Dulu, Kota Otaru merupakan lokasi utama pendaratan kapal-kapal penangkap ikan herring, yang banyak tersebar di perairan Pulau Hokkaido, Jepang.
Untuk memfasilitasi hal itu, Otaru membangun berbagai sarana. Mulai dari pelabuhan, gudang penyimpanan ikan, hingga Kanal Otaru sepanjang 1,14 kilometer, yang membelah pesisir kota itu.
Wartawan Rakyat Merdeka Paul Yoanda, berkesempatan berkeliling Kota Otaru secara daring, sebagai bagian dari program Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths (Jaringan Pertukaran Pelajar dan Pemuda Jepang-Asia Timur/Jenesys).
Program tahunan itu diselenggarakan Japan International Cooperation Center (JICE), sebuah lembaga di bawah Kementerian Luar Negeri Jepang. Program Jenesys tahun ini digelar secara daring pada 9, 10, 11,12, dan 15 Maret 2022.
Wilayah Shukutsu di pesisir Kota Otaru, merupakan pelabuhan pendaratan ikan herring. Meski merupakan kota pelabuhan, lansekap Shukutsu beragam. Mulai dari pantai yang landai, hingga pegunungan yang membentang menghadap langsung ke laut.
Pada Kamis (10/3), sebagian wilayah Shukutsu masih putih berselimut salju. Dalam tur, terlihat bangunan-bangunan utama di pelabuhan. Mulai dari gudang penyimpanan, hingga observatorium yang berada di atas bukit yang menghadap laut. Bangunannya terlihat masih tradisional, dengan warnawarna yang cukup mencolok dari dataran yang tertutup salju.
Masaya Moriai, pemandu dalam tur daring itu menjelaskan, saat ini hanya tersisa 20 bangunan gudang yang juga dijadikan rumah tersebut. Kata dia, bangunan-bangunan itu disebut Istana Herring, dibuat dengan sangat mewah. Para pemilik bangunan seakan berlomba membuat Istana Herring paling mewah.
Moriai bilang, herring benar-benar seperti emas, membuat banyak orang menjadi kaya. Bahkan, Istana Herring paling mahal kala itu, dibangun dengan dana hingga 3 miliar yen Jepang.
“Jika dinilai saat ini, sekitar Rp 369 miliar,” ucapnya.
Moriai menambahkan, jumlah penangkapan ikan herring sekarang sudah menurun. Sehingga banyak Istana Herring yang kini sudah tidak dipakai, dan beralih fungsi menjadi museum. Biasanya, musim penangkapan ikan herring dimulai dari Maret hingga Mei.
“Saking banyaknya, dulu laut di sekitar Otaru putih, karena sperma ikan herring yang banyak tersebar saat musim kawin,” ungkapnya.
Lebih lanjut, karena masifnya penangkapan ikan herring dulu, Pemerintah membangun kanal sepanjang 1,14 km, untuk mengurangi kemacetan kapal-kapal penangkap ikan yang akan berlabuh di Otaru. Kanal itu diberi nama Kanal Otaru. Jadi, kapal-kapal bisa berlabuh dan mendaratkan ikan hingga masuk ke daratan.
Kini, kanal itu tak lagi jadi akses untuk mendaratkan ikan. Saat ini, kata Moriari, kanal dipakai untuk perjalanan kapal-kapal yang lebih kecil, yang disebut sebagai pesiar. Kapal-kapal itu ditambatkan di sisi-sisi kanal, dan baru berjalan jika ada wisatawan atau warga yang ingin “berpesiar”.
Saat ini, lebar kanal sekitar 20 meter, dari sebelumnya 40 meter. Saat pertama kali dibangun dan digunakan, Kanal Otaru terlihat sangat terawat, dengan air jernih, tanpa kotoran. Lampu-lampu di pinggir kanal, yang menyala temaram di malam hari, seakan menghangatkan Kota Otaru yang masih berselimut salju.
“Buat yang mau berpesiar di kanal ini, bisa menaiki kapal selama 40 menit,” katanya.
Selain wilayah pesisir, Moriai juga mengajak peserta program Jenesys berkunjung ke Jalan Sakaimachidori, di pusat Kota Otaru. Di sepanjang jalan itu berjejer berbagai toko yang menjajakan berbagai hal, mulai dari makanan khas seperti ikan laut segar, hingga peralatan berbahan kaca. Selain ikan, Otaru memang juga dikenal sebagai Kota Kaca.
Jalan Sakaimachidori hari itu sepi. Tumpukan salju masih terlihat di pinggir-pinggir jalan. Agar orang dan kendaraan bisa lewat dengan leluasa, Pemerintah setempat menaburkan garam dan pasir di atas salju.
Dia menjelaskan, dulu para nelayan tradisional di Otaru, menangkap ikan menggunakan api yang diletakkan di dalam bola kaca. Gunanya, untuk menarik ikan-ikan herring sehingga mudah ditangkap. Kini, kaca-kaca seperti itu dijual sebagai cinderamata.
Untuk mempromosikan kerajinan kaca di Otaru, sejumlah toko juga kerap mengadakan workshop. Jadi, kata Moriai, pengunjung-pengunjung yang datang bisa membuat sendiri bentuk yang mereka sukai dari bahan kaca. “Di tokonya ada mesin untuk melelehkan kaca, dan mesin untuk membentuknya,” ucapnya. [PYB/RM.id]