Pemerintah India kabarnya membatalkan rencana impor minyak mentah Rusia. Keputusan tersebut diambil India usai Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi menggelar pertemuan terbatas dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, Senin (11/4).
Menurut salah satu pejabat AS yang menghadiri pertemuan tersebut, pembicaraan antar kepala negara ini murni membahas sisi positif maupun negatif dari adanya aktivitas impor minyak dari Rusia ke India.
Dalam rapat yang digelar secara online ini, Biden menyebut, keputusan India untuk memutus kegiatan impor minyak Rusia akan berimbas pada melemahnya roda perekonomian negara Vladimir Putin. Hal ini nantinya akan berdampak pada berkurangnya intensitas operasi militer Rusia ke Ukraina.
Mengingat beberapa hari belakangan ini warga Ukraina kerap menjadi sasaran amuk para militer Rusia. Seperti kasus pembantaian di Bucha yang sempat menghebohkan jejaring media sosial. Meningkatnya kekhawatiran tersebut membuat Biden meminta Modi membatalkan impor minyak dari Rusia.
“Presiden Biden menyampaikan dengan sangat jelas bahwa mereka tidak berkepentingan untuk meningkatkan impor. Biden juga menjelaskan bahwa ia tidak yakin percepatan atau peningkatan impor energi dan komoditas lainnya dari Rusia akan menguntungkan India,” kata juru bicara Gedung Putih Jen Psaki dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, India terpikat diskon besar dari Rusia. Hal ini membuat India memborong 13 juta barel minyak mentah dari Rusia, tepatnya pada awal invasi di akhir Februari 2022. Meski India telah memutuskan kontrak impor dengan Rusia, namun India menegaskan, pihaknya akan tetap bersikap netral dalam perang Rusia di Ukraina.
India hingga saat ini ikut menahan diri untuk tidak menjatuhkan sanksi apapun terhadap Rusia. Sebelumnya, Menteri Energi Rusia Nikolai Shulginov mengatakan kepada surat kabar Izvestia, Moskow siap menjual minyak dan produk minyak ke negara-negara bersahabat dalam kisaran harga 80-150 dolar AS per barel pada prinsipnya mungkin.
Tetapi Shulginov menekankan, Rusia menjual minyak dengan harga teman ini untuk memastikan industri minyak terus berjalan. Sebelumnya, pada awal Maret lalu AS menjatuhkan sanksi terhadap sektor minyak dan gas (migas) Rusia.
Biden mengumumkan, negaranya melarang semua impor minyak, gas alam, dan energi dari Rusia. Biden menggambarkan langkah itu sebagai upaya menargetkan arteri utama ekonomi Rusia. Pengumuman itu berdampak pada terguncangnya harga minyak dunia yang sudah cukup tinggi. Bahkan, sebelum jatuhnya sanksi dari AS.
Sebelum rencana itu diumumkan, harga minyak mentah Brent menyentuh harga 139,12 dolar AS per barel, sedikit lagi mendekati harga tertingginya pada 2008. Sementara, West Texas Intermediate ditutup di harga 130,50 dolar AS. Harga minyak telah melonjak lebih dari 30 persen sejak perang Rusia Ukraina. Ini karena Rusia merupakan salah satu produsen minyak mentah dunia.
Berdasarkan data dari British Petroleum (BP) Statistical Review of World Energy 2021, Rusia memproduksi 10,667 juta barel per hari atau setara 12,6 persen produksi global. Jumlah ini tak jauh di bawah Amerika Serikat (16,476 juta barel per hari) dan di atas produksi Arab Saudi yang sebesar11,039 juta barel per hari.
Sejumlah negara sangat bergantung pada minyak dan gas Rusia. Negara Uni Eropa adalah importir migas Rusia. Sekitar 40 persen dari total konsumsi gas Eropa dipasok Rusia. Jerman, misalnya, mengimpor 55 persen gas alam, 35 persen minyak bumi, dan 50 persen batubara dari Rusia.
Akibatnya, anggota Uni Eropa akhirnya satu per satu mencari kerja sama dengan negara Timur Tengah terkait pasokan migas. Jerman segera menjajaki kerja sama dengan Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA). Inggris juga berupaya mengamankan minyak di UEA dan Arab Saudi, meskipun gagal. [MEL/RM.ID]