Kategori: INDEPTH

  • Sengketa Aset, Berlian Diburu Emas Dilepas

    SENGKETA aset antara Kota Serang dengan Kabupaten Serang masih belum terlihat ujungnya. Beberapa waktu belakangan, Pemkot Serang memang berupaya keras untuk bisa mendapatkan aset-aset Kabupaten Serang yang masih belum jua diserahkan. Namun ibarat melepaskan emas saat berburu berlian, Pemkot Serang seolah lupa dengan permasalahan aset yang tengah dialami saat ini.

     

    Salah satu aset yang tengah bermasalah adalah kantor Dindikbud Kota Serang. Kantor tersebut memang sejak 2019 digugat oleh Pusat Koperasi Unit Desa (Puskud) Jawa Barat. Pada gugatan pertama dengan nomor 99/Pdt.G/2019/PN Srg yang diregister pada 13 September 2019, Pemkot Serang berhasil memenangkan gugatan tersebut. Majelis Hakim menilai bahwa gugatan Puskud Jawa Barat selaku penggugat, niet ontvankelijke verklaard atau tidak dapat diterima. Akan tetapi, BANPOS tidak berhasil menemukan salinan putusan itu.

    Puskud Jawa Barat tidak putus asa. Pada 16 Februari 2021, mereka kembali mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri (PN) Serang dengan nomor register 23/Pdt.G/2021/PN Srg. Mereka menggugat tanah dan bangunan seluas 1.600 m2 yang terletak di Jl. Kiajurum no.30, Kelurahan Cipocok Jaya RT 10 RW 06 Kecamatan Cipocok Jaya, dengan bukti kepemilikan surat leter C No.566 dan No SPP 346.73.030.009.0052.0.

    Dalam gugatan kedua itu, Pemkot Serang kalah. Majelis Hakim dalam amar putusannya, menyatakan bahwa Puskud Jawa Barat merupakan pemilik sah aset yang saat ini digunakan sebagai kantor Dindikbud Kota Serang. Pemkot Serang selaku tergugat, dan pihak-pihak turut tergugat lainnya, dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menguasai dan mempergunakan aset itu tanpa izin penguasa dan kuasa hukumnya.

    Pemkot Serang, dalam hal ini Dindikbud Kota Serang, dihukum untuk menyerahkan, mengosongkan dan meninggalkan lokasi tanah dan bangunan yang digunakan sebagai kantor Dindikbud Kota Serang itu. Selain itu, Pemkot Serang harus menghapus pencatatan kantor Dindikbud Kota Serang, dalam pencatatan administrasi aset milik Pemkot Serang.

    Tak terima dengan putusan PN Serang, Pemkot Serang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Banten. Namun, di Pengadilan Tinggi Banten, justru memperkuat putusan dari PN Serang. Saat ini, perkara tersebut tengah naik ke tingkat kasasi.

    Asda 1 Kota Serang, Subagyo, mengatakan bahwa pihaknya akan melakukan upaya semaksimal mungkin hingga hasil putusan yang bersifat inkrah. Menurutnya, meskipun saat ini dinyatakan kalah dalam gugatan, pihaknya masih bisa menempuh tahapan kasasi dan Peninjauan Kembali (PK).

    “Kita masih berupaya sampai dengan inkrah, kan masih ada tahapan dari Banding, ada PK, pokoknya sampai inkrah kita masih tetap berjuang,” ujarnya, Rabu (28/12).

    Menurut Subagyo, kantor induk Dindikbud Kota Serang masih di Jalan Ki Ajurum. Pihaknya akan terus berjuang meski putusan bersifat inkrah masih lama sekitar satu hingga lima tahun, karena kata dia, sebelum ada putusan inkrah maka gedung Dindikbud adalah milik Kota Serang.

    “Sebelum ada keputusan yang sifatnya inkrah, masih punya kota serang. Gedung induknya masih di tempat yang lama, sampai dengan putusan bersifat inkrah, putusannya masih lama, bisa setahun, dua tahun bahkan 5 tahun, syukur-syukur kalau kita menang,” ucapnya.

    Berdasarkan informasi yang diterima BANPOS, selain kalah dalam gugatan PUSKUD, Dindikbud Kota Serang juga mendapatkan penolakan saat mengajukan akan pindah ke Gedung Kwarcab Kota Serang yang berlokasi di Cikulur, Kota Serang. Belum diketahui alasan penolakan, namun Subagyo menanggapi bahwa hal tersebut bukan perihal kepindahan gedung induk Dindikbud, melainkan untuk dua bidang yang ada pada Dindikbud.

    “Itu kan ada beberapa bidang yang di luar, dua bidang yang mengontrak dan itu saja yang dipindahkan. Kalau untuk kantor induknya masih di situ (Jalan Ki Ajurum, Cipocok Jaya), pokoknya sampai inkrah kita masih tetap berjuang,” terangnya.

    Subagyo menyampaikan bahwa terkait dengan dua bidang yang kantornya terpisah dari gedung induk Dindikbud Kota Serang dan harus pindah, hal itu dikarenakan di tahun 2023 sudah tidak dianggarkan untuk mengontrak gedung. Maka, Pemkot memberikan solusi akan dipindahkan apakah nanti di Kwarcab Kota Serang atau di bekas kantor Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Kota Serang di Jalan Jendral Sudirman.

    “Ada dua bidang yang ngontrak di depan (gedung Dindikbud). Karena memang sudah tidak dianggarkan untuk kontrak, jadi sementara kita pindahkan, sekarang ini masih ngontrak hingga akhir tahun dan tahun 2023 pindah kalau enggak di Gedung Kwarcab, nanti ke Pemkot Lama eks kantor perpustakaan (DPK),” jelasnya.

    Sementara Sekda Kota Serang, Nanang Saefudin, mengatakan bahwa persoalan tidak dianggarkannya sewa untuk dua bidang Dindikbud Kota Serang itu, merupakan kesalahan dari pihak Dindikbud. Namun sebagai penyelesaiannya, pihaknya telah mempersiapkan beberapa opsi tempat untuk kantor dua bidang tersebut.

    “Ya kenapa OPD tidak menganggarkan? Tapi kami sudah ada alternatif, bekas Perpus atau eks gedung Pramuka. yang penting pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan,” katanya.

    Persoalan tidak dianggarkannya kontrakan untuk dua bidang pada Dindikbud Kota Serang itu menurut Plt. Kepala Dindikbud Kota Serang, Agus Suryadin, sengaja dilakukan oleh pihaknya. Pihaknya mengubah kode rekening anggaran tersebut dari biaya sewa kontrak, menjadi biaya untuk rehabilitasi. Meski demikian, ia mengaku belum ada kepastian apakah dua bidang itu bisa mendapatkan kantor baru untuk direhabilitasi.

    “Misalkan kita pindah ke gedung Kwarcab, takutnya ada penambahan ruang atau bagaimana, kita anggarkan di rehab. Itu hanya rencana memang, alternatifnya itu pertama di Kwarcab. Kedua itu ada penyerahan aset dari Kabupaten ke Kota. Hasil koordinasi dengan pihak aset, ada beberapa aset yang mungkin nanti bisa ditempati,” ujarnya saat diwawancara melalui sambungan telepon.

    Sehingga ia beralasan, penghapusan anggaran biaya kontrak dan diubah menjadi biaya rehabilitasi, merupakan hal yang memang disengaja. Akan tetapi, Agus menuturkan bahwa apabila memang tidak ada lokasi yang bisa digunakan untuk kantor dua bidang itu, pihaknya akan memperpanjang kontrak di ruko yang sebelumnya ditempati oleh dua bidang itu.

    “Untuk sementara sih memang kalau mungkin kebudayaan dan para pengawas di situ (ruko), kami akan berkomunikasi lagi dengan pemilik ruko. Kalau memang tidak ada tempat untuk ditempat, jadi mungkin akan diperpanjang lagi sewanya,” ucapnya.

    Agus mengakui bahwa untuk anggaran sewa, memang sudah dihapuskan dan diganti menjadi rehab. Akan tetapi, menurut Agus hal itu merupakan hal teknis dan dapat dicarikan solusinya. Sehingga, ia memastikan bahwa dua bidang yang mungkin saja tidak jadi pindah tersebut, akan tetap bisa mengontrak di lokasi sebelumnya.

    “Tetap nanti akan dianggarkan sewa itu. Karena kemarin kan niatnya akan ada pelaksanaan rehab, tapi karena situasi dan kondisi untuk pindah tidak mungkin, jadi kami usahakan agar tetap bisa menyewa. Dengan konsekuensi pembayarannya ataupun koring anggaran rehabnya akan dialihkan ke sewa,” jelasnya.

    Jika memang anggaran rehab itu tidak bisa digunakan untuk membayar sewa, Agus menuturkan bahwa pihaknya akan membayar sewa itu pada anggaran perubahan. Maka dari itu, pihaknya akan membuka komunikasi dengan pemilik ruko, agar dapat diizinkan memperpanjang waktu sewa di ruko tersebut.

    “Ya mungkin nanti pembayarannya di bulan-bulan tertentu. Tapi kami pastikan dibayar. Kemungkinan nanti dibayarkan di anggaran perubahan,” ungkapnya.

    Ketua Presidium Gerakan Pemuda Kota Serang, Ahmad Fauzan, menyayangkan perencanaan Dindikbud Kota Serang yang tidak matang. Menurutnya, sangat aneh jika Dindikbud Kota Serang menghilangkan anggaran sewa gedung, padahal tahu bahwa belum ada kepastian akan tempat baru yang bakal ditempati oleh dua bidang tersebut.

    “Perencanaan yang buruk sangat menggambarkan kondisi tersebut. Kok bisa menghapuskan anggaran sewa, padahal belum ada tempat yang bisa ditempati oleh dua bidang itu. Seharusnya Dindikbud tidak gegabah dalam menyusun anggaran,” ujarnya.

    Menurut Fauzan, Dindikbud Kota Serang pun terlalu enteng memandang persoalan anggaran, dengan menganggap bahwa anggaran rehabilitasi yang sudah tercatat pada APBD murni 2023, dapat dialihkan begitu saja untuk sewa.

    “Kalau menggeser-geser anggaran semudah itu, tentunya gak perlu capek-capek mengurus perencanaan anggaran. Dindikbud Kota Serang terlalu menganggap enteng lepasnya anggaran sewa kantor itu, padahal berkaitan dengan pelayanan masyarakat,” ucapnya.

    Selain itu, koordinasi yang dilakukan antara Dindikbud Kota Serang dengan pihak-pihak terkait, dalam hal ini BPKAD Kota Serang, juga perlu dievaluasi. Sebab, mereka bisa meleset dalam menyusun rencana kepindahan kantor dua bidang, ke bangunan aset lain milik Pemkot Serang.

    “Kalau ngakunya sudah koordinasi dengan bidang aset, seharusnya tidak ada permasalahan seperti ini. Lucunya lagi, kok bisa menentukan bakal pindah ke gedung Kwarcab Pramuka, padahal orang-orang kwarcab belum memberikan izin untuk itu,” katanya.

    Terlebih, anggaran rehabilitasi yang dianggarkan pada tahun 2023 dengan alasan untuk berjaga-jaga apabila pindah kantor, juga menggambarkan Dindikbud tidak benar-benar yakin bahwa mereka akan pindah kantor.

    “Misalkan pindah ke Kwarcab, mereka itu baru dilakukan rehabilitasi. Kalau pindah ke bekas kantor Dinas Perpustakaan, sebenarnya ada yang harus direhab atau enggak? Kan harus tahu juga kalau memang mereka ingin pindah,” tegasnya.

    Begitu pula dengan alasan bahwa mereka berkesempatan untuk bisa menempati salah satu aset bangunan dari Pemkab Serang yang diserahkan ke Pemkot Serang. Menurutnya, alasan itu lebih kepada peruntungan semata.

    “Perencanaannya kok jadi kayak berjudi seperti itu. Harusnya Dindikbud Kota Serang menganggarkan yang pasti-pasti saja. Kalau memang belum jelas terkait dengan kepindahan, ya sudah anggarkan saja untuk sewanya. Toh dari dulu juga memang Bidang Kebudayaan itu sejarahnya selalu mengontrak. Kalau seperti ini, jadi tidak ada kepastian untuk kantornya kan. Sehingga kami menilai, sebenarnya ini memang tidak sengaja tidak teranggarkan. Alasan rehab dan lainnya itu kami rasa hanya ngeles belaka,” ucapnya.(MUF/DZH)

  • Pemkab Serang Jangan Takut Diusir

    Pemkab Serang Jangan Takut Diusir

    PEMKAB Serang jangan merasa diusir dengan adanya tenggat waktu yang diberikan oleh KPK sebelum pergantian tahun. Ketua Komisi III pada DPRD Kota Serang, Tb. Ridwan Akhmad, menyatakan, pihaknya juga memaklumi bahwa Pemkab Serang sampai saat ini belum memiliki gedung pengganti aset-aset yang akan dilimpahkan.

    “Rapat terakhir dengan KPK itu menghasilkan kesepakatan bahwa pelimpahan aset harus segera dilakukan pada akhir Desember ini. Jadi saya kira ketika aset Kabupaten Serang diserahkan ke Kota Serang, bukan berarti serta merta Pemkab Serang harus memindahkan perkantoran mereka. Kami paham di situ,” ujarnya kepada BANPOS, Kamis (15/12).

    Ridwan mengatakan bahwa untuk saat ini, yang tengah diupayakan oleh Pemda Kota Serang adalah pelimpahan secara administrasi terlebih dahulu, aset-aset yang saat ini masih dikuasai oleh Pemkab Serang.

    “Artinya secara administratif terlebih dahulu diselesaikan, dituntaskan terlebih dahulu. Nanti secara fisik baru diselesaikan secara bertahap,” ungkap politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.

    Ridwan mengatakan, persoalan yang berlarut-larut ini memang karena adanya beda tafsir kata ‘sebagian’ yang termaktub di dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2007 tentang pembentukan Kota Serang.

    Namun, Ridwan menegaskan bahwa secara filosofis, aset-aset yang dimiliki oleh Kota Serang maupun Kabupaten Serang, merupakan aset milik negara dan untuk kepentingan publik. Sehingga, tidak perlu mencari-cari alasan untuk mempertahankan apa yang memang sudah menjadi hak Kota Serang.

    “Sederhananya, kami itu melihat bahwa aset baik itu milik Kota Serang maupun Kabupaten Serang, sama-sama punya negara, sama-sama fasilitas publik, sama-sama harus bermanfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, karena ini memang sama-sama milik negara, sama-sama untuk publik, maka menurut saya ya ikuti saja sih aturan Perundang-undangan yang berlaku,” ucapnya.

    Ridwan menuturkan bahwa sebetulnya, Pemkot Serang pun sangat membutuhkan aset-aset yang saat ini masih belum dilimpahkan kepada Kota Serang. Pasalnya, akan ada banyak kendala yang muncul, akibat tak kunjung dilakukannya pelimpahan aset.

    Kendala pertama yakni Pemkot Serang hingga sekarang, masih memiliki kurang lebih sebanyak 12 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang masih mengontrak. Sehingga jika aset itu dilimpahkan, meski fisiknya dilakukan secara bertahap, ke depan dapat mengurangi beban Pemkot Serang.

    “Kota Serang itu kan ibukota provinsi. Namanya ibukota provinsi, adalah miniatur dari Provinsi Banten. Tapi disisi lain kita ini masih ada 12 OPD yang kantornya masih mengontrak. Kota Serang juga dihadapkan pada persoalan keterbatasan APBD, sehingga untuk membangun seluruh kantor OPD agar tidak mengontrak, itu berat,” tuturnya.

    Selain itu menurutnya, apabila Pemkot Serang membangun kantor untuk 12 OPD tersebut, namun tiba-tiba Pemkab Serang menyerahkan aset-aset, maka hal itu justru akan menjadi pemborosan anggaran. Sedangkan ketiadaan kantor, akan sangat berdampak pada pelayanan publik kepada masyarakat.

    “Sehingga dari sisi aspek pelayanan publik itu juga akan terhambat. Saya kira Pemkab Serang pun menghadapi masalah yang sama, karena mereka juga belum memiliki Puspemkab. Belum selesai itu. Kalaupun KPK menargetkan selesai di tahun ini, itu bukan berarti secara fisik langsung diberikan. Tapi bisa bertahap,” tandasnya.(DZH/PBN)

  • Menguji ‘Taring’ KPK di Serang

    Menguji ‘Taring’ KPK di Serang

    2022 menyisakan 17 hari lagi, namun di akhir tahun ini para pejabat Pemkab Serang, khususnya yang berkaitan dengan persoalan aset harus bersiap-siap dengan ultimatum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera melimpahkan aset-aset yang berada di wilayah Kota Serang, kepada Pemkot Serang. Namun terlihat, ultimatum tersebut bagai angin lalu, ‘Taring’ KPK di Serang sedang diuji.

    Diketahui, penyampaian ultimatum oleh KPK pada saat Rapat Koordinasi Penyelesaian Permasalahan Barang Milik Daerah Antara Kabupaten Serang dengan Kota Serang, yang digelar KPK pada 21 November lalu. Rapat itu juga turut menghadirkan Pemprov Banten sebagai perwakilan dari Pemerintah Pusat, yang selanjutnya akan menjadi wasit antar dua daerah yang bersengketa aset tersebut.

    Pertemuan di gedung KPK berakhir tanpa hasil. Pasalnya, perwakilan dari Pemkab Serang tidak mau menandatangani Berita Acara yang disodorkan oleh KPK berdasarkan hasil rapat itu. Enggannya perwakilan Pemkab Serang untuk menandatangani Berita Acara tersebut, lantaran terdapat klausul yang menyatakan bahwa Pemkab Serang akan menyerahkan seluruh aset, termasuk pendopo kepada Kota Serang.

    Perwakilan dari Pemkab Serang baru mau menandatangani Berita Acara ketika klausul yang berkaitan dengan pengambilan keputusan, dihilangkan. Adapun Berita Acara tersebut berisikan tiga poin, yakni penyelesaian permasalahan aset dilakukan sesuai dengan Peraturan Undang-undang yang berlaku; proses penyerahan aset dapat diselesaikan pada tanggal 31 Desember 2022; KPK, Kemendagri, Pemerintah Provinsi akan melakukan fasilitasi dan monitoring penyelesaian permasalahan barang milik daerah, antara Pemkab dan Pemkot Serang.

    Asda 1 Kota Serang, Subagyo, pada saat itu mengungkapkan bahwa saat hendak dilakukan penandatanganan Berita Acara, pihak Pemkab Serang mengangkat tangan dan menyampaikan bahwa pihaknya harus lapor terlebih dahulu kepada pimpinan dalam hal ini Bupati dan DPRD Kabupaten Serang. Sehingga Berita Acara yang sebelumnya sudah disepakati, kemudian ada sedikit perubahan dan ditindaklanjuti penyelesaiannya oleh Pemprov Banten.

    “Tadi disepakati semua harus diserahkan termasuk Pendopo, jadi sebanyak 22 bidang dan 32 register diserahkan. Tapi terakhir saat membuat berita acara, dari kabupaten angkat tangan menyampaikan tidak berani tanda tangan karena mereka harus lapor kepada pimpinan, dan akhirnya diubah lagi berita acaranya,” jelasnya.

    Subagyo menjelaskan, sebelumnya sudah disepakati oleh semua peserta yang hadir, karena dari Direktur Supervisi KPK sudah menyampaikan bahwa yang hadir mewakili pimpinan. Oleh karena dari kabupaten tidak dihadiri oleh Bupati, maka mereka bisa mewakili untuk pengambilan keputusan.

    “Jadi berita acara yang sudah disepakati sebelumnya diubah kembali isinya dan nanti akan ditindaklanjuti penyelesaian di provinsi. Tetapi intinya adalah bahwa semua baik provinsi, Kemendagri, kabupaten kota sudah ditegaskan bahwa penyerahan itu adalah seluruh aset, jadi tidak ada yang tidak akan diserahkan,” katanya.

    Ia mengungkapkan, sebelumnya terdapat 5 kesepakatan yang seharusnya ditandatangani. Beberapa diantaranya yaitu kesepakatan bahwa akan dilakukan penyerahan aset sesuai dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan, penyerahan aset sebanyak 22 bidang dan 32 register, selanjutnya kendaraan aset paling lambat diserahkan di bulan Desember minggu kedua.

    “Teknisnya mungkin diserahkan secara bertahap, Pendopo harus diserahkan sesuai dengan peraturan. Tetapi tadi setelah selesai, dari Kabupaten Serang keberatan dan mengaku tidak siap untuk tanda tangan karena tidak ada kepala daerahnya, sehingga akhirnya diubah lagi,” tandasnya.

    Berdasarkan informasi yang diterima BANPOS, pada saat rapat koordinasi itu, KPK sempat melontarkan ancaman kepada Pemkab Serang. Ancaman tersebut apabila Pemkab Serang masih bebal untuk tidak melimpahkan aset-aset yang berada di wilayah administrasi Kota Serang, maka KPK tidak segan-segan untuk turun tangan menindak Pemkab Serang.

    “Jadi kemarin itu memang ada ancaman dari KPK. Bahwa saat ini yang memfasilitasi antara Kabupaten Serang dengan Kota Serang adalah Koordinator dan Supervisi Pencegahan Korupsi (Korsupgah) KPK. Tapi kalau Pemkab Serang bebal, yang turun bukan korsupgah lagi, tapi Divisi Penindakan langsung yang akan turun,” terang sumber BANPOS.

    Belum diketahui apa yang akan dijadikan landasan KPK untuk turun ke Kabupaten Serang. Namun, sumber BANPOS mengatakan bahwa ada kalimat yang cukup menarik disampaikan oleh pejabat KPK berkaitan dengan Pemkab Serang. “Ibaratnya kalau memang mereka menilai semua sudah baik, sudah sesuai aturan, kalau KPK yang turun mah semua bisa kena,” tuturnya.

    Walikota Serang, Syafrudin, saat diwawancara BANPOS pada Rabu (14/12), membenarkan bahwa KPK telah memberikan tenggat waktu kepada Pemkab dan Pemkot Serang, untuk dapat menyelesaikan permasalahan aset itu hingga 31 Desember 2022.

    Syafrudin mengatakan, persoalan aset ini memang sudah sangat lama berlarut-larut. Fasilitasi oleh KPK pun bukan hanya terjadi tahun ini saja, melainkan sudah dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, sampai saat ini masih saja terdapat aset-aset yang seharusnya dilimpahkan ke Kota Serang, namun tidak kunjung diserahkan.

    BANPOS pun bertanya, apabila pertemuan terus menerus mengalami kebuntuan, apakah Pemkot Serang akan coba ‘melentur’ dan memberikan opsi baru terkait dengan aset-aset apa saja yang bisa tetap dimiliki oleh Pemkab Serang, Syafrudin menegaskan bahwa Pemkot Serang akan berpegang pada aturan perundang-undangan, yang mengatur bahwa semua aset daerah induk yang berada di wilayah pemekaran, maka harus diserahkan seluruhnya.

    “Kalau kami mah sesuai dengan aturan perundang-undangan saja. Kalau dalam aturan memang harus seluruhnya, maka seluruhnya. Maka kami inginnya semua diserahkan,” tegas Syafrudin.

    Kepala BPKAD Kota Serang, Imam Rana Hardiana, mengatakan bahwa terdapat sebanyak 16 aset yang saat ini masih tidak jelas arah pelimpahannya oleh Pemkab Serang. Adapun ke-16 aset itu antara lain Pendopo Bupati, Rumah Dinas Wakil Bupati, Rumah Dinas Sekda, gedung Dinkes, RSUD Drajat Prawiranegara, PMI UDD, TPU Mr X Sayar, Gudang Farmasi, Gedung Terpadu DPMPTSP/DKPP/DPKPTB, gedung BPBD/Satpol PP, gedung Disperta, gedung DPMD, gedung Disdukcapil, gedung Dishub, Radio Serang Gawe FM dan Workshop Dinas PUPR.

    Sementara itu, terdapat lima aset lainnya yang telah disepakati akan segera dilimpahkan kepada Pemkot Serang. Kelimanya yakni tanah bekas gedung Disnakertranskop yang berada di Kelurahan Lontarbaru, tanah dan bangunan eks gedung Damkar di Kelurahan Cimuncang, tanah SMPN 24 di Kelurahan Banjarsari, tanah sawah bekas tanah kas desa di Kecamatan Walantaka, dan satu aset tambahan berdasarkan hasil pencatatan baru yaitu bangunan dan utang kepada pihak ketiga berupa eks peruntukan relokasi SD/SMP di Jalan Lingkar Selatan, Ciracas.(MUF/DZH)

  • Jalan Buntu Klausul Sebagian Aset

    Jalan Buntu Klausul Sebagian Aset

    KLAUSUL sebagian aset seolah menjadi jalan untuk sengkarut penyerahan aset Pemkab Serang kepada Pemkot Serang. Upaya mediasi selalu terbentur dengan tafsir dari kalimat tersebut, sehingga Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten yang telah ditunjuk oleh KPK, untuk menjadi wasit sementara dalam persoalan sengketa aset antara Kota Serang dengan Kabupaten Serang belum terlihat maksimal memainkan perannya. Jika tidak ada perkembangan, persoalan itu akan kembali ditangani oleh KPK.

    Sebagai wasit, Pemprov Banten sebenarnya sudah berusaha bergerak cepat melakukan upaya pertemuan antara Pemkot Serang dengan Pemkab Serang. Namun, pertemuan antara dua daerah tersebut baru bisa terealisasi pada Rabu (14/12) kemarin.

    Pertemuan itu pun dinilai oleh perwakilan Pemkot Serang, pembahasannya justru dibawa mundur oleh Pemkab Serang. Selain karena kembali membahas tafsir kata ‘sebagian’, juga karena adanya penambahan aset yang enggan diberikan Pemkab Serang.

    Berdasarkan pantauan di lapangan, perwakilan dari Pemkot Serang yakni Sekda Kota Serang Nanang Saefudin, Asda 1 Kota Serang Subagyo dan Kepala BPKAD Kota Serang Imam Rana Hardiana, telah hadir di Pendopo Gubernur Banten sekitar pukul 16.00 WIB.

    Sementara Pemkab Serang hadir sekitar pukul 16.30 WIB, yang diwakili oleh Asda 1 Kabupaten Serang, Nanang Supriatna dan Kabid Aset pada BPKAD Kabupaten Serang, Indra Gunawan. Tak lama kemudian, Penjabat Sekda Banten, Moch Tranggono, datang ke Pendopo Gubernur.

    Mediasi tersebut berlangsung secara tertutup. Kendati demikian, berdasarkan informasi yang didapat, mediasi berjalan cukup alot. Pasalnya, perwakilan Pemkab Serang tetap bersikukuh berkutat pada definisi ‘sebagian aset’ pada Undang-Undang Pembentukan Kota Serang. Mediasi baru selesai pada pukul 20.30 WIB.

    Sekda Kota Serang, Nanang Saefudin, saat diwawancara mengatakan bahwa pertemuan antara kedua belah pihak saat ini belum membuahkan hasil. Sebab, masih terdapat perbedaan persepsi antara Pemkot Serang dengan Pemkab Serang.

    “Belum menghasilkan keputusan yang final. Terdapat perbedaan persepsi kembali, dimana Kabupaten Serang masih berpikiran ‘sebagian’ itu bermakna ada yang dipertahankan dan ada yang diberikan,” ujarnya, Rabu (14/12).

    Nanang mengatakan, jika mengacu pada surat Mendagri tahun 2008, makna kata ‘sebagian’ pada Undang-undang Pembentukan Kota Serang berarti seluruh aset yang ada di wilayah Kota Serang yang baru dimekarkan.

    “Kalau merujuk pada surat Kemendagri tahun 2008 untuk menjawab surat yang disampaikan oleh Bupati Serang pada saat itu, kata ‘sebagian’ itu bahwa seluruh aset yang berada di daerah pemekaran, itu harus diserahkan kepada daerah hasil pemekaran,” ucapnya.

    Surat Kemendagri yang dimaksud yakni surat dengan Nomor 876/550/OTDA yang dikeluarkan pada 7 April 2008. Surat yang ditandatangani oleh Sodjuangon Situmorang selaku Direktur Jenderal Otonomi Daerah pada saat itu, menjawab surat yang dikeluarkan oleh Bupati Serang pada saat itu, terkait penjelasan atas pasal-pasal peralihan personel dan aset kepada Pemkot Serang.

    Dalam balasannya, Kemendagri mengacu pada Kepmendagri Nomor 42 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyerahan Barang dan Hutang Piutang pada Daerah yang Baru Dibentuk. Pada Pasal 2 ayat 1, dijelaskan bahwa Barang Milik Daerah (BMD) atau yang dikuasai dan atau yang dimanfaatkan oleh daerah induk, wajib diserahkan dan menjadi milik daerah yang baru dibentuk. Bahkan pada ayat 2 di pasal yang sama, utang piutang pun juga wajib diserahkan selama berkaitan dengan wewenang dan penggunaan daerah yang baru dibentuk.

    Nanang menegaskan bahwa Pemkot Serang sangat konsekuen dalam persoalan aset tersebut. Menurutnya, Pemkot Serang bukan hanya mengejar asetnya saja, namun juga siap untuk menerima segala utang yang memang timbul dari penyerahan aset tersebut.

    “Jadi jangan sampai berpikiran Pemkot Serang hanya mau menerima enaknya saja. Tapi kami juga utang yang sudah diserahkan kami selesaikan. Jangan sampai utang sudah diserahkan, tapi nanti asetnya malah tidak diserahkan,” tuturnya.

    Nanang pun menilai bahwa pertemuan yang dilakukan di Pendopo Gubernur Banten, justru dibawa mundur oleh perwakilan Pemkab Serang. Pasalnya, jika kemarin di Gedung Merah Putih KPK Pemkab Serang hanya bersikukuh mempertahankan Pendopo Bupati, di pertemuan lalu malah bertambah ingin mempertahankan RSUD Drajat Prawiranegara.

    “Menurut saya ini kayak mengalami kemunduran. Padahal di KPK sudah jelas bahwa seluruh aset harus diserahkan. Awalnya mereka masih mempermasalahkan pendopo, sekarang tambah lagi dengan RSUD. Jadi menurut saya, harus ada lembaga pemutus. Sebenarnya sudah diputus oleh KPK dan Kemendagri, tinggal komitmen dari Pemkab Serang saja,” katanya.

    Nanang pun menyampaikan bahwa upaya yang saat ini tengah dilakukan oleh Pemkot Serang, ialah agar terdapat kejelasan secara administrasi atas kepemilikan sejumlah aset itu. Menurutnya, Pemkab Serang tetap bisa menggunakan aset-aset itu sementara waktu, sampai nanti Pusat Pemerintahan Kabupaten (Puspemkab) Serang selesai dibangun.

    “Jadi nanti sistemnya Kabupaten Serang pinjam pakai ke Kota Serang, dengan waktu sampai Puspemkab selesai dibangun. Tapi dari Kabupaten Serang hanya menyampaikan bahwa ‘akan diserahkan’, kalimat itu kan tidak menjamin, mau berapa tahun? Artinya Pemkot Serang ketika menerima asetnya juga tidak langsung ‘hei kamu keluar’, enggak. Kami memahami bahwa Pemkab Serang juga harus membangun Puspemkab.

    Rencananya, akan ada pertemuan kembali pada 21 Desember mendatang. Nanang meminta kepada Pemkab Serang untuk komitmen dan konsekuen, sehingga pembahasan terkait dengan aset ini dapat berjalan dengan baik. Termasuk, komitmen agar para pimpinan Pemkab Serang, hadir dalam pembahasan selanjutnya.

    “Saya berharap pak Sekda-nya hadir lah dari Kabupaten. Kalau kami kan konsisten, setiap pertemuan selalu hadir. Kami juga meminta ketegasan, kalau memang jawabannya tidak, ya sampaikan tidak gitu. Biar nanti kita kembalikan lagi kepada KPK dan Kemendagri permasalahan ini,” tegasnya.

    Sementara itu, Asda 1 Kabupaten Serang, Nanang Supriatna, mengatakan bahwa memang pada pertemuan itu, masih didapati kendala terkait dengan makna kata ‘sebagian’. “Pemahaman mana yang akan diserahkan dan mana yang tidak. Bagi kami kan ada yang perlu diserahkan sebagian, tidak seluruhnya. Ada juga yang mungkin tidak diserahkan, seperti pendopo,” ujarnya kepada BANPOS.

    Ia mengatakan, seharusnya Pemkot Serang memahami terkait dengan kondisi Kabupaten Serang. Sebab, ada hal-hal yang harus dipertimbangkan terkait dengan penyerahan sejumlah aset tersebut.

    “Seperti pendopo, itu kan butuh dimaklumi oleh Pemkot Serang bahwa itu ada hal-hal pertimbangan yang urgent untuk tidak kami serahkan. Tapi ya itu kan menjadi bahan bargaining para pimpinan yah,” terangnya.

    Penjabat Sekda Provinsi Banten, Moch Tranggono, mengatakan bahwa sebetulnya pertemuan yang telah dilaksanakan antara Pemkot Serang dengan Pemkab Serang, berlangsung cukup menarik. Terlebih, masing-masing daerah memiliki tanggung jawab dan kepentingan sendiri.

    “Tapi KPK memberikan tenggat waktu sampai tanggal 31 Desember, untuk dapat menyelesaikan permasalahan aset ini. Kalau memang tidak bisa diselesaikan, nanti akan ditarik kembali ke KPK,” ujarnya.

    Ia mengatakan, tidak kunjung tuntasnya sengketa aset antar dua daerah ini salah satu penyebabnya adalah tidak pernah adanya pertemuan antara dua kepala daerah, untuk membicarakan penyelesaian masalah yang sudah lama berlarut-larut itu.

    “Nah kami akan memaksimalkan sampai dengan tanggal 31 Desember, untuk menyamakan persepsi. Karena kan ada beberapa aset yang akan diserahkan, 16nya ini masih belum tuntas. Jadi ini karena ada perbedaan persepsi. Makanya saya minta kepada mereka, tanggal 21 itu segera menyampaikan rencana penyerahan,” tuturnya.

    Kepada masing-masing perwakilan, Tranggono meminta agar dapat menyampaikan alasan serta solusi, terkait dengan aset-aset yang hendak dipertahankan, maupun yang hendak diambil. Sehingga, dari alasan dan solusi kedua belah pihak, dapat dirumuskan bagaimana langkah penyelesaian terbaiknya.

    “Nah ini yang kami harapkan pada tanggal 21, kita bicarakan itu. Lalu kami juga pada tanggal 21 itu, akan membicarakan konsep Berita Acara Serah Terima. Karena kita sudah ada enam yang disepakati, dan enam tadi akan ditindaklanjuti dengan konsep Berita Acara Peminjaman. Jadi nanti sudah ada berapa lama meminjamnya, dalam rangka Kabupaten Serang membangun Puspemkab,” jelasnya.

    Poin terakhir dalam konsep pertemuan tanggal 21 nanti, Pemprov Banten meminta kesepakatan dari masing-masing daerah, untuk menentukan waktu kapan bisa dilaksanakannya pertemuan dua kepala daerah, sebelum 2022 berganti tahun.

    “Baik Walikota maupun Bupati harus hadir. Karena bagaimanapun kan ini wilayah mereka, kami hanya menyediakan konsep. Kebijakannya ada di merek. Harapan kami, sebelum tanggal 21 keduanya dapat mengadakan pertemuan. Jadi ini levelnya sudah level pimpinan. Tapi kalau nanti ternyata tidak bisa, maka kami akan kembalikan kepada KPK dan pusat,” terangnya.(DZH/PBN)

  • Dibungkam Satu Yang Lain Bergema

    DUGAAN pembungkaman aspirasi para Calon Kepala Sekolah (Cakep) dan Calon Pengawas (Cawas) pada peristiwa pengaduan dugaan pencurian listrik kemarin, sukses membuat para Cakep dan Cawas se-Provinsi Banten bungkam. Bahkan akibat dari laporan dugaan pencurian listrik itu, ratusan Cakep dan Cawas bersiap-siap menekan permintaan maaf kepada Pj Gubernur Banten, meskipun pada akhirnya hanya NFK saja yang menyampaikan permintaan maaf.

    Namun sebagaimana syair Fajar Merah, anak dari mendingan Widji Thukul, dalam lagu berjudul ‘Kebenaran Akan Terus Hidup’, aspirasi-aspirasi dari para Cakep dan Cawas tidak bisa begitu saja diredam, lantaran akan ada pihak-pihak lainnya yang menyuarakan.

    “… Walau kau terus saja coba membungkamnya. Namun suaraku takkan pernah bisa kau redam,” begitulah lirik dari lagu Fajar Merah berjudul ‘Kebenaran Akan Terus Hidup’.

    Hal itu dibenarkan oleh Akademisi Untirta, Fadlullah. Ia mengatakan usai peristiwa yang menimpa NFK kemarin, para Cakep dan Cawas saat ini hanya bisa menjadi silent majority atau mayoritas yang diam saja. Pasalnya jika bersuara, maka berpotensi berhadapan pada masalah-masalah lain.

    “Janganlah kalau ada guru bersuara, dicari-cari kesalahan yang tidak penting. Masa ngecas listrik untuk kepentingan podcast atau ngecas laptop untuk kepentingan apa-apa itu dianggap pencurian. Itu yang benar aja lah. Jangan sampai mencari kesalahan-kesalahan yang tidak penting. Bahkan kalau ada kesalahan-kesalahan yang sifatnya administratif, ya diberi solusinya lah bukan dilaporkan ke Polisi meskipun sifatnya klarifikasi atau apalah. Sama saja itu namanya intimidasi,” ujarnya, Kamis (8/12).

    Menurutnya, hal itu membuat banyak orang akhirnya abai terhadap kemungkaran. Mereka menjadi enggan untuk bersuara. Karena takut apabila bersuara malah dihadapkan pada permasalahan seperti yang terjadi pada NFK.

    “Cara kerja seperti itu tidak benar. Banyak LSM yang baik, namun LSM yang sudah dikenal perilakunya oleh masyarakat, mendekati kekuasaan dan menekan untuk memaksa dan memeras. Itu udah gak beres itu. Dan sudah banyak kok guru-guru, pengawas, kepala sekolah dan orang dinas yang tahu, tapi tidak bersuara. Inilah yang dinamakan silent majority,” tuturnya.

    Oleh karena itu, ia mewakili suara hati para guru, Kepala Sekolah, Pengawas, termasuk orang-orang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dindikbud) Provinsi Banten, untuk menyuarakan bahwa terdapat kemungkaran di dunia pendidikan Provinsi Banten.

    “Jadi tidak ada masalah pribadi antara saya dengan siapapun. Tidak ada itu, kita murni bahwa ini kepentingan pendidikan di Banten. Ini harus menjadi prioritas. Bukan Pilkada, kalau Pilkada mah banyak yang berminat. Kalau pendidikan ini yang harus benar-benar diprioritaskan, perlu kesungguhan,” ucapnya.

    Menyoroti persoalan kosongnya ratusan jabatan Cakep dan Cawas di Provinsi Banten, Fadlullah menuturkan bahwa faktanya saat ini ada sekolah yang bisa dikatakan terlantar, akibat tidak memiliki Kepala Sekolah definitif.

    “Tidak boleh ada lagi sekolah yang ditelantarkan karena Kepala Sekolahnya masih dirangkap. Jadi pastikan setiap satuan pendidikan itu memiliki Kepala Sekolah definitif. Itu sangat penting sekali. Jadi tidak boleh dirangkap oleh Kepala Sekolah di tempat lain,” katanya.

    Menurut Fadlullah, inisiatif Pemerintah Pusat untuk membuat aturan terkait pendidikan Cakep dan Cawas merupakan upaya untuk meminimalisir adanya politisasi dalam pengangkatan Kepala Sekolah dan jabatan fungsional Pengawas.

    “Dulu itu ada campur tangan politik yang terlalu dalam terhadap satuan pendidikan. Dulu itu Kepala Sekolah sangat politis, suka-suka Kepala Daerah. Nah sekarang itu Kepala Daerah dikurangi tensi politiknya. Makanya sekarang kalau mau jadi Kepala Sekolah, ikut dulu pendidikan, ikut ujian, lulus, dapat sertifikat. Jadi Kepala Daerah tinggal pilih satu dari beberapa orang yang sudah bersertifikat, jangan cari-cari yang lain. Begitu yang dikehendaki tidak ada, dia tidak mau melantik. Itu tidak beres. Siapapun itu, bukan hanya di provinsi saja,” tegasnya.

    Fadlullah juga menegaskan bahwa untuk para Cawas, saat ini pun harus segera dilantik. Pasalnya, sudah banyak pengawas pendidikan yang pensiun. Sementara Dindikbud Provinsi Banten harus dibantu oleh pengawas sebagai kepanjangan tangan, agar bisa memastikan kualitas pendidikan berjalan sebagaimana mestinya.

    “Kalau memang sudah ada guru yang bersertifikat pengawas, segera dong diberikan SK, agar mereka bisa membantu dua hal. Pertama adalah membantu Dinas Pendidikan karena dia adalah kepanjangan tangan dari Dinas untuk mengecek mutu akademik maupun non akademik. Di sisi lain, yang namanya pengawas pendidikan itu harus membantu Kepala Sekolah untuk menemukan perspektif baru,” tandasnya.(DZH/ENK)

  • Banten Podcast: Kami Kantongi Izin Kepsek

    Banten Podcast: Kami Kantongi Izin Kepsek

    KLAIM bahwa Banten Podcast dalam melangsungkan siniarnya di SMAN 2 Pandeglang tanpa izin dari Kepala Sekolah, dibantah oleh perwakilan Banten Podcast, Ikhsan Ahmad. Pria yang menjadi pembawa acara dalam siniar bersama dengan NFK itu, mengatakan bahwa pelaksanaan siniar tersebut sudah atas izin dari Kepala Sekolah.

    “Banten Podcast menawarkan (pelaksanaan siniar) di studio Banten Podcast, tetapi bu NFK meminta di SMA 2 Pandeglang. Dan sebelum podcast, bu NFK menginformasikan bahwa Kepala Sekolah sudah mengizinkan, bahkan bu NFK sempat pula menelepon KCD (Kantor Cabang Dinas) atas perintah Kepsek (Kepala Sekolah),” ujarnya kepada BANPOS.

    Ia mengatakan, mulanya Banten Podcast mengetahui berita NFK yang angkat suara terkait dengan nasib Cakep dan Cawas di salah satu media. Ia pun mencari tahu nomor NFK, dan berhasil menghubunginya untuk melakukan sesi wawancara pada siniar Banten Podcast.

    Saat dihubungi, NFK menyatakan siap untuk menjadi narasumber siniar. Mulanya, disepakati bahwa pelaksanaan pengambilan gambar untuk siniar, dilakukan di Gedung Kebudayaan pada pukul 14.00 WIB. Namun di perjalanan, NFK meminta agar pelaksanaan siniar dilakukan di SMAN 2 Pandeglang saja.

    “Begitu datang, kami minta izin sama bu NFK untuk diarahkan ruang mana yang mau digunakan. Ditunjuklah salah satu kelas oleh bu NFK. Terus sebelum kami pasang alat-alat, bu NFK ngomong ‘saya mau ke Kepala Sekolah dulu, mau minta izin’. Kemudian saat mau mulai, bu NFK bilang kalau oleh Kepala Sekolah sudah diizinkan. Bahkan mengarahkan untuk menelepon KCD,” tuturnya.

    Sehingga, Ikhsan mengaku aneh dengan adanya pernyataan bahwa Kepala Sekolah tidak memberikan izin. Ternyata menurutnya, NFK sempat menyampaikan kepada tim Banten Podcast bahwa pada saat dipanggil oleh dinas terkait, Kepala Sekolah meminta agar keterangan mengenai dirinya memberikan izin, untuk dihapuskan.

    “Nah mulai lah bu NFK bingung. Tapi karena ingin menyelamatkan pimpinannya, kalimat dalam kronologis yang memberikan izin itu dihapus. Saat podcast, yang kami pakai cuma satu lampu, yang lain kamera dan sebagainya itu pakai baterai, itupun sudah izin untuk pelaksanaannya. Jadi memang aneh kalau tuduhan pencurian listrik itu,” katanya.

    Selain itu, ia menuturkan bahwa dirinya memiliki bukti percakapan WhatsApp dengan NFK, yang menyatakan bahwa NFK tengah merasa dikriminalisasi. Ia pun mengaku bahwa Banten Podcast sebagai bentuk permohonan maaf atas kegaduhan yang terjadi, meskipun menurut Kepala Sekolah tidak ada kesalahan, pihaknya membantu membayarkan tagihan listrik SMAN 2 Pandeglang.

    “Atas kejadian itu sebetulnya kami sudah membayar, istilahnya kami sumbang, kami bayar tokennya di SMAN 2 Pandeglang. Dan kami sudah sampaikan ke Kepala Sekolah sebagai pertanggungjawaban. Saya sempat komunikasi lewat telepon WA dengan Kepsek SMA 2 Pandeglang, beliau menjelaskan kepada saya tidak mungkin ada pencurian listrik karena beliau membandingkan struk pembelian token atau bukti bayar listrik antara bulan kemarin dan bulan ini tidak ada perbedaan angka yang signifikan,” tandasnya. (DZH/ENK)

  • Kolaborasi Jahat Bungkam Pendapat

    IKLIM demokrasi di Provinsi Banten dinilai tengah dalam ancaman. Bukan hanya karena isu telah disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, melainkan karena adanya ‘kolaborasi jahat’ antara pemerintah daerah di Banten, dengan oknum-oknum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang membayang-bayangi rakyat dengan delik pidana, aduan, sengketa hingga ancaman gugatan pengadilan.

    Berdasarkan berbagai sumber BANPOS, oknum-oknum LSM tersebut bertugas sebagai ‘dewa pelindung’ dari penguasa Banten saat ini, yakni Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar, serta sejumlah pejabat lainnya di lingkungan Pemprov Banten. Mereka memiliki tugas untuk mengganggu siapapun, yang mengganggu singgasana Al Muktabar, dan sejumlah pejabat tersebut.

    Bak tim jagal khusus, oknum-oknum LSM itu berani untuk menghadapi siapapun. Bahkan, sekelas lembaga Ombudsman yang berdasarkan Undang-undang memiliki imunitas dalam menjalankan tugasnya. Meski memiliki imunitas, oleh oknum-oknum LSM tersebut Ombudsman tetap diseret ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), karena telah berani mencolek singgasana Al, dan salah satu OPD yang disebut berada di bawah perlindungannya.

    Adalah Ombudsman Pusat yang berani mencolek singgasana Al. Melalui Hasil Akhir Pemeriksaan atas laporan pengaduan koalisi LSM, Ombudsman Pusat menilai terdapat tiga maladministrasi dalam pengangkatan Pj Kepala Daerah. Atas hasil pemeriksaan itu, Ombudsman merekomendasikan sejumlah tindakan korektif kepada Mendagri selaku terlapor.

    Namun, Hasil Akhir Pemeriksaan tersebut justru digugat oleh oknum LSM tersebut ke PTUN Jakarta. Bahkan, hal tersebut juga dilaporkan ke Bareskrim Polri dengan tudingan telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Untuk gugatan di PTUN Jakarta berdasarkan situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, saat ini masih berlangsung. Sementara untuk laporan ke Bareskrim Polri, hingga saat ini BANPOS masih belum berhasil mendapatkan konfirmasi.

    Senasib dengan Ombudsman Pusat, Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten turut menjadi korban ‘keganasan’ oknum LSM tersebut. Berbeda dengan pusat yang digugat lantaran mencolek singgasana Pj Gubernur Banten, Ombudsman Perwakilan Provinsi Banten diduga mendapat gugatan lantaran berani mencolek salah satu OPD yang mendapat perlindungan dari oknum LSM itu.

    Pada saat itu, Ombudsman merilis terkait dengan temuan adanya siswa ‘siluman’ pada pelaksanaan PPDB tahun 2021. Siswa siluman itu bahkan mencapai 4 ribuan orang, dan diterima melebihi batas kuota rombongan belajar (Rombel) masing-masing siswa. Rilis itu diungkap pada awal Juli 2022, setelah pelaksanaan PPDB tahun 2022 usai.

    Selang beberapa waktu, pada 23 Agustus 2022, Ombudsman Provinsi Banten digugat ke PTUN Serang. Bukan soal temuan mereka akan adanya siswa siluman, namun untuk permasalahan lainnya yang sebelumnya telah digugat juga, namun dicabut oleh oknum LSM tersebut. Gugatan tersebut berkaitan dengan dugaan Perbuatan Melawan Hukum berupa tidak menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai perkembangan penyelesaian laporan pengaduan.

    Gugatan serupa juga pernah disampaikan oleh oknum LSM tersebut ke PTUN Serang pada Maret 2022. Namun gugatan tersebut hanya bertahan satu kali persidangan, kemudian dicabut oleh oknum LSM tersebut pada April 2022.

    Salah satu sumber BANPOS mengatakan, praktik tersebut merupakan hal yang lumrah dilakukan oleh oknum-oknum LSM, untuk menakut-nakuti lawan mereka. Mulai dari pengaduan ke polisi dan kejaksaan, menggugat ke pengadilan, hingga melakukan gugatan sengketa informasi. Selain menakut-nakuti, hal itu juga jadi alat untuk mengganggu dan merepotkan pihak-pihak tersebut.

    “Tujuan mereka adalah supaya yang digugat, dilaporkan, diadukan, disengketakan itu mau ‘berdamai’ dengan oknum tersebut. Ini praktik lumrah sebenarnya, cara mendasar untuk menggunakan hukum-hukum yang ada untuk dijadikan alat untuk ‘ngampak’,” ujarnya kepada BANPOS.

    Sementara itu, Sekretaris Umum Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) Cabang Serang, Ega Mahendra, mengatakan bahwa adanya dugaan praktik dari oknum-oknum LSM yang menggunakan hak untuk melapor, mengadu, menggugat, melakukan sengketa informasi untuk memukul pihak-pihak yang melakukan kritik dan koreksi terhadap pemerintahan, merupakan kolaborasi jahat untuk membungkam demokrasi.

    “Dalam demokrasi, dalam konstitusi negara kita, menyampaikan pendapat adalah hak yang mendasar dimiliki oleh masyarakat. Tidak ada yang boleh membredelnya, termasuk menggunakan cara-cara yang legal meski licik, seperti mengadukan ke polisi tanpa dasar yang jelas, menggugat ke pengadilan meskipun tidak jelas juga gugatannya, hanya untuk mengganggu dan merecoki orang-orang,” ujarnya, Kamis (8/12).

    Menurut Ega, hal itu justru akan membuat citra Pemprov Banten sebagai pemerintahan yang antikritik, di bawah kepemimpinan Penjabat Gubernur Al Muktabar. Meskipun Ega mengakui, belum tentu berbagai upaya pembredelan dan aksi ‘centeng’ tersebut berdasarkan perintah dan arahan dari Al Muktabar.

    “Bisa saja itu merupakan inisiatif dari oknum-oknum tertentu. Namun jika memang ini merupakan peristiwa yang terkoordinasi, massif dan direncanakan oleh pihak-pihak termasuk pak Al, maka jelas ini merupakan pemufakatan jahat, kolaborasi jahat untuk membungkam demokrasi, merusak kebebasan masyarakat dalam berpendapat,” tegasnya.

    Isu terkait kolaborasi jahat itu menurutnya, mulai terungkap pada perkara dugaan pencurian listrik di SMAN 2 Pandeglang, pada saat pelaksanaan siniar antara Calon Pengawas (Cawas) yang juga merupakan guru di SMAN 2 Pandeglang, NFK, bersama dengan Banten Podcast yang membicarakan terkait lambatnya pengangkatan Cawas dan Calon Kepala Sekolah (Cakep).

    “Kami menduga bahwa ini merupakan upaya untuk mencari-cari kesalahan terhadap NFK, yang berani menyuarakan aspirasi dari ratusan Cakep dan Cawas se-Banten yang tak kunjung dilantik. Karena kontennya tidak bisa digugat, maka yang dijadikan kesalahan adalah pencurian listrik. Sangat tidak nyambung,” katanya.

    Menurut Ega, hal itu jelas-jelas merupakan pembungkaman demokrasi, karena tidak ada yang salah dari isi podcast itu. Menurut dia, NFK hanya mencurahkan isi hatinya sebagai seorang guru, dan pengaduan kepada pihak Kepolisian pun tidak ada sangkut pautnya dengan isi konten.

    “Ini adalah contoh satu orang Cawas yang mencurahkan isi hatinya, malah dicari-cari masalah. Kritik itu bagus, tapi karena sudah dibayang-bayangi oleh delik hukum, maka kami pun yakin bahwa ratusan Cawas dan Cakep akan terus bungkam, meskipun ibaratnya satu tahun ke depan tetap tidak dilantik,” ucapnya.

    Dalih pelapor yang menggunakan penjelasan-penjelasan hukum untuk menyatakan bahwa hal itu hanyalah pengaduan, belum ada yang teradu, hanya undangan klarifikasi dari Kepolisian dan semacamnya, hanyalah penjelasan ‘ngeles’ saja menurutnya untuk menutupi bahwa betul adanya dugaan upaya kriminalisasi.

    “Kita semua tau kok, dalam proses hukum seperti itu mayoritas berangkat dari status saksi dulu. Baru apabila memang ada dugaan tindak pidana, naik menjadi tersangka. Masuk ke pengadilan, jadi terdakwa. Diputus hakim bersalah, jadi terpidana. Artinya, mau itu laporan masih di tahap apapun, patut diduga merupakan upaya kriminalisasi. Dan wajar jika NFK merasa takut dan terintimidasi, karena yang mengundang klarifikasi itu Polisi. Bagi mereka yang tidak biasa dengan kepolisian, dapat dipastikan dia akan takut,” tegasnya.(DZH/ENK)

  • Al Muktabar, Maaf dan Kritik Berfungsi Sama

    INDIKASI pembungkaman pendapat diduga dilakukan oknum-oknum LSM yang menggunakan hak untuk melapor, mengadu, menggugat, melakukan sengketa informasi untuk memukul pihak-pihak yang melakukan kritik dan koreksi terhadap pemerintahan. Kondisi ini dinilai merupakan kolaborasi jahat untuk membungkam demokrasi, karena disinyalir melibatkan kekuasaan.

    Nama Penjabat Gubernur Banten, Al Muktabar kemudian disebut-sebut sebagai pihak yang punya kepentingan dengan serangkaian dugaan pembungkaman yang terjadi. Namun, bagaimana tanggapan Al Muktabar terkait hal itu? BVerikut wawancara wartawan BANPOS, Muflikhah dalam wawancara yang dilakukan Kamis (8/12) kemarin.

    Ada pihak yang menyatakan bahwa bapak bekerjasama dengan LSM untuk semacam melaporkan atau menggugat hal yang tidak sesuai dengan bapak?

    Enggak, kan begini saya itu kan tidak antikritik, itu prinsip. Dalam berbagai kesempatan saya selalu mengatakan saya tidak antikritik, apapun yang berpendapat, mangga silahkan. 

    Saya akrab dengan semua, dengan media juga semua kan enggak ada saya membatasi mau ini mau itu, enggak. Nah sehingga saya sih tidak membuat pengkondisian atau apapun, enggak. Jadi semua terpublikasi secara terbuka dan sudah berjalan lama dari dulu kan, dari saya jadi Sekda gitu. 

    Hanya memang pada waktu Sekda kan terbatas otoritas saya, jadi saya menghormati pimpinan sehingga saya tidak menyampaikan hal-hal yang di luar dari konteks tugas, itu saja. 

    Jadi kembali saya ulang bahwa pertama, saya sama sekali tidak antikritik dan dengan begitu maka semua terbuka, jadi enggak ada pengkondisian begitu enggak ada. Tanya-tanya aja dengan yang lain-lain, ada enggak saya seperti itu? Enggak ada.

    Berarti tidak ada ya pak?

    Iya itu kan tadi, bagaimana saya bisa mengendalikan semua, ini kan publik ya. Secara mekanisme pasar lah gitu ya. Keynesian namanya, teori Keynes itu kan equilibrium itu adalah keseimbangan atau titik temu antara dalam mekanisme pasar itu antara konsumen dan produsen, sama dengan tadi, coba dalam struktur itu bagaimana instrumen untuk mengendalikan ini semua, kan ndak mungkin. 

    Kan ini kan hak bicara, jadi hak warga untuk menyampaikan pendapat. Sama saja semua. Dan saya sangat menghormati hak warga negara, hak berpendapat, mengeluarkan pendapat, itu dari sudut mana pun, kan itu rentangnya. Karena ini soal dalam rangka hak dasar warga negara.

    Berarti bapak dianggap sakti pak ada orang yang sampai berstatement seperti itu

    Iya, saya enggak juga, saya biasa aja kan. Semua bahwa ada koridornya, ada aturannya. Tapi saya kan tidak juga bisa membatasi kalau ada yang mau berpendapat, atau ada yang mau mengkritik. Kan tadi saya sampaikan, saya tidak antikritik dan saya juga tidak bisa membatasi yang lain berpendapat lain gitu. Ini kan soal sudut pandang, soal pendapat kan? Ya semua bisa berpendapat, publik bisa berpendapat.

    Yang penting fakta?

    Ya yang penting tidak hoaks ya, fakta.

    Sebagai contoh kasus pengaduan pencurian listrik kemarin di SMAN 2 karena podcast yang membicarakan soal Cakep dan Cawas, itu bukan perintah bapak?

    Iya saya tidak pernah antikritik, kan saya enggak ada ngomen itu, atau mengadakan perlawanan lagi, kan enggak kan. Ya saya nerima aja dibilangin apapun, saya memandang saya mendengarkan, ooh kalau ada yang saya salah, ya saya perbaiki gitu aja saya mah. 

    Tapi itu semua kan dalam proses kan. Jadi saya tidak bisa tampil begitu saja, karena tadi saya ini kan di koridor bahwa ada hal tertentu mungkin terkait dengan rahasia jabatan dan berbagai hal yang harus kita jaga secara komprehensif.

    Berarti apa-apa kebijakan bapak itu sudah sesuai dengan koridor hukum pak?

    Saya berusaha untuk itu ya, pedoman saya itu, pedoman saya itu koridornya aturan. Jadi ya mohon maaf kalau aturan itu membuat kita jadi harus berbeda pendapat. Tapi itu titik tengahnya, itu adalah aturan, saya selalu memegang itu.

    Meskipun kasus yang disebutkan tadi itu selesainya dengan pencabutan atas dasar permintaan maaf terhadap bapak bukan tuntutannya?

    Iya kan orang mau minta maaf, mau mengkritik, kan buat saya kan sama saja itu fungsinya. 

    Jadi menangis dan tertawa itu tipis sekali lho, kan suatu saat misal kita peran dalam keadaan gembira pun kita bisa menangis. Kegembiraan yang berlebih itu membuat kita menangis. Sama lah begitu, saya tidak pernah memerankan diri untuk yang apa ya, yang pembelaan atau apa itu. 

    Coba, pernah enggak saya ngotot membela statement saya atau apa, enggak. Makanya saya dalam berstatement begini terukur. Sorry kalau tidak bisa memuaskan penuh ya, terukur. 

    Kenapa? Saya memegang tadi, regulasi, kapasitas saya, jadi itulah yang selalu saya jaga. Mudah-mudahan saya jaga betul lisan saya karena perintah agama menjaga lisan kita kan. Jadi saya tidak dalam koridor yang lain-lain, saya tidak bermaksud menyinggung siapapun, pokoknya semua inginnya damai, inginnya harmonis, jadi begitu.(MUF/ENK)

     

  • 194 Tahun, Lebak Makin ‘Keras’

    Usia 194 tahun Lebak ternyata masih menyisakan banyak PR, mulai dari kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan juga masalah tingginya angka kekerasan dan pelecehan seksual. Dalam hal kekerasan terhadap perempuan dan anak, Kabupaten Lebak terus mengalami peningkatan angka laporan. Menjelang usia 2 abad, Lebak terlihat makin ‘keras’ dan tidak ramah anak.

    Lebak yang memiliki ciri khas religius ini harus melihat permasalahan ini sebagai salah satu hal yang harus diprioritaskan penyelesaiannya. Hal ini dikarenakan, permasalahan pelecehan dan kekerasan seksual itu tidak hanya selesai dengan dihukumnya pelaku, namun dapat menimbulkan efek trauma. Sebab itu, perlu ada pengalokasian anggaran khusus dalam segi penanganan trauma bagi para penyintas kekerasan dan pelecehan seksual tersebut, khususnya bagi anak-anak.

    Salah satu Pegiat Pattiro Banten yang berfokus kepada kekerasan terhadap anak, Martina Nursaprudianti mengatakan, sesuai dengan kajian yang pihaknya lakukan, angka kekerasan di Kabupaten Lebak meningkat tiap tahunnya. Menurutnya, hal tersebut tentu sangat memprihatinkan karena melihat predikat KLA tingkat Madya yang diberikan kepada Kabupaten Lebak seperti hanya penghargaan seremonial saja.

    Ia menyampaikan, berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Lebak berada di peringkat ketiga tertinggi kasus kekerasan terhadap anak di Banten dengan jumlah 140 kasus, naik sebesar 106 persen dari tahun 2021. Selain itu, dapat disimpulkan juga, di Lebak dalam setiap 2 hari terjadi 1 kasus kekerasan terhadap anak. Angka yang sangat tinggi mengingat adanya potensi fenomena gunung es, dimana masih banyak kasus yang belum dilaporkan.

    “Situasi saat ini anak-anak Lebak sangat rawan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual, hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama, terutama UPTD PPA sendiri, perlu adanya penanganan yang berkelanjutan bagi penyintas kekerasan,” kata Martina Kepada BANPOS, Kamis(1/12).

    Martina menjelaskan, pelanggaran pelecehan seksual kini dapat terjadi dimanapun, dan melalui apapun, di tempat umum, di tempat tertutup, secara verbal maupun non-verbal. Payung hukum dari penindakan pelaku pelecehan seksual sendiri tertera pada Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP) dalam Buku Kedua tentang Kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan (Pasal 281 sampai Pasal 303). Menurutnya, regulasi yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah pusat tidak cukup, pemerintah daerah perlu mengeluarkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan pada perempuan dan anak, dengan disertai komitmen yang kuat. Dengan disiapkannya Raperda Kabupaten Layak Anak di Lebak, tentu membawa angin segar bagi keselamatan dan kenyamanan anak. Hal itu harus segera diselesaikan dan dipraktekkan di tiap-tiap sektor wilayah.

    “Jangan sampai Perda KLA yang sedang dipersiapkan nantinya menjadi pajangan saja, harus diimplementasikan agar anak mendapat keamanan baik di rumah, sekolah maupun di ruang publik,” jelasnya.

    Ia menerangkan, berdasarkan data yang dimiliki oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Lebak, sejak Januari hingga Oktober terdapat kasus kekerasan kepada anak sejumlah 35 orang, Sedangkan Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Lebak mencatat yakni sebanyak 15 kasus pelecehan dan kekerasan. Kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi terakhir yang telah dilakukan oleh orangtuanya sendiri.

    “Tentu saja ini sangat memprihatinkan, seperti tidak ada tempat yang layak untuk anak, pemerintah harus segera mengevaluasi terkait implementasi KLA di Lebak,” ujarnya.

    Senada dengan Martina, Pegiat Pattiro Banten yang juga terjun langsung dalam perkembangan perlindungan Perempuan juga menyatakan ada permasalahan terkait perlindungan anak dan perempuan di Kabupaten Lebak.

    Menurutnya, berdasarkan data Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Lebak, pada Oktober 2022, kasus kekerasan seksual berjumlah 45 kasus.

    “Pada 30 November, jumlahnya bertambah menjadi 70 kasus. Mirisnya, sebagian besar kasus tersebut yang paling dominan kasus kekerasan seksual dibawah usia lima tahun,” ungkapnya.

    Monica mengatakan, maraknya kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak di Kabupaten Lebak menimbulkan adanya fenomena gap gender. Hal tersebut merupakan kondisi dimana adanya perasaan superioritas dan relasi kuasa antara satu gender ke gender yang lain yang kemudian menciptakan adanya kesenjangan gender.

    “Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi seperti kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, eksploitasi manusia dan lain-lain,” kata Monica.

    Ia menjelaskan, hal tersebut muncul disebabkan oleh budaya patriarki dan konstruksi sosial atau norma-norma sosial yang masih kental di masyarakat, serta perhatian pemerintah dan berbagai lapisan masyarakat.

    Ia berharap, Kabupaten Lebak yang sudah memasuki usia hampir dua abad tersebut, lebih serius dalam memperhatikan dan menangani permasalahan yang dihadapi oleh perempuan.

    Terpisah, Sekretaris Umum Rumah Perempuan dan Anak (RPA) Lebak, Ratu Nisya mengatakan, pihaknya menyoroti kinerja dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) PPA Kabupaten Lebak . menurutnya, UPTD PPA Lebak yang seharusnya bekerja secara profesional justru mengabaikan dan bekerja dibawah standarisasi yang ada. Problematika perempuan dan anak ini yang seharusnya langsung cepat dapat diselesaikan, justru makin lambat karena kinerja UPTD PPA yang dinilainya buruk.

    Ratu menerangkan, sesuai UU TPKS, korban kasus pelecehan dan kekerasan seksual baik dari hak korban sampai dengan keluarga korban jelas terpampang. Pengawalan kasus bukan hanya sampai pada penjengukan korban ke lokasi kediaman korban, namun lebih dari itu, pengawalan proses pelaporan sampai pengawalan pendampingan korban, baik dari pendampingan pemulihan psikis sampai persidangan itu menjadi tanggung jawab UPTD PPA.

    “Berdasarkan dari hasil kajian dan pengamatan kami, hak-hak diatas tersebut terabaikan oleh UPTD PPA. Maka dari itu saya menyatakan mosi tidak percaya atas kinerja UPTD PPA Kabupaten Lebak,” kata Ratu.

    Ratu menduga, terdapat ketidakharmonisan antara UPTD PPA dengan Dinas DP3AP2KB yang seharusnya menjadi induk dalam pekerjaannya justru memecah belah. Menurutnya, Kepala Dinas DP3AP2KB harus lebih tegas dan mampu menyelesaikan permasalahan internal.

    “Ada apa sebenarnya dengan UPTD PPA dan unsur pimpinan Dinas yang masih mempertahankan orang yang tidak bekerja sesuai prosedur dan profesional, sehingga melahirkan banyak permasalahan di Kabupaten Lebak,” ucapnya geram.

    “Di usia 194 Tahun Kabupaten Lebak, harus dilakukan evaluasi besar-besaran atas kemunduran ditengah kemajuannya selama ini agar apa yang menjadi harapan bersama akan secara maksimal terlaksana,” imbuhnya.

    Sementara itu, Kabid Perlindungan Anak DP3AP2KB, Euis Sulaeha mengatakan, pihaknya sedang mendorong percepatan penetapan Perda KLA di Kabupaten Lebak dengan mulai membentuk Satuan Tugas KLA. Menurutnya, antusiasme para pegiat anak sangat besar dengan adanya Perda tersebut.

    “Iya kita terus berupaya, kita ikhtiarkan bersama demi kebaikan anak,” kata Euis saat dikonfirmasi BANPOS di ruang kerjanya.

    Euis menjelaskan, pihaknya tidak akan mengelak tentang meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Kabupaten Lebak. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan mulai munculnya kesadaran masyarakat akan pentingnya melakukan pelaporan ketika adanya tindak kekerasan terhadap anak.

    “Saat ini masyarakat sudah mulai paham dengan jenis-jenis kekerasannya, tata cara melapor dan juga pihak mana yang dapat menerima aduan. Peningkatan data tersebut karena masyarakat sudah berani lapor, itu bagus untuk memudahkan penanganan,” jelas Euis.

    Saat dikonfirmasi terkait ketidak harmonisan dengan UPTD PPA, ia enggan banyak berkomentar. Menurutnya, pihaknya selalu berupaya memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat.

    “Sudah sesuai tugasnya masing-masing, mereka fokus ke penanganan, kami fokus ke pencegahan,” tandasnya.

    Berdasarkan informasi yang dihimpun BANPOS, kasus kekerasan terhadap perempuan hingga akhir November 2022 diantaranya ialah, KDRT sebanyak 50 kasus, TPPO sebanyak 1 kasus dan pelecehan seksual anak sebanyak 45 kasus.

    “Korbannya itu antara suami istri, orang tua ke anak kandung dan tiri, pacar dibawah umur, paman ke keponakan, guru ke murid, ustadz ke santriwati dan masih banyak lagi,” kata Kabid PUK dan PP DP3AP2KB Lebak, Rt. Imas Trisnawati.

    Imas menjelaskan, mayoritas kekerasan yang terjadi ialah pemukulan fisik, penelantaran, pemerkosaan hingga penipuan terhadap pekerja perempuan. Menurutnya, hal tersebut terjadi di berbagai tempat yang membuat perempuan merasa tak ada lagi tempat yang nyaman. Aktivitas bersiul, mengedipkan mata, berjabat tangan secara tak wajar pun dapat dikenakan pidana.

    “Sebenarnya, di tempat kerja pun kadang sering terjadi, Cuma belum ada pelaporan saja,” jelasnya.

    Ia menerangkan, peran perempuan dalam masyarakat lebih sering dilihat dari kemampuan fisiknya, yang kemudian berpengaruh pada kedudukannya. Patriarki menempatkan perempuan sebagai manusia kedua membuat kesempatan baginya seolah menipis disetiap sektor kehidupan. Menurutnya, peran perempuan sangat dibutuhkan untuk memajukan suatu bangsa. Perempuan harus diberi akses untuk selalu beraktivitas di ranah publik.

    “Kalau PA punya KLA, kita punya Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak. Insyaallah kita selesaikan tahun depan demi kebaikan kita bersama, karena anak tak pernah lepas dari peran perempuan,” tandasnya.

    BANPOS mencoba menghubungi Pihak UPTD PPA untuk mengkonfirmasi isu ketidakharmonisan antara pihaknya dengan Dinas. Namun BANPOS tak mendapatkan respon. (CR-01/PBN)

  • PHK di Kota, Kemiskinan di Lebak Meningkat 

    Angka kemiskinan di Kabupaten Lebak mengalami peningkatan secara signifikan dalam tiga tahun terakhir. Menurut data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2021 kemiskinan di Kabupaten Lebak meningkat menjadi 10.29 persen.

    Peningkatan jumlah kemiskinan tersebut sering dikaitkan dengan munculnya pandemi Covid-19 yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal hampir di setiap perusahaan.

    Plt Kabid Pemberdayaan Dinas Sosial, Lela Gifty mengatakan, angka kemiskinan di Kabupaten Lebak cenderung meningkat di masa pandemi. Dimulai dari beberapa kebijakan yang cukup menghambat aktivitas masyarakat hingga Pemberhentian Hubungan Kerja besar-besaran ia sebut sebagai faktor utama peningkatan persentase kemiskinan di Lebak.

    “Iya meningkat secara umumnya, salah satunya karena banyak yang di PHK saat pandemi, atau para pengusaha yang gulung tikar, bahkan usaha kecil menengah milik masyarakat pun tak lepas dari efeknya,” kata Lela.

    Lela menjelaskan, masyarakat miskin atau keluarga pra-sejahtera yang terdata di DTKS dapat terlihat layak masuk di kategori miskin ialah mereka yang mendapatkan pendapatan dibawah Rp600 ribu, serta tak memiliki tempat tinggal yang layak. Ketika sudah termasuk kedalam kategori miskin, mereka akan mendapatkan bantuan sosial baik melalui PKH maupun BPNT yang dimana penyalurannya dilakukan rutin dan bertahap.

    Menurutnya, bantuan yang diberikan kepada masyarakat tersebut dikatakan belum cukup untuk meningkatkan status sosialnya. Namun, bisa dikatakan cukup untuk membantu kebutuhannya sehari-hari.

    “Kalau ditanya cukup tidaknya sih mungkin masih kurang, tapi kalau untuk makan setidaknya dua kali sehari akan cukup membantu. Karena bantuannya kan berupa uang tunai juga sembako,” jelas Lela.

    Ia menerangkan, Keluarga Penerima Harapan (KPM) akan menerima bantuan selama lima tahun. Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk mendorong masyarakat agar dapat hidup mandiri setelah menerima bantuan tersebut.

    “Nantinya akan ada bantuan juga di rentang usia 20 sampai 40 tahun, dimana bentuk bantuannya ditujukan sebagai modal usaha. Kita harus buat masyarakat agar bisa terbebas dari zona kemiskinan dengan memanfaatkan fasilitas yang diberikan,” ujarnya.

    Ia berharap, masyarakat yang masuk kedalam kategori miskin atau biasa disebut sebagai masyarakat pra sejahtera harus bisa memanfaatkan bantuan yang ada. Menurutnya, masih banyak oknum yang merasa nyaman dengan bantuan tersebut.

    “kita semua harus bisa mandiri, jangan sampai ketergantungan dengan pihak manapun,” tandasnya.

    Sementara itu, Kepala Bidang Perekonomian dan SDA Bapelitbangda Kabupaten Lebak, Iman Hiddayat mengatakan, jumlah penduduk miskin yang dikeluarkan oleh BPS itu dilihat dari seberapa besar pengeluaran perkapita masyarakat, hal ini tentunya sangat dipengaruhi oleh besarnya pendapatan dan skala prioritas untuk melakukan konsumsi.

    “Kita semua tahu bahwa mayoritas penduduk kita melakukan kegiatan usahanya di sektor pertanian tradisional sehingga sumber pendapatan masyarakat di Kabupaten Lebak diperoleh dari sektor pertanian,” kata Imam.

    Imam menjelaskan, pada tahun 2021 secara makro ekonomi mulai pulih, hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang positif dibanding tahun sebelumnya yang mengalami pertumbuhan yg negatif. Namun menurutnya, hal itu tidak cukup kuat untuk mendorong peningkatan pendapatan masyarakat terutama bagi masyarakat yg bergerak di sektor pertanian tingginya biaya produksi dalam usaha pertanian menyebabkan kan banyaknya pelaku usaha sektor pertanian di Kabupaten Lebak yg menghentikan usahanya.

    “Selain itu juga saya melihat banyaknya masyarakat Kabupaten Lebak yg korban PHK di Kota-kota besar seperti Jakarta dan tangerang akibat pandemi Covid kembali ke Lebak dan menganggur,” jelas Imam.

    Ia menerangkan, terdapat tiga hal yang sedang dan akan Pemerintah Kabupaten Lebak upayakan untuk menekan angka Kemiskinan diantaranya, pengurangan beban hidup yaitu melalui Bantuan Sosial Pendidikan, Kesehatan, perumahan dan pangan, Peningkatan Pendapatan Masyarakat Miskin dan hampir miskin melalui peningkatan produktivitas sektor pertanian dan UMKM, peningkatan produksi hasil industri pertanian dan peningkatan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat mampu. Serta, penurunan kantong-kantong kemiskinan melalui pemenuhan pelayanan dasar dan peningkatan konektivitas antar wilayah.

    “Yang jelas target kita untuk angka kemiskinan di masa akhir periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) itu 9 persen,” ujarnya.

    Ia berharap, adanya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dimana ekonomi mengalami pertumbuhan yang baik diikuti dengan menurunnya tingkat pengangguran dan angka kemiskinan.

    “ya kita harapkan stabilitas ekonomi bisa terjaga dan seimbang untuk kebaikan kita bersama dimasa mendatang,” tandasnya.

    Pengamat Kebijakan Publik dan Politik, Harits Hijrah Wicaksana mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah untuk Lebak. Menurutnya, ada banyak hal yang perlu dibenahi, mulai dari pembangunan infrastruktur, pembangunan manusia, kesejahteraan, pendidikan, kemiskinan dan lain sebagainya.

    “Saya melihat bahwa permasalahan Lebak ini bukan hanya tentang kemiskinan, kita lihat dari sudut pandang yang lebih besa,r yaitu pembangunan,” kata Harits saat dihubungi BANPOS melalui panggilan telepon.

    Harits menjelaskan, terdapat lima indikator untuk menyatakan pembangunan di suatu daerah berhasil. Menurutnya, jika pemerintah daerah mengatakan pembangunannya berhasil, kita memiliki lima hal untuk melakukan pengkajian sebelum menolak atau menyepakati pernyataan tersebut.

    “Syarat yang pertama dikatakan berhasilnya suatu pembangunan adalah pembangunan ekonomi atau produktivitas mengalami peningkatan di wilayah tersebut. Meningkatnya itu dilihat dari daya beli masyarakat, itu secara lebih mudahnya,” jelas Harits.

    Ia menerangkan, pusat pertumbuhan pembangunan di Lebak masih belum merata. Perputaran ekonomi masih bertumpu di Lebak utara yakni Kecamatan Rangkasbitung dan sekitarnya.

    “Selain itu juga IPM kita masih rendah sekali, bahkan tidak ada peningkatan di beberapa tahun ke belakang,” ujar Harits.

    Lebih lanjut ia mengatakan, lingkungan sosial dan alam juga menjadi indikator keberhasilan suatu wilayah, keamanan lingkungan sosial dari kriminalitas, narkotika dan sebagainya. Ia menyampaikan, saat ini visi pembangunan berkelanjutan Lebak belum terlihat.

    “Pembangunan itu harus bisa dirasakan oleh generasi selanjutnya, kita harus menjaga kelestarian yang ada. Jangan sampai hanya kita-kita saja yang dapat enaknya,” kata Harits.

    “Untuk HUT kali ini marilah kita menjadi masyarakat dewasa, jangan hanya kita mencemooh dan menekan pemerintah saja. Ayo kita bersama-sama menjadikan Lebak lebih maju, mulai dari desa, ASN, pendidik hingga mahasiswa,” tambahnya.

    Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI-MPO) Cabang Lebak, Habibullah mengatakan, tingginya persentase kemiskinan di Kabupaten Lebak menjadi sebuah pertanyaan besar. Menurutnya, hal tersebut dapat menjadi aib bagi Lebak yang baru-baru ini banjir penghargaan dari berbagai pihak swasta, nasional hingga internasional.

    “Berbicara soal kemajuan suatu daerah tidak mungkin jika mengesampingkan soal kesejahteraan rakyat,” kata Habibullah kepada BANPOS, Kamis (1/12).

    Ia menjelaskan, hal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Menurutnya, kemiskinan terjadi bukan karena pandemi saja, namun keseriusan pemerintah dalam memperhatikan potensi yang dimiliki oleh SDM Lebak juga harus terus digenjot dan difasilitasi.

    “Saya pahami bahwa visi misi bupati untuk destinasi wisata basis nasional, tapi jika hanya berfokus pada infrastruktur saja buat apa,” jelas Habib.

    Ia menerangkan, kurang dari 1 kilometer dengan kantor bupati masih banyak masyarakat yang kelaparan, anak di bawah umur yang mengamen bahkan tak sedikit ditemukan lansia yang harus menjadi pengemis.

    “Pemerintah harus evaluasi besar-besaran demi kesejahteraan Rakyat. Bertepatan dengan HUT Lebak, lebih baik dijadikan bahan evaluasi segala pihak dibandingkan menghamburkan anggaran untuk acara yang tidak semua masyarakat lebak merasakan,” tandasnya.(CR-01/PBN)

    BalasTeruskan