU/PER/2014,” katanya.
    Mereka mengatakan, meskipun dalam pengajuan pencairan itu tidak sesuai dengan SOP, akan tetapi bendahara LP3M Untirta tetap mencairkan pengajuan anggaran. Berdasarkan hasil temuan pihaknya, tidak ada SK Rektor, sebagai dasar pengeluaran belanja kegiatan Pekerti.
    “Pengawas internal Untirta berdasarkan dokumen (juga) menemukan tidak ada dasar aturan dan rincian pengenaan tarif sebesar Rp1.750.000 dan Rp1.400.000 tiap peserta kegiatan Pekerti. Seharusnya pengenaan tarif berdasarkan SK Rektor, dan berlaku per kegiatan aja,” terangnya.
    Ia mengatakan, berdasarkan data yang pihaknya miliki, dana yang masuk dan dikelola oleh LP3M Untirta untuk pelaksanaan kegiatan Pekerti selama tahun 2021 yaitu sebesar Rp2.846.572.260.
    “Pengawas internal Untirta dalam dokumen yang kami laporkan juga ke KPK, mendapati kegiatan Pekerti pada tahun 2021 semuanya tidak memiliki laporan pertanggungjawaban yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah dan valid,” ucapnya.
    Mahasiswa Banten Berintegritas menilai bahwa seluruh anggaran yang digunakan oleh LP3M Untirta untuk melaksanakan kegiatan Pekerti, dianggap sebagai kerugian negara. Karena selain tidak dipertanggungjawabkan, juga tidak berdasarkan aturan yang berlaku dalam pencairannya.
    “Kami menilai seluruh anggaran itu kerugian negara atau total loss, karena mencontoh dakwaan Kejaksaan Tinggi Banten pada kasus hibah pondok pesantren, keuangan negara yang dikeluarkan tanpa aturan dapat disebut kerugian negara,” tandasnya.
    Bak peribahasa ‘gayung bersambut, kata berjawab’, dua publikasi BANPOS terkait dengan dugaan tipikor pada pelaksanaan Pekerti, disambut oleh sumber internal Rektorat Untirta. Kepada BANPOS, sumber itu memberikan berkas digital berbentuk PDF yang berisikan hasil reviu tindaklanjut pelaksanaan kegiatan Pekerti tahun 2021.
    Dalam dokumen yang BANPOS duga juga dijadikan referensi pelaporan atas kegiatan itu, berisikan data mendetail atas pelaksanaan kegiatan Pekerti selama tahun 2021. Dokumen itu berjumlah 29 halaman itu, terdapat sejumlah halaman yang hilang. Halaman itu adalah halaman 2 hingga halaman 5.
    Terdapat sebanyak 24 halaman yang merinci detail masing-masing temuan pada pelaksanaan sembilan program Pekerti tersebut. Dari keseluruhan bagan temuan itu, mayoritas menggambarkan bahwa pelaksanaan Pekerti seperti tidak taat administrasi dan aturan.
    Sebagai contoh, BANPOS mengutip sedikit catatan temuan pada pelaksanaan Pekerti tanggal 20-26 September 2021. Pada pelaksanaan tersebut, terdapat sebanyak 91 orang peserta dengan biaya pendaftaran senilai Rp1.750.000. Kegiatan itu dilaksanakan secara online dan dibagi menjadi dua kelas yakni kelas A dan B.
    Adapun catatan temuan pada pelaksanaan tanggal tersebut, terdapat lima poin catatan. Pertama, tidak ditemukan dasar penarikan biaya pendaftaran sebesar Rp1.750.000 yang dilakukan panitia. Kedua, Tidak ditemukan SK Rektor selaku KPA sebagai dasar pengeluaran belanja: Honor Operasional Kegiatan (panitia), Honor Pembuatan Bahan Ajar (modul), Honor Penyusun Soal Pre Test dan Post Test, Honor Telaah Materi dan Honor Telaah Bahasa Soal Pre Test dan Post Test, Belanja paket data bagi pengajar dan fasilitator, Honor Pengajar Modul dalam Satuan Kerja, Honor Fasilitator Diklat, dan Honor Anggota Bahan Ajar.
    Ketiga, tidak ada bukti pertanggungjawaban atas belanja paket data pengajar dan fasilitator dan pembayaran paket data adalah OB (orang per bulan). Keempat, tidak ada bukti setor pajak atas pembayaran belanja baik PPh 21, PPh 22 dan PPh 23. Kelima, tidak ada Buku Kas Umum (BKU) khusus dari pengeluaran belanja kegiatan Pekerti tanggal 20-26 September 2021.
    Pada halaman terakhir, reviu yang dikeluarkan oleh Satuan Pengawasan Internal (SPI) Untirta tersebut, didapati kesimpulan yang terdiri atas kesimpulan Laporan Kegiatan, Laporan Keuangan dan Rekomendasi.
    Pada kesimpulan laporan kegiatan, tim SPI Untirta memberikan catatan atas ketiadaan sejumlah dokumen seperti rekap peserta (nama, NIDN dan kampus asal), absensi per sesi kegiatan, absensi narasumber atau pengajar, rekap nilai dari pre test dan post test peserta serta rekap nilai tugas peserta sehingga dapat dijadikan acuan kelulusan sesuai standar yang dijadikan acuan, tidak ada dasar kelulusan para peserta (dapat berupa SK dari Rektor atau Ketua Panitia) sebagai dasar pengeluaran sertifikat Pekerti, kelengkapan berupa biodata narasumber hanya ada satu orang beserta materi dan modulnya.
    Selanjutnya, catatan dari SPI Untirta yaitu kegiatan Pekerti LP3M Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dilakukan secara online dan dilakukan secara kerja sama dengan Universitas Primagraha dan APPERTI, akan tetapi tidak dapat ditemukan peran pihak ketiga atas kegiatan Pekerti. Lalu, tidak ditemukannya dasar pengenaan tarif atas kegiatan Pekerti yang dipungut kepada peserta kegiatan.
    Sementara pada kesimpulan laporan keuangan, terdapat catatan sebagai berikut: total dana Pekerti yang dikelola oleh LP3M adalah senilai Rp2.846.572.260 dengan rincian total setoran dari Universitas Primagraha Rp1.054.320.000, APPERTI Rp365.400.000 dan dari peserta Rp1.426.852.260. Kedua, tidak ditemukan dasar penarikan uang registrasi sebesar Rp.1.750.000 yang dilakukan panitia. Ketiga, terdapat penurunan biaya registrasi pada periode 7-12 Juni 2021, 14-19 Juni 2021 dan 13-19 Juli 2021 dari semula Rp1.750.000 menjadi Rp1.400.000 akan tetapi pada tanggal 20-26 Agustus 2021, 20-26 September 2021 dan 13-19 Oktober 2021, naik kembali menjadi Rp1.750.000 tanpa didasari aturan yang jelas (SK Rektor atau SK Kementerian).
    Keempat, tidak ditemukan SK Rektor selaku KPA sebagai dasar pengeluaran belanja sehingga pengeluaran uang oleh PPK LP3M dan BPP LP3M tidak didasari aturan dari Rektor selaku Kuasa Pengguna Anggaran di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Kelima, BPP LP3M dan PPK LP3M tidak memiliki Buku Kas Umum (BKU) khusus kegiatan Pekerti dan AA, sehingga proses pencatatan tidak sesuai dengan aturan.
    Keenam, terdapat belanja ATK dan Bahan Habis Pakai yang jumlahnya besar padahal kegiatan dilakukan secara online. Ketujuh, belanja pengadaan bahan ajar atau Modul dilakukan setiap kali kegiatan tanpa didukung bukti yang valid dan seharusnya belanja modul harus disertakan perubahan isi modul minimal 25 persen dari modul awal. Kedelapan, tidak ditemukannya bukti setor pajak baik PPn, PPh 21, PPh 22 dan PPh 23 terkait pengeluaran yang dilakukan oleh panitia LP3M.(DZH/ENK)

  • Pemprov Jangan Abaikan Pemkab Serang

    SENGKETA aset yang saat ini terus bergulir antara Kota Serang dengan Kabupaten Serang, dinilai oleh Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, dapat segera selesai apabila Pemprov Banten berkomitmen membantu Pemkab Serang untuk membangun pusat pemerintahan di wilayah Ciruas.

    Pasalnya, Pemkab Serang tidak akan sanggup untuk segera menyerahkan aset-aset yang sampai saat ini masih ditempati untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, jika tidak disokong bantuan dana maupun pembangunan dari Pemprov Banten.

    “Sebetulnya kami sudah hitung tahun. Di tahun ini ada pembangunan empat (kantor), tapi duanya ternyata punya provinsi. Satunya diserahkan untuk Disdukcapil. Tahun depan akan dibangun lagi,” ujarnya kepada awak media.

    Menurutnya, jika pembangunan ini berkelanjutan, maka pada tahun 2025 seluruh bangunan perkantoran Pemkab Serang sudah selesai. Sehingga, aset-aset yang akan diserahkan kepada Pemkot Serang, dapat segera dilimpahkan.

    “Jadi kalau saya lihat, 2024 itu terbangun, selesainya di 2025. Seharusnya sudah semua bisa diserahkan. Tapi dengan catatan, provinsi harus memberikan bantuan untuk pembangunan gedung. Karena kan APBD Serang repot juga keuangannya,” tuturnya.

    Tatu menegaskan, pihaknya juga sangat ingin agar Pusat Pemerintahan Kabupaten (Puspemkab) Serang dapat segera dibangun, dan pemerintahan dipindahkan ke wilayah Kabupaten Serang. Akan tetapi, Pemprov Banten harus benar-benar komitmen membantu Pemkab Serang untuk membangun Puspemkab.

    “Bukan enggak mau cepat selesaikan, sebenarnya saya ingin cepat, karena akan menjadi ikon saya dengan pak wakil. Sejarah juga ini. Provinsi juga harus komitmen. 2023 sudah ada, 2024 itu harus ikut membangun tiga gedung. Dua gedung dari kabupaten, tiga gedung oleh provinsi. Itu selesai, semua bisa diserahkan 12 aset itu ke kota, awal 2025 semua sudah pindah,” ucapnya.

    Untuk tahun 2023, Pemprov Banten menganggarkan bantuan sebesar Rp30 miliar, untuk membantu Pemkab Serang membangun dua gedung kantor di Puspemkab Serang. Namun menurut Tatu, jumlah itu masih kurang. Jika Pemprov Banten memang berniat membantu Kabupaten Serang, Tatu mengatakan ketimbang memberikan bantuan keuangan, lebih baik Pemprov Banten saja yang mengeksekusi pembangunan.

    “Kalau memang diminta untuk cepat pindah, artinya cepat bantuin. Kami usulkan, udah enggak usah bantuan keuangan, kami ada DED (Detail Engineering Design). Provinsi bangun sendiri. Tapi sampai sekarang belum diakomodir juga. Mudah-mudahan dengan ini, provinsi bisa mengakomodir. Karena DED sudah siap,” tandasnya.(DZH/ENK)

     

  • Pemkab ‘Gocek’ di Detik Terakhir

    PEMERINTAH Kabupaten (Pemkab) Serang mencoba memperpanjang masa tenggat penyelesaian sengketa aset daerah, antara Kabupaten Serang dengan Kota Serang. Masa tenggat itu merupakan masa tenggat yang diberikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), agar dapat menyelesaikan sengketa itu paling lambat 31 Desember 2022. Bak pertandingan sepakbola, penawaran yang disampaikan oleh Pemkab Serang terlihat hanya ingin menggocek masa tenggat yang diberikan oleh KPK saja, lantaran penawaran yang diberikan besar kemungkinan ditolak oleh Pemkot Serang.

    Pada detik-detik terakhir masa tenggat, Pemkab Serang mengambil langkah cepat dengan memberikan satu bundel penawaran penyelesaian sengketa, kepada Pemkot Serang. Bundelan tersebut diberikan kepada Pemkot Serang, saat pertemuan dua daerah pada Kamis (29/12) di Pendopo Gubernur Banten.

    Berbeda dengan sebelumnya, pertemuan dua daerah ini dihadiri langsung oleh para Kepala Daerah. Bahkan berdasarkan pantauan, Kabupaten Serang menghadirkan seluruh Pimpinan Daerah yaitu Bupati, Ratu Tatu Chasanah; Wakil Bupati, Pandji Tirtayasa dan Sekretaris Daerah (Sekda), Tb. Entus Mahmud Sahiri. Para pejabat terkait seperti Asda dan Kepala BPKAD pun hadir dalam pertemuan itu.

    Sementara Kota Serang, dipimpin langsung oleh Walikota Serang, Syafrudin, dan dikawal oleh Sekda Kota Serang, Nanang Saefudin. Hadir pula Asda 1 Kota Serang, Subagyo; Kepala BPKAD Kota Serang, Imam Rana Hardiana dan Inspektur Kota Serang, Wachyu B. Kristiawan.

    Pertemuan itu difasilitasi oleh Penjabat Sekda Provinsi Banten, M. Tranggono. Semula, pertemuan itu akan dipimpin langsung oleh Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar. Namun, Al berhalangan hadir lantaran harus mengawal kepulangan dari Wakil Presiden, Ma’ruf Amin.

    Pertemuan tersebut berlangsung cukup singkat. Sekitar 13.30 WIB, pertemuan dilangsungkan antara dua kepala daerah. Pertemuan itu dilakukan sangat tertutup, hanya beberapa pejabat saja yang boleh mengikuti pertemuan itu. Bahkan, pejabat tingkat Eselon III, banyak yang menunggu di luar pendopo sambil meminum kopi dan merokok.

    Sekitar pukul 14.40 WIB, pertemuan dibubarkan. Para kepala daerah dan pihak-pihak yang mendampingi pun sempat berfoto di pintu keluar Pendopo Gubernur Banten.

    Walikota Serang, Syafrudin, saat diwawancara usai pertemuan tersebut mengatakan bahwa belum ada kesepakatan sama sekali pada pertemuan itu. Bahkan, rapat koordinasi pun belum sempat dilakukan lantaran Pemkab Serang memberikan penawaran penyelesaian sengketa aset tersebut.

    “Tadi belum dilaksanakan rapat. Akan tetapi tadi ada pengajuan dari Kabupaten yang perlu kami bahas di internal. Jadi saya bahas dulu, nanti jawabannya saya akan sampaikan ke ibu bupati,” ujar Syafrudin kepada awak media.

    Namun, Syafrudin mengaku belum mengetahui apa landasan dari penawaran yang disampaikan oleh Pemkab Serang. Pasalnya, penawaran itu diberikan dalam bentuk satu bundel dokumen, yang disebut oleh Syafrudin sangatlah tebal. “Ada yang disampaikan ke kota, dan belum saya baca sepenuhnya. Jadi nanti saya bahas dulu,” katanya.

    Syafrudin mengaku, akan membahasnya pada Jumat (30/12) hari ini. Ia ingin agar pembahasan di internal Pemkot Serang tidak terlalu lama, sehingga keputusan tindak lanjut terkait dengan pelimpahan aset itu pun dapat segera dilakukan.

    “Secepatnya, mudah-mudahan akhir tahun ini, hari Jumat saya bahas. Baru nanti akan kami sampaikan jawabannya ke ibu bupati. Jadi hari ini belum ada rapat,” ungkapnya.

    Sementara itu, Bupati Serang, Ratu Tatu Chasanah, mengatakan bahwa hingga saat ini, masih belum ada kesepakatan tafsir kata ‘sebagian’ yang tercantum dalam Undang-undang (UU) pembentukan Kota Serang. Pihaknya masih beranggapan bahwa tidak semua aset harus diserahkan.

    “Karena kan dalam pemekaran Kota Serang, jelas ada UU nomor 32 tahun 2007 bahwa bunyi di sana, aset Pemda Kabupaten Serang ada di Kota Serang sebagian harus diserahkan. Nah dalam kata itu tuh kami lagi mencari kesamaan,” ujarnya kepada awak media.

    Tatu menegaskan bahwa persoalan aset ini merupakan persoalan pelayanan kepada masyarakat. Sehingga, baik itu untuk Kota Serang maupun Kabupaten Serang, aset itu akan bermanfaat bagi pelayanan masyarakat. Persoalan aset ini pun dia pastikan bakal mencapai kata sepakat.

    “Insyaallah ada progresnya untuk serah terima, karena bagaimanapun aset ini, baik kota atau kabupaten, itu dalam rangka pelayanan masyarakat. Dan ini tidak ada kepentingan pribadi, saya atau pak walikota, tidak ada kepentingan. Dua-duanya untuk pelayanan. InsyaAllah progresnya sesuai dengan yang diinginkan kedua belah pihak,” tuturnya.

    Dalam pertemuan itu, Tatu mengaku bahwa Pemkab Serang telah memberikan penawaran penyelesaian sengketa aset itu. Penawaran tersebut yakni memberikan sebagian sisa dari aset yang belum dilimpahkan, dan mempertahankan sebagian lainnya.

    “Ini dalam prosesnya. Jadi mana yang dipertahankan oleh Pemkab Serang, mana yang diserahkan. Tadi kami sudah sampaikan yang dari Kabupaten Serangnya. Dari 22 aset itu, kami hanya minta 10. Jadi 12 akan kami serahkan. Nah kalau kota masih tidak mau, tidak sepakat dengan itu, ya kan ada jalur hukum. Supaya kedua belah pihak ada yang menengahi,” terangnya.

    Untuk 10 yang akan dipertahankan oleh Pemkab Serang menurut Tatu, lantaran aset tersebut berkaitan dengan pelayanan dasar masyarakat. Ke-10 aset itu merupakan aset untuk pelayanan kesehatan dan pengembangan ekonomi masyarakat Kabupaten Serang.

    “Pendopo, lalu RSDP. Kan itu pelayanan regional dan itu BLUD. Lalu Dinkes, itu kan bagian dari RSDP. Terus kemudian ada yang akan digunakan untuk pengembangan UMKM, itu di DPMD. Terus ada yang untuk pengembangan BPR Serang di BPBD. Sebenarnya yang berkaitan dengan pelayanan rumah sakit, berkaitan dengan UMKM dan Pendopo (yang tidak diberikan),” jelas Tatu.

    Ditanya terkait dengan alasan tidak diberikannya pendopo, Tatu beralasan bahwa khusus aset itu akan dijadikan sebagai cagar budaya. Selain itu, pendopo tidak akan dipertahankan untuk dijadikan sebagai kantor bupati, melainkan akan digunakan pula untuk pengembangan perekonomian masyarakat Kabupaten Serang.

    “Enggak (jadi kantor Bupati Serang lagi). Pendopo itu akan menjadi heritage (cagar budaya). Nanti juga akan menjadi pengembangan perekonomian kita,” katanya.

    Sementara itu, para Sekda yang hadir yakni Penjabat Sekda Provinsi Banten, M. Tranggono; Sekda Kota Serang, Nanang Saefudin dan Sekda Kabupaten Serang, Tb. Entus Mahmud Sahiri, kembali menggelar rapat usai para kepala daerah pulang. Mereka melaksanakan rapat terpisah, pada pukul 14.50 WIB hingga pukul 16.30 WIB.

    Usai pertemuan itu, Sekda Kabupaten Serang enggan memberikan komentar. Sementara Penjabat Sekda Provinsi Banten, M. Tranggono, buru-buru pergi. Saat coba dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, hingga saat ini Tranggono belum memberikan respon.

    Sementara Sekda Kota Serang, Nanang Saefudin, mengatakan bahwa pihaknya berterima kasih kepada Pemprov Banten, yang telah memfasilitasi penyelesaian sengketa aset antara Kota Serang dan Kabupaten Serang. Namun menurutnya, Pemkot Serang tetap berkomitmen bahwa aset-aset yang berada di Kota Serang, tetap harus dilimpahkan seluruhnya.

    “Ibu bupati menyampaikan bahwa akan menyerahkan 12 aset, 6 ditambah 6 aset lainnya. Sementara pak wali menyampaikan, serahkan saja dulu 12 aset, nanti untuk 10 aset lainnya kita bicarakan setelahnya. Jadi ini belum ada kata sepakat antara dua daerah,” ujarnya.

    Nanang mengatakan, sesuai dengan berita acara yang ditandatangani oleh Pemkot Serang dengan Pemkab Serang pada pertemuan di KPK, sebetulnya masa tenggat penyelesaian sengketa aset ini pada tanggal 31 Desember. Namun dengan kondisi seperti ini, ia menuturkan mungkin saja persoalan ini akan diserahkan kembali ke Kemendagri dan KPK.

    “Meskipun sebenarnya sudah ada jawaban dari Kemendagri bahwa penafsiran kata ‘sebagian’ itu menggunakan asas domisili. Apa yang ada di wilayah Kota Serang, maka wajib diserahkan kepada Kota Serang. Itu dari Kemendagri. Namun sepertinya Kabupaten Serang memiliki pandangan lain terkait dengan kata ‘sebagian’ itu,” ucapnya.

    Kendati demikian, Nanang menegaskan bahwa Pemkot Serang akan tetap pada pendiriannya bahwa seluruh aset yang ada di wilayah Kota Serang, harus diserahkan kepada Pemkot Serang. Meskipun, Pemkab Serang tetap bersikukuh bahwa tidak perlu seluruh aset diserahkan kepada Kota Serang.

    “Kami bersepakatnya adalah seluruh aset diserahkan kepada Kota Serang. Secara aturan, memang aturannya seperti itu. Bukan kami merasa serakah, tidak juga. Ini berbicaranya Undang-undang. Tapi ada loh aset kami yang ada di Kabupaten Serang, eks bengkok, itu tidak kami permasalahkan. Bahkan kami konsekuen, utangnya pun kami terima,” tegasnya.

    Terpisah, Ketua DPRD Kota Serang, Budi Rustandi, menegaskan bahwa alasan Pemkab Serang yang tidak mau menyerahkan aset pendopo sangat mengada-ngada. Pasalnya, jika memang pendopo layak dijadikan sebagai cagar budaya, biarkan hal itu diputuskan sendiri oleh Kota Serang selaku pihak yang secara aturan memiliki hak yang jelas akan itu.

    “Kalau berbicara akan dijadikan sebagai cagar budaya, ya serahkan dulu saja ke Kota Serang, Biar kami yang menentukan, apakah itu akan dijadikan sebagai cagar budaya atau tidak. Jadi jangan cari-cari alasan untuk tidak memberikan aset yang secara Undang-undang, itu merupakan hak dari Kota Serang,” tandasnya.(DZH/ENK)