Karena harga minyak dunia melonjak, Pertamina memutuskan menaikkan BBM jenis Pertamax yang tadinya Rp 9.000 menjadi Rp 12.500. Namun, pemerintah tidak menaikkan BBM jenis Pertalite yang saat ini masih nangkring di angka Rp 7.500. Keputusan ini menunjukkan, di satu sisi pemerintah menjaga keseimbangan ekonomi, tapi di sisi lain, pemerintah tetap memperhatikan nasib wong cilik agar tidak terpuruk.
Setelah cukup lama diwacanakan, akhirnya harga BBM (Bahan Bakar Minyak) jenis Pertamax resmi naik per 1 April 2022. Meski pahit, pemerintah harus memilih mengadaptasi harga BBM dengan harga minyak dunia yang melambung tinggi di atas 100 dolar Amerika per barel, karena krisis perang Rusia-Ukraina. Keputusan ini mengakhiri keberhasilan pemerintah menahan harga BBM selama dua tahun lebih.
Tak ada pilihan lain, harga minyak dunia tak mungkin lagi dilawan. “Harga asumsi crude oil di APBN US$ 63, sekarang ini sudah US$ 98 atau US$ 100. Kalau ditahan terus, jebol nanti Pertamina. Jadi terpaksa,” kata Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, beberapa saat setelah Pertamax diumumkan naik.
Keputusan ini berarti rumah tangga di Indonesia kini turut merasakan himpitan harga BBM setelah sebelumnya dibebani harga pangan. Padahal, pendapatan masyarakat baru berangsur pulih setelah didera Covid-19 yang panjang. Masih dipandang lebih beruntung, karena masyarakat belahan lain dunia sudah lebih dahulu merasakan hal yang sama.
Indonesia memang tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari gejolak ekonomi global. Dibanding negara lain, kondisi ekonomi Indonesia memang relatif lebih baik. Dua tahun didera pandemi, Indonesia masih bisa membukukan pertumbuhan 2,07 persen pada 2020, dan naik jadi 3,69 persen pada 2021. Namun, situasi global yang mengarah ke stagflasi tidak memberikan pilihan lain bagi Indonesia selain beradaptasi. Stagflasi adalah situasi harga-harga meningkat tinggi, sementara pertumbuhan ekonomi rendah.
Adaptasi, menurut Kepala Badan Intelijen Negara (Kabin) Jend Pol (Purn) Budi Gunawan, adalah pilihan terbaik saat menghadapi faktor eksternal harga BBM. Terus memaksakan harga murah (mitigasi) tidak hanya sia-sia, malah sangat beresiko, karena akan menguras Pertamina, dan juga mudah ditumpangi kelompok kepentingan untuk membuat resah, bahkan rusuh sosial.
“Dalam proses pengambilan keputusan adaptasi ini, pemerintah sangat memperhatikan nasib masyarakat berpenghasilan rendah. Karena itulah BBM yang naik adalah Pertamax, jenis yang selama ini dikonsumsi kalangan menengah atas. Sementara jenis Pertalite yang dikonsumsi mayoritas masyarakat bawah, harganya tetap dan kini justru disubsidi,” papar Kabin yang juga Guru Besar Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini, kemarin.
Masih demi melindungi masyarakat, kenaikan harga Pertamax pun, lanjut Budi Gunawan, tidak dilepas ke harga keekonomiannya yang kini sekitar Rp 16.000, dan tidak juga disamakan harganya dengan negara tetangga yang berkisar Rp 20.000-Rp 30.000. Melainkan, di kisaran Rp 12.500-Rp 13.500. Meski demikian, Budi Gunawan mengakui, kenaikan ini akan tetap berdampak tak langsung pada biaya hidup masyarakat. Terutama karena terakumulasi dengan kenaikan komoditas lain.
“Solusi paling substantif bagi masyarakat untuk menghadapi kondisi ekonomi yang mengarah ke stagflasi ini adalah mengadaptasikan gaya hidup dengan kemampuan riil masing-masing keluarga. Solusi ini tidak hanya baik bagi setiap individu masyarakat, tetapi juga baik bagi Bangsa, karena membudayakan kembali nilai-nilai kearifan lama yang hampir hilang terkikis, karena desakan budaya konsumerisme modern,” jelas Budi Gunawan.
Adaptasi gaya hidup yang dimaksud, antara lain, mencoret item tidak penting dari pengeluaran rutin; seperti rokok, kudapan tak sehat, shopping, hingga perjalanan tidak penting atau pelesir boros. Dilanjutkan dengan berhenti membeli secara kredit, memaksimalkan sistem work from home, serta jika memungkinan, memanfaatkan sepeda atau jalan kaki untuk menggantikan transportasi ke jarak yang tidak terlalu jauh. Selain menghemat biaya, semua kebiayaan ini sekaligus membuat anggota keluarga lebih sehat.
“Untuk memastikan kenaikan harga-harga saat ini tidak sampai menyengsarakan rakyat, pemerintah akan terus bekerja keras menjamin ketersediaan, membuat perencanaan BBM yang lebih baik, real time, dan berbasis data, serta membuat rambu-rambu agar kalangan mampu tidak berpindah mengkonsumsi BBM subsidi,” ujar Budi Gunawan.
Semua orang suka BBM murah. Segelintir ahli percaya, BBM murah mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, adaptasi harga BBM saat ini bisa lebih bernilai saat menjadi dorongan kuat munculnya inovasi. “Kita semua yakin, tantangan ini akan berlalu, dan dengan inovasi serta perilaku baru, bangsa Indonesia akan keluar lebih tangguh dan lebih bersatu menghadapi tantangan berikutnya,” pungkas mantan Wakapolri yang dikenal santun dan rendah hati ini.
Kenaikan BBM Sulit Dihindari
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto menilai, kenaikan harga BBM jenis Pertamax memang sulit dihindari di tengah kenaikan harga minyak dunia yang terus melesat. Pertamina sudah tak punya pilihan lain selain menyesuaikan harga BBM non subsidi tersebut. Meski mengalami kenaikan menjadi Rp 12.500 per liter, Sugeng mengapresiasi keputusan Pertamina karena masih menjual Pertamax di bawah harga keekonomian.
“Kami menilai ini keputusan positif. Dengan harga jual Pertamax sekarang, Pertamina sebenarnya masih nombok Rp 3.500 per liter,” kata Sugeng, dalam keterangan tertulis kepada redaksi, kemarin.
Politisi Partai NasDem ini menilai, keputusan ini menjadi bukti, pemerintah sangat mempertimbangkan daya beli masyarakat. Karena, kata dia, yang harganya naik hanya jenis Pertamax, BBM untuk kalangan masyarakat mampu. Berbeda dengan Pertalite, yang ditujukan bagi kalangan menengah ke bawah. “Untuk jenis Pertalite, Pertamina sudah memastikan tidak ada kenaikan harga,” ujarnya.
Senada disampaikan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno. Politisi PAN ini menilai, kenaikan harga BBM jenis Pertamax sebuah keniscayaan. Karena tidak mungkin kaum mampu jadi beban pemerintah.
“Jangan sampai mereka yang punya mobil bagus dan pakaian keren isi BBM-nya justru Pertalite. Apa nggak malu?” kicau Eddy, di akun Twitter miliknya, @eddy_soeparno, kemarin.
Eddy menilai, kebijakan pemerintah ini juga bisa mengurangi beban keuangan Pertamina dalam menyalurkan Pertamax.
Di hubungi terpisah, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah menilai kenaikan harga Pertamax tidak akan menimbulkan inflasi. Soalnya, mayoritas pengguna Pertamax adalah perorangan, bukan industri. Berbeda misalnya dengan solar yang dipakai truk untuk mengangkut pasokan barang ke masyarakat. Ketika harga solar naik, akan diikuti kenaikan harga barang. Begitu juga dengan Pertalite yang dipakai angkutan umum. Jika harganya naik, tarif transportasi juga naik.
“Kalau Pertamax tidak begitu. Kecil peluang kenaikan Pertamax mendongkrak inflasi secara signifikan. Pembeli Pertamax hanya perseorangan kelas menengah ke atas, efek domino kenaikannya hanya berhenti di mereka saja. Tidak kemana-mana,” kata Piter, kemarin.
Piter menjelaskan, porsi konsumsi Pertamax terhadap keseluruhan BBM juga relatif kecil dibanding Pertalite dan jenis BBM lain. Karena itu, ia menilai, kenaikan harga Pertamax merupakan pilihan yang bijak di tengah kondisi yang kurang kondusif saat ini. “Ini keputusan bijak. Keputusan tersebut sengaja diambil dengan lebih mempertimbangkan agar tidak berdampak terlalu besar terhadap masyarakat, khususnya kelompok bawah,” ujar Piter.
Selain itu, kenaikan Pertamax yang hanya menjadi Rp 12.500, juga meminimalisasi potensi peralihan (shifting) dari Pertamax ke Pertalite. “Karena dengan harga segitu, mungkin masih ada shifting. Tapi mayoritas kelas menengah ke atas tidak akan beralih. Mereka lebih sayang dengan mobil mewah mereka,” katanya.
Senada disampaikan pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi. Kata dia, keputusan Pertamina menaikkan harga jual Pertamax sudah tepat dan bijak. Apalagi naiknya hanya Rp 3.500 per liter. “Ini sudah bijak dan tepat,” tutur Fahmy.
Fahmy menilai, pertimbangan saat ini sudah komprehensif, tidak semata-mata pertimbangan bisnis semata. Termasuk juga pertimbangan kepedulian terhadap daya beli masyarakat yang harus tetap terjaga, karena saat ini bersamaan dengan momen Ramadan dan Lebaran. “Karena itu, selain tepat, saya juga menyebut bahwa keputusan ini adalah keputusan bijak. Tidak akan mendongkrak inflasi dan membebani rakyat kecil,” pungkasnya. [BCG/RM.ID]