JAWA BARAT, BANPOS – Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Muhamad Mardiono menekankan pentingnya strategi dan antisipasi menghadapi puncak El Nino yang diperkirakan terjadi pada Agustus-September 2023.
El Nino diprediksi akan mengancam ketahanan pangan di Indonesia. Mardiono mengatakan, fenomena El Nino menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan di Indonesia.
“Kita dihadapkan pada ancaman kekeringan karena fenomena El Nino yang bisa berdampak pada produksi pangan secara nasional. Kemarau panjang dan ekstrem ini harus benar-benar kita antisipasi dengan strategi yang baik,” kata Mardiono dalam Focus Group Discussion (FGD) Strategi dan Antisipasi Dampak El Nino Terhadap Ketahanan Pangan di Bogor, Jumat (7/7).
Menurutnya, jika tidak diantisipasi dengan strategi yang baik, kekeringan akan menjadi bencana. Bahkan, mendatangkan dampak lain seperti gagal panen, krisis air bersih, kebakaran lahan yang berpengaruh langsung pada keberlanjutan ketahanan pangan.
El Nino, kata Mardiono, tercatat menurunkan produksi padi di Indonesia antara 1-5 juta ton sejak 1990-2020.
Mardiono menjelaskan, sejumlah riset yang dilakukan juga menunjukkan hal serupa. Salah satunya turunnya produksi beras di Banten sejak 2002-2015 akibat fenomena El Nino.
Tahun ini Badan Pusat Statistik (BPS) mendata realisasi produksi beras pada Februari dan Maret 2023, masing-masing 2,8 juta ton dan 5 juta ton, atau lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang ditetapkan sebesar 3,6 juta ton dan 5 juta ton.
El Nino dan La Nina, kata dia, sebenarnya merupakan fenomena yang sudah jamak terjadi dan BMKG juga sudah memperkirakan Indonesia akan mengalami dengan puncak terekstrem pada Agustus 2023.
“Untuk itu, saya berharap seluruh stakeholder termasuk perguruan tinggi, BRIN, Bapanas, Kementan, dan instansi terkait harus menjadi lokomotif dalam menghadapi fenomena alam ini, mengingat pengaruh El Nino terhadap sektor pertanian bersifat langsung dan nyata,” ujarnya.
Selain itu, Mardiono menekankan perlunya perhatian khusus dari instansi terkait dengan mengeluarkan kebijakan berupa perlindungan terhadap para petani.
Terutama yang mengalami gagal panen akibat dampak dari iklim ekstrem. Karena selain kerugian ekonomi yang sangat dahsyat, kebakaran hutan dan lahan, juga membawa dampak kesehatan yang mengerikan.
Berkaca pada pengalaman yang lalu, kabut asap yang menutupi kota-kota bahkan, mencapai negara tetangga, telah mengakibatkan banyaknya pengungsian, pada rumah-rumah yang menyediakan udara lebih sehat.
Dalam kesempatan itu, Mardiono juga fokus pada pola budaya konsumsi di masyarakat yang mulai menunjukkan gejala terjadinya pemborosan pangan yakni fenomena food waste dan food loss di Indonesia.
“Data The United Nations Environment Programme (UNEP) pada 2021, menunjukkan Indonesia menjadi negara dengan produksi sampah makanan urutan ke-4, terbesar di dunia, setelah China, India, dan Nigeria dengan total sampah makanan mencapai 21 juta ton tiap tahunnya,” ungkapnya.
Bahkan, menurut data Bappenas, sampah makanan di Indonesia mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara dengan 115 sampai 184 kilogram per orang per tahun. Besarnya sampah makanan berdampak terhadap sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Akibat sampah makanan ini pula, Bappenas memperkirakan negara setidaknya mengalami kerugian ekonomi mencapai Rp 213-551 triliun per tahun atau setara dengan 4-5 persen PDB Indonesia.
Selain itu, sampah makanan juga menyumbang sekitar 8-10 persen emisi gas rumah kaca.
“Saya kira ke depan mendesak ada perubahan budaya masyarakat, melalui kampanye program ‘makan secukupnya’ atau ‘cukup satu porsi’ untuk mengubah perilaku masyarakat, dengan mengambil makanan sedikit, dan dapat menambah makanan sesuai porsinya jika diperlukan,” jelasnya.
Hal ini untuk mencegah terjadinya mubazir pangan yang kemudian menjadi sampah makanan.
Kampanye program ‘belanja dengan bijak’ untuk mengurangi stok makanan berjamur dan kadaluarsa juga harus terus dilakukan. Perlu juga disiapkan tempat penyimpanan makanan yang baik untuk menghindari makanan menjadi basi.
Di samping perlu program ‘berbagi makanan’ untuk menghindari kadaluarsa makanan. Misalnya, bekerja sama dengan pasar modern atau supermarket untuk menyalurkan makanan yang mendekati kadaluarsa.
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, riset World Food Programme (WFP) menunjukkan negara dengan kerawanan iklim semakin tinggi cenderung akan menimbulkan kerawanan pangan yang berdampak pada populasi masyarakat dengan gizi kurang (undernourished).
Menurutnya, Indonesia termasuk wilayah dengan kerawanan iklim medium, sehingga diperlukan awareness dan antisipasi untuk mengurangi potensi krisis pangan.
“Perlu political will dan langkah aksi bersama untuk meningkatkan produksi beras, kedelai, daging lembu, dan gula konsumsi agar dapat memenuhi kebutuhan nasional,” katanya.
Sementara itu, Direktur Kebijakan Pembangunan Manusia, Kependudukan dan Kebudayaan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Anugerah Widiyanto menyampaikan, BRIN senantiasa akan melakukan berbagai riset untuk mengantisipasi dan memitigasi iklim serta mendukung upaya ketahanan pangan.
Ia juga menyampaikan saran kebijakan penanganan El Nino secara jangka pendek dan jangka panjang.
Saran kebijakan El Nino jangka pendek mencakup penyiapan benih varietas tanaman yang toleran kekeringan dan umur pendek, percepatan tanam daerah berpotensi air cukup.
“Selain itu juga memanfaatkan air seoptimal mungkin dari embung dan pompa,” katanya.
Sedangkan saran kebijakan mitigasi El Nino dalam jangka menengah panjang mencakup upaya untuk menambah kapasitas penampungan air yang lebih masif seperti membangun dam, waduk, memperbaiki infrastruktur dalam jumlah masif dan pemanfaatannya secara efisien dan efektif, menambah cadangan air dengan memperbanyak masuk ke tanah dengan rehabilitasi lahan dan pembangunan fisik, dan lainnya.
Plt Deputi Bidang Klimatologi BMKG Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan, kondisi iklim selalu diupdate oleh BMKG dan sudah digunakan sebagai salah satu referensi pertimbangan pengambilan keputusan serta rekomendasi dalam Sistem Pemantauan Ketahanan Pangan Nasional.
“Di semester II 2023, diprediksi akan ada gangguan iklim global yaitu El Nino. Perlu antisipasi dan langkah nyata dalam upaya mengamankan ketersediaan dan ketahanan pangan nasional,” ujar Anugerah.(RMID)