Pendiri dan Ketua Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal mengatakan, invasi Rusia ke Ukraina telah berdampak besar bagi G20.
Wajar, jika marak pertanyaan dan perdebatan, mengenai keanggotaan Rusia dalam kelompok 20 negara perekonomian terbesar di dunia.
“Apakah G20 akan tetap menjadi G20? Atau menjadi G19 tanpa Rusia? Atau bahkan menjadi G13, tanpa G7? Atau bubar menjadi G0?” kata Dino melalui kanal YouTube Sekretariat FPCI.
Apa pun perkembangan yang terjadi, Dino meyakini, G20 tidak akan sama seperti sebelumnya.
“G20 kini sedang sakit. Terpecah-belah. Kalau tidak hati-hati, bisa menjadi disfungsional,” ucap mantan Wakil Menteri Luar Negeri di masa pemerintahan Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono ini.
Dino menjelaskan, dalam tubuh G20, negara-negara G7 yang terdiri dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat kompak menentang kehadiran Rusia.
Negara-negara MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia), juga sudah retak karena Perdana Menteri Australia Scott Morrison menentang kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin di KTT G20 Bali.
Sementara negara-negara BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan), tampaknya juga akan menentang upaya mengeluarkan Rusia dari G20.
Sedangkan negara-negara Amerika Latin seperti Argentina, Meksiko dan Arab Saudi dan Korea Selatan masih belum diketahui posisinya. Meski, seperti halnya Indonesia, mereka semua mendukung Resolusi Majelis Umum PBB yang mengecam Rusia.
Tak Mau Semeja Dengan Putin
Untuk diketahui, 14 dari total negara G20 mendukung Resolusi Majelis Umum PBB, yang menentang invasi Rusia ke Ukraina.
11 negara tersebut bahkan menjadi co–sponsored resolusi tersebut.
“Yang perlu dicermati, suasana politik dalam tubuh G20 kini menjadi sangat buruk. Pertikaian geopolitik antara Barat dan Rusia semakin tajam. Sanksi ekonomi juga semakin gencar,” terang Dino.
Dia menegaskan, pemimpin-pemimpin negara Barat di G20 tidak mau duduk semeja dengan Presiden Putin.
Menurutnya, kalau Rusia berhasil menaklukkan Ukraina dalam beberapa minggu atau bulan, pertikaian Rusia dan Barat akan semakin memuncak.
Dan kalaupun ada perdamaian di Ukraina, pertikaian antara Barat dan Rusia juga akan terus berlanjut. Karena sudah menjadi konflik strategis dan sistemik.
“Saya yakin, invasi Rusia ke Ukraina akan dicatat sejarah sebagai sebuah kesalahan besar. Sama seperti invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990, dan invasi AS ke Irak pada 2003. Saya juga yakin, sejarah Rusia juga akan mencatat invasi ini sebagai suatu tindakan salah langkah. Yang tak hanya mengakibatkan destabilisasi dunia, tetapi juga merugikan Rusia sendiri,” jelas Dino.
Hal Sakral Dilanggar
Invasi Rusia juga mengusik jati diri Indonesia sebagai bangsa yang mencintai kemerdekaan, kedaulatan, perdamaian, persatuan bangsa, demokrasi, dan kemanusiaan.
“Semua hal yang sakral bagi kita ini, jelas dilanggar Rusia di Ukraina. Lantas bagaimana dengan nasib G20? Walaupun G20 sedang kisruh, Indonesia sangat berkepentingan menjaga G20,” tutur Dino.
Sebagai negara yang memiliki andil melahirkan proses KTT G20 pada tahun 2008, Dino menilai, Indonesia memiliki kepentingan untuk menjaga agar G20 tetap utuh dan tidak runtuh.
Kenapa? Karena saat ini Indonesia juga sedang berada dalam situasi perjuangan besar menghadapi agenda berat internasional. Yaitu pemulihan ekonomi, pandemi, dan perubahan iklim.
Semuanya mutlak memerlukan kehadiran dan kerja sama G20.
Negara-negara G20 mencakup 85 persen dari ekonomi dunia, tiga perempat perdagangan dunia, dua pertiga dari total penduduk bumi, dan 80 persen emisi global.
Sehingga, secara global, kesepakatan yang diambil G20 jauh lebih berdampak dibanding Resolusi PBB atau ASEAN.
Jangan Lumpuh
Kalau G20 lumpuh, maka solusi terhadap masalah-masalah dunia ini akan semakin rapuh. Karena itulah, G20 menjadi ujian terberat bagi diplomasi Indonesia.
“Jangan sampai, sejarah mencatat, G20 lumpuh dalam masa Presidensi Indonesia. Kita pasti akan ditarik-tarik ke berbagai arah,” cetus Dino.
Sebagai Presiden G20, Dino menyarankan Indonesia untuk memperhatikan pandangan semua anggota G20. Meski G20 adalah forum ekonomi, faktor politik tampaknya akan banyak mempengaruhi.
Modal Politik
Untuk menjaga G20, Dino mengatakan, Indonesia harus bisa memanfaatkan modal politik dan diplomatik. Baik terhadap negara Barat, Rusia, China, dan sesama middle powers.
“Kita masih punya modal politik dengan Rusia. Karena walaupun mendukung resolusi PBB yang keras terhadap Rusia, Indonesia tidak menerapkan sanksi terhadap Rusia,” urai Dino.
“Hubungan bilateral Jakarta-Moskow juga masih normal,” sambungnya.
Dino menekankan, Indonesia perlu menjaga, agar pembahasan dalam pilar-pilar G20 terus bergerak. Seperti Business20, Civil20, Urban20, Labor20, ThinkTank20, Science20, Parliament20, Youth20, Woman20.
Tak kalah penting, Dino menganjurkan Presiden Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melakukan zoom diplomacy. Yaitu lobi melalui telekonferensi secara intensif, dengan pemimpin G20 lainnya, untuk mencari formula yang dapat menjaga keutuhan G20.
“Solusi keutuhan G20 harus dirintis sejak awal. Jangan telat menunggu situasi semakin tak terkendali. KTT ASEAN-AS pada pertengahan tahun ini, juga perlu dimanfaatkan Presiden Jokowi untuk meyakinkan Presiden AS Joe Biden secara bilateral,” tegas Dino.
Middle Powers
Terkait pentingnya upaya menjaga keutuhan G20, Dino menilai, pertemuan kedua pemimpin merupakan peluang baik untuk bicara blak-blakan mengenai masalah yang sensitif terkait G20.
Di luar jalur G20, Presiden Jokowi juga dapat mengirimkan special envoy ke Ukraina dan Rusia, untuk membantu mencari jalan keluar dalam konflik ini.
“Mungkin ada yang bilang, apa bisa? Menurut saya, kenapa tidak. Kita sebaiknya terlibat bukan sebagai mediator, karena ini lebih ribet urusannya. Namun, sebagai good office yang mungkin dapat menemukan aspek tertentu, yang dapat dijembatani dari konflik ini. Saya yakin, inisiatif ini pasti akan diterima dengan baik oleh Rusia dan Ukraina,” papar Dino.
Selain itu, Dino juga meminta Indonesia untuk melakukan kerja sama intensif dengan sesama middle powers, yang sebetulnya adalah kelompok informal terbesar di G20. Yaitu, afsel Korsel dan Arab Saudi, Turki, Australia, Brazil, Argentina, dan Meksiko.
Peran China
“Jangan lupa menggaet China. Dari semua negara di dunia, saat ini China adalah negara yang paling memiliki pengaruh terbesar terhadap Rusia. Pandangan Presiden China Xi Jinping pasti akan didengar Presiden Rusia Vladimir Putin,” kata Dino.
Dunia Barat yang baru saja mempermalukan China dengan melakukan boikot Olimpiade Musim Dingin, menurutnya juga harus lebih bijak memperlakukan China.
Mungkin, dalam mencari solusi perang di Ukraina, diplomasi Indonesia juga dapat bersinergi dengan diplomasi China.
“Dalam KTT G20 nanti, Indonesia juga tidak perlu alergi terhadap rujukan perang di Ukraina, dalam deklarasi akhir G20. Karena kalau sama sekali tidak merujuk pada situasi Ukraina, maka G20 akan kehilangan kredibilitas di mata internasional,” terang Dino.
Sebagai Presiden G20, Indonesia juga tidak bisa membungkam atau menghiraukan negara mana pun yang ingin berbicara.
“Ingat, sebagai Presiden G20, Indonesia berada dalam posisi sebagai pemimpin. Bukan moderator acara. Kita juga harus realistis, dan menurunkan ekspektasi yang berlebihan. Karena dalam suasana pertengkaran dan perpecahan, ruang gerak G20 menjadi sangat terbatas,” pesan Dino.
Yang penting, lanjutnya, kita harus bisa meminimalkan damage yang terjadi di G20.
Sebisa mungkin, mencapai suatu kesepakatan minim, yang bisa menghindari terjadinya krisis ekonomi dunia. Dengan menjaga kerja sama pandemi dan perubahan iklim. Serta menjaga kestabilan keuangan, keamanan pangan dan energi, jaringan supply chain dan inflasi.
“Jangan lupa, G20 masih 8 bulan lagi. Jadi, masih ada kemungkinan munculnya faktor X yang belum kita ketahui wujudnya. Namun, bisa mengubah kalkulasi politik di G20. Semoga, faktor X ini adalah sesuatu yang positif. Bukan negatif,” tutur Dino.
Bergradasi
Intinya, dalam situasi yang cair dan berbahaya ini, posisi Indonesia harus bergradasi.
Pertama, dalam konflik geopolitik Rusia-Ukraina yang semakin keras, Indonesia selayaknya tidak berpihak.
Kedua, mengenai invasi Rusia, kita harus dengan lugas menentang aksi Rusia tersebut. Karena telah melanggar kedaulatan dan kemerdekaan Ukraina, dan menginjak-injak hukum internasional.
Menurut Dino, hal tersebut perlu secara jelas disampaikan. Baik secara multilateral seperti yang sudah disampaikan RI di PBB. Namun juga secara bilateral.
“Ini belum dilakukan oleh Indonesia terhadap Rusia. Justru di sini, sikap politik bebas aktif Indonesia harus kita tunjukkan kepada Rusia. Namun, kita juga harus jeli mencari celah di mana Indonesia bisa berkontribusi meredam konflik,” tandas Dino.
Mengenai G20, Dino menekankan, Indonesia berkepentingan menjaga keutuhan G20. Bagaimana pun caranya. Indonesia bahkan harus berupaya, agar KTT G20 pada November mendatang, bisa produktif menghasilkan kesepakatan yang bermanfaat bagi ekonomi dunia. Termasuk Indonesia.
“Di dunia internasional, Indonesia selalu menampilkan diri sebagai bridge–builder dan consensus–builder. Inilah tantangan terbesar bagi Indonesia. Apakah kita bisa menjembatani berbagai posisi, yang banyak sekali bertentangan dalam situasi yang panas? Inilah waktunya bagi Indonesia, untuk mengibarkan diplomasi yang excellent,” pungkas Dino. [HES/RM.id]