PADA bulan Mei 2022, proses pengisian jabatan penjabat kepala daerah dimulai untuk 5 gubernur, 37 bupati, dan 6 wali kota di Indonesia. Tantangan besar muncul karena jumlah yang harus diangkat pada tahun 2022 sebanyak 101 daerah, diikuti dengan 171 daerah pada tahun 2023. Totalnya, pemerintah harus menunjuk 272 PKD hingga tahun 2024, yang merupakan setengah dari keseluruhan jumlah provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia.
Kendati jumlahnya banyak, masa tugas PKD juga sangat panjang, hingga pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak pada 27 November 2024. Selain itu, ada waktu tambahan yang dibutuhkan untuk proses penetapan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan persiapan pelantikan, belum lagi potensi gugatan dari calon yang kalah di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagai akibatnya, beberapa PKD mungkin akan menjabat selama 2,5 tahun atau lebih, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
Namun, proses penunjukan PKD masih memiliki ketidakjelasan dalam aturan. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah meminta aturan teknis yang lebih jelas, masih ada kekosongan aturan yang terjadi berdasarkan Penjelasan Pasal 201 Ayat 9 UU No 10 Tahun 2016. Aturan tersebut menyebutkan bahwa masa jabatan PKD adalah 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun berikutnya, baik dengan orang yang sama maupun berbeda.
Kendati demikian, Permendagri Nomor 4 Tahun 2023 pasal 8 ayat 1 juga menyatakan hal serupa, yaitu masa jabatan PKD adalah 1 tahun dan dapat diperpanjang 1 tahun berikutnya dengan orang yang sama atau berbeda.
Sebagai contoh, Provinsi Banten telah mengalami dua kali penunjukan PKD yang masa jabatannya akan berakhir pada tanggal 12 Mei 2024. Namun, ketidakjelasan muncul karena UU No 10 Tahun 2016 Pasal 201 Ayat 8 menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah serentak nasional akan dilakukan pada bulan November 2024.
Pertanyaannya, apakah PKD bisa dipilih kembali atau tidak? Ataukah Provinsi Banten akan mengalami kekosongan kepala daerah? Hal ini menunjukkan perlunya klarifikasi lebih lanjut dalam aturan terkait penunjukan PKD agar tidak menimbulkan kerancuan di masa mendatang.
Permasalahan ini sebelumnya sempat diangkat oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengungkapkan bahwa masa penjabat mengisi kekosongan kepala daerah selama dua tahun hingga kepala daerah definitif hasil Pilkada Serentak 2024 bakal menimbulkan masalah. Masa jabatan penjabat menggantikan kekosongan kepala daerah selama lebih dua tahun melanggar Undang-undang Pilkada.
“Problemnya penjabat ini berdasarkan ketentuan di dalam UU Pilkada Pasal 201 Ayat 9 UU No 10 Tahun 2016, penjabat itu hanya boleh memegang jabatan selama dua tahun, maksimal hanya dua tahun,” kata Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil dalam sebuah webinar dilansir dari Merdeka.com.
Menurut Fadli, jika para penjabat kepala daerah itu sudah mulai mengisi jabatannya di 2022, maka hampir bisa dipastikan mereka bakal mengisi jabatan kepala daerah lebih dari dua tahun. Karena jika ditimbang pemilihan kepala daerahnya saja baru dilaksanakan di November 2024.
Fadli mempertanyakan jika para penjabat gubernur, seperti penjabat gubernur DKI Jakarta, Banten, Aceh masa jabatannya habis, lantas akan siapa yang mengisi kursi kepala daerah.
“Karena penjabat sudah tidak boleh lagi karena terbatas hanya boleh dua tahun, sementara kepala daerah definitif juga belum dilantik. Jadi ini satu persoalan,” kata dia.
Sementara itu, pakar hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat Tangerang Selatan, Banten, Andi Syafrani mengungkapkan ada beberapa keanehan, dengan adanya jabatan Pj Kepala Daerah. Pasalnya sampai saat ini belum ada aturan secara menyeluruh atas jabatan tersebut.
“Pertama, aturan detail soal Penjabat kepala daerah belum diatur khusus dengan aturan baru oleh Presiden atau Mendagri sehingga belum ada batasan soal ini. Dan ini sepertinya disengaja biar tidak ada aturan yang membatasi soal ini,” katanya.
Keanehan kedua yakni, Majelis Konstitusi (MK) sudah memberikan arah melalui putusan agar masalah pengangkatan Penjabat Kepala Daerah dan serah terima jabatannya dengan yang terpilih dalam Pilkada serentak nanti diatur segera biar memberikan kepastian hukum. Tapi sampai hari ini belum dibuat khusus,” ungkapnya.
Hal ini kata dia, dengan tidak adanya aturan detail dan khusus, maka akan ada kekosongan jabatan pada daerah tertentu. Salah satunya, Pj Gubernur Banten yang saat ini dijabat oleh Al Muktabar.
“Yang pasti tidak boleh ada kekosongan jabatan Kepala Daerah meskipun hanya beberapa jam sebab ini masalah kepentingan umum. Jadi, Mendagri harus segera membuat aturan soal ini yang sesuai arahan MK dan sesuai hukum. Persoalan ini masalah serius dan harus diselesaikan Mendagri segera,” ungkapnya.
Presiden Jokowi atas ketidakjelasan Penjabat Kepala Daerah adalah yang memiliki peran dan tanggung jawab penuh. Jangan sampai ada penyumbatan kepentingan publik.
“Pastinya harus ada penjabat yang ditunjuk Presiden melalui Mendagri. Karena ini urusan kenegaraan untuk kepentingan rakyat,” katanya.
Direktur KOPEL, Anwar Razak mengatakan, baginya posisi jabatan Gubernur sebagai pimpinan tertinggi dilingkup Provinsi tidak boleh ada kekosongan. Hal ini dikarenakan telah tertuang dalam Undang-undang no 32.
“Gubernur ini kan memiliki kewenangan dan juga memberikan pelayanan. Kan ga mungkin juga kalau masyarakat berhenti layanannya karena kekosongan (Gubernur) itu,” kata Anwar saat dihubungi BANPOS melalui panggilan telepon.
Ia menjelaskan, meskipun dalam lingkup pemerintah ada Kepala Dinas disetiap instansinya, para Kadis tersebut bertanggung jawab kepada pimpinan tertingginya dalam hal ini ialah Gubernur.
“Untuk melaksanakannya kan harus ada kebijakan. Misal RSUD atau Sekolah Menengah Atas yang memang kewenangannya ada di Gubernur,” jelasnya.
Ia menerangkan, dirinya tidak dapat membayangkan jika posisi Gubernur mengalami kekosongan. Menurutnya hal tersebut akan menjadi hambatan dalam upaya pelaksanaan setiap program dan pelayanan daerah seperti kebijakan dan penganggaran.
Anwar menegaskan, dalam pengawasan kinerja dari Pj Gubernur terdapat DPRD yang seharusnya bisa menjadi pengawas dan penilai bagi kinerja dari Penjabat tersebut. Selain itu, Presiden juga harus memiliki penilaian yang baik terhadap kinerja Gubernur yang mana apakah kedepannya dapat melanjutkan masa jabatannya dengan orang yang sama atau dengan orang baru.
“Jadi saya rasa secara normatif terkait penilaian Pj Gubernur ini bisa dilihat dari Laporan pertanggungjawabannya. Nantinya bisa dilihat oleh DPRD ataupun oleh Presiden, apakah Pj ini bisa oleh orang yang sama namun dengan kinerja yang sama atau bisa dengan orang baru yang bisa memberikan kemajuan yang signifikan,” jelasnya.
“Mengganti Pj Gubernur bukan persoalan administratif. Ini persoalan bagaiman memilih seseorang yang bisa mendorong program ataupun meningkatkan pelayanan di daerah,” lanjutnya.
Anwar memaparkan, pihaknya memiliki penilaian terhadap kondisi yang ada di Provinsi Banten di masa kepemimpinan Pj Gubernur. Menurutnya, persoalan Stunting dan angka putus sekolah masih belum berubah.
“Ini harus menjadi evaluasi bagi Presiden apakah akan mempertahankan orang yang sama dengan perubahan yang tidak signifikan atau mau mengganti dengan orang baru dengan harapan ada perubahan yang signifikan,” tandasnya.
Terpisah, Pj Gubernur Banten, Al Muktabar menyampaikan, terkait dengan menjelang akhir masa jabatannya, bahwa siapapun yang nantinya menggantikan dirinya, itu diserahkan pada aturan yang berlaku.
Dia juga menuturkan, bahwa dirinya saat ini hanya menjalankan tugas dan kewajibannya atas jabatan yang dirinya emban saja. Tentang siapa yang mengisi kekosongan jabatan pasca-selesainya masa jabatan yang saat ini dipangkunya, ia kembalikan pada aturan yang ada dan bagaimana kebijakan daripada pimpinan.
“Saya kan ditugaskan, jadi itu koridor aturan, bagaimana aturan. Saya hanya sepanjang penugasan itu. Jadi bagaimana ke depan, bagaimana saat ini, dalam koridor itu ya tentu sudah ada aturan dan ada pimpinan kita yang memformulasikan kebijakannya. Saya patuh pada aturan,” ujarnya.
Saat dirinya ditanya terkait siapa yang menurutnya baik untuk menjalankan dan melanjutkan kinerjanya selama memerintah di Provinsi Banten, Al Muktabar enggan menjawab.
Ia juga menegaskan, bahwa dirinya hanya menjalankan apa yang ditugaskan saja. Adapun siapa yang kemudian ditunjuk melanjutkan memimpin Provinsi Banten sampai dengan terpilihnya Gubernur Banten saat Pilkada nanti, Al Muktabar hanya mendoakan yang terbaik saja.
“Saya tidak mempunyai kewenangan dengan itu. Harapan, tidak juga, karena ini koridor aturan. Jadi saya patuh pada aturan saja. Mudah-mudahan semua berjalan dengan baik. Jadi kita rujuk aturan saja,” tegasnya.(MPD/RUS/PBN/NET)